Imam Ja’far & Sang Atheis (Bagian Ketiga)



ABU SHAKIR bertanya: “Apakah batu itu dulunya dalam keadaan cair?”

IMAM JA’FAR (as): “Betul. Memang begitu adanya.”

ABU SHAKIR tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Salah seorang dari murid Imam Ja’far (as) marah sekali mendengar nada tawa dari Abu Shakir yang terdengar melecehkan. Murid Imam Ja’far itu hendak mengatakan sesuatu akan tetapi dihentikan oleh gurunya yang tercinta.

ABU SHAKIR berkata: “Aku ini tertawa karena engkau mengatakan bahwa batu itu sebelumnya terbuat dari air.”

IMAM JA’FAR (as) menjawab: “Saya tidak mengatakan bahwa batu itu terbuat dari air. Apa yang saya katakan ialah bahwa pada mulanya batu itu berbentuk cairan.” 

ABU SHAKIR: “Apa bedanya? Cairan dan air itu sama saja.”

IMAM JA’FAR (as): “Banyak sekali cairan yang bukan air meskipun mereka memiliki kandungan air di dalamnya. Pada mulanya batuan itu berbentuk cairan seperti air dan batuan itu bisa mengalir seperti air. Secara perlahan batuan itu mendingin dan menjadi keras sehingga Anda bisa memotongnya dan membuat berhala darinya. Batuan yang keras itu bisa menjadi cair kembali apabila Anda memanaskannya.”

ABU SHAKIR: “Kalau aku pulang nanti aku akan memeriksa kebenaran dari pernyataanmu ini. Aku akan taruh sebuah batu di perapian dan akan aku lihat apakah ia akan berubah menjadi cairan atau tidak.”

IMAM JA’FAR (as): “Anda tidak bisa mencairkan batu di atas perapian di rumah Anda. Itu sama halnya dengan besi. Bisakah Anda mencairkan sebatang besi di rumah Anda? Tentu saja tidak! Dibutuhkan suhu yang sangat tinggi untuk mencairkan sebuah batuan yang keras sehingga bisa menjadi cairan.

Sekarang apakah Anda menyadari bagaimana anda bisa membuat berhala-berhala itu dari batu? Sedangkan kita tahu bahwa Allah-lah yang membuat batu-batu itu. Allah-lah yang telah menciptakan Anda dan memberikan Anda kedua belah tangan dengan jari-jari tangan yang unik yang membuat Anda bisa memegang alat-alat pertukangan. Anda bisa memegang kapak dan kemudian Anda menggunakan kapak itu untuk membuat berhala-berhala dari batu. Sekali lagi Allah-lah yang telah memberi Anda kekuatan dan kecerdasan yang semuanya Anda gunakan untuk membuat para berhala itu.

Abu Shakir, apakah Anda mengira bahwa gunung-gunung itu hanyalah tumpukan batuan saja? Allah yang Maha Agung telah menciptakan gunung-gunung itu untuk memberikan manfaat yang banyak bagi kita semua. Gunung-gunung itu dibuat Allah bukan untuk keperluan Anda mengambil batunya sehingga Anda bisa membuat berhala-berhala. Tentu saja tidak. Bukan itu tujuannya. Di manapun ada sebuah gunung disitulah ada air yang mengalir. Hujan dan salju yang jatuh ke puncak-puncak gunung akan menghasilkan jeram-jeram berisi air-air yang segar sekali. Jeram-jeram kecil ini akan bergabung satu sama lainnya sehingga bisa membentuk sungai-sungai yang besar. Sungai-sungai ini bisa mengairi tanah-tanah pertanian. Orang-orang yang tinggal di lembah-lembah dimana sungai-sungai itu akan melewatinya mendapatkan jatah air yang sangat banyak dan tetap. Orang-orang yang sanggup berjalan jauh, bisa pergi ke gunung selama musim panas agar mereka bisa terhindar dari panasnya dataran rendah.

Gunung-gunung itu juga berfungsi sebagai benteng-benteng yang kuat dan tangguh. Gunung-gunung itu melindungi kota-kota dan desa-desa yang terletak di lembah-lembah itu dari terjangan angin topan. Gunung-gunung yang hijau menyediakan rerumputan dan tumbuhan lainnya untuk makanan domba-domba dan hewan ternak lainnya. Ketika panasnya musim panas yang membakar menghanguskan padang rumput di daerah dataran rendah dan akhirnya tidak ada lagi makanan yang bisa dimakan oleh hewan ternak kita, maka para penggembala membawa hewan-hewan ternak mereka ke gunung-gunung dan mereka tinggal di sana hingga akhir musim panas.

Gunung-gunung juga merupakan tempat tinggal dari burung-burung dan hewan-hewan lainnya. Beberapa dari hewan itu adalah sumber makanan bagi mereka yang tinggal di sana. Bahkan gunung-gunung yang tidak berwarna hijau sekalipun tetap saja memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Apabila manusia mencoba untuk menggali ke dalamnya, maka mereka akan menemukan tambang-tambang logam dan mineral yang sangat berguna bagi manusia.

Abu Shakir, saya ini terlalu kecil dan terlalu lemah untuk menciptakan Allah dengan otak saya ini. Dia-lah yang telah menciptakan otak saya ini, supaya saya bisa memikirkan-Nya dan mengenali-Nya. Dia-lah Sang Maha Pencipta. Dia sudah ada jauh sebelum saya ada dan Dia masih ada ketika saya nanti tidak ada. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa saya akan musnah total seluruhnya. Tidak ada di alam semesta ini yang akan musnah seluruhnya. Segala sesuatu itu akan mengalami perubahan. Hanya Allah saja yang tidak akan berubah.

Abu Shakir, katakanlah kepada saya. Kepada siapakah Anda ini akan meminta pertolongan ketika Anda sedang berada dalam kesusahan atau bahaya? Apakah Anda berharap bahwa berhala-berhala yang Anda buat dari batu itu akan datang menjadi penyelamat Anda dan memberikan bantuan? Bisakah para berhala itu menyembuhkan Anda ketika Anda sakit? Bisakah para berhala itu menyelamatkan Anda dari kemalangan dan bencana alam? Bisakah para berhala itu memberikan Anda makanan ketika anda kelaparan? Bisakah para berhala itu membayar hutang-hutang anda?”

ABU SHAKIR menjawab: “Aku tidak pernah berharap demikian dari sebuah batu, akan tetapi aku kira ada sesuatu di dalam batu itu yang akan mampu membantuku. Selain itu, aku memang ingin menyembahnya.”

IMAM JA’FAR (as): “Lalu apa yang sebenarnya ada di dalam batu itu? Apakah isinya itu batu juga?”

ABU SHAKIR: “Aku tidak tahu apa isi di dalamnya. Akan tetapi kalau isinya batu juga, itu tidak akan menolongku sama sekali.”

IMAM JA’FAR (as): “Abu Shakir, apa yang ada di dalam batu itu yang bukan batu tapi bisa diharapkan untuk menolongmu, itulah yang disebut Allah.” 

ABU SHAKIR berpikir sejenak dan kemudian ia berkata: “Apakah Allah itu—yang tidak bisa dilihat mata—ada di dalam batu?”

IMAM JA’FAR (as): “Ia ada dimana-mana”

ABU SHAKIR: “Aku tidak percaya sesuatu yang ada dimana-mana tapi tetap tidak bisa dilihat mata.”

IMAM JA’FAR (as): “Bukankah udara juga ada dimana-mana tapi tetap tidak bisa dilihat mata?”

ABU SHAKIR: “Meskipun aku tidak bisa melihat udara, tapi aku bisa—paling tidak—merasakannya ketika ia bergerak. Akan tetapi aku tidak bisa melihat Allah dan tidak juga bisa merasakan kehadiran-Nya.”

IMAM JA’FAR (as): “Anda tidak bisa merasakan adanya udara kalau ia tidak bergerak. Udara itu hanyalah ciptaan Allah. Allah itu ada dimana-mana, akan tetapi Anda tidak bisa melihat-Nya atau merasakan kehadiran-Nya dengan indera-indera yang Anda miliki. Anda sebenarnya baru saja mengakui bahwa meskipun Anda tidak melihat sesuatu akan tetapi insting Anda atau ruh Anda mengatakan bahwa ada sesuatu di dalam batu itu dan sesuatu itu bukan batu itu sendiri, melainkan sesuatu yang bisa menolong Anda dari kesusahan. Sesuatu itu ialah Allah. Insting Anda juga mengatakan bahwa Anda tidak bisa hidup tanpa adanya Allah dan tanpa menyembah Allah.”

ABU SHAKIR: “Memang benar. Aku tidak bisa hidup tanpa menyembah berhala-berhalaku.”

IMAM JA’FAR (as): “Jangan katakan Anda tidak bisa hidup tanpa menyembah berhala-berhalamu. Katakanlah bahwa Anda tidak bisa hidup tanpa menyembah Allah. DIA-lah yang pantas disembah. Sama seperti halnya Anda, setiap orang juga berkewajiban untuk menyembah DIA.

Seseorang yang tidak pernah menyembah Allah akan kehilangan petunjuk dan ia juga kehilangan pelindung. Ia akan seperti orang yang tidak bisa melihat; tidak bisa mendengar; tidak bisa merasakan; dan tidak bisa berpikir. Ia tidak tahu kemana dia harus pergi dan kepada siapa ia harus mengadu atau meminta bantuan ketika ia sedang berada dalam kesusahan.

Menyembah Allah itu adalah bagian dari hidup Anda. Setiap makhluk hidup itu menyembah DIA secara naluriah. Bahkan hewan-hewan pun tidak bisa hidup tanpa menyembah DIA.

Kita tidak bisa meminta hewan-hewan itu untuk menyembah Allah. Hewan-hewan itu juga tidak bisa berkata kepada kita bahwa mereka sudah menyembah Allah atau menerangkan bagaimana mereka menyembah Allah. Akan tetapi kehidupan mereka yang teratur dan berpola itu sudah cukup menjadi petunjuk bagi kita bahwa hewan-hewan itupun percaya kepada adanya Allah dan mereka itu pula menyembah Allah sama seperti halnya kita menyembah-Nya. Tidak ada keraguan bahwa bahwa mereka telah menyembah Allah dengan sangat patuh mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Sang Maha-Pencipta yang menciptakan mereka.

Seandainya mereka itu tidak patuh kepada yang telah menciptakan mereka, maka mereka tidak akan memiliki kehidupan yang begitu teratur dan rapi.

Kita lihat bahwa tepat sebelum datangnya musim semi, burung-burung titmouse  senantiasa datang tepat pada waktu yang sama dan kemudian bernyanyi seakan-akan ia memberitahu kepada kita akan datangnya musim yang baru. Rencana perjalanan dari burung titmouse—yang suka bermigrasi—ini begitu teratur dan sangat tepat jadwal hingga bahkan kalau hari-hari terakhir di musim dingin itu masih dingin, kedatangan burung titmouse itu tetap tidak ditunda, misalnya, selama beberapa hari lagi ke depan.

Ketika burung chilchila  kembali dari perjalanannya setelah ia menempuh jarak ribuan kilometer, burung itu segera membuat sarangnya di tempat yang persis sama dimana dulu ia pernah membuat sarang di musim semi yang lalu. Apakah mungkin burung-burung kecil ini memiliki kehidupan yang begitu teratur apabila mereka tidak mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Allah? Apakah mungkin burung-burung ini mematuhi aturan Allah sedemikian patuh dan taatnya tanpa menyembahNya?

Abu Shakir, bahkan tanam-tanaman pun semuanya mengikuti aturan-aturan yang sudah digariskan dan ditentukan oleh Allah. Tanaman-tanaman itu selain patuh dan taat kepada aturan Allah juga mereka menyembah Allah. Ada lebih dari 150 spesies tumbuhan yang nantinya akan dibagi lagi kedalam ratusan sub-spesies akan tetapi Anda tidak akan mungkin melihat satupun dari spesies itu atau sub-spesies itu yang hidupnya berantakan dan tidak beraturan. Itu menunjukkan bahwa ada Sang Maha-Pengatur yang mengatur semua itu.

Abu Shakir, sama seperti halnya kita, tumbuhan juga tidak bisa melihat Sang Maha-Pencipta; akan tetapi mereka itu tetap menyembah-Nya dan mematuhi setiap aturan-Nya secara naluriah.

Saya tahu bahwa Anda tidak akan menerima ini atau mungkin Anda malah tidak mengerti apa-apa yang saya katakan tadi. Seorang manusia itu harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahami masalah-masalah yang rumit.

Abu Shakir, bukan saja tumbuhan dan hewan yang menyembah Allah dengan menggunakan instingnya atau nalurinya melainkan juga barang-barang yang tidak bernyawa dan tidak bergerak semuanya menyembah Allah dengan insting-insting yang berbeda yang mereka miliki. Apabila benda-benda mati dan tak bergerak itu tidak menyembah Allah, maka mereka tidak akan patuh dan taat kepada aturan Allah. Dan kalau mereka tidak mengikuti sistem atau pola atau aturan yang tertentu maka benda-benda itu akan mengalami kerusakan dan kehancuran. Atom-atom dari benda-benda itu akan terpisah satu sama lainnya dan mereka akan mengalami kemusnahan.

Cahaya yang berasal dari matahari itu juga menyembah Allah dengan mentaati aturan yang sudah ditentukan oleh-Nya. Dan aturan itu sangat kuat, akurat, dan mengikat. Cahaya matahari itu terdiri dari kombinasi dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan ini juga mematuhi hukum-hukum atau aturan Allah selain juga menyembah Allah. Kalau tidak, maka kekuatan itu tidak akan menghasilkan cahaya.

Abu Shakir, apabila Allah itu tidak ada, maka takkan mungkin ada alam semesta. Tidak mungkin ada saya dan tidak mungkin ada Anda. Kalimat “Tidak ada Allah” itu sama sekali tidak memiliki arti. Keberadaan Allah itu adalah keharusan dan keniscayaan. Apabila sedetik saja Allah tidak mempedulikan kita; apabila sejenak saja perhatian Allah itu teralihkan—misalnya Allah untuk sejenak beristirahat dan tidak memikirkan alam semesta—maka alam semesta ini akan hancur berkeping-keping. Segala sesuatu di alam semesta ini harus mematuhi hukum dan aturan Allah yang tetap dan abadi.  Allah itu membuat hukum dan aturan yang luar biasa itu sedemikian rupa dengan Kekuasaan-Nya dan Pengetahuan-Nya yang penuh dengan kasih sayang dan kemaha-bijaksanaan. Setiap hukum dan aturan Allah itu memiliki tugas yang khusus dan tujuan yang khusus.”

Ketika Imam menyimpulkan pembicaraannya yang panjang lebar dan berbobot, Abu Shakir jatuh kedalam lamunan yang dalam seolah-olah ia mendapatkan inspirasi yang hebat. 

IMAM JA’FAR (as) bertanya kepada Abu Shakir:  “Apakah anda sekarang percaya bahwa Allah itu—yang tidak bisa anda lihat—benar-benar ada dan apa yang anda sembah itu seharusnya Allah Tuhan semesta alam?”

ABU SHAKIR menjawab: “Aku belum benar-benar yakin. Aku sekarang sedang berada dalam kebingungan. Aku penuh dengan keraguan dan kekhawatiran terhadap keyakinanku dan pendirianku.”


IMAM JA’FAR (as) menjawab:  “Keraguan terhadap penyembahan berhala adalah awal dari penyembahan Allah Ta’ala.”

Tidak ada komentar: