Hikmah Ayat Ilmiah al Qur’an


“Sejak pertengahan abad ke-19, umat Islam menghadapi tantangan hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik atau militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran golongan besar umat Islam”

Oleh Dr. M. Quraish Shihab

Ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Quran, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan ke-Esa-an-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya. Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirnya: “Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan Al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan.” ¹) Di dalam asbab al-nuzul diterangkan bahwa pada suatu hari datang seseorang kepada Rasul dan bertanya: “Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi sempurna pumama?” Lalu, Rasulullah saw., mengembalikan, jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah SWT yang berfirman: “Mereka bertanya kepadamu perihal bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan haji.” (QS 2:189). Jawaban Al-Quran bukan jawaban ilmiah, tetapi jawabannya sesuai dengan tujuan-tujuan pokoknya. Ada juga yang bertanya mengenai “ruh”, lalu Al-Quran menjawab: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi sedikit ilmu pengetahuan.” (QS 17:85).

Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Syaikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut, lalu menulis. “Tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat tersebut) bukti nyata yang menerangkan bahwa Al-Quran bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam alam semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri‘.” ²) Dari sini jelas pula bahwa yang dimaksud oleh ayat ma farrathna fi al-kitab min syay’ (QS 6:38) dan ayat: wa nazzalna ‘alayka al-kitab tibyanan likulli syay’ QS 16:89) adalah bahwa Al-Quran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran, yaitu masalah-masalah akidah, syari’ah dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.

Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas?

Sejak pertengahan abad ke-19, umat Islam menghadapi tantangan hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik atau militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran golongan besar umat Islam. Di sana-sini mereka melihat kekuatan Barat dan kemajuan ilmu pengetahuan, dan di lain pihak mereka merasakan kelemahan umat serta kemunduran dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Keadaan yang serupa ini menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex pada sebagian besar kaum Muslim. Para cendekiawan Islam berusaha memberi reaksi walaupun dengan cara-cara yang tidak tepat. Ada di antara mereka yang mengambil sifat apatis, acuh tak acuh terhadap kemajuan tersebut; ada pula yang dengan spontan meletakkan senjata untuk menyerah dengan mengikuti segala sesuatu yang bercorak Barat –meskipun dalam hal-hal yang menyangkut kepribadian atau adat-istiadat. Adapula yang menentang haluan ini dengan mengajak masyarakat Islam menerima dan mempelajari ilmu pengetahuan dan sistem yang dipergunakan Barat dalam mencapai kemajuan tanpa meninggalkan kepribadian atau prinsip-prinsip agama.

Bukan tempatnya di sini membicarakan sejarah perkembangan pemikiran umat Islam dari masa ke masa. Tetapi satu hal yang tidak dapat diingkari adalah bahwa sebagian umat Islam sejak pertengahan abad ke-19 diliputi oleh perasaan rendah diri dan berusaha mengadakan kompensasi atau melarikan diri dengan bermacam-macam cara. Salah satu caranya ialah mengingat kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek moyang, yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan adab al-fakhri wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan kejayaan). Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran masyarakat Islam sangat besar dalam menafsirkan Al-Quran. Setiap ada penemuan baru, para cendekiawan Islam cepat-cepat berkata: Al-Quran sejak lama, sejak sekian abad, telah menyatakan hal ini; Al-Quran mendahului ilmu pengetahuan dalam penemuannya; dan sebagainya, yang semua itu tiada lain adalah kompensasi perasaan inferiority complex tadi. Di lain pihak para penemu tadi hanya tersenyum mengejek melihat keadaan umat Islam, dan senyuman itu terkadang disertai dengan kata-kata sinis: Kalau demikian mengapa tuan-tuan tidak menyampaikan hal ini sebelum kami menghabiskan waktu dalam penyelidikan?

Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat meredakan rasa sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya. Ia hanya sekadar memberikan jawaban sementara terhadap tantangan Barat. Di balik itu ia menunjukkan kelemahan umat. Memang, mengingat kejayaan lama kadang-kadang dapat merupakan pendorong untuk maju ke depan, atau setidak-tidaknya dapat menjaga kepribadian masyarakat. Tetapi kita juga harus waspada dan berhati-hati terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari cara demikian yang bila berlarut-larut dapat membekukan pemikiran. Membanggakan kejayaan lama dapat membangkitkan emosi dan memberikan kepuasan, tetapi ia juga dapat menimbulkan negatifisme dan konservatifisme; sementara kedua sifat ini tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan progresif.

Faktor kedua yang menjadikan sebagian cendekiawan Islam membenarkan satu teori ilmiah, menurut hemat kami, adalah akibat pertentangan yang hebat antara gereja dan ilmuwan sejak abad ke-18 di Eropa. Pertentangan ini disebabkan oleh karena penafsir-penafsir Kitab Perjanjian Lama/Baru yang menganut teori-teori tertentu yang diyakini kebenaran dan kesuciannya, sehingga siapa yang mengingkarinya dianggap kafir (keluar dari agama) dan berhak mendapat kutukan. Di lain pihak para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah, tetapi hasil penyelidikan mereka bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh gereja.

Pertentangan antara kedua belah pihak terjadi ketika ilmuwan menyatakan bahwa umur dunia –berdasarkan penelitian geologi– lebih tua daripada umur yang ditetapkan oleh gereja yang berdasarkan penafsiran Kitab Suci. Pertentangan ini memuncak dengan lahirnya teori Charles Darwin (1859) tentang The Origin of Man dan teori-teori lainnya, yang semua itu dihadapi gereja dengan cara penindasan dan kekejaman. Akibatnya tidak sedikit ahli-ahli ilmu pengetahuan yang menjadi korban hasil penemuannya, seperti Galileo, Arius, Bruno Bauer, George van Paris, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan keyakinan di kalangan umum bahwa ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama. Di sini kita tidak bermaksud menceritakan sejarah agama Kristen, tetapi pada butir terakhir ini kita ingin berhenti sejenak untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap alam pikiran cendekiawan Muslim.

Dalam dunia Kristen timbul golongan pembela agama yang disebut “apologetika” yang bertujuan menyucikan kembali agama dari setiap anasir yang hendak diselewengkannya. Pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan ini (terutama dalam dunia Kristen) memberikan pengaruh kepada sementara cendekiawan Muslim yang kuatir kalau-kalau penyakit pertentangan ini timbul pula dalam dunia Islam, sehingga mereka senantiasa berusaha membuktikan hubungan yang sangat erat antara ilmu pengetahuan dengan agama (terutama Al-Quran). Dari titik tolak ini, mereka sering tergelincir karena terdorong oleh emosi dan semangat yang meluap-luap untuk membuktikan tidak adanya pertentangan tersebut di dalam agama Islam. Tetapi, sebenarnya mereka terlampau jauh melangkah untuk membuktikan hal itu.

Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli Falak, Kedokteran, Kimia, Ilmu Pasti, dan lain-lain cabang ilmu pengetahuan, telah mencapai hasil yang mengagumkan di masa kejayaan Islam. Mereka itu adalah ahli-ahli dalam bidang tersebut sedang di saat yang sama mereka juga menjalankan kewajiban agama Islam dengan baik. Tiada pertentangan antara kepercayaan yang mereka anut dengan hasil penemuan mereka, yang dapat dikatakan baru ketika itu –bahkan sebagian dari hasil-hasil karya mereka masih dipelajari di negara-negara modern hingga sekarang ini. Antara agama dan ilmu pengetahuan tidak mungkin timbul pertentangan, selama keduanya menggunakan metode dan bahasa yang tepat. Manusia mempunyai keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan, dan keinginan mengetahui serta menarik kesimpulan sesuai dengan akalnya. Bila kita mengingat kepentingan kedua hal itu, maka tak mungkin terjadi pertentangan.

Richard Gregory dalam Religion in Science and Civilization menulis: “Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di seluruh taraf-taraf peradaban; agama adalah suatu reaksi kepada satu gerak batin menuju apa yang diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan takzim; sedangkan ilmu pengetahuan merupakan tumpukan pengetahuan tentang objek alam yang hidup dan yang mati.” Selanjutnya, dia berkata: “Di dalam sinar kebaktian kepada cita-cita tinggi, maka ilmu pengetahuan sangat perlu bagi kehidupan kita dan agama menentukan arti hidup manusia; kedua-duanya itu dapat menemukan lapangan umum untuk bekerja, tanpa ada pertentangan antara keduanya.” Dalam proses memadukan ilmu pengetahuan dan agama, sementara cendekiawan Muslim membawa hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan kepada Al-Quran kemudian mencari-carikan ayat-ayat yang mungkin menguatkannya, sehingga tidak heran kalau kita mendapati penafsiran-penafsiran yang amat berjauhan dengan arti serta tujuan ayat-ayat tersebut.

Dalam kitab Al-Quran wa Al-’Ilm Al-Hadits karangan Al-Ustadz ‘Abdurraziq Naufal, terdapat satu contoh yang sangat nyata mengenai apa yang dipaparkan di atas, Ia membahas ayat yang berbunyi: “Dan apabila telah dekat masa azab menimpa mereka. Kami keluarkan seekor binatang dari bumi yang berbicara dengan mereka bahwasanya manusia tiada menyakini ayat-ayat/tanda-tanda kebesaran Kami” (QS 27:82). Ayat ini menurutnya membicarakan tentang sputnik dan penjelajahan angkasa luar. Selanjutnya, ia mengatakan: “Sesungguhnya Rusia telah meluncurkan pesawat angkasa yang mengangkut binatang-binatang, kemudian mereka mengembalikannya ke bumi, sehingga binatangbinatang tersebut berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang sangat nyata dan mengungkapkan sebagian dari misteri yang meliputi alam semesta yang penuh keajaiban ini.” Di sini kita tidak mempunyai suatu komentar lebih tepat dari apa yang pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. ‘Abdul-Wahid Wafi, salah seorang dosen penulis pada Universitas Al-Azhar: “Mungkin dia mengira bahwa anjing bernama ‘Laika‘ (yaitu anjing yang dikirim Rusia ke angkasa luar) telah berbicara dengan bahasa anjing dan mencerca manusia karena tidak mempercayai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang nyata.”

Di Indonesia, ayat 33 surah Al-Rahman dijadikan dasar oleh sebagian cendekiawan kita untuk membuktikan bahwa Al-Quran membicarakan persoalan-persoalan angkasa luar. Mereka menyatakan bahwa sejak 14 abad yang lalu, Al-Quran telah menegaskan bahwa manusia sanggup menuju ke ruang angkasa selama mereka mempunyai kekuatan, yaitu kekuatan ilmu pengetahuan. Kita tidak mengingkari bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk sampai ke bulan dan planet-planet lainnya. Bahkan manusia telah mendarat di bulan. Tetapi sulit dimengerti hubungan ayat ini dengan persoalan tersebut.

Menurut hemat penulis, ayat ini membicarakan keadaan di akhirat kelak, yang menyampaikan tantangan Tuhan kepada manusia dan jin. Ayat tersebut berarti: “Wahai sekalian manusia dan jin bila kamu sekalian sanggup keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari kekuasaan dan perhitungan yang kami adakan, maka keluarlah, larilah. Kamu sekalian tidak dapat keluar kecuali dengan kekuatan, sedang kalian tidak mempunyai kekuatan.” Perintah dalam ayat tersebut menunjukkan ketidakmampuan kedua golongan manusia dan jin untuk melaksanakannya. Ayat tersebut dipahami demikian mengingat ayat sebelumnya yang berbunyi: “Kami akan menghisab (mengadakan perhitungan) khusus dengan kamu wahai manusia dan jin, maka manakah di antara nikmat-nikmat Tuhanmu yang kamu ingkari? Wahai golongan jin dan manusia bila kamu sekalian sanggup untuk keluar dari langit dan bumi …” (QS 55: 31-33).

Perhitungan khusus atau hisab tersebut akan diadakan di hari kemudian, bukan di dunia. Kalaulah ayat Ya ma’syar al-jinni wa al-insi tersebut dianggap membicarakan keadaan di dunia dan menunjukkan kesanggupan manusia untuk melintasi angkasa luar, maka hendaknya, anggapan tersebut tidak segera dibenarkan setelah memperhatikan ayat berikutnya, yang berbunyi: “Dikirim kepada golongan kamu berdua (wahai jin dan manusia) bunga api dan cairan tembaga sehingga kamu sekalian tak dapat mempertahankan diri (tak dapat keluar dari lingkungan langit dan bumi)” (QS 55:35). Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa usaha manusia dan jin untuk keluar dari lingkungan langit dan bumi akan gagal. Dari sini hanya ada dua alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat tadi: Pertama, ayat 33 dari surah Al-Rahman membicarakan persoalan dunia serta kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi dalam arti keluar angkasa. Dan kedua, ayat tersebut membicarakan keadaan di akhirat serta kegagalan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari hisab dan perhitungan Tuhan. Jika dipilih alternatif pertama, maka ini akan mengakibatkan dua hal yang sangat berbahaya bagi pandangan orang terhadap Al-Quran, yaitu

Bahwa Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya, karena ayat 34 menerangkan kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi, sementara ayat 35 menerangkan kegagalan manusia keluar dari keduanya. Al-Quran –dalam hal ini ayat 35– bertentangan dengan kenyataan ilmiah, karena ayat tersebut menyatakan kegagalan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi. Sedangkan manusia abad ke-20 ini telah berhasil mendarat di luar lingkungan bumi (yaitu bulan). Tetapi jika dipilih alterantif kedua, yaitu bahwa ayat-ayat tersebut membicarakan keadaan di akhirat, maka tidak akan didapati sedikit pun pertentangan. Firman Allah: “Jika sekiranya Al-Quran datangnya bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapat banyak pertentangan di dalamnya” (QS 4:82). Dalam ayat di atas tidak ada pertentangan, karena ayat itu menerangkan ancaman Tuhan kepada manusia dan jin, dan menyatakan ketidaksanggupan mereka keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari perhitungan yang akan terjadi kelak di akhirat; karena mereka tidak mempunyai kekuatan.

Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini?

Seseorang tidak dapat membenarkan satu teori ilmiah atau penemuan baru dengan ayat-ayat Al-Quran. Dari sini mungkin akan timbul pertanyaan: kalau demikian apakah Al-Quran harus dipahami sesuai dengan paham para sahabat dan orang-orang tua kita dahulu? Tidak! Setiap Muslim, bahkan setiap orang, wajib memahami dan mempelajari Kitab Suci yang dipercayainya. Bahkan, dalam mukadimah Tafsir Al-Kasysyaf, Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa mempelajari tafsir Al-Quran merupakan “fardhu ‘ayn“.

Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Quran. Tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan pemahaman orang-orang dahulu kala. Karena seorang Muslim diperintahkan oleh Al-Quran untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti orang-orang tua dan nenekmoyang tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya mereka lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam kebenaran) atau ‘ala dhalal (dalam kesesatan). Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap Muslim (siapa saja) dapat mengeluarkan pendapatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk itu. Setiap Muslim yang memenuhi syarat, wajib memahami Al-Quran, karena ayat-ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk orang-orang Arab di zaman Rasulullah dahulu, dan bukan juga khusus untuk mereka yang hidup di abad keduapuluh ini. Tetapi Al-Quran adalah untuk seluruh manusia sejak dari zaman turunnya hingga hari kiamat kelak.

Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran, diperintahkan untuk memikirkan isi Al-Quran sesuai dengan akal pikiran mereka. Benar, akal adalah anugerah dari Allah SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda antara seseorang dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan antara mereka sendiri: latar belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan serta pengalaman-pengalainan yang dialami selama hidup seseorang. ‘Abbas Mahmud Al-’Aqqad menulis: “Kita berkewajiban memahami Al-Quran di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw.³) Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan Al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta’ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Quran tanpa mempercayai setiap hipotesis atau pantangan.

Contohnya, dahulu dan bahkan hingga kini, ulama-ulama menafsirkan arti kata al-’alaq dalam ayat-ayat yang menerangkan proses kejadian janin dengan al-dam al-jamid atau segumpal darah yang beku. Penafsiran ini didapati di seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan terjemahan dalam bahasa Inggrisnya pun adalah the clot: darah yang setengah beku. Al-’alaq yang diterangkan di atas merupakan periode kedua dari kejadian janin. Firman Allah dalam surah Al-Muminun ayat 12-14 diterjemahkan oleh Prof. M. Hasby Ashiddieqi dalam tafsirnya, An-Nur, demikian: “Dan sesungguhnya telah Kami jadikan manusia dari tanah yang bersih, kemudian Kami jadikannya air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh, kemudian Kami jadikan air mani itu segumpal darah, lalu Kami jadikannya sepotong daging; dari daging itu Kami jadikan tulang, tulang itu Kami bungkus dengan daging, dan kemudian Kami menjadikannya makhluk yang baru (manusia yang sempurna). Maha berbahagia Allah Tuhan sepandai-pandai yang menjadikan sesuatu.”

Memperhatikan ayat ini, jelaslah bahwa periode kedua dari kejadian manusia adalah al-alaq setelah al-nuthfah. Dan dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode: (1) Al-Nuthfah; (2) Al-Alaq; (3) Al-Mudhghah; (4) Al-’Idzam; dan (5) Al-Lahm. Apabila seseorang mempelajari embriologi dan percaya akan kebenaran Al-Quran, maka dia sulit menafsirkan kalimat al-’alaq tersebut dengan segumpal darah yang beku. Menurut embriologi, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode :
.
1. Periode Ovum: Periode ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan) karena adanya pertemuan antara set kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu (ovum), yang kedua intinya bersatu dan membentuk struktur atau zat baru yang disebut zygote. Setelah fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat, delapan, enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote bergerak menuju ke kantong kehamilan, kemudian melekat dan akhirnya masuk ke dinding rahim. Peristiwa ini dikenal dengan nama implantasi.

2. Periode Embrio: Periode ini adalah periode pembentukan organ-organ. Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim. Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan cacat bawaan.

3. Periode Foetus: Periode ini adalah periode perkembangan dan penyempumaan dari organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat dan berakhir pada waktu kelahiran.
.
Kembali kepada ayat di atas, kita melihat bahwa periode pertama menurut Al-Quran adalah ‘al-nuthfah, periode kedua al-’alaq dan periode ketiga al-mudhghah. Al-mudhghah –yang berarti sepotong daging– menurut Al-Quran (surah Al-Hajj ayat 5) terbagi dalam dua kemungkinan: mukhallaqah (sempurna kejadiannya) dan ghayru mukhallaqah (tidak sempurna). Dari sini bila diadakan penyesuaian antara embriologi dengan Al-Quran dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa periode ketiga yang disebut Al-Quran sebagai al-mudhghah merupakan periode kedua menurut embriologi (periode embrio). Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ terpenting. Sedangkan periode keempat dan kelima menurut Al-Quran sama dengan periode ketiga atau foetus.

Dalam membicarakan al-’alaq –yang oleh para mufassirin diartikan dengan segumpal darah– didapati pertentangan antara penafsiran tersebut dengan hasil penyelidikan ilmiah. Karena periode ovum terdiri atas ektoderm, endoderm dan rongga amnion, yang terdapat di dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur tersebut tidak mengandung komponen darah. Dari titik tolak ini mereka menolak penafsiran al-’alaq dengan segumpal darah, cair atau beku. Mereka berpendapat bahwa al-alaq adalah sesuatu yang bergantung atau berdempet. Penafsiran ini sejalan dengan pengertian bahasa Arab, dan sesuai pula dengan embriologi yang dinamai implantasi. Bahasa Arab tidak menjadikan arti al-’alaq khusus untuk darah beku, tetapi salah satu dari artinya adalah bergantungan atau berdempetan. Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa arti al-alaq menurut bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan berdempetan. Dalam kamus Al-Mishbah Al-Munir, arti al-’alaq adalah “sesuatu yang hitam seperti cacing di dalam air, bila diminum oleh binatang ia akan bergantung atau terhalang di kerongkongannya“.  4) Di samping itu, dalam bahasa Arab sesuatu dapat dinamakan sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti: Innama sumiya al-qalb li taqallubihi. 5)

Kesimpulan

Kesimpulan dari uraian di atas adalah:

Al-Quran adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyri’, dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Tiada pertentangan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Memahami hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju. Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Quran bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Al-Quran dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan. Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Quran) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuwan yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau ketentuan bahasa.

Catatan Kaki:

¹)   Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Dar Al-Qalam, Kairo, cet. II, t.t., h. 21.
²)   Ibid., h. 22.
³)  ’Abbas Mahmud Al-’Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur’aniyyah, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1974, h. 197.
4)   Lihat Mu’jam Mufradat li Alfazh Al-Quran, diedit oleh Nadim Mar’asyli, Dar Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355.
5Qalb dalam bahasa Arab berarti “berbolak-balik”, karena sifatnya yang berbolak-balik: sekali senang, sekali susah, sekali cinta, sekali benci. Yang berdempet/bergantung di dinding rahim dinamai alaq (bergantung), karena keadaannya ketika itu “bergantung”/berdempet.

Tidak ada komentar: