Ihwal Teologi Islam Syiah




Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari

Pengaruh Takdir Atas Manusia

Perasaan Menakutkan

Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitkan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang-bayang sebuah kekuasaan absolut yang amat kuat dan mencengkram segala sesuatu dalam kehidupannya, serta mengarahkannya ke mana saja sesuai dengan kehendaknya. Karena, seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah nikmat yang paling mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit yang paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-terinjak dan kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolut yang menjajahnya itu. Tak ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang penggembala yang menguasai tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa sakit yang tak terhingga, menyerupai penderitaan seseorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keselamatan baginya dari cengkeraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya itu.

Sampai sejauh ini kita hanya membayangkan kekuatan yang berkuasa seperti ini dalam diri seorang manusia hebat atau binatang buas saja. Akan tetapi apabila kita membayangkannya sebagai suatu kekuatan gaib yang mahadahsyat yang berkuasa atas diri manusia dan menguasai dirinya dari balik alam gaib yang gelap gulita, maka sudah pasti keadaannya akan menjadi lebih parah lagi. Ketika itu segala impian untuk dapat selamat pasti akan pupus.

Demikianlah awal mula lahirnya pertanyaan yang membingungkan ini di benak setiap manusia, termasuk yang memiliki daya pencerapan yang paling minimum sekalipun. Benarkah segala peristiwa alam ini berjalan sesuai dengan perencanaan yang ketat, yang telah digariskan jauh sebelum terjadinya, tanpa adanya kemungkinan kegagalan atau pengecualian? Maujudkah kekuatan mutlak tersembunyi yang disebut qadha dan qadar (takdir), yang menguasai sepenuhnya segala peristiwa yang terjadi, termasuk manusia dan khasiat-khasiat (karakteristik-karakteristiknya) serta perbuatan-perbuatannya? Ataukah hanya berlawanan sama sekali dengan itu, yakni tidak ada sesuatu yang dapat diartikan sebagai pengaruh-menentukan masa lalu atas masa sekarang dan masa depan; sehingga manusia, sebenarnya, memiliki kebebasannya yang sempurna dalam membentuk segala gerak-lakunya dan menentukan nasibnya? Ataukah ada kemungkinan ketiga di antara kedua kemungkinan tadi, yang menggabungkan kepercayaan kepada takdir, sebagai kekuatan mutlak yang berkuasa atas segenap wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan kebebasan manusia dalam segala tindakannya? Dan jika demikian itu keadaannya, bagaimanakah dapat dijelaskan?

Masalah qadha dan qadar (takdir) atau penentuan nasib, termasuk di antara masalah-masalah filosofis yang amat pelik dan rumit yang sejak abad pertama hijriah telah menjadi bahan pembahasan di kalangan para pemikir Muslim disebabkan alasan-alasan yang kami sebutkan kemudian. Berbagai aliran pemikiran (akidah) yang dikemukakan di bidang ini besar sekali peranannya dalam tercetusnya pertikaian serta timbulnya kelompok-kelompok di seluruh dunia Islam, yang selanjutnya menimbulkan dampak yang amat menakjubkan di sepanjang jangka waktu empat belas abad lamanya.

Segi Praktis Persoalan Ini Secara Umum

Kendati masalah ini berhubungan dengan alam metafisis dan filsafat ketuhanan, namun ia termasuk di antara masalah-masalah sosial praktis yang terpenting disebabkan dua hal: a. Reaksi intuitif yang berkaitan dengan bentuk pemikiran individual dari setiap pembahas problem ini terhadap kehidupan praktisnya, serta cara penanganannya terhadap segala peristiwa yang terjadi. Wajarlah jika terdapat perbedaan dalam mental dan perilaku antara seseorang yang percaya bahwa dirinya adalah wujud yang terbelenggu, dengan orang lain yang meyakini bahwa dia sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan serta nasibnya.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa problem ini menimbulkan implikasi-implikasi praktis dan sosial yang tidak terdapat dalam masalah-masalah filosofis lainnya seperti misalnya tentang "baru atau azalinya kemunculan alam ini" dan "terbatas atau tidak terbatasnya penjuru-penjuru alam ini", "sistem kausalitas dan kemustahilan timbulnya yang banyak dari yang tunggal", "malah Zat dan Sifat pada diri Sebab Pertama dan Utama Subhanahu wa Ta'ala", dan berbagai masalah lainnya yang tidak mempunyai pengaruh praktis atas perilaku individual ataupun sosial mereka.

b. Pengaruh penting yang ditimbulkan oleh inasalah ini atas pemikiran. Yakni, kendatipun ia termasuk di antara masalah-masalah yang rumit dan membutuhkan pemecahan yang amat teliti, namun ia dapat dikelompokkan ke dalam masalah-masalah umum yang mau tak mau hinggap dengan sendirinya ke dalam pemikiran siapa saja, yang memiliki kapasitas yang minim sekalipun dalam hal pemikiran masalah-masalah yang integral. Sebab, setiap orang sangat ingin memiliki perasaan bahwa ia mampu menentukan masa depannya sendiri.

Apakah terikat erat kepada takdir yang pasti (deterministis) dan tak mungkin lagi dielakkan dalam perjalanan hidupnya, sehingga tak ada lagi pilihan lain baginya, bagaikan daun kering dalam hembusan badai? Ataukah keadaannya tidak seperti itu, yakni bahwa ia mampu menentukan perjalanan hidupnya?

Dengan adanya dua aspek tersebut di atas, dapatlah masalah ini digolongkan ke dalam persoalan-persoalan praktis dan sosial.

Akan tetapi, para ahli yang pada masa-masa lalu telah membahas masalah ini, tidak cukup memperhatikan aspek ini. Mereka lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada aspek filosofis dan teologinya semata-mata. Sebaliknya, para pembahas masa kini telah menyimpang dari cara lama itu, dan mereka kini mencurahkan perhatian yang sebesar-besarnya kepada aspek praktis dan sosialnya saja.

Bahkan kini kita dapat melihat sebagian para pengecam Islam menganggap masalah qadha dan qadar serta pandangan Islam tentangnya sebagai faktor-faktor terbesar penyebab kemunduran kaum Muslimin.

Berdasarkan itu, mungkin akan timbul beberapa pertanyaan:

Jika kepercayaan kepada qadha dan qadar merupakan penyebab kemalasan dan kemunduran individu ataupun masyarakat, mengapa tidak demikian pula kondisi kaum Muslimin dari generasi-generasi pertama? 

Apakah persoalan ini tidak terdapat dalam ajaran-ajaran asasi dan inti akidah Islam, seperti yang dituduhkan oleh beberapa ahli Barat? Ataukah bentuk kredo mereka tentang takdir adalah sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kebebasan serta tanggung jawab manusia sehubungan dengan perbuatannya? Dengan kata lain, sementara mereka percaya dan yakin tentang takdir dan ketentuan-ketentuan umumnya, apakah di waktu yang sama, mereka juga percaya dan yakin bahwa nasib dapat diubah atau diganti, dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk itu? Dan sekiranya mereka memiliki pemikiran seperti ini, bagaimana hal ini dapat dijelaskan?

Terlepas dari bentuk ijtihad yang digunakan orang dalam memahami problem ini, di masa lalu, wajiblah atas kita, pertama-tama, berpaling ke arah logika Al-Quran al-Karim mengenai masalah ini, kemudian menelaah segala yang sampai kepada kita dari Rasul teragung saw. Dan para Imam, dan setelah itu berusaha meneliti berbagai jenis pendapat yang bertumpu atas logika yang sepatutnya kita pilih.

Ayat-ayat Al-Quran

Beberapa ayat Al-Quran al-Karim menandasakan adanya qadha dan qadar serta pengaruh mutlaknya, dan bahwa setiap peristiwa alami pasti telah didahului oleh Kehendak Ilahi dan bahwa hal itu telah tersurat sebelumnya dalam suatu "kitab yang nyata". Misalnya: Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam suatu kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS 57 : 22)

Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata. (QS 6 : 59)

Mereka berkata: "Aapakah ada bagi kita barang sesuatu hak (campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." Mereka menyembunyikan apa yang tidak mereka terangkan kepadamu, mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh atau dikalahkan di sini." Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh." (QS 3 : 154)

Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.(QS 15 : 21)

Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentnan (qadar) bagi tiap-tiap sesuatu. (QS 65 : 3)

Sesungguhnya kami menciptakan segala sestiatu menurut qadar (ukuran). (QS 54 : 49)

Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.(QS 14 :4)

Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan orangyang Engkau kehendaki; Engkau muliakan orangyang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS 3 : 26)

Sedangkan contoh ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya, mampu mempengaruhi masa depan dan nasibnya dan dapat pula mengubahnya adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS 13 : 11)

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram; rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS 16:112)

Allah tidak sekali-kali hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS 29 : 40)

Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya. (QS 41 : 46)

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS 76 : 3)

Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. (QS 18 : 29)

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (QS 30 : 41)

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya; dan barangsiapa mengehendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia. (QS 42 : 20)

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki, bagi orang yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan baginya neraka jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu; dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS 17: 18-20)

Masih ada lagi ayat-ayat lain yang dapat digabungkan dengan kumpulan ayat-ayat pertama ataupun kedua.

Ada kalanya kedua kumpulan ini dalam pandangan kebanyakan ahli tafsir dan teologi Islam dianggap saling bertentangan, dan karena itu tak ada jalan lain kecuali menakwilkan (menyimpangkan arti) yang satu, sehingga kesimpilannya bersesuaian dengan yang kedua, dan dengan demikian dapat diterima hasilnya.

Sejak pertengahan abad pertama hijriah, saat munculnya kedua pemikiran mengenai persoalan ini, sekelompok orang mendukung aliran "kebebasan manusia" serta ikhtiarnya (kebebasan memilihnya) lalu menakwilkan kumpulan ayat-ayat pertama. Mereka ini dikenal sebagai kaum Qadariyah. Sementara kelompok lainnya mendukung aliran takdir gaib yang amat ketat menguasai segala perbuatan manusia, lalu menakwilkan kumpulan ayat-ayat kedua. Mereka ini dikenal sebagai kaum Jabariyah.

Kedua kelompok ini kemudian lebur dalam dua firqah (kelompok) besar aliran teologi, yakni kaum Asy'ariyah dan Mu'tazilah. Masing-masing kelompok mengikuti beberapa dari pikiran-pikiran salah satu dari kedua aliran tersebut di atas; yakni kelompok Asy'ariyah mendukung aliran Jabariyah, sementara kelompok Mu'tazilah mendukung aliran Qadariyah.

Istilah Qadariyah

Perlu diperhatikan bahwa di sini kami menggunakan istilah Qadariyah untuk orang-orang yang mendukung aliran "kebebasan kehendak manusia" demi mengikuti istilah yang dikenal di kalangan para ahli teologi Islam, seperti yang pada galibnya dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata Qadariyah ini kadang-kadangjuga digunakan oleh sebagian ahli ilmul-kalam dan pada sebagian riwayat, guna menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak mengakui kebebasan kehendak manusia.

Dalam kenyataannya, mereka semua, baik yang nnendukung teori Jabariyah (determinisme takdir) yang menyatakan adanya kekuasaan takdir umum (menyeluruh), ataupun orang-orang yang mendukung teori kebebasan manusia dan penafian peran takdir dalam perbuatan-perbuatan manusia; menghindarkan diri dari sebutan Qadariyah ini, seraya menjuluki kelompok lainnya dengan nama tersebut. Rahasia sikap ini ialah adanya riwayat hadis Rasul yang mulia saw. yang menyebutkan : "Kaum Qadariyah adalah Majusinya umat ini." Karena itu, kaum Jabariyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "kaum Qadariyah" ialah orang-orang yang mengingkari qadar (takdir) Ilahi, sementara lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyah ialah orang-orang yang mengembalikan segala sesuatu, harta perbuatan manusia, kepada qadha dan qadar.

Mungkin penyebab lebih dikenalnya sebutan Qadariyah untuk para pengingkar takdir adalah :
1. Tersebar luasnya mazhab Asy'ariyah, sehingga menjadikan kaum Mu'tazilah sebagai minoritas di hadapan kaum Asy'ariyah yang mayoritas.
2. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama Majusi. Sebab, yang diketahui bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi hanya pada apa yang mereka namakan "kebaikan" saja, sedangkan "kejahatan" berada di luar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang mereka namakan Ahriman.

Kontradiksi yang Dituduhkan

Telah kami katakan sebelum ini bahwa kebanyakan para ahli tafsir dan ilmul-kalam (teologi Islam) berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran dalam masalah ini saling bertentangan. Oleh sebab itu, mereka berlindung di balik penakwilan sebagiannya agar bersesuaian dengan sebagiannya yang lain.

Berkenaan dengan itu, kami ingin mengingatkan bahwa pertentangan dalam sesuatu dapat dibagi menjadi dua jenis: Pertama; adanya ucapan yang menafikan ucapan lainnya dengan cara yang jelas, gamblang dan sepenuhnya tepat. Misalnya dalam ucapan : "Rasulullah saw. wafat pada bulan Safar", dan "Rasulullah saw. tidak wafat pada bulan Safar." Dalam contoh ini jelas bahwa ungkapan yang kedua menafikan yang pertama dengan sejelas-jelasnya. Kedua, kalimat kedua tidak menafikan yang pertama secara jelas dan gamblang, akan tetapi pembenaran kalimat yang kedua berarti batalnya yang pertama, seperti dalam contoh berikut : "Rasulullah saw. wafat pada bulan Safar" dan "Rasulullah saw. wafat pada bulan Rabiul Awal".

Pertanyaannya kini, apakah kontradiksi yang dituduhkan di antara kedua kumpulan ayat mengenai persoalan takdir ini tergolong jenis pertama ataukah kedua? Tak syak lagi, kontradiksi yang dituduhkan itu tidak termasuk jenis pertama (kontradiksi yang jelas dan gamblang), sebab kita tidak mengatakan, sebagai contoh : "Tak ada sesuatu yang ditakdirkan," dan "Segala sesuatu telah ditakdirkan." Atau: "Segala sesuatu telah didahului oleh ilmu (pengetahuan) Allah," dan "Tak ada sesuatu yang telah didahului oleh ilmu Allah," Atau: "Manusia bebas memilih dalam tindakannya," dan "Manusia tidak bebas memilih dalam tindakannya." Atau: "Segala sesuatu terikat oleh kehendak Ilahi," dan "Segala sesuatu tidak terikat oleh kehendak Ilahi."

Akan tetapi para ahli ilmul-kalam mengira bahwa konsekuensi ungkapan "segala sesuatu telah ditakdirkan oleh takdir Ilahi" ialah bahwa manusia bersifat majbur (terpaksa) dalam segala perilakunya. Dengan demikian, mustahil kita dapat menggabungkan "kebebasan kehendak" dengan "takdir yang telah mendahului". Takdir harus terlaksana tanpa adanya ikhtiar (kebebasan memilih). Jika tidak demikian, maka Ilmu (pengetahuan) Allah berbalik menjadi ketidaktahuan. Demikian pula kebalikannya. Adanya kemampuan manusia untuk memberikan pengaruh dalam kebahagiaan atau kesengsaraan dirinya berarti keharusan tidak adanya takdir yang mendahului.

Dengan cara seperti ini, terbentuklah berbagai macam penakwilan dalam buku-buku para ahli ilmul-kalam dan tafsir.[1]

Berdasarkan hal tersebut, sekiranya ada teori ketiga yang menghilangkan kontradiksi yang dituduhkan di antara pengetahuan Allah yang mendahului serta kehendak-Nya yang absolut dan kebebasan serta ikhtiar manusia, maka kita tidak lagi memerlukan takwil dan tafsir apapun.

Nah, seperti yang akan kami uraikan setelah ini, kenyataan mendukung adanya teori ketiga ini dan menyingkapkan bahwa "kontradiksi" tersebut hanya merupakan akibat pernahaman yang keliru semata-mata. Kita dapat mengatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada kontradiksi dalam Al-Quran, yang memaksa kita mengartikan beberapa ayatnya berlawanan dengan arti lahirnya ataupun menakwilkannya. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa tidak satu pun ayat Al-Quran yang perlu ditakwilkan, hatta ayat-ayat yang tampaknya paling kontradiktif sekalipun. Persoalan ini membutuhkan uraian agak terperinci, yang tidak pada tempatnya diberikan di sini, yang membuktikan bahwa hal itu justru merupakan segi paling menarik dan paling mengagumkan dalam susunan Al-Quran al-Karim.

Dampak-dampak Negatif Aliran Jabariyah

Tak syak lagi bahwa aliran Jabariyah dalam bentuk yang dinyatakan oleh kaum Asy'ariyah, yakni bahwa manusia tidak sedikit pun memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), menimbulkan berbagai dampak negatif, sebab hal itu melumpuhkan jiwa manusia serta kehendaknya daripada setiap kegiatan yang bisa memberikan pengaruh. Inilah konsep yang memberi kekuatan kepada kaum zalim, dan pada saat yang sama, mengikat erat-erat tangan kaum tertindas.

Dengan dalih pernahaman seperti itu, manusia zalim yang telah berhasil menguasai jabatan atau kekuasaan, dengan cara-cara yang tidak sah, dengan bangganya berbicara tentang "bakat menakjubkan" yang telah dikhususkan oleh Allah baginya dan "nikmat" yang dilimpahkan-Nya atas dirinya, setelah ia menjauhkan itu semua dari kaum lemah dan menenggelamkan mereka ke dalam lautan nestapa dan sengsara.

Adapun orang yang telah dijauhkan dari "bakat-bakat" seperti itu tidak dibenarkan mengajukan protes sedikit pun atas ketidak adilan tersebut, sebab tindakannya itu berarti protes terhadap "nasib serta bagian yang diperuntukkan baginya", dan terhadap "takdir Ilahi". Oleh sebab itu, keadaan ini harus dihadapinya dengan sabar, rela dan bersyukur, bukannya dengan protes.

Jadi, si zalim dibebaskan dari pertanggung jawaban atas segala perbuatannya dengan dalih qadha dan qadar, juga dengan anggapan bahwa ia yakni si zalim tersebut, adalah "tangan Allah ", sedangkan tangan Allah tidak boleh dikecam atas segala yang dilakukan-Nya.

Dengan dalih seperti ini pula, orang yang teraniaya harus menanggung segala bentuk kezaliman, sebab ia beranggapan bahwa segala sesuatu yang menimpanya, pada hakikatnya, adalah dari Allah secara langsung. Dengan begitu ia berputus asa dari hasil setiap perlawanan. Mungkinkah melawan qadha dan qadar? Atau, mungkinkah melepaskan diri dari cengkraman gaib yang amat kuat itu? Tambahan lagi, sikap seperti itu bertentangan dengan akhlak Muslim, sebab berlawanan dengan sifat rela (ridhd) dan pasrah.

Selain itu, orang yang meyakini paham kaum Jabariyah ini tidak melihat adanya keterikatan sebab-akibat di antara segala sesuatu, terutama antara manusia dengan perbuatannya serta kepribadiannya secara spiritual dan moral di satu pihak, dan dengan masa depannya yang bahagia atau sengsara di lain pihak. Karena itu pula, ia sama sekali tidak akan terfikir ke arah pengukuhan kepribadiannya, perbaikan perilaku moralnya atau pelurusan amal perbuatannya. Bahkan, sebaliknya, kita melihatnya mengalihkan semua itu kepada takdir seraya menunggu nasib yang telah ditentukan dengan cara penyerahan diri yang amat pahit.

Keuntungan-keuntungan Politis

Sejarah menunjukkan dengan pasti kepada kita, bahwa Bani Umayyah telah mengalihkan persoalan qadha dan qadar menjadi suatu pegangan yang amat kokoh setelah mendukungnya dengan segala daya dan kekuatan, sambil menumpas habis-habisan semua pendukung aliran kebebasan manusia, dengan dalih bahwa itu merupakan kepercayaan yang berlawanan dengan akidah-akidah Islam. Sehingga di suatu saat tersiar secara luas pameo yang menyatakan bahwa "jabr dan tasybih adalah dua pikiran yang berasal dari Bani Umayyah, sedangkan 'adl dan tauhid adalah dua pikiran yang berasal dari kaum Alawiyin" (pengikut Ali bin Abi Thalib).

Orang yang paling dahulu melontarkan masalah ikhtiar manusia ke tengah-tengah masyarakat untuk dibahas, seraya mempertahankan akidah-akidah tentang kebebasan ini, di masa kekuasaan Bani Umayyah, ialah seorang dari Irak bemama Ma'bad al-Juhani dan seorang lagi dari Syam bemama Ghilan ad-Dimasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat-sifat istiqamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam pemberontakan bersama Ibnul Asy'ats dan kemudian dibunuh oleh al-Hajjaj (seorang pejabat Bani Umayyah); sedangkan Ghilan, setelah pahamnya itu sampai ke pendengaran Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong kedua tangan dan kaki kemudian disalib.

Syibli Nu'man[2] menyebutkan bahwa kendati situasi dan kondisi masa itu memang mendorong ke arah timbulnya berbagai pertentangan dalam soal-soal akidah, namun semuanya itu bermula dari sesuatu yang bersifat politis dan berdasarkan kepentingan-kepentingan pemerintah dalam negeri. Sebab, sehubungan dengan sifat pemerintahan Bani Umayyah yang menjalankan kekuasaannya dengan "besi dan api", wajarlah jika api revolusi bergejolak dalam dada rakyat. Akan tetapi, secepat keluarnya keluhan tentang keadaan, secepat itu pula para penguasa mengalihkannya kepada takdir, dan bahwa yang terjadi itu telah ditakdirkan dan diridhai oleh Allah SWT; dan karena itu tak ada yang dapat dibenarkan kecuali ucapan: "Kami beriman kepada takdir, baiknya maupun buruknya." Ma'bad al-Juhani, yang dikenal sebagai seorang tabi'i yang tulus, pernah bertanya kepada gurunya, Hasan al-Bashri: "Sejauh mana kebenaran ucapan kaum Umawiyyin (Bani Umayyah) mengenai persoalan qadha dan qadar?" Hasan al-Bashri menjawab: "Mereka itu adalah para pendusta dan musuh-musuh Allah SWT."

Adapun kaum Abbasiyyin (Bani Abbas), kecuali beberapa khalifah seperti al-Makmun dan al-Mu'tashim yang membela kaum Mu'tazilah yang mempercayai adanya kebebasan manusia, menentang politik pemerintahan kaum Bani Umayyah. Namun, sejak masa berkuasanya al-Mutawakkil dan seterusnya, mereka telah berbalik seratus delapan puluh derajat dan menjadi pembela paham kaum Jabariyah. Sejak saat itu, mazhab Asy'ariyah merupakan mazhab yang berlaku secara umum di dunia Islam.

Tersebarnya mazhab Asy'ariah dan kekuasaannya atas dunia Islam telah menimbulkan pula dampak yang luas. Sehingga kelompok-kelompok lainnya, seperti Syi'ah misalnya, yang sebelum itu sama sekali menolak aliran Asy'ariyah, tidak sepenuhnya berhasil melepaskan diri dari dampak tersebut. Itulah sebabnya kita dapat melihat kendati paham Syi'ah bertentangan dengan Asy'ariyah, meski tidak sepenuhnya pula bersesuaian dengan Mu'tazilah bahwa paham Jabariyah ini telah menyelusup ke dalam kesusasteraan kaum Syi'ah, baik yang berbahasa Arab ataupun Parsi. Berbagai hasil karya sastera mereka lebih banyak berbicara mengenai keterpaksaan manusia di hadapan takdir ketimbang tentang kebebasan manusia. Padahal ucapan-ucapan para pemimpin kaum Syi'ah, para Imam ahlul bait, menandaskan bahwa qadha dan qadar yang menyeluruh sama sekali tidak bertentangan dengan kemerdekaan manusia.

Rahasia yang telah menjadikan kata-kata qadha dan qadar sebagai sesuatu yang menakutkan ialah beralihnya arti kata tersebut sehingga menjadi padanan kata jabr (determinisme) dan ketiadaan kebebasan, serta kekuasaan tidak logis, yang berasal dari suatu kekuatan tersembunyi, atas diri manusia dan segala perbuatannya. Hal itu disebabkan tersebarnya mazhab Asy'ariyah di seluruh dunia Islam serta pengaruhnya yang amat kuat atas kebudayaan Islam secara umum.

Kritik Barat Kristen Terhadap Islam

Penyimpangan yang terjadi dalam masalah ini telah memberikan argumentasi kepada kaum Kristen di Barat untuk menyatakan bahwa akidah tentang qadha dan qadar adalah sebab utama kemunduran kaum Muslimin, dan berkenaan dengan itu mereka juga menyindir Islam sebagai agama yang percaya kepada paham jabr (determinisme) dan mencabut segala bentuk kebebasan dari diri manusia.

Almarhum Sayyid Jamaluddin al-Asadabadi (al-Afghani) telah memberikan perhatian kepada kritik ini ketika ia berada di Eropa dan kemudian telah menyanggahnya dalam tulisan-tulisannya.

Dalam salah satu tulisannya, ia menjelaskan: "Apabila ruh (jiwa) yang menyimpang dan watak yang buruk telah menyelusup ke dalam diri suatu masyarakat, maka setiap akidah benar yang diberikan kepada masyarakat ini akan tercelup dengan wama ruh menyimpang yang mereka miliki, sehingga menambah kesengsaraan dan kesesatan; dan selanjutnya akidah itu berubah menjadi daya penarik ke arah perbuatan-perbuatan buruk." Kemudian ia melanjutkan dengan kalimat yang berkesimpulan bahwa akidah tentang qadha dan qadar merupakan salah satu di antara beberapa akidah yang benar seperti itu, namun telah menimbulkan keraguan kaum yang tidak mengerti dan bahkan menambah ketidak mengertian mereka. Orang-orang Barat yang kurang cermat dan tidak cukup mengerti telah membayangkan secara keliru bahwa apabila akidah tentang qadha dan qadar telah menyelusup ke dalam diri suatu umat, maka mereka akan kehilangan himmah (semangat dan gairah), kekuatan, keberanian dan sifat-sifat baik lainnya; dan bahwa semua sifat buruk kaum Muslimin adalah akibat dari akidah tentang qadha dan qadar itu. Selanjutnya, kaum Muslimin sekarang adalah masyarakat yang miskin, jauh lebih lemah keadaannya dalam segi militer dan politik dari orang-orang Barat; mereka diliputi keburukan akhlak, dusta, kelicikan, kebencian, permusuhan, perpecahan, kebodohan tentang keadaan dunia, ketidak-berpengalaman tentang kebaikan dan kejahatan serta perasaan cukup dengan hidup yang pas-pasan. Mereka tidak memiliki sesuatu yang mendorong ke arah kemajuan dan perlawanan terhadap musuh; dan oleh sebab itu pasukan-pasukan asing yang bengis dan beringas menyerbu mereka dari segala arah, sedangkan orang-orang lemah dan bodoh justru mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas segala keadaan yang menimpa mereka, sambil bersiap-siap untuk menerima segala kehinaan, menyembunyikan diri di setiap sudut rumah dan menyerahkan semua simpanan harta benda serta kemerdekaan mereka kepada musuh yang datang.

Almarhum Sayyid Jamaluddin melihat bahwa orang-orang Barat, yang menisbahkan segala macam keburukan tersebut kepada kaum Muslimin, beranggapan bahwa semua kejelekan dan kejahatan adalah akibat dari kepercayaan tentang qadha dan qadar seraya menandaskan bahwa jika kaum Muslimin masih tetap berpegang teguh pada akidah ini, maka eksistensi mereka akan hilang lenyap dan menuju ke arah kemusnahan. Berkenaan dengan pendapat Barat seperti ini, Sayyid Jamaluddin menegaskan bahwa mereka (orang-orang Barat) tidak dapat membedakan antara akidah qadha dan qadar dengan mazhab Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia majbur (terpaksa) secara mutlak dalam semua perbuatan dan tindakannya.[3]

Kompleks Intelektual

Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa pembahasan tentang qadha dan qadar serta jabr dan ikhtiar ini tidak hanya berdasarkan alasan sosial semata-mata, sebab sebelum segala yang lain, masalah ini telah merupakan suatu kemusykilan ilmiah dan filosofis yang seringkali terbersit dalam benak seorang pemikir dan mendorongnya agar mencari pemecahannya.

Materialisme dan Takdir

Selain dari itu hendaknya jangan dibayangkan bahwa masalah ini merupakan problem rumit yang hanya dihadapi oleh para ahli teologi, sebab para penganut materialisme pun dihadapkan pada problein ini meski dengan sedikit perbedaan. Yaitu, sesuai dengan sistem kausal atau hukum sebab-akibat yang telah diterima, maka setiap fenomena dan peristiwa yang terjadi adalah akibat dari suatu sebab atau berbagai sebab. Di pihak lain, adanya akibat dengan memperkirakan (menghipotesiskan) adanya penyebabnya merupakan sesuatu yang sepenuhnya bersifat dharuri (tidak boleh tidak); sebagaimana ketiadaan penyebab memustahilkan adanya akibat.

Karena para penganut materialisme menerima juga teori kausal atau prinsip sebab-akibat umum dan dharuri seperti telah disebutkan sebelum ini dan menjadikannya salah satu pokok utama filsafat mereka, maka mereka pun dihadapkan kepada pertanyaan sekitar keterikatan perbuatan-perbuatan manusia pada hukum ini serta kemustahilan pengecualian sesuatu daripadanya. Dengan kata lain, semua perbuatan inanusia tercakup dan terliputi dalam hukum-hukum yang diterima tanpa ragu, secara pasti dan deterministis. Kendati demikian, masih adakah kebebasan dan ikhtiar?

Oleh sebab itu, kita mendapati masalah jabr dan ikhtiar ini diletakkan di hadapan semua aliran filsafat, lama maupun baru, yang bersifat teologis maupun materialistis.

Telah kami kemukakan tentang adanya perbedaan antara problem ini dalam pandangan kaum teologis dan pandangan kaum materialis, namun perbedaan ini tidak berpengaruh dalam esensi permasalahannya, bahkan kepercayaan kepada takdir Ilahi memiliki keistimewaan-keistimewaan dan kekhasan-kekhasan yang tidak dimiliki oleh kepercayaan kepada takdir dan determinisme alami.

Tanzih dan Tauhid

Kemusykilan ini muncul di kalangan para ahli teologi dan ahli 'ilmul-kalam ketika mereka mengamati hukum sebab-akibat serta bermuaranya semua kejadian dan kemungkinan kepada Zat (Allah) yang Wajibul Wujud, dan mustahilnya terwujud sesuatu kejadian tanpa bersandar kepada iradat Allah SWT. Dengan kata lain, mereka mengarah kepada ketauhidan segala perbuatan dan kemustahilan adanya sekutu bagi Allah dalam pemilikan wujud semesta ini. Ditinjau dari sisi lain, mereka pun menunjukkan perhatian ke arah sesuatu yang oleh awam pun dapat dicerap dan diketahui, yaitu bahwa segala kejahatan, kekejian dan dosa, tidak mungkin, atau tidak patut dinisbahkan kepada Allah SWT. Karena itu, mereka menjadi bingung dan terombang-ambing antara tanzih (menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tak layak baginya-Nya) dan tauhid. Sebagian dari mereka berpikir, dalam lingkup tanzih, bahwa iradat Allah dan kehendak-Nya tidak dapat dikaitkan dengan perbuatan dan tindakan para hamba yang kadang-kadang bersifat jahat dan keji, sedangkan sebagian yang lain berfikir dalam lingkup tauhid, dan dalam pengertian "tak ada sesuatu yang memberikan pengaruh atas wujud kecuali Allah", bahwa segala sesuatu pasti bersandar kepada iradat Allah SWT.

Diriwayatkan bahwa Ghilan ad-Dimisyqi, yang berpendirian bahwa manusia memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), berkata pada Rabi'ah ar-Ra'i, ilmuwan yang beraliran Jabariyah (determinisme): "Andakah yang menyatakan bahwa Allah menghendaki agar Ia dimaksiati?" Rabi'ah segera menjawab: "Andakah yang menyatakan bahwa Allah dimaksiati secara paksa?"

Suatu hari, Abu Ishaq al-Farayini, pendukung aliran takdir, duduk dalam majlis Shahib bin Abbad, ketika datang al-Qadhi Abdul-Jabbar, seorang tokoh Mu'tazilah yang mengingkari pengaruh takdir umum, berlawanan dengan pendapat Abu Ishaq. Ketika al-Qadhi melihat Abu Ishaq, segera ia berkata: "Mahasuci Allah yang terjauhkan dari perbuatan keji!" (ucapannya ini ditujukan sebagai sindiran kepada Abu Ishaq yang menisbahkan segala sesuatu kepada Allah, dan dengan demikian seakan-akan berpendapat bahwa Allah juga terkena sifat perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan oleh manusia). Mendengar itu, Abu Ishaq segera menukas: "Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!" (Jawaban ini menyindir al-Qadhi Abdul Jabbar bahwa seakan-akan ia menyatakan tentang adanya sekutu bagi Allah dalam wujud ini dengan membayangkan kemungkinan terjadinya sesuatu dalam wujud ini yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT, yakni perbuatan keji dan sebagainya).

Telah diuraikan sebelum ini, bahwa masalah ini telah menimbulkan kemusykilan ilmiah sebelum dibangkitkan dan dicampuri oleh faktor-faktor politis dan sosial.

Bagi sebagian orang, tidaklah dapat diterima oleh akal bahwa segala sesuatu, hatta perbuatan kejahatan, dinisbahkan kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, mereka menjauhkan dan menyucikan Allah dari kejahatan-kejahatan seperti itu, sementara orang-orang lain yang lebih menekankan soal ketauhidan memandang alam ini seluruhnya tegak oleh sebab Zat Ilahi, dan bahwa seluruh maujud memperoleh kemaujudannya dari sisi-Nya SWT. Mereka ini menolak adanya suatu maujud yang mandiri dalam perbuatannya, sehingga seandainya Allah menghendaki sesuatu, sedangkan si maujud menghendaki sesuatu lainnya yang berlawanan dengan kehendak Allah, maka yang terjadi ialah yang dikehendaki oleh si makhluk, bertentangan dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dari sinilah timbul pertentangan dan perbedaan pendapat itu.

Akan tetapi, dapatlah disimpulkan bahwa masing-masing kelompok berusaha menguatkan dan memenangkan pendapatnya dengan cara membuat keraguan terhadap akidah kelompok lainnya, tanpa memperhatikan kemusykilan-kemusykilan yang berhubungan dengan akidahnya sendiri. Hal ini dapat diketahui secara jelas dengan menelaah buku-buku mengenai 'ilmul-kalam, seperti dalam dialog antara Ghilan dan Rabi'ah dan antara al-Qadhi Abdul Jabbar dan Abu Ishaq yang telah kita baca sebelum ini, sebagai dua contoh argumentasi dari jenis ini.

Pada hakikatnya, kedua jenis akidah, baik yang menekankan adanya takdir ataupun ikhtiar (kebebasan memilih) yang diajarkan seperti ini, pasti tidak terlepas dari kemusykilan-kemusykilan yang tidak dapat dipertahankan.

Seandainya kedua kelompok ini menyadari bahwa kedua pendapat mereka masing-masing mencakup sebagian saja dari kebenaran, niscaya hilanglah pertengkaran antara keduanya; dan akan diketahui bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar serta ketauhidan perbuatan sama sekali tidak identik dengan jabr (determinisme) serta tercabutnya kebebasan sepenuhnya dari manusia, sebagaimana kepercayaan kepada ikhtiar dan kebebasan manusia tidak berarti penafian (pengingkaran) terhadap qadha dan qadar.[]


[1] Untuk mengetahuinya silakan menelaahnya dalam kitab Tafsir karangan ar-Razie dan Zamakhsyari (al-Kassyaf).
[2] Tarikh 'Ilmul-Kalam (Sejarah Ilmul-Kalam), jilid 14, hal. 1.
[3] Cuplikan dari catatan harian Sayyid Shadr Wasiqi sekitar Sayyid Jamaluddin dengan mengutip sebuah tulisannya tentang qadha dan qadar, Maktabah Teheran No. 4535. 



Tidak ada komentar: