Muhammad Rasulullah Bagian Ketigabelas




Nabi saw memerintahkan agar para sahabat tidak melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami bahwa perintah tersebut berarti mereka akan menerobos benteng kaum Yahudi sebelum matahari tenggelam.

Orang-orang Yahudi menelan kekalahan pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan terhadap sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka. Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa peduli dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki dibunuh dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya: "Sungguh engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah SWT dari tujuh langit."

Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan, permohonan, harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada di suatu genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi Bani Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan menghancurkannya. Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.

Demikianlah kaum Yahudi dibersihkan dari Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian yang beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh unta itu malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung tali silaturahmi niscaya aku akan menyetujuinya."

Nabi saw memerintahkan para sahabat agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana dengan harapan mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak seorang pun dari kaum Muslim dapat memasukinya. Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan urnrah sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian bersama kaum Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada tahun depan.

Datanglah juru runding kaum Quraisy lalu Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur pasukan Muslim. Nabi saw menyetujui semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai titik kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum musyrik dan bersikap sangat lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali kecuali membawa berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang musyrik, dan beliau pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.

Para sahabat bergerak untuk menentang Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin Khatab kembali bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam agama kita?" Umar ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita harus mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima syarat-syarat perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik? Apakah kita takut terhadap mereka?"

Mendengar berbagai protes yang disampaikan para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka di mana beliau berkata: "Aku adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit bersabar."

Perjalanan hari menetapkan bahwa perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru membawa kemenangan politik paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam. Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat mereka tanpa memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru mampu mencapai pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika saat ini perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka setelah berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan yang spektakuler.

Suhail bin Amr adalah wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam perjanjian itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Tulislah dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku tidak mengenal ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala utusan Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang selain niat si pembicara.

Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini adalah perundingan antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr." Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr."

Tampaknya itu adalah kemunduran yang kedua dan dengan pandangan yang sekilas tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan suatu tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum terungkap saat itu. Alhasil, semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah masing-masing mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat di antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka tidak ada keharusan bagi orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.

Syarat tersebut sangat menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali melanjutkan tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau harus meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan membingungkan.

Di tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan kebingungan Muslimin di mana anak dari juru runding Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia masuk Islam dan ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum Muslim agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka tidak mengubah agamanya. Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah SWT akan menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian mereka.

Akhirnya, anak Muslim itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian Selesailah penandatanganan perjanjian antara pihak kaum Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian itu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban dan mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah tersebut, lalu beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong rambut mereka.
Perjalanan hari menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab mulai runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam, maka ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.

Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil menarik orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran. Sejak dua tahun dari masa penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin bertambah lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau disertai dengan sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua tahun dari perundingan tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw keluar sebagai pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya merugikan kaum Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, maka hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya, dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum Muslim, maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri di tengah-tengah kaum Quraisy.

Belum lama waktu berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka diktekan dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas. Perundingan itu justru menguatkan barisan Nabi saw.

Demikianlah Nabi saw terus menjalani mata rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya untuk menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.

Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan Allah SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di rumah kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan terhadap keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta kesendiriannya dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan Zaid:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)

Sejak semula tampak jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya. Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi saw membayangkan apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)

Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.

Ia berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.

Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya. Melihat sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau tidak boleh menyentuhnya."

Adapun Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.

Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita dari orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita ahlul kitab.

Maryam memberikan anak kepada Nabi saw yang bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari sulbinya.

Tidak ada komentar: