Dahulu kala, masyarakat memandang
perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang
laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa
memandang wanita sebagai makhluk yang hina. Bahkan, sebagian di antara mereka
ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup. Ketika fajar mentari
Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula
batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai
pemudi.
Tentu kita semua sering mendengar hadis
Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu.” Di lain
kesempatan, beliau bersabda, "Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang
tua." (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua). Islam telah
memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturan, undang-undang
yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan
kehormatannya.
Sebagai contoh yang jelas ialah hijab
atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan
baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam
kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya. Sedangkan bagi
wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan
menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab
dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.
Wanita dalam pandangan Islam berbeda
secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita
laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa
diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan
wanita sebagai manusia. Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita
terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga
menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat
Barat telah sedemikian mengkuatirkan.
Dalam pandangan dunia Barat, wanita
telah berubah menjadi seonggok barang yang tidak berharga lagi, baik dalam
dunia perfilman, iklan, promosi, ataupun dalam dunia kontes kecantikan. Teman-teman,
marilah kita sejenak menengok sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang
terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta.
Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.
Putri tersayang Nabi Muhammad
saw.
Istri tercinta Imam Ali as.
Bunda termulia Hasan, Husain, dan
Zainab as.
Hari Lahir
Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5
setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah
peristiwa Isra' dan Mikraj beliau. Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar
gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20
Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.
Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as hidup dan tumbuh besar di
haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam
rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci
Al-Qur'an. Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya,
beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya. Pada
suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan
beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika
engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan
mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia
tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan
barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.” Kaum muslimin
telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah
diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap
pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya
Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya. Ummu Salamah ra, istri Rasulullah,
menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah.
Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang
paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya. Fatimah as
mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as
wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau
senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu. Pada
usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan
dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya.
Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran
yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang
ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan
hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukanUmmu Abiha,
yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada
ayahandanya.
Pernikahan Fatimah as
Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa
dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak
dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu
Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka
beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah
as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk
mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan
Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah
dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah
pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan,
“Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali
kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada
Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang
pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana
pendapatmu atas pinangan ini?" Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun
mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda
kerelaannya.”
Acara Pernikahan
Rasulullah saw kembali menemui Ali as
sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah! 'Bismillah,
bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah.” Kemudian,
Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya
Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka
cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya.
Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang
terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai
tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali,
sebaik-baik istri adalah istrimu.” Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan,
“Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan
wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir
sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak
menjadi benih bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari
mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung
dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan
sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi
keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw
mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual
perisainya.
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan
uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk
membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi
kebutuhan keluarga yang baru ini. Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah
mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw. Hanya
Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali
dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas
jalan-Nya.
Fatimah as senantiasa mendukung
perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang
agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan
dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap
peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya,
Rasulullah saw.
Fatimah as senantiasa berusaha untuk
berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan
kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk
memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang
ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang
istri tercinta.
Fatimah as merupakan pokok yang baik,
yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit.
Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan
Al-Qur'an.
Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang
sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama. Kehidupan
keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling
menghormati. Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi
kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam
pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu
berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan
rasa gembira kepada suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan
sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah
panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah.
Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul
Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin. Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan
Sayidah Fatimah as. Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri,
atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.
Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as
melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul
saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan
azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian
dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Setahun kemudian lahirlah Husain.
Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari
Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan
perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah
hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau
selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua
di haribaannya dengan penuh kehangatan. Suatu hari Rasul saw lewat di depan
rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi
dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa
tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as
melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw
teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri
Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut. Dan begitulah Allah SWT menghendaki
keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.
Kedudukan Fatimah
Az-Zahra’ as
Meskipun kehidupan beliau sangat
singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta.
Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi
teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan
dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il
Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta. Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah
istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum
wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di
sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri teladan
dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut
serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu
merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah
tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya. Demikian pula
ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa
atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan,
Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan
kemanusiaan mereka.
Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah
saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang
menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk
memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap
agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa
ayahandanya. Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai
memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta
kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera
membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam
kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi
suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam
keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih
kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa. Rasul saw meninggalkan
dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah
yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya
beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis. Belum lagi
usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para
sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan. Setelah mereka merampas tanah
Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah
(kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan
merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan
terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa
menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh
perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa
Jahiliyah. Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan
diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam
diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi,
“Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah
kemarahan Allah SWT.” Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau
wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.
Kepergian Putri Tercinta
Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala
kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as
sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat
oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan
dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna
Muhammadan(r) Rasulullah. Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu
dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya
pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana
jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as
saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain
yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja
memasuki usia 3 tahun. Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus
meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman
hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk
selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih
kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara
rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian
terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya. Fatimah Az-Zahra’
as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas
hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya
terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as
duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa.
Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah
... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat
datang menjumpaimu. "Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas
kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan
mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan
yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian
berdua!”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar