Barbarisme Amerika di Abu Ghraib


Oleh Yasmine Yaser

“Saya tak butuh simpati Anda, tapi saya butuh nurani Anda.”

Berawal dengan sebuah panggilan telepon. November tahun lalu Huda Alazawi (39 tahun), pengusaha wanita kaya di Baghdad, mendapat permintaan dari seorang informan Irak. Dia bekerja untuk Amerika di Adhamiya, distrik Sunni Baghdad yang terkenal akan perlawanannya terhadap pendudukan AS. Permintaannya sederhana. Madam Huda, sebagaimana teman dan keluarga mengenalnya, harus memberinya $10.000. Jika tidak membayar, dia akan menulis laporan yang menyatakan bahwa Madam Huda dan keluarganya bekerja untuk kelompok perlawanan Irak. Dia akan menyampaikannya kepada militer AS dan mereka akan menahannya.

“Itu jelas pemerasan,” kata Alazawi, berbicara di kantor perusahaan perdagangannya di Baghdad. “Kami tahu bahwa jika kami menuruti, akan ada permintaan berikutnya.” Si informan menunaikan ucapannya. Pada November 2003, dia menulis laporan yang menganjurkan prajurit AS untuk menginterogasi saudara Alazawi, Ali, dan kakak perempuannya, Nahla, kini berusia 45. Mengenakan balaclava, dia juga memimpin beberapa penggerebekan bersama prajurit AS terhadap properti milik keluarga di Baghdad yang dipenuhi dengan barang antik.

Pada 23 Desember, Amerika menahan saudara Alazawi lainnya, Ayad (44 tahun). Pada titik inilah dia memutuskan untuk menghadapi Amerika secara langsung. Dia berjalan menuju pangkalan AS di Adhamiya, salah satu bekas istana Saddam Hussein. “Seorang kapten AS menyuruh saya untuk datang kembali bersama dua saudara saya yang lain. Dia bilang kami bisa bicara setelah itu.” Pada Malam Natal, dia kembali bersama saudara-saudaranya, Ali dan Mu’taz. “Saya menunggu selama empat jam. Seorang kapten Amerika akhirnya menginterogasi saya. Setelah 10 menit, dia memberitahu bahwa saya ditahan.” Sebagaimana ribuan warga Irak lain yang ditahan oleh Amerika sejak invasi, Alazawi akan mengalami realita “perang melawan teror”-nya pemerintahan Bush.

“Mereka memborgol dan menutup mata saya dengan kain putih. Mereka memasukkan saya ke dalam Humvee dan membawa saya ke sebuah tempat di dalam istana. Saya ditempatkan di sebuah ruangan dengan satu kursi kayu. Saat itu sangat dingin. Setelah lima jam, mereka membawa masuk kakak perempuan saya. Saya tak bisa melihat tapi saya bisa mengenalinya dari tangisannya.”

Alazawi mengatakan bahwa penjaga AS membiarkannya duduk di kursi itu sepanjang malam, dan keesokan harinya mereka membawanya ke sebuah ruangan yang dikenal oleh para tahanan sebagai “tempat penyiksaan”. “Perwira AS berkata kepada kami: ‘Jika kau tidak mengaku, kami akan menyiksamu. Jadi kau harus mengaku.’ Tangan saya diborgol. Mereka melepas sepatu bot saya dan memberdirikan saya di lumpur dengan wajah menghadap tembok. Saya dapat mendengar wanita dan pria berteriak dan menangis. Saya mengenali salah satu tangisan itu adalah saudara saya Mu’taz. Saya ingin melihat apa yang sedang terjadi, jadi saya mencoba menggeser kain dari mata saya. Saat berhasil, saya merasa pusing.”

Seperti kebanyakan wanita Irak, Alazawi enggan membicarakan apa yang dilihatnya tapi dia mengatakan bahwa saudaranya, Mu’taz, diserang secara seksual dan brutal. Lalu gilirannya tiba untuk diinterogasi. “Si informan dan seorang perwira Amerika berada di ruangan. Si informan memulai pembicaraan. Dia bilang, “Anda adalah nyonya yang mendanai saudara-saudara Anda untuk menyerang Amerika.’ Saya bisa sedikit berbahasa Inggris, jadi saya menjawab: ‘Dia pembohong.’ Perwira Amerika lalu memukul kedua pipi saya. Saya jatuh ke tanah.”

Alazawi mengatakan bahwa penjaga Amerika kemudian memberdirikannya dengan wajah menghadap tembok selama 12 jam, dari tengah hari sampai tengah malam. Sesudah itu mereka mengembalikannya ke sel. “Sel tersebut tak beratap. Saat itu hujan. Pada tengah malam, mereka melemparkan sesuatu ke kaki kakak saya. Ternyata itu saudara saya Ayad. Kaki, lutut, dan dahinya berdarah. Saya berkata kepada kakak saya: ‘Periksa apa dia masih bernafas.’ Dia bilang: ‘Tidak.’ Saya mulai menangis. Keesokan harinya mereka membawa jasadnya.

Militer AS kemudian menerbitkan akte keterangan kematian, dilihat oleh Guardian, yang mengutip penyebab kematian itu sebagai “perhentian jantung dengan sebab tak diketahui”. Dokter Amerika yang menandatangani akte tersebut tidak mencetak namanya, dan tandatangannya tak terbaca. Jasad dikembalikan kepada keluarga kami empat bulan kemudian, 3 April, setelah skandal penyiksaan Abu Ghraib pecah. Keluarga memfoto jasad, juga dilihat oleh Guardian, yang menyingkap banyak memar pada dada dan lengan, dan luka parah di atas mata kiri.

Setelah jasad Ayad dibawa pergi, Alazawi mengatakan bahwa dirinya dan 18 tahanan Irak lainnya dimasukkan ke dalam minibus di kamp militer. “Orang-orang Amerika itu berkata kepada kami: ‘Tak ada yang akan tidur malam ini.’ Mereka memainkan musik menakutkan terus-menerus dengan suara keras. Begitu seseorang tertidur, mereka mulai memukuli pintu. Saat itu Natal. Mereka menahan kami di sana selama tiga hari. Banyak prajurit AS yang mabuk.”

Akhirnya, setelah seorang penjaga AS mematahkan bahu Alazawi saat Alazawi meninggalkan WC, dia dan saudara-saudaranya yang masih hidup dipindahkan – pertama ke akademi kepolisian di kementerian dalam negeri di Baghdad dan kemudian ke penjara Abu Ghraib pada 4 Januari 2004.

Alazawi, yang memiliki puteri berusia 20 tahun (Farah) dan cucu berusia 4 tahun (Safat), menghabiskan 156 hari berikutnya dalam kurungan terpisah. Bersama lima wanita Irak lain, dia ditahan di “tempat keras” yang terkenal kejam – blok penjara di dalam kamp di mana dua bulan sebelumnya penjaga Amerika terfoto sedang melecehkan tahanan Irak secara seksual. Para wanita ditempatkan di blok atas; tahanan pria yang dianggap “sulit” ditempatkan di bawah. Mayoritas penghuni tinggal di sederetan tenda terbuka yang dikelilingi kawat tajam dan pos penjaga AS.

Dalam minggu-minggu pertamanya di Abu Ghraib, sebelum AS mengadakan penyelidikan internal mengenai penyiksaan tahanan, penyiksaan merupakan hal lumrah, kata Alazawi. “Para penjaga menggunakan anjing liar. Saya melihat salah seorang penjaga mengizinkan anjingnya menggigit kaki anak laki-laki berusia 14 tahun. Nama bocah tersebut adalah Adil. Penjaga lainnya sering memukuli tahanan. Saya dapat melihat darah yang mengalir dari hidung mereka. Penjaga juga membawa mereka untuk mandi air dingin padahal saat itu Januari dan Februari. Sejak awal, ini memang perang mental dan psikologis.”

Alazawi segan menjawab pertanyaan tentang pelecehan seksual terhadap wanita Irak tapi dia mengatakan bahwa dirinya ataupun wanita lain di Abu Ghraib saat itu tak ada yang diserang secara seksual oleh penjaga AS. Namun, dalam laporan berikutnya mengenai skandal Abu Ghraib, Jenderal Antonio Taquba menemukan bahwa setidaknya seorang polisi militer AS telah memperkosa seorang penghuni wanita di dalam Abu Ghraib; sebuah surat yang diselundupkan keluar penjara oleh seorang wanita yang dikenal sebagai “Noor”, yang memuat pernyataan tentang pemerkosaan, didapati akurat sepenuhnya. Saksi-saksi lain yang diwawancarai oleh Guardian mengatakan bahwa pengawal AS “berulang-ulang” memperkosa seorang gadis Irak berusia 14 tahun yang ditahan di blok tersebut tahun lalu. Mereka juga mengatakan bahwa penjaga menyuruh beberapa penghuni wanita berbaris telanjang di depan tahanan pria.

Alazawi mengatakan bahwa dirinya ditempatkan di sebuah sel dengan luas 2 m2, mulanya tanpa tempat tidur dan ember untuk toilet. Selama tiga minggu pertama dia sama sekali “membisu” setelah diberitahu bahwa berbicara adalah terlarang. Penjaga AS hanya memberinya satu buku, Al-Quran. Dia berusaha mencuri sebuah pena, dan mencatat insiden penyiksaan, beserta tanggal, di pinggiran Al-Quran itu. Selama beberapa bulan pertamanya dalam tahanan, prajurit AS sangat brutal, rendahan, dan tirani, kata Alazawi.

“Karena saya dapat sedikit berbicara bahasa Inggris, saya diberi pekerjaan mengosongkan sampah. Tak pernah ada cukup makanan dan suatu hari saya menemukan seorang wanita tua yang pingsan akibat kelaparan. Orang-orang Amerika itu selalu makan banyak makanan hangat. Saya menemukan beberapa dalam sebuah paket di tempat sampah dan memberikannya kepada si wanita tua. Mereka menagkap basah saya [memberikan makanan itu] dan menjebloskan saya ke dalam sel hukuman seluas 1 m2. Mereka kemudian menuangkan air ke atas tubuh saya selama empat jam.” Dia menuliskan tanggal dalam Al-Quran-nya: 24 Februari 2004.

Selama empat bulan pertama, selain interogasi yang sering dijalani, dia tidak diperbolehkan keluar blok. Alazawi mengatakan bahwa dirinya berulangkali ditanya apakah dirinya anggota kelompok Perlawanan dan apakah dirinya meluncurkan roket kepada prajurit AS (dia memiliki tinggi badan 5 kaki 3 inchi). “Itu menjadi lelucon terus-menerus. Wanita lain mulai memanggil saya Ratu RPG [rocket-propelled grenade]. Para penginterogasi Amerika sama sekali bodoh dan tak tahu apa-apa tentang orang Irak. Mayoritas tahanan di sana tidak bersalah.”

Setelah skandal Abu Ghraib pecah pada bulan April, Alazawi diperbolehkan berolahraga di pekarangan penuh semak selama 10 menit sehari. Dia memperoleh tempat tidur. Dia juga ditugasi sebagai penjaga wanita yang baru, “Mrs. Palmer”, yang membantu penjaga wanita berbahasa Inggris dan sebaliknya mereka mencoba belajar bahasa Arab. Pada bulan Mei, Mayor Jenderal Geoffrey Miller, yang ditugaskan ke Abu Ghraib oleh Washington setelah skandal penyiksaan, mengiringi sekelompok besar jurnalis berkeliling penjara untuk pertama kalinya. Malam sebelumnya, kata Alazawi, penjaga AS mengevakuasi semua tahanan anak-anak dan pria dari blok tempat dia berada, menyisakan dia dan segelintir wanita lain di atas.

“Mrs Palmer memberitahu kami bahwa selama inspeksi itu kami harus berbaring di tempat tidur. Dia bilang bahwa jika kami berkelakuan baik kami akan diperbolehkan menghabiskan lebih banyak di luar sel. Keesokan harinya Jenderal Miller muncul bersama sejumlah besar jurnalis. Saya mendengarnya mengatakan kepada mereka bahwa beberapa orang yang ditahan di sini adalah pembunuh. Saya berteriak: ‘Kami bukan pembunuh. Kalianlah pembunuh. Ini negeri kami. Kalian menyerangnya.’ Setelah itu mereka tidak mengizinkan saya keluar sel selama sebulan penuh. Seorang perwira AS datang dan mengatakan: ‘Gara-gara Anda, kami semua dihukum.’”

Alazawi mengatakan bahwa dirinya tak terkesan oleh Miller. “Jelas dia suka dirinya difoto,” katanya. Dalam beberapa minggu berikutnya, militer AS mulai melepas ratusan tahanan Abu Ghraib sebagai bagian dari pelaksanaan pembatasan kerusakan. Alazawi dan kakaknya dipindahkan dari sel ke tenda. Tiga jenderal juga datang untuk mewawancarainya dan memintanya menggambarkan apa yang telah terjadi pada Ayad, saudaranya. Namun mereka tidak menyampaikan permintaan maaf. Wanita lain berangsur-angsur dilepaskan, termasuk kakaknya. Akhirnya, pada 19 Juli, sebuah helikopter membawa Alazawi ke Al Taji, pangkalan militer persis di utara Baghdad.

“Setelah delapan bulan dalam penjara, mereka tiba-tiba memperlakukan saya bak ratu. Aneh,” katanya. “Mereka menawari saya beberapa Pepsi. Saya bisa mandi. Ada AC. Ada empat prajurit wanita untuk mengurus saya. Dokter datang menjenguk saya empat kali dalam 24 jam. Mereka menyuruh saya menandatangani sehelai kertas supaya berjanji tidak meninggalkan negeri. Dan kemudian saya bebas.”

Seorang juru bicara militer AS mengatakan bahwa dirinya tahu Alazawi, tapi menyangkal klaimnya bahwa dia ditahan secara terpisah selama 157 hari: “Dia dan kakaknya, yang merupakan dua wanita terakhir yang kami tahan di Abu Ghraib, dipisahkan dari tahanan pria sesuai dengan sensitivitas budaya.” Dia menambahkan, “fakta bahwa penyiksaan terjadi sebetulnya bukanlah berita baru. Kami tahu mereka berbuat itu dan orang-orang tertuduh sedang dituntut atas perbuatannya.”

Kini Alazawi sedang mencoba merangkai kembali kehidupannya. Dia kembali bekerja di Baghdad, di mana dia menjalankan bisnis impor mobil asing dan barang elektronik, dikelilingi oleh staf penuh hormat yang membawakan bercangkir-cangkir kopi manis Irak. Bisnisnya tampaknya sedang tumbuh subur. Teman-teman keluarga di Arab – yang kebanyakan berasal dari elit Sunni Irak – singgah dan bertukar gosip mengenai sofa kulit berwarna putih milik Alazawi. Tapi setelah pelepasannya, suaminya yang miliuner memberitahu bahwa dia akan menceraikannya.

“Bagi wanita di masyarakat timur, menghabiskan waktu berbulan-bulan dalam tahanan AS sangatlah sulit,” katanya. Beberapa bekas tahanan wanita lain di Abu Ghraib diyakini menghilang; yang lainnya juga tidak diakui statusnya oleh suaminya. Saudara-saudara Alazawi yang masih hidup, Ali (nomor tahanan 156215) dan Mut’az (nomor tahanan 156216) masih berada di dalam Abu Ghraib. Militer AS terus menahan mereka dan 2.400 tahanan lainnya tanpa tuduhan atau akses hukum, melanggar Konvensi Jenewa. Alazawi mengatakan bahwa dirinya telah menyewa pengacara untuk mengejar informan Irak yang dia persalahkan atas kematian saudaranya.

Sementara semua tahanan wanita lain menolak untuk membicarakan cobaan berat mereka, dia adalah orang pertama yang memberi kesaksian. Saat Irak beralih dari satu bencana ke bencana lain, dari penculikan ke bom bunuh diri, dari pemberontakan ke perang sipil, dari kematian ke kematian, sekarang bagaimana Amerika menurutnya? “Saya benci mereka,” kata Alazawi. 


Tidak ada komentar: