Catatan Harian Ahmad Hasan Bagian Kedua oleh Sulaiman Djaya (2002)



Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku mendatangi orang-orang di kawasan yang bisa dibilang kumuh, rumah-rumah di kawasan Jakarta Utara yang dipenuhi bau-bau tak sedap. Aku sedikit heran bagaimana orang-orang itu bisa kerasan untuk menetap dan tinggal di kawasan tersebut. Kebanyakan dari mereka bekerja dan mendapatkan pendapatan keseharian mereka dari ikan-ikan yang mereka tangkap dan yang mereka jual, sebagian dari mereka mengeringkan ikan-ikan itu dengan alat-alat yang terbuat dari bambu. Kawasan itu mengingatkanku pada lingkungan dua temanku ketika aku masih bersekolah di sekolah menengah atas. Dua temanku itu tinggal di Kampung Gusti di kawasan Teluk Gong, yang kebanyakan orang-orangnya melakukan pekerjaan yang tak jauh berbeda dengan orang-orang di kawasan Kamal di mana aku menghabiskan pagi hingga soreku untuk mewawancarai mereka.

Bau tak sedap di kawasan-kawasan itu semakin menjadi-jadi di musim-musim hujan, sesuatu yang sangat jauh berbeda dengan tempat di mana aku dilahirkan, di mana hujan dengan riang dan bebas mencandai pepohonan dan jalan-jalan tanpa mesti melahirkan bau-bau tak sedap yang membuat kepala terasa pusing dan pening di saat badanku penuh dengan keringat.

Memang, ada rasa puas melakukan pekerjaan yang membuatku bisa bertatap muka dan berbincang dengan orang-orang dari beragam latar belakang dan keadaan. Tapi haruslah kuakui, ada juga rasa bosannya ketika aku harus berjuang dengan kemacetan atau karena keringat yang membasahi bajuku akibat cuaca yang menyengat. Belum lagi kalau aku harus menunggu dan bengong sendirian untuk menunggu angkutan yang akan mengantarkanku ke tempat di mana aku harus melakukan wawancara. Seperti ketika aku duduk di halte, yang meski aku tidak sendirian, orang-orang di halte takkan memberikan obrolan karena mereka memang orang-orang yang tak mengenalku. Di saat-saat seperti itu, rasa asing dan jenuh acapkali menyerangku tiba-tiba.

Halte bagiku sebuah tempat yang begitu akrab sekaligus acapkali membuatku merasa asing dan kesepian. Aku tak suka menghabiskan waktu hanya untuk menunggu. Terlebih bila itu kulakukan di waktu-waktu malam di saat lalulang dan laju lalu-lintas seringkali membuatku was-was, bosan, dan membuat kepalaku terserang berat. Meskipun demikian, aku selalu berusaha untuk menenangkan hati dan pikiranku. Contohnya dengan cara berusaha mengakrabi lampu-lampu dan sesekali memandangi langit malam sebelum bus yang kutunggu melintas dan berhenti menawarkan jasa tumpangannya.

Sementara itu, sebuah kota dalam pengalaman hidupku adalah sebuah keresahan bagi seorang lelaki yang sensitif dan mudah berubah suasana hatinya. Tapi bukan berarti ia tak memberiku kebahagiaan. Sebab banyak sekali pelajaran yang diberikannya kepadaku tentang orang-orang yang tabah dan begitu pandainya menyembunyikan kegundahan dan keresahan mereka dengan wajah dan penampilan mereka, yang setidak-tidaknya telah mengajarkanku sesuatu yang lain lagi, bahwa apa yang kurasakan tak mesti diketahui oleh orang lain. Tentang bagaimana orang-orang memperjuangkan hidup mereka dalam kemacetan dan keriuhan di saat cuaca mudah memancing keringat mengucur deras.

Ketika hendak mengunjungi rumah orang-orang yang akan kuwawancarai, aku lebih suka berjalan kaki saja sambil sesekali menanyakan alamat orang-orang yang akan kuwawancarai pada orang-orang yang kupikir tahu dan akan menjawabnya dengan jujur seperti kepada para pemilik warung yang berada di kawasan tempat tinggal orang-orang yang akan kuwawancarai. Ada banyak sekali yang kudapatkan ketika aku mewawancarai orang-orang. Sedikit-banyaknya rasa empatiku terasah pelan-pelan bahwa ada sisi lain kehidupan yang tetap bisa memberikan kehangatan ketika kita mendekati dan mengakrabinya dengan perbincangan. Karena itu, aku tak sepenuhnya taat pada pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan oleh lembar-lembar kuesioner yang memang agak tebal.

Sesekali aku menghentikan wawancaraku dengan menyelinginya dengan pura-pura bertanya sesuatu yang tak berkaitan dengan survey, melainkan sesuatu yang ada kaitannya dengan hal-hal remeh yang kupikir diminati atau dialami orang yang tengah kuwawancarai. Sesekali dengan sedikit canda agar tercipta sedikit keakraban dan mengenyahkan kekakuan atau ketegangan dari sikap-sikap yang terlalu formal.

Dari pengalaman dan pekerjaanku itu, aku mendapatkan banyak sekali perbandingan tentang apa dan bagaimana orang-orang memilih dan menjalani hidupnya. Tentang cara mereka menyikapinya dan menerimanya sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang mereka dapatkan. Sebagiannya hanya melakukan yang sudah dilakukannya tanpa pernah berpikir untuk beralih pada pekerjaan atau kemungkinan lain yang mungkin saja bisa mereka lakukan. Menjumpai dan menghadapi orang-orang seperti itu, aku selalu berusaha sebisa mungkin untuk sanggup menjelmakan diriku sebagai orang yang ramah dan pura-pura peduli pada mereka. Aku mesti menjadi seseorang yang seakan-akan sanggup bersikap akrab dalam situasi apa pun dan kapan pun. Sesuatu yang tentu saja sangat berbeda ketika aku tengah menikmati kesendirianku di dalam kamar atau di ruang belajar sambil mendengarkan musik-musik yang kusukai.

Demikianlah, di halte di mana aku sendiri duduk dan menunggu bus yang akan kunaiki dan kumasuki, lalu duduk kembali, aku selalu saja heran sekaligus kagum bila melihat orang-orang yang menunggu bus atau pun angkutan yang akan mereka tumpangi setiap hari di waktu pagi, siang, dan sore. Tidakkah rutinitas yang mereka lakukan itu membutuhkan ketabahan tersendiri untuk senantiasa mengenyahkan rasa was-was dan gundah yang menurutku selalu mereka rasakan dan mereka pendam dengan kecakapan dan keterampilan yang telah mereka latih setiap hari.

Di halte atau pun di trotoar, di mana orang-orang duduk menunggu, yang sebagiannya berdiri, aku dapat melihat bagaimana hanya orang-orang yang berpasangan saja yang sesekali berbicara satu sama lain seperti sepasang remaja atau sepasang suami istri yang tengah bepergian bersama. Selebihnya hanya orang-orang yang diam, tak menyapa satu sama lain. Ada yang setia berdiri mengarahkan pandangannya ke arah jalan. Ada yang sesekali tertunduk. Ada juga yang berbicara pada handphone-nya. Bahkan keasikan mereka dengan keadaan mereka masing-masing yang membuat mereka tak menganggap keberadaan si gelandangan telanjang yang tak jauh dari halte di mana aku dan mereka duduk. Si gelandangan yang kadang tertawa dan tersenyum sendiri, yang juga bergerak-gerak dan bertingkah dalam keasikannya sendiri.

Aku tak tahu dunia apa yang ada di benak dan yang tengah dialami si gelandangan, yang sebenarnya membuatku cemburu dengan kebebasan dan keasikannya itu. Keasikan yang seakan-akan hanya dirinya saja yang ia anggap ada. Sebentuk keacuhan dan ketakpedulian yang membuatku merasa aneh sekaligus merasa kagum. Tiba-tiba aku tertarik dengan perempuan gelandangan yang mengapit gayung dengan ketiaknya dan memegang piring dan gelas plastik kosong dengan tangan kanannya.

Si perempuan gelandangan itu berdiri dan bergerak-gerak tak jauh dari halte di mana aku duduk menunggu bus. Kadang-kadang ia berusaha menyapa orang-orang yang lewat di depannya, lalulalang yang tentu saja tak menghiraukannya. Aku terus berusaha menerka-nerka apa gerangan yang ada dalam benak dan pikirannya. Apa makna gayung, piring, dan gelas plastik dalam kehidupannya. Meski aku tak sanggup mengetahui jawabannya dan mungkin hanya ia sendiri yang mengerti dan mengalaminya. Sementara itu, decit ban dan roda-roda yang berputar cepat seolah terus terlempar ke arahku yang tengah duduk memandangi dan merenungi dirinya yang membuatku heran dan penasaran kenapa ia seakan-akan tak mempedulikan dirinya dan terus menggoda orang-orang yang berjalan dan melintas di depannya. Sesekali ia bergeser dan berpindah beberapa meter dari tempat ia berdiri semula.

Tanpa kusadari, aku merasa ingin mengetahui lebih dekat sekaligus merasa terhibur dengan apa yang dilakukannya itu ketika bus yang kutunggu belum juga datang, malah terjadi kemacetan yang cukup panjang di depanku. Diam-diam aku selalu merenung di mana pun aku berada, seperti ketika aku duduk di halte demi menunggu bus yang akan kutumpangi. Mungkin itu semua sudah merupakan pembawaan bathinku yang tiba-tiba tertarik dengan keadaan dan apa yang dapat dijangkau oleh pandangan kedua mataku demi mencari sekian pengalih perhatian dari rasa was-was dan kegundahanku sendiri. Bahwa apa yang kulakukan untuk bersikap intim dan akrab pada sesuatu yang lain pun tak lepas dari motif dan kepentinganku sendiri untuk menghindari rasa tak nyaman dan penderitaan-penderitaan kecil yang kualami setiap kali aku melakukan aktivitas di kota yang setiap hari selalu menyuguhkan kemacetan. 

Tidak ada komentar: