Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah (1)




Berdasarkan data sejarah yang paling popular, Ali lahir pada tanggal 13 Rajab 30 tahun Gajah atau sepuluh tahun sebelum pengutusan Rasulullah saw dan tiga tahun sebelum hijrah. Ada beberapa versi lagi berkenaan dengan tanggal kelahiran beliau; 7 Sya'ban, 23 Sya'ban dan juga pertengahan bulan Ramadan. Perlu pula diketahui bahwa penyusun al-Kâfî dan beberapa ulama lainnya juga meyakini tahun 30 dari tahun Gajah tersebut sebagai hari kelahiran beliau as.  Data sejarah tentang kapan beliau memeluk agama Islam juga simpang-siur mulai dari beliau usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun. Namun, yang populer dan lebih akurat adalah data yang menyatakan bahwa beliau masuk Islam pada usia sepuluh sampai dua belas tahun. Beliau meneguk cawan syahadah  pada tanggal 23 Ramadan 4 Hijriah, tepatnya di kota Kufah. Ayah beliau adalah Abu Thalib dan ibunya adalah Fatimah binti Assad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Rasulullah saw menyikapi Fatimah binti Asad seperti ibunya sendiri, dan ketika ia meninggal dunia, Rasulullah saw memfungsikan bajunya sebagai kafan Fatimah seraya mengiringi jenazah dan menangisinya.  

Amirul Mukminin di Masa Rasulullah

Masa kanak-kanak dan pertumbuhan Ali as berlalu di rumah Nabi Muhammad saw. Banyak sekali cerita menarik seputar pengalaman hidup beliau di dalam rumah Rasulullah saw. Semua data tentang hal ini telah dikumpulkan dengan rapi oleh Ibn Abil Hadid di dalam bukunya, Syarah Nahjul Balaghah. Salah satunya adalah riwayat dari Zaid bin Ali bin Husain as bahwa pada masa itu Nabi Muhammad saw senantiasa mengunyah dan melembutkan daging dan korma di mulutnya agar dapat dengan mudah dikonsumsi, lantas beliau menyuapkannya ke mulut Ali as. Dan kedekatan ini telah menjadi salah satu faktor bagi beliau untuk menjadi orang pertama yang memeluk agama Islam dan beriman kepada ajakan Rasulullah saw. Beliau sendiri berkata, "Tak seorang pun yang mendahuluiku dalam menunaikan ibadah shalat kecuali Rasulullah saw." Begitu banyak bukti dan kesaksian akan hal ini sehingga tidak tersisa lagi keraguan sedikitpun bagi orang-orang yang netral dan tidak sentimen atau fanatik. Diceritakan bahwa nabi Muhammad saw sendiri yang maju melangkah dan mengajak Ali as untuk menerima risalahnya. Dengan demikian, hal itu menunjukkan kematangan intelektual Ali as pada saat itu. Sebab, jika tidak demikian, maka itu adalah satu hal yang negatif  bagi Rasulullah saw mengajak orang di bawah umur dan belum dewasa dalam menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah ….Al-Mas'udi berkata, "Sebagian orang menyebutkan bahwa usia Ali as masih dini saat memeluk agama Islam sampai akhirnya terlontar pernyataan bahwa beliau masuk  Islam di saat masih anak-anak."  


Satu lagi bukti perhatian spesial Rasulullah saw terhadap Ali as adalah mengawinkan putri tercintanya, wanita terpilih alam semesta dengannya, padahal sebelumnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab pernah datang melamar Fatimah as dan tertolak. Akan tetapi, ketika Ali as melangkah maju dan melamarnya, ia diterima dengan senang hati.  

Ketika ia menikahi Fatimah as, Rasulullah saw menyuruhnya untuk mendapatkan rumah, dan ia berhasil mendapatkannya. Tapi rumah itu terletak jauh dari tempat tinggal Nabi. Lalu beliau meminta mereka berdua untuk tinggal lebih dekat di sisinya, dan hal itu dapat terwujud dengan pengorbanan Haritsah bin Nu'man yang memasrahkan rumahnya kepada mereka. Mungkin inilah alasan kenapa Abdullah bin Umar berkata, "Apabila kalian ingin tahu kedudukan Ali as di sisi Rasulullah saw, maka lihatlah posisi rumahnya dari rumah beliau saw."

Saat kejadian akad persaudaraan di tengah masyarakat Islam pada zaman Rasulullah saw, beliau memilih Ali as sebagai saudara. Saat Rasulullah saw berceramah, Ali as mengulangnya untuk orang-orang yang duduk jauh dari beliau dan sulit mendengarnya secara langsung. Saat Rasulullah saw marah, tak seorang pun berani berbicara dengan beliau kecuali Ali as. Masyarakat senantiasa menjadikan Ali as sebagai perantara kepada beliau untuk mendapatkan solusi atas problema mereka. Data-data sejarah Ahlusunah sendiri mencatat pernyataan 'Aisyah, "Orang yang paling dicintai Rasulullah saw dari kaum pria adalah Ali, dan orang yang paling dicintai beliau dari kaum wanita adalah Fatimah." Di salah satu hadis yang paling akurat dan benar, yaitu hadis Manzilah (kedudukan), Rasulullah saw menegaskan bahwa kedudukan Ali di sisi beliau seperti kedudukan Nabi Harun as di sisi Nabi Musa as. Setiap kali muncul problem yang perlu mengutus seseorang untuk memperbaikinya, Rasulullah saw mengirim Ali as untuk mengemban tugas tersebut.  

Pernah seorang bertanya kepada Sayidina Ali as, "Bagaimana Anda bisa lebih banyak meriwayatkan hadis dari pada sahabat yang lain?" Beliau menjawab, "Karena ketika aku bertanya kepada beliau, beliau mengajariku, dan apabila aku diam, maka beliaulah yang memulai pembicaraan denganku." Ali as juga berkata, "Aku tidak pernah mengalami kebodohan kecuali aku menanyakannya kepada Rasulullah saw, kuserap jawabnya dan kusimpan baik-baik dalam memoriku." Ia juga berkata, "Apapun yang kudengar dari Rasulullah saw senantiasa kuingat dan tak pernah kulupakan." Di salah satu surat beliau menuliskan, "Aku dan Rasulullah saw seperti dua tangkai dari satu pohon, dan seperti tangan dan lengan."

Ali as berkata, "Aku mengikuti jejak Rasulullah saw seperti anak unta yang mengikuti jejak induknya." Beliau juga berkata, "Sesaat pun aku tak pernah melawan Allah SWT dan sesaatpun aku tak pernah menentang Rasulullah saw." Dalam proklamasi pembebasan diri (bara'ah), Allah SWT berfirman kepada Rasulullah saw agar beliau sendiri yang menyampaikan kepada khalayak umum, atau jika tidak, maka harus orang dari beliau yang melakukan hal itu. Oleh karena itu, Rasulullah saw memberhentikan Abu Bakar di tengah jalan dan menyerahkan surat pembebasan diri itu kepada Ali as untuk disampaikan di hari besar haji.

Di dalam ceramahnya yang berjudul "al-Qashi'ah", Ali as mengungkapkan kedekatannya dengan Rasulullah saw dalam untaian kata-kata yang sangat indah. Begitu dekatnya beliau dengan Rasulullah saw sehingga Ali as berkata, "Sumpah demi Tuhan! Tidak ada satu pun dari ayat al Qur’an yang turun kecuali aku tahu tentang apa dan di mana turunnya."  

Ibn Abbas mengatakan, "Allah SWT tidak mengirimkan surat Al-Qur’an kecuali Ali as adalah amir dan tuannya. Allah SWT pernah menghardik sahabat Rasulullah saw, akan tetapi Ia tidak pernah berfirman tentang Ali kecuali secara baik."  

Ahmad bin Hanbal memberikan jawaban kepada orang yang merasa aneh dan terkejut bagaimana Ali as menjadi pembagi surga dan neraka seraya berkata, "Bukankah diriwayatkan pula dari Rasulullah saw yang bersabda kepada Ali as, 'Tak seorang pun yang mencintaimu kecuali orang yang beriman, dan tak seorang pun yang membencimu kecuali orang yang munafik?'" Mereka menjawab, "Iya." Lalu Ahmad melanjutkan penjelasannya, "Oleh karena tempat orang beriman adalah surga dan tempat orang munafik adalah neraka, maka Ali as adalah pembagi surga dan neraka."  

Umar Bin Abdulaziz mengatakan, "Andaikan masyarakat yang bodoh ini tahu akan apa yang kita ketahui tentang Ali, niscaya tidak lebih dari dua orang yang akan mengikuti kita." Salman berkata, "Apabila Ali as pergi dari sisi kalian, niscaya tidak ada orang lagi yang mengungkapkan rahasia-rahasia Rasulullah saw kepada kalian." Tepat sekali apa yang dikatakan Ibn Abil Hadid, "Tidak seorang pun setara dengan Abu Thalib dan anak-anaknya, Ali dan Ja'far, dalam menolong Rasulullah saw."  

Ketika seorang datang mengadukan Ali as kepada Rasulullah saw karena satu permasalahan, beliau tiga kali menjawab, "Jangan ganggu Ali, sesungguhnya Ali adalah dariku dan aku dari Ali, sesungguhnya Ali adalah pemimpin (wali) semua orang yang beriman." Ali as telah menyelamatkan nyawa Rasulullah saw di malam hijrah. Sekitar 30 orang musyrik yang terbunuh di tangan Ali as di perang Badar. Di saat sejumlah besar sahabat Nabi lari meninggalkan medan perang Uhud, Ali as tetap tinggal di sisi Rasulullah saw dan menjaga serta menyelamatkan nyawa beliau dari serangan musuh. Tebasan pedang Ali as di perang Khandak yang menimpa Amr Bin Abdi Wud dinilai Rasulullah saw lebih tinggi dari pada ibadahnya jin dan manusia. Dan pukulan inilah yang mendesak musuh untuk menarik mundur pasukan mereka. Di mayoritas peperangan Nabi saw, Ali as adalah pengibar bendera pasukan Islam.  

Tanpa ragu bisa dikatakan bahwa tiada seorang pun dari sahabat Nabi saw yang menandingi ilmu Ali as. Hal ini terbukti oleh sabda Rasulullah saw sendiri dan juga sahabat, dan di samping itu pula, sejarah menjadi saksi nyata atas hal tersebut. Sabda Nabi saw, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya" adalah sebaik bukti atas hal di atas. Begitu pula dengan perkataan Ali as, "Tanyalah aku sebelum kalian kehilangan diriku." Ini adalah tantangan yang—menurut pengakuan Sa'id Bin Musayyib—tak ada sahabat selain Ali berkata demikian. Rasulullah saw selalu menugaskan Ali as untuk mengajarkan wudhu dan sunah kepada masyarakat. 'Aisyah, yang sejak zaman Nabi saw selalu memusuhi Fatimah dan Ali as, berkata, "Ali adalah orang paling pintar tentang sunah". Atha', salah seorang tabi'in yang populer, berkata, "Ali adalah orang yang paling faqih di antara para sahabat Nabi saw." Umar Bin Abdul Aziz menyebut Imam Ali as sebagai orang yang paling zuhud di antara para sahabat.

Ali Pasca Rasulullah Wafat

Kalau memang benar bahwa pada masa Nabi saw ada dua arus politik yang bertentangan dari kalangan Muhajirin dalam memperebutkan khilafah dan kepemimpinan setelah beliau, maka harus diterima pula bahwa sejak dulu hubungan antara Ali as dengan dua sahabat besar pertama dan kedua tidaklah harmonis. Di dalam data-data sejarah, tidak ada yang merekam pertikaian antara mereka saat itu. Namun juga tidak ada data sejarah yang menceritakan persahabatan mereka. Tapi, 'Aisyah sendiri mengakui bahwa sikap sentimen dan permusuhan dirinya terhadap Ali as sudah berkobar sejak masa Rasulullah saw hidup. Dan ini menjadi saksi atas pertentangan antara keluarga Ali dan keluarga Abu Bakar.  

Diriwayatkan juga dalam sejarah, ketika Fatimah as meninggal dunia, semua istri Nabi saw turut serta dalam belasungkawa dan duka cita Bani Hasyim. Akan tetapi, Aisyah berpura-pura sakit dan tidak datang ke sana. Bahkan, lebih tragis lagi, dinukil juga oleh sejarah seakan-akan Aisyah juga menampakkan rasa gembiranya atas kematian Fatimah as.  

Apapun yang terjadi pada waktu itu, yang jelas, setelah Abu Bakar menduduki tampuk kekhilafahan, Imam Ali as segera bersikeras untuk memperjuangkan hak dan kebenarannya untuk menjadi khalifah Rasulullah saw secara langsung, dan hal inilah yang menjadi faktor timbulnya polemik antara mereka.  

Serangan terhadap rumah beliau as, amarah Fatimah as terhadap dua sahabat dan juga larangan beliau terhadap mereka untuk menghadiri jenazah sucinya, semua itu memperuncing perselisihan di atas. Setelah semua kejadian tersebut, Ali as menyendiri dan melanjutkan kehidupan pribadinya. Selain bai'at, pemerintah saat itu sangat menghendaki Ali as untuk tidak menyuarakan hak dan kebenarannya atas khilafah Nabi saw. Di samping itu pula, pemerintah juga menghendakinya untuk menghunus pedang dan berperang untuk memperkuat tonggak kekuasaan mereka melawan musuh dan orang-orang yang murtad. Beliau as menolak permintaan itu. Dan melihat sikap seperti ini, sekilas tampak wajar pemerintah harus melecehkan dan merendahkan beliau di mata umum. Dan politik ini juga yang menambah keterasingan beliau as di tengah masyarakatnya.  

Ali as berkata di dalam laknatnya terhadap Quraisy, "Ya Allah! Aku meminta pertolonganmu terhadap orang-orang Quraisy dan siapapun yang mendukung mereka. Sesungguhnya mereka telah memutus rahimku, mengerdilkan kedudukanku yang agung, dan bersepakat untuk memerangiku lantaran satu hal yang merupakan hak dan milikku."  

Beliau melanjutkan, "Kumenangis dan kulihat tak seorang pun yang menolong dan membelaku kecuali orang-orang khususku, yang mana aku tercegah untuk membawa mereka sampai titik kematian …."  

Ucapan beliau menunjukkan politik para khalifah saat itu dalam melecehkan jati diri beliau. Beliau berkata mengenai Dewan Syura di dalam ceramah asy-Syiqsyiqiyah-nya, "Karena hidupnya (Umar) tengah berakhir, maka dia mencalonkan sekelompok orang untuk khilafah setelahnya, dan aku diletakkan di antara mereka. Ya Allah, Syura macam apakah ini? Apa kekuranganku dibanding yang pertama (Abu Bakar) sehingga aku tidak dianggap—minimalnya—sepadan dengan dia sehingga aku diposisikan sepadan dengan mereka (anggota Syura)?"  

Diposisikannya Amirul Mukminin as di tengah orang-orang seperti Thalhah, Zubair dan Utsman betul-betul dekonstruktif (menghancurkan). Tidak cukup di situ, melainkan mereka, anggota Syura, sendiri melecehkan beliau dari dalam. Lebih aneh lagi, di saat Umar memilih enam orang anggota Syura, dia menyandangkan kriteria tertentu pada masing-masing. Salah satunya, dia menuduhkan karakter yang sangat menghina dan tidak beralasan kepada Imam Ali. Umar menuduh beliau dengan ucapannya, "Ali adalah orang yang humoris (hobi bercanda)." Tuduhan Umar ini menjadi landasan kata-kata Muawiyah dan Amr Bin 'Ash di kemudian hari, yaitu, "Ali suka main-main". Dan Amirul Mukminin as dengan tegas menepis tuduhan Amr Bin Ash tersebut yang berarti menepis tuduhan Umar Bin Khattab.  

Kehidupan terpencil Amirul Mukminin as di sudut kota Madinah berakibat beliau tidak dikenal untuk selanjutnya. Roda zaman bergulir dengan cepat sementara beliau sendiri di Madinah, hanya ditemani oleh muka-muka lama para sahabat. Adapun di Irak dan Syam, tak seorang pun yang mengenali beliau. Hanya sebagian kabilah Yaman, yang pernah melihat beliau semasa beberapa bulan missi ke Yaman, yang kenal. Jundab bin Abdillah bercerita, "Setelah berbaiat kepada Utsman, aku pergi ke Irak dan kuriwayatkan keistimewaan Ali as kepada masyarakat setempat. Jawaban terbaik yang kuterima dari mereka adalah singkirkan saja kata-kata seperti ini dan pikirkanlah sesuatu yang lebih bermanfaat untuk dirimu. Kujelaskan kepada mereka bahwa kata-kataku ini sungguh bermanfaat bagiku dan bagi kalian semua. Namun mereka bangkit dan pergi meninggalkanku."  

Ketika membawakan analisa Muhammad bin Sulaiman, Ibn Abil Hadid menegaskan bahwa salah satu faktor perpecahan pada masa pemeritahan Utsman adalah pembentukan Dewan Syura oleh Umar, karena masing-masing anggota Syura menjadi sangat haus pada khilafah. Thalhah adalah orang yang betul-betul menantikan khilafah. Zubair pun membelanya sekaligus memperkenalkan dirinya sebagai orang yang juga layak menduduki pemerintahan. Harapan mereka terhadap khilafah jauh lebih besar daripada harapan Ali as terhadapnya. Karena dua sahabat sebelum mereka itu selalu menjatuhkan martabat dan melecehkan kehormatan beliau di depan masyarakat umum, oleh karenanya, beliau di tengah masyarakatnya sendiri telah terlupakan. Mayoritas sahabat yang mengetahui keutamaan Ali as sejak zaman Nabi saw telah meninggal dunia, dan telah lahir generasi baru yang mengenalnya seperti orang baru mengenal Islam. Yang tersisa dari kebanggaan beliau saat itu hanyalah Ali sebagai misan Rasulullah, suami putri tercinta dan ayah dari cucu-cucu Nabi saw. Adapun keistimewaan beliau yang lain telah terkubur. Ditambah lagi dengan permusuhan Quraisy terhadap beliau dimana mereka tidak pernah membenci seseorang seperti itu. Di sisi lain, Quraisy begitu menyenangi Thalhah dan Zubair, karena tidak alasan bagi mereka untuk dengki terhadap kedua orang itu.  

Setelah menjelaskan penantian massa di tengah pertempuran Siffin atas kehadiran Ammar bin Yasir di medan perang sebagai tolok ukur kebenaran salah satu dari dua belah pihak yang bertikai, Ibn Abil Hadid mengatakan, "Betul-betul aneh masyarakat ini! Bagaimana mungkin mereka menjadikan Ammar sebagai tolok ukur kebenaran dan kebatilan, sementara Ali as tidak diterima sebagai tolok ukurkeduanya? Padahal beliau adalah orang yang Rasulullah saw pernah bersabda di dalam hadis Wilâyah, 'Tidak ada seorang pun yang mencintaimu kecuali dia adalah orang yang mukmin dan tidak satu orang pun yang membencimu kecuali dia adalah orang yang munafik.' Hal itu dikarenakan sejak awal, semua orang Quraisy berupaya keras menutupi keutamaan Ali as, menghapuskan memori tentang beliau, menghanguskan semua keistimewaan beliau, dan menggeser kedudukan beliau yang agung dari hati setiap orang."  

Ibn Abil Hadid juga membawakan analisa yang cukup menarik tentang mengapa Quraisy sangat membenci Amirul Mukminin as. Ada seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin as, "Menurutmu, seandainya Rasulullah saw mempunyai putra yang besar dan dewasa, apakah masyarakat Arab akan menyerahkan pemerintahan kepadanya?" Beliau menjawab, "Jika dia bertindak selain apa yang kulakukan, niscaya mereka akan membunuhnya. Masyarakat Arab membenci kerja Nabi Muhammad saw dan iri terhadap kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada beliau …. Semenjak beliau masih hidup, mereka telah berencana untuk mengambil alih pekerjaan (pemerintahan) setelah wafatnya dan merebutnya dari tangan Ahlulbait as. Kalau bukan karena menjadikan nama beliau sebagai perantara kekuasaan dan tangga perkembangan, sesaat pun setelah beliau wafat, Quraisy tidak akan menyembah Allah SWT dan akan menjadi orang-orang yang murtad …. Tak lama kemudian, mulailah kemenangan dan penaklukan negara-negara luar mereka peroleh. Mereka merasa kenyang setelah lama kelaparan dan merasakan kemewahan selepas kemiskinan. Islam jadi mulia dan agama mulai menemukan tempat di hati sebagian dari mereka. Karena bagaimanapun juga, seandainya agama Islam tidak benar, maka hal ini dan hal itu tidak akan terjadi. Setelah itu, mereka menisbatkan kemenangan dan penaklukan tersebut kepada pikiran dan kelayakan para amir dan wali mereka. Ada yang mereka besar-besarkan dan ada juga yang mereka hapus dari ingatan masyarakat. Kami adalah orang yang terhapus dari ingatan, cahaya yang padam dan suara yang terputus sehingga kami ditelan masa. Tahun-tahun berlalu dengan kondisi yang sama. Banyak dari wajah-wajah yang dikenal telah meninggal dunia dan lahir generasi baru yang tak dikenal. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang putera dalam kondisi semacam ini. Kalian sendiri tahu bahwa Rasulullah saw mendekatkan diriku pada beliau bukan lantaran hubungan famili, melainkan untuk jihad dan nasehat." 

Tidak ada komentar: