Ceritera Negeri Surosowan


Syahdan, sebagaimana diceritakan dan dikisahkan, pada masa dulu kala, yaitu di zaman purbakala, ketika Sanghyang Betara Guru Jampang melanjutkan perjalanannya dari arah Timur ke Barat, yaitu ke tempat yang dinamakan Surosowan, yang merupakan nama dan gelar seorang Raja Banten, dimana kata Surosowan itu dalam bahasa Kawi artinya Surosadji yang mengandung arti dan makna Seorang Raja yang Berani.

Di tempat itulah Betara Guru Jampang duduk bersila atau bertapa di atas Watu Gigilang atau Batu yang Berkilauan. Di jaman itu, Negeri Surosowan dilingkungi atau dikelilingi air sungai yang jernih, air sungai yang kejernihannya seperti kilau intan dan permata. Dari perumpamaan negeri yang dikelilingi kejernihan air sungai itulah lahir sebutan Banten, yang berarti negeri yang dikelilingi cahaya intan. Sedangkan orang-orang Cina di jaman itu menyebutnya sebagai Wantan dan orang-orang Sunda menyebutnya Wahanten.

KEDATANGAN MAULANA HASANUDDIN
Waktu dan jaman pun terus bergulir dan berganti, hingga pada akhir abad ke-15 atau di awal abad ke-16 Masehi, Maulana Makhdum Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati di Cirebon, mengutus anaknya, yaitu Maulana Hasanuddin agar datang ke Negeri Banten untuk berdakwah dan menyebarkan Islam, termasuk mengenalkan Islam kepada raja-raja Banten, karena Syarif Hidayatullah telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin sudah layak dan pantas untuk melakukannya.

Tanpa ditemani banyak pengawal dan prajurit, Maulana Hasanuddin pun berangkat dari Cirebon dengan hanya ditemani oleh salah-seorang santri kenamaan yang biasa disebut Ki Santri, seorang santri yang ditunjuk langsung oleh Syarif Hidayatullah. Kala itu, setelah selesai berkemas, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri pun menghadap Maulana Syarif Hidayatullah untuk memohon doa dan restunya, setelah bersama-sama menunaikan sholat sunah berjamaah dua rakaat.

Esok harinya, setelah menunaikan sembahyang subuh, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri pun bergegas keluar bersama-sama menuju pantai di mana telah tersedia sebuah perahu jung, dan setelah mereka menaiki perahu jung itu, mereka pun berlayar menuju Negeri Banten Girang.

Karena doa restu ayahanda-nya itulah, dalam perjalanannya Maulana Hasanuddin mendapatkan angin yang tetap dan tidak terancam badai atau gelombang di lautan, hingga dalam tempo yang sebenarnya belum waktunya, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri tiba dan mendarat di Pelabuhan Banten dengan selamat dan tanpa halangan. Ketika itu, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri segera menuju ke arah Selatan-Daya, hingga mereka tiba di sebuah tempat di mana terdapat tiga pertapa yang tengah bertapa yang duduk bersama-sama di atas Batu Ceper.

Berkat pemberitahuan dari ayahandanya sebelum berangkat, Maulana Hasanuddin telah tahu bahwa ketiga orang yang tengah bertapa itu tak lain adalah para Waliyullah, sebab ketika Maulana Hasanuddin mengucapkan “Salam”, mereka pun segera menjawab dengan ucapan “Salam”.

Setelah berjabat-tangan dengan mereka, Maulana Hasanuddin dengan santun bertanya kepada mereka: “Mengapa gerangan tuan-tuan berada di sini?” Mendengar kata-kata santun Maulana Hasanuddin itu, ketiga pertapa yang tengah bersemedi itu pun menjawab bersama-sama: “Kami memang telah sengaja menunggu kedatangan Adinda yang mulia di sini!” Kemudian Maulana Hasanuddin pun kembali bertanya dengan sopan kepada mereka: “Mengapa tuan-tuan menunggu?” Dan mereka pun kembali menjawab: “Sebenarnya tidak juga kami menunggu, sebab kami hanya ingin tahu wajah dan rupa Adinda”.

Begitulah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan mereka, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri pun segera menuju ke Selatan, menyusuri jalan setapak yang mengikuti aliran Kali Pandan atau Sungai Cibanten ke arah udik, dan kemudian keduanya berhenti di depan rumah seorang empu, yang letak rumahnya tak jauh dari Pakuan (Pakuwuan) Banten Girang.

Demikianlah, setelah tiba di Banten Girang, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri tinggal di rumah seorang empu tersebut. Dengan cara diam-diam, Maulana Hasanuddin memperhatikan dan mencermati kebiasaan dan adat-istiadat sehari-hari masyarakat Banten Girang, tata-sosialnya, juga dari perkataan orang-orangnya dan kepercayaan mereka, sembari berdakwah dengan jalan keramahtamahan yang disesuaikan secara pelan-pelan dengan kepercayaan masyarakat Banten Girang yang ketika itu menganut agama Hindu dan Budha.

Sementara itu, hikayat yang cukup menggugah rasa adalah ketika Maulana Hasanuddin dan Ki Santri bertemu dengan dua orang yang tengah memancing atau mencari ikan di tepi Kali Pandan atau Sungai Cibanten. Saat bertemu dengan dua orang itu, Maulana Hasanuddin menanyakan kepada mereka sudah berapa banyakkah mereka mendapatkan ikan? Dan keduanya mengatakan bahwa mereka sedari pagi hingga senja itu sama-sekali belum mendapatkan ikan tangkapan seperti yang mereka inginkan.

Mengetahui hal tersebut, timbullah rasa iba Maulana Hasanuddin dan mengatakan kepada mereka bahwa Maulana Hasanuddin akan mengajari mereka bagaimana cara menangkap ikan, juga tatacara berdoa beserta sarat-masruatnya, jika mereka mau datang ke rumah seorang empu di mana Maulana Hasanuddin tinggal di Banten Girang. Dan begitulah selanjutnya, ketika malam tiba, kedua nelayan di Kali Pandan atau Sungai Cibanten itu datang ke rumah si empu di Banten Girang untuk menemui Maulana Hasanuddin.

KAUM PANDITA & PARA ADJAR DI GUNUNG PULOSARI
Peristiwa masuk Islam-nya si empu dan dua orang nelayan di Kali Pandan atau Sungai Cibanten itu pun mulai tersebar ke masyarakat Banten Girang. Dan, pada suatu ketika, semenjak kedatangan dan masuk Islamnya dua orang nelayan di Kali Pandan atau Sungai Cibanten itu, dua orang adjar datang ke Maulana Hasanuddin setelah Maulana Hasanuddin selesai melaksanakan sembahyang subuh. 

“Ya Maulana Hasanuddin,” ujar dua orang adjar itu, “kami berdua adalah Ki Jong dan Ki Jo, yang sengaja datang untuk menemui Anda.” Saat itu, Maulana Hasanuddin merasa takjub dengan kedatangan dua orang adjar itu, dan Ki Jong dan Ki Jo pun kemudian melanjutkan maksud mereka. “Kami berdua adalah keturunan Prabu Siliwangi yang datang ke negeri Banten Girang untuk menemani Kakanda Prabu Pucuk Umun.” Kata Ki Jong dan Ki Jo. “Ketika kami berdua tengah bertapa di Gua Periuk Tembaga atau Dalung, telah datang suatu petunjuk tentang pertemuan dengan Maulana, yang telah membuat kami segera menyudahi tapa kami karenanya.” 

Demikianlah Ki Jong dan Ki Jo menceritakan maksud kedatangan mereka kepada Maulana Hasanuddin, dan kemudian mereka pun melanjutkan cerita mereka. “Dan sekembalinya kami dari pertapaan menuju Pakuan Banten Girang, kami tak menemukan Kakanda Prabu Pucuk Umun, dan saat itu dari orang-orang, kami mengetahui tentang kemasyhuran Anda, hingga kami berjumpa langsung dengan Anda sekarang ini.”

Keesokan harinya, dengan bersama-sama, Maulana Hasanuddin, Ki Santri, Ki Jong, dan Ki Jo, menuju dan masuk ke dalam istana Pakuan Banten Girang untuk menemui keberadaan Prabu Pucuk Umun, yang ternyata istana itu telah sunyi dan Pucuk Umun pun tak ada di tempatnya, dan setelah mereka berkeliling mencari ke dalam istana Pakuan Banten Girang itu, mereka justru menemukan seorang laki-laki keturunan bangsa Jin, yang ketika bertemu dengan Maulana Hasanuddin, Ki Santri, Ki Jong dan Ki Jo, lelaki keturunan bangsa Jin itu mengikrarkan diri memeluk agama Islam, dan kemudian lelaki keturunan bangsa Jin yang telah menganut Islam di hari itu pun diberinama Ki Santri, untuk menemani Ki Santri yang datang dari Cirebon.

Sementara itu, Maulana Hasanuddin tetap mengisi dan tinggal di istana Pakuan Banten Girang, yang resmi dikawal oleh Ki Jong dan Ki Jo, dan dua orang yang resmi memiliki nama yang sama: Ki Santri.

Dan seperti telah diceritakan, sebelum kedatangan Islam, Negeri Banten Girang menganut agama Hindu dan Budha, di mana masyarakatnya beribadah dengan perantara patung, batu, dan sebagainya, yang pujian tertingginya kepada Sanghyang Batara Tunggal. Orang-orang yang berpengaruh di antara mereka bergelar Adjar dan Pandita, dimana mereka senang bertapa di tempat-tempat yang sunyi, di bawah gunung, di hulu sungai, di atas batu, atau di tempat-tempat lain yang mereka anggap cocok dan bertuah.

Di antara para adjar itu, yang paling masyhur, sakti, dan berani bergelar Pucuk Umun, yang teramat luas pertapaannya dan sangat berpengaruh di antara semua adjar di Negeri Banten Girang. Gelar Pucuk Umun itu berarti adjar yang paling dicintai masyarakatnya karena kesaktian, kebijaksanaan, dan keberaniannya. Dan sejak diangkat menjadi Prabu, ia bertempat di Istana Pakuan Banten Girang.

Namun, sejak mengetahui kedatangan dan keberadaan Maulana Hasanuddin dari masyarakat Banten Girang, hati Prabu Pucuk Umun pun menjadi cemas hingga ia memutuskan untuk keluar dari Istana Pakuan Banten Girang menuju ke sebuah tempat yang bernama Batuwara di Gunung Pulosari demi bermusyawarah dengan Prabu Seda Sakti untuk membahas sikap dan tindakan mereka terhadap Maulana Hasanuddin. Di tempat yang bernama Batuwara di Gunung Pulosari itulah terdapat banyak tempat para adjar dan pandita, yang di antaranya adalah Adjar Domas, Pakuan Batu Ranjang, Batu Putih, dan Batu Miring, yaitu tempatnya Sanghyang Dengdek.

Ketika tersiar kabar bahwa Prabu Pucuk Umun telah sampai di tempat itu, semua ajar, Sanghyang, dan Dangiang pun berkumpul di tempat yang bernama Batuwara di Gunung Pulosari tersebut, dimana para adjar yang berasal dari tempat lain pun datang ke tempat pertemuan tersebut. Dalam pertemuan itu, mereka pun telah bersepakat untuk tidak takluk atau pun memeluk agama Islam yang dibawa Maulana Hasanuddin, meski mereka telah merelakan dan membiarkan masyarakat di Negeri Banten Girang Pesisir menentukan kemauan mereka sendiri, apabila mereka berkehendak untuk menolak atau pun menganut agama Islam yang didakwahkan Maulana Hasanuddin dan Ki Santri.

Begitulah, semua para adjar, sanghyang, dan para dangiang, juga para pandita, para prabu, dan tumenggung telah menyatukan diri di Gunung Pulosari, dimana di antara mereka selalu berjaga-jaga siang dan malam, sembari mengadakan acara sabung ayam, mengadu kambing, burung, sembari sesekali saling-moncoba dan saling berlatih satu sama lain untuk menguji-coba kesaktian mereka, sementara sebagian yang lainnya membakar kemenyan untuk memanjatkan puja dan puji kepada Sanghyang Batara Tunggal.

Ketika para adjar, pandita, dan Prabu Pucuk Umun bersuka ria dalam sebuah pesta dan perayaan, tiba-tiba meledak dan bergemuruhlah suara petir berkali-kali, yang diiringi halilintar, dan kemudian hujan lebat pun turun bersamaan dengan angin putting beliung. Hari yang mulanya terang tiba-tiba menjadi gelap pekat karena kabut dan awan hitam yang membesar dan bergumpalan di langit. Tak lama kemudian, terasa oleh mereka gempa bumi berkali-kali hingga banyak batu-batu besar terguling dari tempatnya, juga banyak pohon-pohon yang tumbang dan disusul dengan air sungai yang meluap dan mengirimkan air bah, seakan-akan Gunung Pulosari meletus di hari itu.

Di saat semua yang hadir merasa was-was dan terkejut ketika itu, Prabu Pucuk Umun pun tak dapat berkata apa-apa dan hanya bisa diam karena selama ia hidup belum pernah mengalami peristiwa seperti yang terjadi di hari itu. Begitu juga Prabu Seda Sakti, yang sama-sama bingung, hingga hanya bisa tercenung seperti yang dirasakan oleh Prabu Pucuk Umun.

Setelah peristiwa usai, dan setelah matahari kembali muncul dan pelan-pelan mulai memancarkan kembali cahayanya, Prabu Pucuk Umun pun memerintahkan Jang Kangkaleng Jang Kangkarang untuk datang ke istana Pakuan Banten Girang demi mengetahui apa yang tengah terjadi. Segera saja, Jang Kangkaleng Jang Kangkarang pergi menuju ke utara. Sesampainya di Banten Girang, ia menumpang di rumah salah-seorang kenalannya, yang ternyata telah menganut agama Islam.

Sementara itu, istana Pakuan Banten Girang telah diisi oleh Maulana Hasanuddin, dua Ki Santri, Ki Jong, dan Ki Jo. Penduduk di sekitar istana Pakuan Banten Girang dan di desa-desa ternyata telah banyak yang menganut agama Islam.

Selama tujuh hari tujuh malam itulah Jang Kangkaleng Jang Kangkarang menyelidiki apa yang telah terjadi, yaitu telah banyak orang-orang Banten Girang yang menganut agama Islam. Ia pun menceritakan itu semua kepada Prabu Pucuk Umun, Prabu Seda Sakti, dan prabu-prabu yang lainnya yang saat itu masih berkumpul di Batuwara di Gunung Pulosari. Prabu Pucuk Umun dirundung amarah ketika Jang Kangkaleng Jang Kangkarang menceritakan tentang masuk Islamnya Ki Jong dan Ki Jo. “Rupanya inilah yang hendak disampaikan oleh petanda halilintar dan badai beliung itu.” Kata Prabu Pucuk Umun. “Tapi walau bagaimana pun, kita tak boleh takluk atau menganut agama yang dibawa Hasanuddin!” Ujar Prabu Pucuk Umun dengan lantang.

KI JONG & KI JO MENCARI PUCUK UMUN
Pada suatu hari Maulana Hasanuddin mengutus Ki Jong dan Ki Jo untuk mencari dan menemui Pucuk Umun. Saat itu, Ki Jong dan Ki Jo mengusulkan untuk menaklukkan Prabu Pucuk Umun dengan jalan perang dan adu-tanding, tapi Maulana Hasanuddin tidak menyetujui usul tersebut. Di hari itu, Ki Jong dan Ki Jo pergi menuju ke timur dengan mengenakan keris masing-masing. Orang-orang yang ada di sekitar istana Pakuan Banten Girang menawarkan diri mereka untuk membantu Ki Jong dan Ki Jo, namun tak seorang pun dari mereka diperbolehkan untuk turut serta bersama Ki Jong dan Ki Jo.

Ki Jong dan Ki Jo pun berangkat menuju Pakuan Pajajaran, dan di sepanjang perjalanan menuju Pakuan Pajajaran dan ketika sudah berada di Pakuan Pajajaran itulah Ki Jong dan Ki Jo tak sungkan-sungkan untuk berdakwah dan mensyiarkan Islam, meski mereka tak menemukan keberadaan Prabu Pucuk Umun yang mereka cari dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh itu. Mereka juga tak menemukan keberadaan Prabu Pakuan Pajajaran. Hingga mereka mendapatkan kabar bahwa semua petinggi, para ajar, dan para Prabu Pakuan Pajajaran sedang berkumpul di Gunung Pulosari.

Ki Jong dan Ki Jo pun menjadi was-was dan khawatir dengan kabar yang mereka dapatkan itu, sebab khawatir kalau-kalau mereka semua sudah menuju ke Pakuan Banten Girang. Karena itulah mereka berdua pun segera kembali lagi menuju Pakuan Banten Girang. Dan sesampainya mereka di Pakuan Banten Girang, Ki Jong dan Ki Jo pun menceritakan perihal semua yang didapatkan mereka kepada Maulana Hasanuddin. Saat itulah Ki Jong dan Ki Jo meminta persetujuan Maulana Hasanuddin untuk pergi menuju ke Gunung Pulosari, tapi Maulana Hasanuddin tidak menyetujuinya.

MAULANA HASANUDDIN MENUJU GUNUNG PULOSARI
Keesokan harinya, dengan ditemani Ki Jong, Ki Jo, dan dua Ki Santri serta sejumlah rakyat dan para penduduk Banten Girang, Maulana Hasanuddin pun berangkat dari Pakuan Banten Girang menuju ke Gunung Pulosari, hingga ketika mereka merasa lelah, mereka pun kemudian berteduh di sebuah pohon beringin yang letaknya di dekat kaki Gunung Pulosari arah sebelah timur. Di tempat itulah mereka menginap dan tinggal untuk beberapa hari, di sebuah tempat yang dikelilingi hutan belantara, yang kemudian tempat itu dinamakan Waringin Kurung.

Seperti telah diceritakan, di Gunung Pulosari itulah terdapat banyak tempat para Adjar dan Pandita, yang tempat-tempat itu telah diketahui Ki Jong dan Ki Jo. Selama sebulan berada di Waringin Kurung itu, Ki Jong dan Ki Jo sering datang ke Gunung Pulosari, dan ketika kembali ke Waringin Kurung, selalu membawa sejumlah adjar yang segera menganut agama Islam. Walhasil, dari hari ke hari semakin banyak para adjar yang menganut agama Islam. Setelah tujuh kali Jum’at, Maulana Hasanuddin pun mengutus Ki Jong dan Ki Jo, dengan ditemani sejumlah adjar, untuk menemui Prabu Pucuk Umun di puncak Gunung Pulosari.

Sesampainya di puncak Gunung Pulosari, mereka mendapati Prabu Pucuk Umun tengah berkumpul dengan para punggawanya, yang ternyata telah mengetahui keberadaan Maulana Hasanuddin di Waringin Kurung. Dengan tenang Ki Jong dan Ki Jo pun masuk dan menemui Prabu Pucuk Umun. “Kakanda Prabu Pucuk Umun,” kata salah seorang dari mereka, “sudah saatnya Maulana Hasanuddin yang akan menjadi pemimpin dan panutan di negeri ini, dan karena itu alangkah baiknya bila Kakanda Prabu Pucuk Umun menganut agama yang telah kami anut.”

Mendengar hal itu, Prabu Pucuk Umun pun menjadi murka, juga para punggawanya. “Hai, Ki Jong!” ujar Prabu Pucuk Umun dengan lantang, “tidaklah mudah kami menukarkan agama begitu saja. Kecualia bila Panembahan barumu itu mau mengadu kesaktian. Karena itu alangkah baiknya bila kalian mempersiapkan diri saja untuk adu tanding antara aku dan panembahan barumu itu ditempat yang ditentukan.”

Mendengar jawaban Prabu Pucuk Umun itu, Ki Jong dan Ki Jo pun tersulut amarahnya hingga langsung mengeluarkan keris mereka dan segera mengarahkan ke arah Prabu Pucuk Umun. Namun, Prabu Seda Sakti berhasil mencegah dan menggenggam tangan Ki Jong dan Ki Jo, hingga keris mereka malah menyasar ke tubuh para ajar dan beberapa orang yang ada di sekitar tempat tersebut dan telah membuat beberapa orang tergelincir. Sontak saja, terjadilah adu-tanding dan adu kesaktian antara pasukan Ki Jong dan Ki Jo dengan beberapa punggawa di tempat tersebut, sementara beberapa orang memilih untuk meninggalkan tempat tersebut dengan jalan mengasingkan diri ke Gunung Aseupan dan ke Gunung Karang.   

SABUNG AYAM DI TEGAL PAPAK
Setelah kedua belah pihak telah bersepakat, dan telah menyiapkan ayam yang akan disabungkan, maka di hari itu, pada 11 Rabiul Awal, orang-orang dari istana Pakuan Banten Girang dan para adjar dan pandita di Gunung Pulosari telah berkumpul untuk menyaksikan pertandingan sabung ayam antara Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun. Saat itu, ayam keduanya saling mematuk, menghantam, mencabik, atau sesekali menghindari serangan lawannya, sebelum saling menyerang satu sama lain, yang diiringi oleh sorak-sorai dan gegap gempita para pendukung Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun secara bergantian atau pun bersamaan.

Saat itu, semua yang hadir dan menyaksikan adu tanding kesumat dan mendebarkan hati mereka yang menyaksikannya itu membuat semua yang melihatnya merasa takjub dan heran ketika kedua ayam yang sama gagah dan perkasanya belum menandakan ada yang akan kalah di tengah arena. Bila ayam yang satu terpantik atau terjangkar oleh ayam yang lainnya, maka para pendukungnya akan bersorak gembira, member dukungan, dan begitu juga sebaliknya. Sabung ayam atau adu-tanding dua ayam jalu itu juga disaksikan oleh Prabu Seda Sakti dan Jang Kangkalang dari Pakuan Pajajaran dan Agus Jong dan Agus Ju dari Pakuan Banten Girang. Di sisi lain, saat itu, Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun saling mengadu doa dan mantra agar ayam-ayam jalu mereka tetap gagah dan perkasa saat saling menyerang secara bersamaan dan bergantian.

Anehnya, tanding sabung ayam yang telah berlangsung sejak pagi hingga sore itu belum juga menampakkan mana yang kalah, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan adu tanding sabung ayam itu keesokan harinya.

Dan begitulah selanjutnya, adu tanding sabung ayam antara ayam Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun itu ternyata berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan kekalahan ayam jalu milik Prabu Pucuk Umun. “Sekarang sudah terbukti ayam milikku yang menang? Lalu apa keinginanmu selanjutnya?” Ujar Maulana Hasanuddin. “Tentu saja saya tetap tidak akan takluk dengan agama yang anda bawa, dan saya akan beradu tanding di medan laga!” Jawab Prabu Pucuk Umun. Ketika itu, Maulana Hasanuddin memberi isyarat kepada dua pengikutnya yang sama-sama bernama Ki Santri untuk menghadapi dan melawan Prabu Pucuk Umun, dan ketika dua Ki Santri hendak memegang lengan Prabuk Pucuk Umun, seketika Prabu Pucuk Umun pun melompat ke atas pohon kelapa dan masuk ke dalam cumplung kelapa, sembari berteriak: “Silahkan cari di mana gerangan aku berada?

Namun, dengan segera dan tanggap, Maulana Hasanuddin pun kembali memberi isyarat kepada dua Ki Santri agar memanjat pohon kelapa tersebut, dan mereka pun segera meluruhkan dan melepaskan cumplung kelapa tempat persembunyian Prabu Pucuk Umun itu hingga jatuh ke tanah. Dan ketika itu pula Prabu Pucuk Umun kembali memekik sambil keluar dari cumplung kelapa tersebut. Melihat keadaan itu, giliran Ki Mas Jong yang melompat untuk menangkap Prabu Pucuk Umun, yang pada saat itu pun Prabu Pucuk Umun menantang Ki Mas Jong untuk dapat mencari dirinya yang memang segera menghilang dan bersembunyi itu. Ketika itulah Maulana Hasanuddin memerintahkan dua Ki Santri untuk mencarinya di setiap bunga melati yang hendak mekar, dan bantinglah bila menemukan bunga tersebut.

Betul saja. Prabu Pucuk Umun memang bersembunyi di dalam bunga melati, dan saat Ki Santri mendapatkan bunga melati tempat persembunyiannya itu, Ki Santri pun menyerahkannya kepada Maulana Hasanuddin, yang segera membanting bunga melati tersebut hingga terlontarlah kilatan-kilatan api yang diiringi pekikan suara Prabu Pucuk Umun. Saat itu, Maulana Hasanuddin cepat-cepat memberi isyarat kepada Ki Santri untuk menangkapnya, meski Ki Santri gagal melakukannya karena Prabu Pucuk Umun ketika itu melompat dan terbang ke udara, bersembunyi di balik awan putih, yang segera diikuti oleh dua Ki Santri, hingga mereka bertarung di angkasa.

Setelah Ki Santri merasa tak punya lagi kesempatan untuk menangkap Prabu Pucuk Umun, segera pula memutuskan kembali ke Waringin Kurung. Sebagian hikayat dan cerita menyatakan bahwa Prabu Pucuk Umun terpukul kepalanya hingga jatuh ke bumi, dan kemudian menyelam ke dalam bumi hingga sampai ke Tamansari, Pandeglang atau pergi ke Ujung Kulon.

Demikianlah diceritakan bahwa Maulana Hasanuddin selama bertahun-tahun ada di daerah Gunung Pulosari demi menyebarkan agama Islam. Juga ke Gunung Karang, Gunung Aseupan, dan tempat-tempat di sekitarnya hingga sebanyak 798 orang resmi menganut agama Islam, yang di dalamnya termasuk para adjar dan kaum pandita. Sedangkan mereka yang tetap tak mau menganut agama Islam adalah: Prabu Pucuk Umun yang tinggal di Ujung Kulon, Prabu Anggalarang yang tinggal di Tanjung Tua, Lampung. Prabu Linggawastu yang tinggal di Gunung Raja Basa, Lampung. Prabu Langga Buana yang tinggal di Gunung Gede, Cilegon. Prabu Munding Kalongan yang tinggal di Gunung Kadesa, Puncakmanik. Prabu Bramakandil yang tinggal di Gunung Pulosari. Prabu Seda Sakti yang tinggal di Tanjung Pujut atau di kawasan Teluk Banten. Prabu Mundalati yang tinggal di Gunung Kendeng, Lebak. Prabu Jang Kangkaleng Jang Kangkarang yang tinggal di Gunung Karang, dan Prabu Dewa Ratu yang tinggal di Gunung Panaitan.

Sementara itu, Prabu Pucuk Umun, yang merupakan keturunan Pajajaran itu, dapat disilsilahkan sebagai berikut: Kudalalean memiliki anak bernama Banjaran Sari memiliki anak bernama Mundingsari memiliki anak bernama Mundingwangi memiliki anak bernama Sari Pamekas. Juga dapat disilsilahkan sebagai berikut: Prabu Seda memiliki anak tiga orang, yaitu Hariang Banga yang menjadi Ratu di Galuh, yang kedua Jaka Susuruh atau Raden Tanduran, dan yang ketiga adalah Ciung Wanara yang meniliki anak bernama Lutung Kasarung memiliki anak bernama Prabu Darmaraja memiliki anak bernama Prabu Sakti memiliki anak Prabu Dewata memiliki anak Prabu Jaya Dewa memiliki anak Prabu Manditi memiliki anak Prabu Dewa Pakuan memiliki anak Prabu Raja Dewa memiliki anak Prabu Guru Tunggal Sakti memiliki anak Prabu Guru Tunggal Seda memiliki anak Prabu Tunggal Buana memiliki anak Prabu Seda Raja memiliki anak Prabu Pucuk Umun atau Ragamulya Surya Kencana memiliki anak Sang Kangkaleng penunggu periuk tembaga atau Dalung di Banten Girang yang juga tidak mau menganut agama Islam.

Dari putra yang lain menurunkan Prabu Anggalarang yang mempunyai anak Prabu Lingga Wastu yang memiliki anak Pangeran Lingga Tunggal yang memiliki anak Susuk Tunggal yang memiliki anak Susuk Djati yang memiliki anak-anak Pakuan dan yang kemudian memiliki anak Lingga Lumaya. Demikianlah diceritakan Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari akhirnya tinggal di Ujung Kulon hingga akhir hayatnya.

MAULANA HASANUDDIN KE BANTEN SELATAN, INDRAGIRI, & PAJAJARAN
Selanjutnya, sebagaimana menurut cerita dan hikayat, pada suatu hari, Maulana Hasanuddin berpesan kepada Ki Mas Jong dan Ki Agus Ju agar tinggal dan menunggu istana Pakuan Banten Girang berserta rakyat di Banten Girang, karena ia akan pergi menuju Banten Selatan, yang setelah itu akan menuju Lampung. Dengan ditemani dua Ki Santri, berangkatlah Maulana Hasanuddin menuju Banten Selatan, kemudian pergi ke arah barat dengan mengikuti pantai laut sebelah barat hingga sampai ke Ujung Kulon. Dan dari Ujung Kulon, dengan menumpangi rakit, menyebarang ke Pulau Panaitan.

Saat berlayar atau menyebrang itulah, Maulana Hasanuddin meminta Ki Santri menyelam ke dasar laut, dan ketika Ki Santri telah muncul kembali, dibawanya sebuah Gong Keramat yang berpanju tujuh mungmung yang ia temukan dari dasar laut Panaitan. “Tahukah kau, Ki Santri, arti dan perlambang tujuh mungmung gong yang telah kita temukan itu?” Kata Maulana Hasanuddin, “Arti tujuh mungmung Gong Keramat ini menandakan bahwa keturunanku kelak hanya akan mengalami kemakmuran, kemerdekaan, dan kesentosaan hanya sampai tujuh turunan saja ketika mereka menjadi Raja di Banten. Sekarang letakkan Gong itu di atas air!”

Demikianlah sebagaimana dikisah hikayat, setelah dibalikkannya tujuh mungmungannya ke bawah, Gong Keramat itu pun terapung di atas air, dan mereka semua pun menumpangi Gong Keramat tersebut layaknya menaiki perahu jung, yang segera pula diberi kait di antara kedua sisinya hingga tak akan karam. Dengan menumpangi Gong Keramat itu pulalah, mereka berangkat dari Pulau Panaitan menuju Lampung. Mula-mula mereka mendarat ke Teluk Semangka, kemudian ke Silebar Bangka Hulu (yang kini bernama Bengkulu), hingga akhirnya ke Minangkabau. Dan dari Minangkabau itulah, ketika mereka kembali, berlayar mengikuti jalan pantai laut sebelah utara hingga sampai ke Seram.

Di sekitar Lampung dan Minangkabau itulah, yang menjadi Ratu bernama Ratu Dara Putih, yang ketika mengetahui kabar kedatangan Maulana Hasanuddin, segera menyambutnya di pantai, yang ketika mereka bertemu di pantai, mereka pun melanjutkan perjalanan dan akhirnya singgah di istana Ratu Dara Putih. Selama satu minggu Ratu Dara Putih menjamu dan tinggal bersama Maulana Hasanuddin, yang telah menjadi Panembahan Surosowan itu. Dan ketika itu pulalah, Maulana Hasanuddin menyarankan Ratu Dara Putih untuk memerintahkan rakyatnya menanam perca atau lada.

Setelah menghabiskan waktu berhari-hari dengan Ratu Dara Putih, Maulana Hasanuddin pun kembali berlayar menuju ke timur hingga sampai ke pesisir Karawang, masuk ke Sungai Citarum dan ke selatan, lalu ke barat, hingga akhirnya sampai ke Pajajaran. Dan dari Pajajaran kemudian meneruskan ke selatan, ke Pelabuhan Ratu, hingga akhirnya sampai kembali ke Ujung Kulon. Begitulah, setelah melakukan perjalanan dari Indragiri dan Pajajaran, beliau memutuskan untuk pulang ke Banten Girang. Dengan berangkat dari Ujung Kulon itulah Maulana Hasanuddin menempuh perjalanan pulang melalui Tanjung Lesung hingga akhirnya sampai ke istana Pakuan Banten Girang.

Seusainya berembug dan bermusyawarah, dan setelah selama bertahun-tahun melakukan seba atau perjalanan ke ragam negeri untuk menyebarkan Islam, Maulana Hasanuddin, yang kini dikenal sebagai Pangeran Sebakinking dan Panembahan Surosowan, mempercayakan Ki Mas Jong dan Agus Ju untuk membuka dan membagikan tanah kepada rakyat Banten. Rakyat Banten diperintahkan untuk pindah, memilih tanah, dan membangun rumah di wilayah Banten utara atau Banten Pesisir, kecuali tanah yang telah diberi batas dengan tali atau Paugeran, di mana ujung batas tali tersebut menjadi sebuah kampung yang bernama Kampung Paugeran.

Di masa itu, Banten Utara atau Banten Pesisir masih merupakan daerah dan tanah yang masih berupa rawa-rawa dan terendam air laut. Di mana terdapat sedikit sekali wilayah dan tanah dangkal yang layak untuk dibangun pemukiman. Tanah rawa-rawa itu banyak ditumbuhi pohon-pohon centigi, pohon api-api, dan pepohonan laut lainnya. Dan ketika dibuka alias dibabat, tanah-tanah itu menjadi kering karena tertimbun sisa penebangan dan pembabatan, juga terurug tanah, hanya saja masih terdapat sebuah tanah dan daerah yang begitu dalam tancangnya, tanah yang diperuntukkan untuk membangun tempat Panembahan Surosowan.

Di hari itulah semua orang sibuk bekerja dan membabat secara beramai-ramai dan bergotong royong di bawah komando dan pimpinan Ki Mas Jong dan Agus Ju. Sementara pekerjaan yang lainnya dikomandoi dan dipimpin oleh Ki Santri. Karena semangat dan motivasi yang tinggi dalam bekerja, tak memakan waktu lama, telah berbaris rumah-rumah hingga ke batas Paugeran. Meski tanah yang diperuntuhkkan untuk membangun Surosowan masih saja terendam air dan masih berupa rawa. Dan memang, telah dicari segala cara untuk mengeringkan tanah yang akan dijadikan sebagai pembangunan dan pendirian Surosowan itu, namun masih saja tak dapat dikeringkan.

Karena keadaan tersebut, Ki Mas Jong dan Agus Ju pun menceritakannya ke Maulana Hasanuddin yang kala itu masih berada di istana Pakuan Banten Girang. Mendengar apa yang diceritakan Ki Mas Jong dan Agus Ju itu, Maulana Hasanuddin berkata kepada mereka bahwa ia akan datang langsung ke tempat itu bersama-sama dengan Ki Mas Jong dan Agus Ju, beserta sejumlah rakyat Banten lainnya dari Banten Girang.

Dan keesokan harinya, ratusan rakyat Banten mengangkuti dan membawa perkakas mereka masing-masing, hingga jalan yang mulanya berupa setapak, tiba-tiba menjadi lebar, karena barisan rakyat Banten yang tak ubahnya sejumlah pasukan perang yang dipimpin langsung oleh Maulana Hasanuddin. Dan ketika mereka sampai di kota Banten yang baru itu, mereka pun melakukan pekerjaan mereka masing-masing, sementara itu Maulana Hasanuddin segera menuju ke sebuah tempat yang telah diceritakan oleh Ki Mas Jong dan Agus Ju untuk dibangun Surosowan yang masih terendam air itu.

Maulana Hasanuddin pun berhenti sesaat, kemudian menuju ke pantai bersama Ki Mas Jong, Agus Ju dan dua Ki Santri. Pada sebuah batu kering di tempat itulah, mereka melaksanakan solat sunnah dua rakaat berjamaah dan kemudian berdoa agar air yang masih merendam tempat yang akan dijadikan sebagai Surosowan itu menjadi kering. Syahdan, ketika mereka telah kembali dari pantai dan tempat di mana mereka melaksanakan sembahyang sunnah berjamaah dan berdoa itu, tempat yang akan dijadikan sebagai Surosowan itu pun menjadi kering, hingga semak-semak basahnya berubah kering keesokan harinya.

Ternyata, di tempat yang akan dijadikan sebagai Surosowan atau ibukota Banten yang baru, itulah ada seorang pertapa yang tengah duduk bertapa di atas Watu Gilang atau batu yang berkilauan, seorang pertapa yang telah terlilit ilalang dan tertimbun pepohonan, sementara kepalanya telah menjadi sarang burung empit. Pertapa itu tak lain adalah Betara Guru Jampang. “Silahkan adinda duduk di atas batu ini!” Perintah sang pertapa itu kepada Maulana Hasanuddin, “Sebab ketika adinda duduk di atas batu ini, maka adinda telah menjadi Raja Banten. Dan ingatlah, jangan sampai batu ini adinda pindahkan dari tempatnya.” Maulana Hasanuddin pun mematuhi perintah Betara Guru Jampang itu, sedangkan Betara Guru Jampang justru meninggalkannya dan menghilang dalam sekejap.

Di tempat Watu Gilang itulah kemudian didirikan sebuah rumah sebagai pesanggrahan batu tersebut, sebab seperti telah diperintahkan dan dikatakan Betara Guru Jampang, bila batu itu telah dipindahkan atau hilang dari tempatnya semula, akan berakibat pada rusaknya kemajuan Banten. Begitulah seterusnya, pembangunan kota Banten yang baru itu pun terus dikerjakan di bawah komando dan pimpinan Ki Mas Jong dan Agus Ju, sebelum akhirnya orang-orang dari Majapahit mempermegahnya.

Demikianlah hikayat Maulana Hasanuddin, yang menyebarkan Islam atas perintah ayahnya, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati di Cirebon, selama bertahun-tahun, yang akhirnya berhasil menjadi pemimpin masyarakat berkat kesabaran dan kegigihannya dalam berdakwah dengan cara dan jalan hikmah, dan akhirnya berhasil pula mendirikan Kesultanan Banten.

Tidak ada komentar: