Sejarah Bangsa-bangsa Bagian Keempat

Monoteisme Teologis dan Dualisme Filosofis Zarathustra


Allamah Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan penyair Pakistan yang masyhur itu, mengawali bukunya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia, dengan kisah tentang Zoroaster: “Kepada Zoroaster, orang bijak dari Iran pada zaman dahulu, harus selalu diberikan tempat pertama dalam sejarah bangsa Aria Iran yang, karena telah menempuh pengembaraan yang terus-menerus, duduk dalam kehidupan bertani pada saat himne-himne Veda masih disusun di dataran Asia Tengah”. Allamah Iqbal juga menunjukkan bahwa Zoroaster mewarisi dua prinsip fundamental dari leluhurnya bangsa Aria, yaitu bahwa ada hukum alami dan ada konflik alami. Hal ini adalah pengamatan atas hukum dan konflik dalam panorama kehidupan yang luas yang datang untuk mendasari fondasi filosofis sistem Zoroaster. Sebelum keberadaan Zoroaster, bangsa Aria memuja sebuah pluralitas ruh kebaikan, yang dia reduksi ke dalam sebuah kesatuan yang disebut Ahuramazda. Di sisi lain, dia mereduksi semua kekuatan kejahatan ke dalam sebuah kesatuan yang sama yang disebut Druj-Ahrimann.

Dengan demikian, melalui sebuah proses penggabungan, dia sampai pada dua prinsip fundamental, yang dia amati bukan sebagai dua aktivitas yang mandiri, tetapi sebagai dua bagian atau dua aspek dari Wujud Utama. Dengan demikian, Zoroaster secara teologis merupakan seorang monoteis, tetapi secara filsafat, dia adalah seorang dualis. Untuk mempertahankan bahwa ada dua ruh pencipta realitas dan non realitas yang kembar, dan pada saat yang sama berpandangan bahwa kedua ruh itu menyatu dalam Wujud Tertinggi, sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa prinsip kejahatan merupakan bagian dari Tuhan yang sangat esensial; dan konflik antara kebaikan dan kejahatan tidak lebih daripada perjuangan Tuhan melawan diri-Nya. Oleh karena itu, terdapat suatu kelemahan inheren di dalam usahanya untuk mendamaikan monoteisme teologis dengan dualisme filosofis, dan hasilnya adalah sebuah perpecahan di kalangan para pengikutnya.

Pada satu bagian yang disebut Zendiks, kebebasan masing-masing dari dua ruh asli itu dari yang lainnya dipertahankan. Sementara itu, di dalam bagian lain yang disebut Magi, kesatuannya dipertahankan. Usia Zoroastrianisme yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti, tetapi mungkin kalah tua daripada iman monoteistik lainnya, yang dimiliki Akhenaten di Mesir Kuno. Di bawah Fira’un Akhenaten, bangsa Mesir Kuno menyembah Aten, sang Matahari. Atenisme adalah agama yang berumur singkat dan hanya berkembang selama masa hidup Amenhotep IV, yang kemudian mengganti namanya menjadi Akhenaten, dipandang telah melakukan bid’ah menurut tradisi Mesir Kuno. Ketika dia wafat pada sekitar tahun 1355 SM, agama itu mati bersamanya. Namun, catatan  mengenai Atenisme masih ada sampai sekarang, bersama sebuah teks yang sekarang dikenal sebagai “Himne Agung Untuk Aten” ditemukan di Amarna, kota yang dibangun oleh Akhenaten untuk menghormati dewanya:

Betapa berlimpahnya yang telah kau ciptakan!
Semuanya tersembunyi dari hadapan manusia.
Oh, Tuhan Yang Esa, yang tiada bandingnya!
Kau ciptakan dunia sesuai keinginanmu.

Perbincangan Seputar Zoroastranisme

Menurut Gathas[1] ajaran Zoroaster seratus persen adalah ajaran monotheisme. Ghalibnya, para peniliti Zoroaster, tatkala mengkaji Gathas mereka menemukan bahwa Zoroaster berbicara tentang tauhid murni. Pelbagai legenda yang ternodai dengan kemusyrikan belakangan muncul. Pada Avesta belakangan dan Mani kontaminasi syirik ini muncul. Sejatinya, para pengikut Zoroaster mengganti ajaran tauhid yang agung itu sebagaimana agama Kristen yang menerima beberapa tuhan. Dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran Gathas pandangan ini mendapatkan validitasnya tentang ajaran tauhid. Akan tetapi pada kitab Avesta, kitab suci para penganut agama Zoroaster, tanda-tanda politheisme muncul dan termasuk ruh tuhan mandiri.[2]  Dengan demikian, ajaran yang kita sandarkan kepada Zoroaster adalah ajaran yang telah mengalami penyimpangan dan telah jauh dari ajaran-ajaran pertama pembawanya.

Ajaran-ajaran Keyakinan Zoroaster

Tuhan dalam Ajaran Zoroaster

Tuhan dalam pandangan Gathas adalah Tuhan yang Esa dan Pencipta seluruh semesta. Sosok Pencipta yang tidak terangkum oleh ikatan ruang dan waktu serta tidak bergantung pada satu kaum. Tuhan, dalam Gathas, diperkenalkan sebagai Ilmu Mutlak, Pencipta seluruh fenomena, Agung, Pengasih, Adil, Berkuasa atas segala sesuatu. Dengan kesimpulan sedemikian maka tidak tersisa ruang bagi berhala, patung dan tuhan rangking kedua.[3] Yang patut diperhatikan adalah bahwa dalam Gathas, Zoroaster As dipuji sebagai sosok nabi Ilahi dan mengenakan busana tauhid yang berada di puncak seorang monotheis sejati dan memulai ungkapan perasaannya: “Wahai Tuhan Sang Pencipta! Aku menyembah-Mu dengan sepenuh hati. Apakah orang yang melabuhkan perasaannya kepada-Mu bagaimana dapat menyampaikan penghambaan-Nya kepada-Mu? Wahai negeri cinta! Penuhi hatiku dengan kasih-Mu sehingga kami dapat berjalan di atas rel yang benar dan lurus dan terangi hati-hati kami dengan pendaran Cahaya-Mu.”[4]

Semesta dalam Ajaran Zoroaster

Alam semesta merupakan ciptaan Tuhan. Dialah Penjaga dan Penguasa alam semesta. Alam semesta bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, sedemikian sehingga tanpa kehendak dan ilmu-Nya, tiada satu pun fenomena yang akan terjadi. Ahruzmada (Tuhan) menciptakan semesta ini dengan tujuan moral.[5]

 Manusia dalam Ajaran Zoroaster

Agama Zoroaster memandang manusia memiliki kedudukan yang tinggi. Manusia yang suci dan tanpa dosa – berbeda dengan keyakinan Kristen bahwa manusia adalah pendosa semenjak lahirnya – serta merdeka sehingga ia dengan kebebasan itu ia dapat memilih jalan yang baik atau buruk.[6]

 Kehidupan Pasca Kematian dalam Ajaran Zoroaster

Ajaran Zoroaster sebagaimana ajaran agama lainnya meyakini bahwa ruh manusia tidak akan binasa seiring dengan datangnya kematian. Manusia dengan memperhatikan segala perbuatannya, akan memasuki surga atau neraka.[7] Dalam kitab Gathas terdapat ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran yang termaktub dalam Avesta. Salah satu rukun ajaran ini yang disebut sebagai "Agama lama Zoroaster" atau "pertama."[8] Disebutkan: "Manusia pasca kematian akan melintas Chinvat Peretum; sebuah jembatan yang tidak dapat dilalui oleh para pendosa, dan pada akhirnya orang-orang baik akan memasuki firdaus dan orang-orang buruk akan dilempar ke neraka.[9]

Terkadang juga disebutkan dalam Gathas bahwa akan terdapat sebuah alam setelah kematian.[10]

Penulis Zoroaster kiwari (saat ini) juga memandang keabadian jiwa dan lestarinya manusia setelah kematian, ganjaran segala perbuatan baik dan hukuman segala perbuatan buruk, di surga dan neraka, hari kiamat merupakan asas dan fondasi agama Zoroaster. Bagaimanapun redaksi "melintasi jembatan Chinvat Peretum" boleh jadi dapat disandarkan kepada keyakinan terhadap ma'ad dalam ajaran Zoroaster.

Afirmasi al Qur’an Terkait Revelasi Ajaran Zoroaster

Al Qur'an menyebut pengikut Zoroaster sebagai "Majus".[11] Berdasarkan beberapa riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As, Majus, diperkenalkan sebagai pemilik kitab dan merupakan seorang nabi." [12]Riwayat-riwayat yang menjelaskan ajaran-ajaran pertama agama Ilahi Zoroaster As melalui para pengikutnya mengalami penyimpangan. Karena itu, kesimpulan valid dari riwayat-riwayat semata-mata mengisahkan adanya proses penyimpangan dalam ajaran Zoroaster bukan hikayat tentang jenis penyimpangan tersebut.[]


Catatan Kaki:

[1].Gatha adalah sekumpulan nyanyian yang terhimpun semenjak 3500 tahun yang lalu dan di dalamnya dijelaskan tentang jalan hidup yang laik dalam bentuk puisi.  
[2]. Jalaluddin Asytiyani, Zartusyt, Syarkat-e Sahami Intisyar, cetakan 1381, jil. 6.
[3].Din Syinâsi Tathbiqi, 107. Meski demikian sebagian ulama Zoroaster berupaya dengan takwil filosofis dan gnostis menunjukkan bahwa ajaran dualism Avesta ini adalah ajaran monoteisme dan memandang bahwa kitab suci mereka adalah kitab suci tauhid.  
[4].Zartusyt, hal. 133.
[5]. Din Syinâsi Tathbiqi, 109-110.
[6].Ibid, hal. 110.
[7].Ibid, hal. 112.   
[8]. Ajaran ini disebutkan dalam enam prinsip dimana poin ini yang dijelaskan adalah prinsip keenam 
[9]. Adyân-e Âsyayai, hal. 42 dan 43, yang dinukil dari kitab Sairi dar Adyan-e Zendeh Jahan (non- Islam), Abdurahim Sulaimani Ardistani, hal. 112 
[10]. Târikh-e Tamaddun, hal. 246. Din Syinasi Tathbiqi, hal. 112.   
[11]"Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shâbi’în (para penyembah bintang), orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Memisahkan yang hak dari yang batil. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu." (Qs. Al-Hajj [22]:17) Silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14., hal. 40. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan fii Tafsir al-Qur'an.
[12]. Abdu 'Ali al-'Arusi al-Huwaizi, Nur al-Tsaqalain, Rasuli Mahallati, Qum, Matba'
al-Hikmah, jil. 3, hal. 475. Al-Hurr al-'Amili, Wasâil al-Syiah, hal. 96; Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 46, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Qom, 1361.  


Tidak ada komentar: