Sketsanya dibuat secara manual oleh tangan dan
jari-jemari....lalu diwarnai dengan perangkat paint yang ada di
komputer....hasilnya adalah Seni Avant Garde....
Jangan Bersedih Sayang
Jangan bersedih sayaaang.....maafkan aku jika telah melukai perasaanmu....
Kamu tuh cantik meski kamu genit dan centil...kamu punya bibir, rambut, dan mata yang indah dan seksi....Mungkin dibalik kegenitan dan kecentilanmu ada yang ingin kamu katakan dengan tubuhmu ketika kata-kata menurutmu tidak tepat sebagai penyampai yang arif dan bijak....Sebagai seorang amatir, sketsa yang kubuat tentu tak sempurna dan tak persis seperti kamu....Barangkali juga aku cuma iseng, di saat aku membutuhkan suatu alasan untuk sekedar menghibur diri....Hampir saja aku lupa bahwa aku juga ingin berkata dengan jujur dan terus-terang, kamu itu perempuan yang puitis.....
Kamu cantik dan manis, S. kamu juga centil dan genit….di beberapa foto selfie-mu, kau mencorat-coret pipimu dan mengacak-ngacak rambutmu. Aku tak menyangka rambutmu ternyata indah berderai ketika kau lepas kerudungmu….
Dua Puisi Evangeline Joy dan Satu Puisi Sulaiman Djaya
Puisi-puisi Evangeline Joy
1
Perhaps we can't
We can't Have anything
Anything at all
When what is wanted
Becomes undesired
At the point of attainment
I reached for it:
Flower growing in
hidden space,
Petals of flame
Shining amber-scarlet
Everything lovely,
Aroma of need-
satisfaction
But, with single grasp,
Crumbling to ash
At scorched fingertips
Now, with tender hands
Pressed to salt-stung lips
I turn away
A final
Glance, backward
At charred seed left
behind
In shadow crevices
Illusion's offspring:
Unviable.
2
Happy secrets
Fluttering behind the
Corner of damp lips
And somewhere behind
These BrightEyes
An entire universe is
Ever being born
And I am young enough
To still grasp the
Wonder
But old enough to begin to
Understand
Made fresh, made new
every time
The water rushes
over me
Through me
I am so alive alive alive
Have I ever felt
This alive?
And I have never
been so much
Myself
Felt within this skin
Stretching, breathing
Pulsing
Me
Electric ease,
Reaching out,
Complete.
Lagu Pop
untuk E. (Puisi Sulaiman Djaya)
Antara debu-debu basah
Januari, cintaku,
Akan ada kereta-kereta
waktu
Pada derai lampu-lampu
yang menunggu
Dan gerimis yang patah
seperti nasib yang
berlepasan
Dalam tatapan
mataku-matamu.
Tetapi tahun-tahun takkan
pergi
Dari pintu-pintu yang
terkunci
Antara kamar baca
dan hijau
Yang kau duga.
Kita menyebutnya
ketakpastian
Yang selalu bergairah,
Dingin yang menghantam,
Sepi yang kau titipkan
Pada riuh lalu-lalang.
Tahun-tahun adalah kibasan
perak
Warna kelabu yang jadi
biru
Dari ujar ranum daun-daun
Ketika kau buka matamu
Dan mendendang sajakmu
Catatan Harian Ahmad Hasan Bagian Kedua oleh Sulaiman Djaya (2002)
Aku baru saja
menyelesaikan pekerjaanku mendatangi orang-orang di kawasan yang bisa dibilang
kumuh, rumah-rumah di kawasan Jakarta Utara yang dipenuhi bau-bau tak sedap.
Aku sedikit heran bagaimana orang-orang itu bisa kerasan untuk menetap dan
tinggal di kawasan tersebut. Kebanyakan dari mereka bekerja dan mendapatkan
pendapatan keseharian mereka dari ikan-ikan yang mereka tangkap dan yang mereka
jual, sebagian dari mereka mengeringkan ikan-ikan itu dengan alat-alat yang
terbuat dari bambu. Kawasan itu mengingatkanku pada lingkungan dua temanku
ketika aku masih bersekolah di sekolah menengah atas. Dua temanku itu tinggal
di Kampung Gusti di kawasan Teluk Gong, yang kebanyakan orang-orangnya
melakukan pekerjaan yang tak jauh berbeda dengan orang-orang di kawasan Kamal
di mana aku menghabiskan pagi hingga soreku untuk mewawancarai mereka.
Bau tak sedap di
kawasan-kawasan itu semakin menjadi-jadi di musim-musim hujan, sesuatu yang
sangat jauh berbeda dengan tempat di mana aku dilahirkan, di mana hujan dengan riang
dan bebas mencandai pepohonan dan jalan-jalan tanpa mesti melahirkan bau-bau
tak sedap yang membuat kepala terasa pusing dan pening di saat badanku penuh
dengan keringat.
Memang, ada rasa puas
melakukan pekerjaan yang membuatku bisa bertatap muka dan berbincang dengan
orang-orang dari beragam latar belakang dan keadaan. Tapi haruslah kuakui, ada
juga rasa bosannya ketika aku harus berjuang dengan kemacetan atau karena
keringat yang membasahi bajuku akibat cuaca yang menyengat. Belum lagi kalau
aku harus menunggu dan bengong sendirian untuk menunggu angkutan yang akan
mengantarkanku ke tempat di mana aku harus melakukan wawancara. Seperti ketika
aku duduk di halte, yang meski aku tidak sendirian, orang-orang di halte takkan
memberikan obrolan karena mereka memang orang-orang yang tak mengenalku. Di
saat-saat seperti itu, rasa asing dan jenuh acapkali menyerangku tiba-tiba.
Halte bagiku sebuah tempat
yang begitu akrab sekaligus acapkali membuatku merasa asing dan kesepian. Aku
tak suka menghabiskan waktu hanya untuk menunggu. Terlebih bila itu kulakukan
di waktu-waktu malam di saat lalulang dan laju lalu-lintas seringkali membuatku
was-was, bosan, dan membuat kepalaku terserang berat. Meskipun demikian, aku
selalu berusaha untuk menenangkan hati dan pikiranku. Contohnya dengan cara
berusaha mengakrabi lampu-lampu dan sesekali memandangi langit malam sebelum
bus yang kutunggu melintas dan berhenti menawarkan jasa tumpangannya.
Sementara itu, sebuah kota
dalam pengalaman hidupku adalah sebuah keresahan bagi seorang lelaki yang
sensitif dan mudah berubah suasana hatinya. Tapi bukan berarti ia tak memberiku
kebahagiaan. Sebab banyak sekali pelajaran yang diberikannya kepadaku tentang
orang-orang yang tabah dan begitu pandainya menyembunyikan kegundahan dan keresahan
mereka dengan wajah dan penampilan mereka, yang setidak-tidaknya telah
mengajarkanku sesuatu yang lain lagi, bahwa apa yang kurasakan tak mesti
diketahui oleh orang lain. Tentang bagaimana orang-orang memperjuangkan hidup
mereka dalam kemacetan dan keriuhan di saat cuaca mudah memancing keringat
mengucur deras.
Ketika hendak mengunjungi
rumah orang-orang yang akan kuwawancarai, aku lebih suka berjalan kaki saja
sambil sesekali menanyakan alamat orang-orang yang akan kuwawancarai pada
orang-orang yang kupikir tahu dan akan menjawabnya dengan jujur seperti kepada
para pemilik warung yang berada di kawasan tempat tinggal orang-orang yang akan
kuwawancarai. Ada banyak sekali yang kudapatkan ketika aku mewawancarai
orang-orang. Sedikit-banyaknya rasa empatiku terasah pelan-pelan bahwa ada sisi
lain kehidupan yang tetap bisa memberikan kehangatan ketika kita mendekati dan
mengakrabinya dengan perbincangan. Karena itu, aku tak sepenuhnya taat pada
pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan oleh lembar-lembar kuesioner yang
memang agak tebal.
Sesekali aku menghentikan
wawancaraku dengan menyelinginya dengan pura-pura bertanya sesuatu yang tak
berkaitan dengan survey, melainkan sesuatu yang ada kaitannya dengan hal-hal
remeh yang kupikir diminati atau dialami orang yang tengah kuwawancarai.
Sesekali dengan sedikit canda agar tercipta sedikit keakraban dan mengenyahkan
kekakuan atau ketegangan dari sikap-sikap yang terlalu formal.
Dari pengalaman dan
pekerjaanku itu, aku mendapatkan banyak sekali perbandingan tentang apa dan
bagaimana orang-orang memilih dan menjalani hidupnya. Tentang cara mereka
menyikapinya dan menerimanya sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang
mereka dapatkan. Sebagiannya hanya melakukan yang sudah dilakukannya tanpa
pernah berpikir untuk beralih pada pekerjaan atau kemungkinan lain yang mungkin
saja bisa mereka lakukan. Menjumpai dan menghadapi orang-orang seperti itu, aku
selalu berusaha sebisa mungkin untuk sanggup menjelmakan diriku sebagai orang
yang ramah dan pura-pura peduli pada mereka. Aku mesti menjadi seseorang yang
seakan-akan sanggup bersikap akrab dalam situasi apa pun dan kapan pun. Sesuatu
yang tentu saja sangat berbeda ketika aku tengah menikmati kesendirianku di
dalam kamar atau di ruang belajar sambil mendengarkan musik-musik yang kusukai.
Demikianlah, di halte di
mana aku sendiri duduk dan menunggu bus yang akan kunaiki dan kumasuki, lalu
duduk kembali, aku selalu saja heran sekaligus kagum bila melihat orang-orang
yang menunggu bus atau pun angkutan yang akan mereka tumpangi setiap hari di
waktu pagi, siang, dan sore. Tidakkah rutinitas yang mereka lakukan itu
membutuhkan ketabahan tersendiri untuk senantiasa mengenyahkan rasa was-was dan
gundah yang menurutku selalu mereka rasakan dan mereka pendam dengan kecakapan
dan keterampilan yang telah mereka latih setiap hari.
Di halte atau pun di
trotoar, di mana orang-orang duduk menunggu, yang sebagiannya berdiri, aku
dapat melihat bagaimana hanya orang-orang yang berpasangan saja yang sesekali
berbicara satu sama lain seperti sepasang remaja atau sepasang suami istri yang
tengah bepergian bersama. Selebihnya hanya orang-orang yang diam, tak menyapa
satu sama lain. Ada yang setia berdiri mengarahkan pandangannya ke arah jalan.
Ada yang sesekali tertunduk. Ada juga yang berbicara pada handphone-nya. Bahkan
keasikan mereka dengan keadaan mereka masing-masing yang membuat mereka tak
menganggap keberadaan si gelandangan telanjang yang tak jauh dari halte di mana
aku dan mereka duduk. Si gelandangan yang kadang tertawa dan tersenyum sendiri,
yang juga bergerak-gerak dan bertingkah dalam keasikannya sendiri.
Aku tak tahu dunia apa
yang ada di benak dan yang tengah dialami si gelandangan, yang sebenarnya
membuatku cemburu dengan kebebasan dan keasikannya itu. Keasikan yang seakan-akan
hanya dirinya saja yang ia anggap ada. Sebentuk keacuhan dan ketakpedulian yang
membuatku merasa aneh sekaligus merasa kagum. Tiba-tiba aku tertarik dengan
perempuan gelandangan yang mengapit gayung dengan ketiaknya dan memegang piring
dan gelas plastik kosong dengan tangan kanannya.
Si perempuan gelandangan
itu berdiri dan bergerak-gerak tak jauh dari halte di mana aku duduk menunggu
bus. Kadang-kadang ia berusaha menyapa orang-orang yang lewat di depannya,
lalulalang yang tentu saja tak menghiraukannya. Aku terus berusaha
menerka-nerka apa gerangan yang ada dalam benak dan pikirannya. Apa makna
gayung, piring, dan gelas plastik dalam kehidupannya. Meski aku tak sanggup
mengetahui jawabannya dan mungkin hanya ia sendiri yang mengerti dan mengalaminya.
Sementara itu, decit ban dan roda-roda yang berputar cepat seolah terus
terlempar ke arahku yang tengah duduk memandangi dan merenungi dirinya yang
membuatku heran dan penasaran kenapa ia seakan-akan tak mempedulikan dirinya
dan terus menggoda orang-orang yang berjalan dan melintas di depannya. Sesekali
ia bergeser dan berpindah beberapa meter dari tempat ia berdiri semula.
Tanpa kusadari, aku merasa
ingin mengetahui lebih dekat sekaligus merasa terhibur dengan apa yang
dilakukannya itu ketika bus yang kutunggu belum juga datang, malah terjadi
kemacetan yang cukup panjang di depanku. Diam-diam aku selalu merenung di mana
pun aku berada, seperti ketika aku duduk di halte demi menunggu bus yang akan
kutumpangi. Mungkin itu semua sudah merupakan pembawaan bathinku yang tiba-tiba
tertarik dengan keadaan dan apa yang dapat dijangkau oleh pandangan kedua
mataku demi mencari sekian pengalih perhatian dari rasa was-was dan
kegundahanku sendiri. Bahwa apa yang kulakukan untuk bersikap intim dan akrab
pada sesuatu yang lain pun tak lepas dari motif dan kepentinganku sendiri untuk
menghindari rasa tak nyaman dan penderitaan-penderitaan kecil yang kualami
setiap kali aku melakukan aktivitas di kota yang setiap hari selalu menyuguhkan
kemacetan.
Catatan Kurator Sayembara Naskah Drama DKB 2017
Setelah memakan waktu
beberapa minggu untuk membaca, menelaah, dan menimbang naskah-naskah drama yang
dikirim para peserta ke Panitia Sayembara Naskah Dewan Kesenian Banten 2017,
kami (para kurator) akhirnya berhasil memilih tiga naskah yang layak untuk
menjadi para pemenang 1,2, dan 3 berdasarkan kriteria dan kategori penilaian
yang telah ditetapkan Panitia dan Komite Teater Dewan Kesenian Banten, yang
mana Sayembara Naskah Drama DKB 2017 ini ingin mengangkat lanskap dan khazanah
kultural, sosial, historis, dan politis Banten dalam drama dan pentas teater.
Tentu saja ada sejumlah
aspek estetik, termasuk aspek literer yang sifatnya sastrawi, selain aspek
pokok-pokok drama dan teater itu sendiri yang menjadi landasan untuk membaca
dan menilai kelayakan sebuah naskah drama, yang menjadi dasar penilaian dan
pertimbangan bagi kami (para kurator) untuk membaca, menganalisis, dan
menimbang sebelum akhirnya kami memutuskan dan menetapkan beberapa naskah untuk
menjadi para pemenang Sayembara Naskah Drama Dewan Kesenian Banten 2017 yang
mengambil tema besar AING BANTEN ini.
Selain itu, sudut pandang
dan isi yang kontekstual dan aktual yang dinarasikan sebuah naskah drama yang
dikirim ke panitia Sayembara Naskah Drama Dewan Kesenian Banten 2017, juga
menjadi salah-satu pertimbangan dan penilaian kami sebagai para kurator yang
terdiri dari Chavchay Syaifullah, Rony M. Khalid, dan Sulaiman Djaya dalam
mengangkat ke-Banten-an menjadi sebuah naskah drama, sehingga dapat dicapai
unsur kreativitas dan muatan inovatif dalam Dunia Kepenulisan Naskah Drama
secara khusus dan teater secara umum.
Bahwa Dunia Kepenulisan
Naskah Drama dan Teater tidak imun dan tak bisa mengelak dari spirit estetik
dan intelektual yang sifatnya responsif dan reflektif atas dunia dan peristiwa
keseharian yang terjadi dan berlangsung di sekitar kita, sehingga seni dan
kerja intelektual kesenian dan kepenulisan itu sendiri tidak menghindar dan
tidak mengasingkan diri dari perkembangan historis dan kultural manusiawi dalam
kehidupan kita, termasuk dalam konteks ke-Banten-an, baik secara politis,
historis, dan kultural.
Berdasarkan kriterium dan
dasar-landasan yang telah disebutkan itu, kami para kurator berhasil memilih
dan akhirnya memutuskan tiga naskah yang layak menjadi para pemenang Sayembara
Naskah Drama Dewan Kesenian Banten 2017. Juara 1 adalah naskah berjudul Arya
Ranamanggala karya Anton Daryanto Bendet, yang berusaha memotret peristiwa
historis, sosial, politis, dan kultural masa silam Banten untuk dikontekskan
dengan kekinian Banten secara reflektif, ironis, dan satiris ke dalam pentas
drama dan teater modern.
Dengan teknik dan bentuk
kepenulisan drama Shakesperian dan stage kontemporer, naskah drama berjudul
Arya Ranamanggala itu adalah sebuah naskah drama yang meminjam peristiwa
historis, politis, sosial, dan kultural masa silam Banten untuk melihat dan
mengkritisi secara reflektif dan ironis Banten saat ini ke dalam drama dan seni
pertunjukkan di panggung.
Juara Kedua adalah naskah
berjudul Jarog karya Yudi Damanhuri yang memotret dan ‘mementaskan’ kehidupan
kultural, adat, kebiasaan, dan keseharian masyarakat pedesaan di Banten Selatan
yang berusaha dilihat dan ditampilkan dengan perspektif mengkritisi secara
tersirat lewat dialog para tokohnya, seperti antara Saneah dan Sartam, semisal
‘sikap malas’ lelaki bujang yang hobinya main sabung ayam dan menjual aset
warisan orang tua mereka, yang pada saat bersamaan mereka berusaha membenarkan
kebiasaan ‘buruk’ tersebut dengan alibi dan dalih teologis yang sifatnya
fatalis, yang pada saat bersamaan memotret dan ‘mementaskan’ laku sok jawara
dan lanskap kejawaraan di Banten Selatan.
Naskah Jarog ini pada
dasarnya menarasikan dan ‘mementaskan’ lanskap dan laku sosial dan kultural
masyarakat Banten Selatan ke dalam drama dan panggung pertunjukkan secara
karikaturis berdasarkan wawasan penulisnya, yang meski ‘belum lengkap’, tetap
sanggup menampilkan potret sosial dan kultural masyarakat Banten Selatan.
Dan terakhir, Juara
Ketiga, adalah naskah Asal-usul Mandalawangi karya Lukmanul Hakim yang
merupakan lakon drama dua adegan yang mengisahkan narasi mitologi lokal di
Banten Selatan di masa Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Maulana
Hasanudin. Sebuah narasi tentang perpindahan dan atau peralihan teologis dan
kultural masyarakat Banten Selatan bersamaan dengan datang dan hadirnya Islam
di Banten yang didakwahkan oleh Sultan Maulana Hasanudin, ketika Sultan Pertama
Kesultanan Banten itu mengenalkan Islam ke wilayah Banten Selatan, tepatnya di
Pandeglang.
Demikian lah tiga pemenang
Sayembara Naskah Drama Dewan Kesenian Banten 2017 dari sekian naskah yang kami
baca, kami analisis, dan akhirnya kami ‘nilai’ sesuai dengan kriterium dan
dasar-landasan yang telah kami paparkan sebelumnya.
Kurator (Dewan Juri) Sayembara:
Chavchay Syaifullah
Rony M. Khalid
Langganan:
Postingan (Atom)