Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah (3)





Diriwayatkan juga dari Abu Basyir, "Berkali-kali massa mendatangi Ali as setelah terbunuhnya Utsman, sampai akhirnya mereka berhasil mendesaknya untuk menjadi khalifah. Beliau naik ke mimbar dan berkata, 'Aku tidak butuh pada khilafah, dan terpaksa aku menerimanya. Aku akan sudi memerintah umat apabila mereka berjanji untuk sejalan denganku sepenuhnya.'" Riwayat-riwayat ini mencatat bahwa Thalhah dan Zubair ikut bersama masyarakat yang lain. Di saat semua orang berkumpul di masjid, Thalhah adalah orang pertama yang berbai'at kepada Amirul Mukminin as. Adapun Sa'd Bin Abi Waqqash enggan untuk berbai'at seraya berkata, "Aku tidak akan berbai'at sampai semua orang berbai'at terlebih dahulu." Abdullah Bin Umar juga tidak mau berbai'at. 

Ada satu riwayat di buku Tarikh ath-Thabari yang tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Riwayat ini menyebutkan bahwa Thalhah dan Zubair berbai'at karena takut kepada pedangnya Malik. Amirul Mukminin as meminta mereka agar menjadi khalifah, namun mereka sendiri sadar diri tidak pantas untuk menerimanya. Mereka rela membai'at Amirul Mukminin as agar dengan demikian mereka bisa meraih posisi tertentu. Kata-kata Thalhah dan Zubair setelah itu menunjukkan bahwa maksud dari membai'at secara terpaksa di atas bukan terpaksa karena kekerasan dan pedang, melainkan mereka tidak melihat seorangpun di Madinah yang bisa mereka bai'at. Sedangkan Ali as memiliki banyak pendukung. Maka, dengan demikian, mereka terpaksa membai'at beliau.

Sebelum ini juga pernah kami singgung dalam pembahasan bai'at bahwa pada dasarnya, Amirul Mukminin as bukan tipe orang yang mau memaksa seseorang untuk berbai'at kepadanya dengan kekerasan. Jauh setelah ini terjadi di tragedi perang Jamal. Beliau tidak meminta bai'at dari Marwan yang berkata kepada beliau, "Kalau dipaksa, maka aku akan berbai'at." 

Segera setelah berlangsungnya bai'at, mereka meminta Amirul Mukminin as menyerahkan kota Bashrah dan Kufah kepada mereka. Tapi, beliau tidak mengabulkan permintaan itu. Muhammad Bin Hanafiah berkata, "Semua kaum Anshar mebai'at Ali as kecuali berapa gelintir orang. Mereka yang menentang adalah Hassan bin Tsabit, Ka'b bin Malik, Maslamah bin Mukhallad, Muhammad bin Maslamah dan satu dua orang lagi yang semuanya tergolong Utsmaniah (kelompok Utsman). Adapun para penentang dari selain Anshar adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Usamah bin Zaid yang mana mereka semua terhitung orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan khilafah Utsman." 

Ath-Thabari berkata, "Sebatas yang kutahu, tak seorangpun dari Anshar yang keluar dari bai'at kepada Ali as." 

Dari sini bisa dimengerti bahwa kemungkinan besar sebagian orang yang dicatat sebagai orang yang tidak membai'at Ali as, maksudnya adalah orang yang nantinya tidak ikut serta dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, bukan berarti orang yang pada dasarnya tidak berbai'at kepada Ali as dalam urusan khilafah. Dayyari Bakri meriwayatkan bahwa semua sahabat Nabi saw yang ikut bersama beliau di perang Badr dan masih hidup pada masa itu—tanpa terkecuali—berbai'at kepada Ali as. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abzi, ia berkata, "Kami berjumlah delapan ratus orang yang hadir di bai'at Ridhwan, ikut di perang Shiffin dan enam puluh tiga orang dari kami termasuk juga Ammar Bin Yasir terbunuh di perang tersebut."

Diriwayatkan dari Ibn A'tsam bahwa pada mulanya Amirul Mukminin as menolak bai'at itu dan berkata, "Kulihat urusan ini begitu terpecah-belah sehingga hati dan akal setiap orang tidak akan merasa tenang." Ketika itu beliau mendatangi Thalhah dan memintanya untuk menjadi khalifah dan dibai'at. Akan tetapi, Thalhah berkata, "Tidak ada orang lain yang lebih layak darimu untuk urusan khilafah." Ucapan yang sama juga tercatat dari Zubair. Akhirnya, kedua orang itu berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Amirul Mukminin as. 

Ibn A'tsam menceritakan peran Anshar dalam pembai'atan Ali as dan bagaimana pemuka-pemuka Anshar berbicara di masjid kepada masyarakat yang di antara mereka terdapat pendatang Irak dan Mesir. Masyarakat berteriak, "Kalian adalah Ansharullah (penolong Allah). Maka apapun yang kalian katakan, pasti akan kita terima." Anshar memperkenalkan Ali as sebagai khalifah. Dan tanpa menunggu lagi, masyarakat segera mengapresiasi hal itu dengan teriakan-teriakan pertanda sepakat. Hari itu mereka meninggalkan masjid. Dan keesokan harinya Amirul Mukminin as datang ke masjid seraya berkata, "Pilihlah khalifah untuk kalian sendiri dan aku akan sejalan dengan kalian." Tapi, mereka menjawab, "Kami tetap konsisten dengan keputusan kemarin." Thalhah dengan tangannya yang cacat menjadi orang pertama yang berbai'at pada Amirul Mukminin as. Hal itu dikatakan sebagai pertanda yang buruk! Kemudian dilanjutkan dengan Zubair berbai'at kepada beliau. Begitu pula selanjutnya dengan Muhajirin, Anshar dan setiap orang Arab, 'ajam dan mawali yang hadir di Madinah.

Mengenai kenapa sejak awal Amirul Mukminin as tidak menerima bai'at masyarakat, jawaban terbaik adalah ucapan beliau sendiri. Pertama, Amirul Mukminin as memandang masyarakat pada waktu itu sudah sampai batas kerusakan (fasâd) yang tidak bisa lagi dipimpin, sehingga beliau tidak akan mampu menerapkan tolok ukur dan kehendak yang semestinya.

Di tengah semua fitnah yang terjadi, Amirul Mukminin as merasa tidak mungkin untuk memimpin masyarakat kala itu secara utuh. Namun, setelah menyaksikan bahwa mereka tidak melepasnya begitu saja, di samping mengungkapkan keengganannya, beliau minta mereka untuk berjanji menuruti beliau secara utuh dan pasrah terhadap apapun yang beliau kehendaki. Fenomena-fenomena yang terjadi setelah itu menjadi saksi pandangan Amirul Mukminin as akan sulitnya bekerja di tengah fitnah besar. Sampai pernah diriwayatkan beliau berkata, "Kalaupun aku tahu problem ini meningkat begitu tinggi, niscaya sejak awal aku tidak akan masuk ke dalamnya." 

Suatu saat Amirul Mukminin as melihat seorang bernama Abu Maryam di kota Kufah. Beliau menanyakan alasan kedatangannya ke Kufah. Abu Maryam menjawab, "Aku datang karena janjiku padamu. Sebagaimana kau katakan sebelumnya apabila aku yang menjadi pemimpin, maka aku akan lakukan hal ini dan itu." Amirul Mukminin as menjawab, "Aku tetap pada janjiku, hanya saja aku dihadapkan dengan masyarakat terburuk di muka bumi yang mana mereka sama sekali tidak pernah mendengarkan kata-kataku."

Kesulitan Amirul Mukminin

Ketika Ali as menjalankan tugas sebagai khalifah, beliau dihadapkan pada sejuta  problema dan kesulitan. Semua kesulitan yang ditambah juga dengan kondisi politik yang labil dan kacau balau setelah terjadi pembunuhan Utsman, menggambarkan masa depan yang hitam dan gelap gulita. Berikut ini sekilas tentang kesulitan beliau disambung dengan solusi yang ditawarkan. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa semua kesulitan ini dihadapkan pada seorang seperti beliau yang sangat komitmen terhadap prinsip utama maupun cabang. Di masa sebelum itu, setiap khalifah membuka jalan secara temporal hanya dengan tujuan memperluas kawasan dan menaklukkan negara luar. Tapi, sekarang jelas bahwa kebanyakan jalan yang mereka tempuh adalah keliru sebagaimana terbukti oleh zaman. Contohnya, Umar menyusun buku (diwan) negara berasaskan prinsip etnis. Dan setelah lima belas tahun berjalan, dampak-dampak negatifnya mulai dirasakan secara sosial maupun politik. 

Berikut akan kami sebutkan beberapa kesulitan yang beliau hadapi selama menjalankan tugas kekhilafahan: 

a. Problem pertama yang dihadapi Amirul Mukminin as terfokus pada menjaga keadilan dan kestabilan ekonomi. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Umar menyusun diwan atas dasar masa lalu Islam seseorang dan juga atas dasar etnis. Sahabat yang lebih dahulu masuk Islam mendapatkan saham yang lebih besar. Hal yang sama juga berlaku semasa Utsman menjabat sebagai khalifah. Utsman memulai pemberian dan hadiahnya secara besar-besaran, dan hal ini menambah kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin. Kekayaan ini berkaitan dengan khumus (seperlima yang musti dikeluarkan dari) rampasan perang, pajak negara (kharâj), dan jizyah yang musti dikeluarkan dari tanah yang dimenangkan dan milik muslimin. Ketika Amirul Mukminin as terpilih sebagai khalifah, beliau membagi kekayaan itu secara merata. Dan beliau berdalil bahwa Rasulullah saw juga bertindak demikian.

Pada ceramah pertamanya setelah menjadi khalifah, Amirul Mukminin as menjelaskan bahwa beliau akan bertindak sesuai sunah Rasulullah saw (aku akan membawa kalian di atas jalan Nabi kalian saw). Beliau juga menerangkan politik keuangan negara dan sesungguhnya keutamaan Muhajir dan Ansar terhadap yang lain adalah keutamaan spiritual yang senantiasa terjaga di sisi Allah SWT dan mereka akan menerima pahala dari-Nya. Adapun di dunia, barangsiapa yang menjawab ajakan Allah SWT dan Rasul-Nya saw, masuk Islam dan shalat ke arah kiblat muslimin, maka dia berhak mendapatkan semua haknya dan hudud (batasan dan hukuman Islam) akan berlaku atasnya. Beliau menambahkan, "Kalian adalah hamba-hamba Allah SWT, dan kekayaan ini adalah harta-Nya yang harus dibagi di antara kalian secara merata. Tiada seorang pun yang lebih tinggi daripada orang lain. Orang-orang yang bertakwa akan mendapatkan pahala yang terbaik di sisi Allah SWT." 

Beliau menegaskan politiknya seraya berkata, "Jangan sampai nanti ada orang yang mangatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib as telah menghalangi hak-hak kita." Di keesokan harinya, beliau memerintahkan Ubaidullah bin Abi Rafi', "Berilah 3 Dinar kepada siapapun yang datang." Di situlah Sahl bin Hanif berkata, "Dulu orang ini adalah budakku dan baru kemarin aku membebaskannya." Amirul Mukminin as menimpali, "Semuanya tetap medapatkan 3 Dinar dan kita tidak akan melebihkan satu daripada yang lain." Kelompok elit dari Bani Umaiyah dan juga Thalhah serta Zubair tidak datang untuk mengambil saham mereka. Sehari setelah itu, Walid bin Uqbah beserta rombongan datang pada beliau mengungkit kembali pembunuhan ayahnya oleh beliau di perang Uhud, pembunuhan ayah Said bin 'Ash di perang yang sama, penghinaan terhadap ayah Marwan di depan Utsman dan hal-hal lain. Dengan itu, mereka meminta beliau untuk minimal tidak menarik kembali apa yang telah jatuh ke tangan mereka dari kekayaan negara Islam. Di samping itu juga mereka meminta beliau untuk melakukan qishâsh terhadap pelaku-pelaku pembunuhan Utsman. Amirul Mukminin as menolak permintaan mereka, maka mereka menampakkan kemunafikan dan mulai membisikkan perlawanan. 

Keseokan harinya, beliau ceramah lagi, dan karena marah, beliau menjelaskan bahwa asas pembagian harta negara Islam yang beliau berlakukan adalah kitab suci Allah SWT. Kemudian, beliau turun dari mimbar, shalat dua raka'at lalu duduk di samping masjid dekat dengan Thalhah dan Zubair. Inti pembicaraan dua orang tesebut (Thalhah dan Zubair) adalah pertama, Ali as tidak bermusyawarah dengan mereka dalam menentukan kinerja sehari-hari, dan kedua, —dan ini adalah yang lebih penting—adalah beliau menyeleweng dari sunah Umar dalam membagi kekayaan negara Islam. Hal itu dikarenakan beliau memberikan kepada mereka saham sama seperti orang lain yang tidak berjerih payah untuk Islam. 

Amirul Mukminin as berkata, "Selama masih ada hukum di kitab Allah SWT, maka di situ bukanlah tempat bermusyawarah. Tentu, apabila ada sesuatu yang tidak ada di Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw, maka aku pasti akan bermusyawarah dengan kalian. Adapun berkenaan dengan pembagian sama rata, kita sama-sama menyaksikan Rasulullah saw melakukan demikian, sebagaimana Al-Qur’an pun memerintahkan hal tersebut." Di sana Zubair menggerutu, "Bukankah ini adalah upah kami? Kami telah melangkah di jalan ini dan berkiprah untuknya sampai akhirnya Utsman terbunuh. Tapi hari ini dia mengutamakan atas kita orang-orang yang sebelumnya kita lebih utama dari mereka." 

Ibn Abil Hadid melanjutkan penjelasannya, "Terbiasanya masyarakat pada saat itu dengan cara yang diberlakukan Umar merupakan faktor utama perlawanan sahabat terhadap Amirul Mukminin as, padahal Abu Bakar sendiri menjalankan cara seperti yang telah diberlakukan oleh Rasulullah saw dan tak seorang pun yang menentangnya. Amirul Mukminin as berkata, 'Apakah sunah Rasulullah saw lebih layak untuk diikuti atau sunah Umar?'" 

Perlawanan terhadap cara ini semakin serius, sampai akhirnya sebagian dari sahabat dekat Amirul Mukminin as mendatangi beliau dan mohon agar elit Arab dan Quraisy dilebihkan daripada mawali dan ''Ajam. Beliau tidak menerima permohonan mereka dan berkata, "Apakah kalian menyarankan padaku untuk meraih kemenangan dengan kezaliman?" Jauh setelah itu, Ibn Abbas pernah menulis surat kepada Imam Hasan al-Mujtaba as, "Masyarakat meninggalkan ayahmu dan pergi ke Muawiyah lantaran cara yang beliau berlakukan, yaitu membagi kekayaan negara secara merata di antara mereka, sementara mereka tidak tahan akan hal itu.

Tidak ada komentar: