Imam Ja’far & Sang Atheis (Bagian Pertama)


(Foto: Nama-nama 12 Imam Ahlulbiat di Dinding Masjid Nabawi Madinah)

Pada suatu ketika, Abu Shakir, salah seorang musuh Imam Ja’far as-Sadiq as, yang selalu mengkritik Imam Ja’far as-Sadiq as, berkata kepada Imam Ja’far as.

ABU SHAKIR: “Bolehkah aku mengatakan sesuatu dan menanyakan beberapa pertanyaan kepadamu?”

IMAM JA’FAR: “Tentu saja. Engkau boleh bertanya kepadaku.”

Abu Shakir: “Bukankah Allah itu sekedar mitos belaka? Engkau ingin agar orang-orang percaya kepada sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Apabila memang Allah itu ada, maka kita akan merasakan keberadaan-Nya dengan menggunakan indera-indera kita.

Engkau bisa saja berkata bahwa kita bisa merasakan keberadaan-Nya dengan menggunakan indera-indera di dalam tubuh kita, akan tetapi indera-indera di dalam tubuh kita juga tergantung pada lima indera yang ada di luar tubuh kita.

Kita tidak bisa membayangkan sebuah gambaran dari sesuatu tanpa menggunakan lima indera kita. Kita tidak bisa membayangkan sebuah gambaran dari seseorang yang belum pernah kita lihat sebelumnya, misalnya. Kita tidak bisa mengingat-ingat suaranya apabila kita memang belum pernah mendengar suaranya sebelumnya.

Kita tidak bisa merasakan apakah tangannya itu kasar atau halus apabila kita belum pernah memegangnya atau merasakannya dengan indera-indera yang berada di dalam tubuh kita.”

Engkau bisa juga berkata bahwa kita bisa membayangkan Allah atau mendeteksi keberadaan Allah itu dengan menggunakan kecerdasan kita dan bukan dengan indera-indera dalam atau indera-indera luar kita.

Akan tetapi kecerdasan kita juga membutuhkan bantuan dari 5 indera luar kita yang kalau tidak berfungsi dengan baik (semua indera itu) maka kita tidak bisa membayangkan keberadaan Allah. Kita tidak bisa berpikir, membuat dan menarik kesimpulan tanpa bantuan indera-indera itu. 

Dengan menggunakan kekuatan imajinasi, Anda bisa menciptakan sesuatu—yang tergantung dari bayangan yang Anda buat sendiri.

Karena Anda bisa melihat, berbicara, mendengar, bekerja, dan beristirahat, maka DIA juga melakukan sesuatu yang Anda lakukan.

Anda tidak mau menunjukkan DIA kepada siapa pun agar Anda bisa mempertahankan ide Anda bahwa Allah itu memang tidak bisa dilihat mata. Anda juga berkata bahwa DIA itu tidak dilahirkan dari rahim seorang wanita. DIA tidak melahirkan dan dilahirkan dan tidak akan pernah mati.

Aku pernah mendengar bahwa ada sebuah berhala di India sana yang disembunyikan dibalik sebuah tirai dan tidak boleh diijinkan untuk dilihat para penganut agama Hindu. Para penjaga kuil yang menjaga berhala itu mengatakan bahwa Tuhan (berhala) itu tidak bisa dilihat orang karena kalau mereka melihat-NYA dengan mata mereka, maka mata mereka akan mengalami kebutaan dan mereka akan mati.

Tuhan anda, Allah, juga mirip-mirip dengan Tuhannya orang-orang Hindu tadi yang disembunyikan dari penglihatan orang-orang. Bukan karena Tuhan itu penuh kasih sayang kepada kita sehingga ia tidak mau menampakkan dirinya di hadapan kita karena takut bahwa kita akan mati mendadak.

Engkau mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah, yang tidak pernah berbicara kepada siapapun, kecuali kepada Nabi Islam. Sebenarnya alam semesta ini terjadi dengan sendirinya.

Apakah ada yang menciptakan rumput yang tumbuh di padang rumput? Apakah ada yang menciptakan rumput itu supaya berwarna hijau? Apakah ada yang menciptakan semut dan nyamuk? Bukankah mereka itu semua tercipta begitu saja dengan sendirinya?

Aku katakan kepadamu. Engkau ini adalah orang yang mengaku-ngaku sebagai seorang ulama dan seorang penerus Nabi; dan dari seluruh cerita yang engkau karang itu—yang sekarang beredar di kalangan masyarakat, semuanya adalah omong kosong belaka.

Semuanya hanyalah cerita isapan jempol dan tidak berdasar sama sekali dan cerita itu lebih gila lagi bila dibandingkan dengan cerita tentang Allah yang tidak bisa dilihat mata. Masih banyak lagi cerita lainnya yang juga tidak ada dasarnya sama sekali akan tetapi walaupun begitu memang sebagian darinya itu menggambarkan kehidupan nyata.

Cerita-cerita yang engkau ceritakan itu menggambarkan manusia dan kepribadiannya yang mungkin saja hanya khayalan dan bukan kenyataan walaupun perbuatan dan tingkah laku manusia-manusia yang engkau ceritakan itu terlihat nyata seperti manusia lainnya.

Mereka makan dan minum; mereka tidur dan beranak-pinak; mereka berbicara dan jatuh cinta dan lain-lain. Ketika kita membaca cerita-cerita khayalan ini, kita menyukainya. Kita tahu bahwa itu cerita palsu dan rekaan belaka, akan tetapi kita lihat di dalam cerita itu ada wajah-wajah yang mirip kita; kehidupan yang mirip kita.

Orang-orang yang diceritakan itu boleh jadi tak pernah ada dan tak pernah hidup dalam kehidupan nyata, tapi akal kita menerima keberadaan orang-orang seperti itu di dunia ini. Akan tetapi ketika kita tidak bisa melihat, merasakan dan menyentuh Allah, Tuhan Anda, akal sehat kita dan logika kita—yang tergantung pada panca indera kita—tidak pernah bisa menerima keberadaan-Nya.

Aku tahu bahwa beberapa orang yang telah tertipu oleh Anda itu akhirnya percaya pada Tuhan Anda yang tidak bisa dilihat mata, akan tetapi maaf saja, anda tidak bisa menipu saya dan memaksa saya untuk percaya kepada DIA.”

Aku sendiri menyembah TUHAN. Tuhan yang terbuat dari kayu dan batu. Meskipun Tuhan aku itu tidak pernah bisa bicara, akan tetapi aku bisa melihat Dia dengan mata kepalaku sendiri dan aku bisa menyentuhnya dengan kedua belah tanganku.

Engkau mengatakan bahwa Tuhan yang aku buat sendiri itu tidak layak untuk aku sembah, sementara engkau sendiri menyuruh orang-orang untuk menyembah Tuhan yang engkau buat sendiri dengan khayalanmu. Engkau telah tega sekali menipu orang-orang yang tidak berdosa dengan mengatakan bahwa Tuhan khayalanmu itu telah menciptakan alam semesta. Aku sendiri tidak pernah menipu orang lain. Aku tidak pernah mengatakan bahwa Tuhanku itu menciptakan alam semesta. Tidak diperlukan Tuhan untuk menciptakan alam semesta ini karena alam semesta ini terjadi dengan sendirinya. Tuhan tidak pernah menciptakan apapun. Dia sendiri yang kita ciptakan. Aku menciptakan Tuhan dengan kedua belah tanganku dan engkau membuat Tuhan dengan khayalanmu.

IMAM JA’FAR AS-SHADIQ (as) tidak berkata sepatah katapun selama Abu Shakir berbicara. Beliau dengan tenang mendengarkan setiap perkataan Abu Shakir. Sementara itu murid-muridnya—yang kebetulan juga masih ada di sekitar beliau—kelihatan sekali ingin ikut campur dalam diskusi itu. Akan tetapi Imam Ja’far melarang mereka dengan memberikan isyarat dengan tangannya untuk diam. Ketika Abu Shakir menghentikan pembicaraannya yang panjang lebar, barulah Imam bertanya kepadanya apakah masih ada lagi yang ingin ia sampaikan. 

ABU SHAKIR kembali berbicara dengan ketus:  “Dengan memperkenalkan Tuhan-mu yang tidak bisa dilihat itu, engkau ingin memperoleh kekayaan dan kedudukan serta kemuliaan dan kehormatan selain kehidupan yang mewah dan nyaman. Itulah kata-kata yang terakhir. Aku tidak ingin berbicara lagi.”

IMAM JA’FAR AS-SHADIQ (as) kemudian berkata:  “Saya akan mulai menjawab tuduhan Anda dan saya akan mulai dengan menjawab tuduhan terakhir. Anda menuduh bahwa saya menginginkan uang, kedudukan, dan kehidupan yang mewah serta nyaman. Semua tuduhan itu bisa berdasar seandainya saya ini hidup seperti khalifah.  Anda lihat sendiri bahwa saya sendiri hanya memakan beberapa keping roti dan tidak lebih dari itu. Saya bisa mengundang Anda untuk datang ke rumah saya dan melihat sendiri apa yang akan saya santap untuk makan malam saya. Selain itu juga Anda bisa melihat bagaimana saya hidup sehari-hari.

Wahai Abu Shakir! Seandainya saya ini menginginkan kekayaan dan kehidupan yang mewah serta nyaman—seperti yang Anda tuduhkan—maka saya tidak usah mengajar dan memberikan kuliah untuk menjadi kaya. Saya bisa mendapatkan uang dan menjadi kaya dengan memanfaatkan pengetahuan saya dalam ilmu kimia. Cara lain yang bisa saya gunakan untuk menjadi kaya ialah dengan cara berbisnis.

Saya punya pengetahuan yang luas tentang pasar-pasar luar negeri dibandingkan dengan para pedagang manapun di kota Madinah ini. Saya tahu bahwa barang-barang itu diproduksi di negara-negara yang berbeda dan saya juga tahu kemana saya harus jual barang-barang itu untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Saya juga tahu bagaimana caranya untuk membawa barang-barang itu ke sini untuk mengurangi biaya transportasi. Para pedagang kita itu mengimpor barang-barang dari Suriah, Irak, Mesir, dan beberapa Negara Arab lainnya. Mereka tidak tahu barang-barang apa saja yang ada di kota Isfahan, Rasht, dan Roma. Kalau saja mereka tahu, maka mereka akan mengimpornya dari sana dan menjualnya dengan keuntungan berlipat ganda.

Wahai Abu Shakir! Engkau telah mengatakan bahwa saya ini meminta orang-orang untuk menyembah Allah untuk menipu mereka agar saya bisa mendapatkan uang dan menjadi kaya. Saya harus mengatakan ini kepada Anda bahwa saya tidak mendapatkan apapun dari siapapun, kecuali beberapa buah-buahah sebagai hadiah dari mereka. Salah seorang temanku suka mengirimkan kepadaku buah kurma setiap tahun yang ia petik dari kebunnya sendiri. Seorang teman lainnya suka mengirimkan buah delima dari Thaif. Saya menerima semua itu sebagai pemberian dan saya menerimanya agar mereka tidak merasa terhina.

Saya dengar bahwa ayah Anda itu adalah seorang pedagang permata. Mungkin Anda tahu sedikit banyak tentang permata. Tapi saya jauh lebih mengetahui tentang semua permata dan intan berlian serta batu-batuan lainnya yang berharga. Saya juga bisa menakar berapa harga pasar dari batu-batuan berharga itu. Apabila saya ingin kaya, maka saya akan bekerja sebagai pedagang permata. Dapatkah Anda mengenali yang mana batuan yang berharga dan mana yang tidak? Dapatkah Anda mengetahui kadarnya dan harga pasarnya? Apakah Anda tahu berapa banyak jenis batuan rubi yang ada di dunia ini?

ABU SHAKIR menjawab pelan: “Tidak. Aku tidak tahu semua itu.”

IMAM JA’FAR melanjutkan:  “Apakah Anda tahu berapa banyak jenis intan yang ada di dunia dan warna-warna apa saja yang dimilikinya?”

ABU SHAKIR menjawab lagi, lebih pelan: “Tidak. Aku tidak tahu.”

IMAM JA’FAR AS-SHADIQ (as) melanjutkan: “Saya ini bukan pedagang permata, tapi saya tahu betul tentang itu semua. Saya tahu tentang permata dan batu berharga lainnya. Saya juga tahu dari mana saja mereka berasal. Setiap pedagang permata itu harus tahu tentang keaslian sebuah permata. Dan saya juga tahu tentang itu. Akan tetapi hanya sedikit sekali pedagang permata yang tahu dari mana saja permata-permata itu berasal.  Apakah anda tahu bagaimana cara membuat sebuah permata itu supaya bersinar terang?”

ABU SHAKIR menjawab ketus: “Aku ini bukan seorang ahli intan dan permata, begitu juga ayahku. Ia bukan seorang ahli dalam hal itu. Bagaimana aku bisa tahu mengapa dan bagaimana sebuah intan bisa berkilau terang.”

IMAM JA'FAR kembali melanjutkan: “Intan itu didapatkan di dasar sungai-sungai dan jeram. Intan yang kasar kemudian dipotong oleh para ahli intan. Cara memotong berlian itulah yang membuat sebuah intan bisa berkilauan. Mereka yang ahli dalam memotong intan dulunya dididik dan diajari sejak kecil oleh seorang ayah yang juga ahli intan. Dan ayahnya dulu diajari oleh kakeknya. Memotong intan itu harus hati-hati. Pekerjaan memotong intan itu memerlukan ketelitian dan rasa seni yang tinggi. Dan sebuah intan hanya bisa dipotong oleh sebuah intan yang lainnya.


Abu Shakir, saya ini hanya mengatakan ini semua hanya untuk menunjukkan kepada Anda bahwa kalau saya ingin kaya atau mengumpulkan kekayaan, maka itu mudah saja. Saya bisa memanfaatkan pengetahuan saya tentang permata dan intan berlian. Saya telah menjawab tuduhan Anda dan sekarang saya akan menjawab keberatan anda tentang keyakinan saya.” (Bersambaung ke Bagian Kedua)

Tidak ada komentar: