Khusraw dan Shirin (Bagian Kedua)


Berita pergolakan di Persia sampai di Armenia. Syirin mengkhawatirkan Khusraw tetapi Syapur mampu menenangkannya. Syapur telah menjadi sahabat dan kepercayaan sang putri. “Jangan takut akan keselamatan Tuanku Pangeran,” kata Syapur, “ia terlampau cerdas untuk membiarkan orang mencelakainya.” Agar hati Syirin sedikit gembira, Syapur menyarankan untuk berburu rusa, satu hal yang dulu menjadi kegemaran sang putri. Oleh karena itu, Syirin bersama Syapur, diikuti beberapa orang pelayan, berkemah di sebuah tempat yang jauhnya 15 mil di luar ibukota Armenia. Pada hari kedua, Syirin melihat seorang penunggang kuda mendekat dari kejauhan, ketika semakin dekat, Syapur baru mengenalinya.

Orang itu adalah Khusraw yang mengenakan baju putih petani. Setelah menunggu begitu lama dengan kerinduan yang mendalam, akhirnya Khusraw dan Syirin berdiri berhadapan. Tetapi pertemuan tersebut begitu mendadak dan tak terduga, sehingga keduanya hanya bisa menggumamkan salam malu-malu ketika diperkenalkan. Khusraw berkuda bersama rombongan Syirin menuju perkemahan yang menjadi tempat kesenangan Syirin di pedalaman. Diiringi pemusik dan para pelayan Syirin, mereka menghabiskan hari-hari dengan bernyanyi dan menari, minum dan bermain polo. Tentu saja, kedua kekasih yang sedang asyik itu tidak menyadari berapa lama waktu sudah berlalu.

Beberapa hari kemudian, Khusraw dan Syirin akhirnya dapat berduaan, jauh dari pandangan yang lainnya. Di bawah pohon kenari yang dulu pernah memajang gambar misterius Khusraw, mereka berciuman dan saling mengucapkan cinta. Namun ketika Khusraw meminta Syirin berkencan bersamanya, Syirin mundur selangkah, “Kupikir engkau mencintaiku,” katanya mencela. “Aku mencintaimu,” jawab Khusraw. “Itulah sebabnya aku ingin bersamamu.” Syirin menggigit bibirnya, coba menahan amarahnya, suaranya bergetar. “Ini bukan cinta, ini nafsu! Jika engkau benar-benar mencintaiku, pertama-tama engkau akan mengeluarkan si pengganggu itu, Bahram, dan mengambil kembali negeri yang menjadi hakmu, baru kemudian engkau meminta tanganku.”

Khusraw sangat terpukul oleh kata-kata Syirin yang tajam sehingga dia hanya dapat menjawab, “Tidakkah kautahu bahwa cinta kepadamulah yang membuatku meninggalkan negeriku dan datang kemari?” lalu dengan sekejap mata dia kembali ke perkemahan menaiki kudanya berderap pergi. Khusraw tidak berhenti hingga dia mencapai Roma. Di situ ia meminta bantuan Kaisar Roma untuk merebut kembali negaranya dari Bahram. Kaisar Roma yang terkesan dengan kemudaan dan kecakapan Khusraw, memberian putrinya-Maryam untuk dinikahi Khusraw, lantas mengirimkan pasukan Kerajaan Roma ke Persia. Di hari itu pasukan Khusraw berhasil memiliki kembali Persia, membunuh si pengkhianat Bahram, dan merebut kembali mahkotanya.

Setelah kepergian Khusraw yang kasar, Syirin menyesali diri, berharap ribuan kali seandainya saja dia lebih lembut terhadap kekasihnya. Tetapi sudah terlambat, dia sekarang sendirian lagi, hanya Syapur yang ada untuk menghiburnya. Syapur mendengarkan dengan sabar ratapan Syirin yang tanpa henti, dan menjadi teman bagi kesedihan Syirin, kesedihan yang berlipat ganda karena Mahin, yang telah menjadi ibu bagi Syirin, wafat akibat serangan radang paru-paru. Sekarang Syirin menjadi seorang ratu. Satu tanggung jawab yang merupakan hal terakhir yang diinginkan Syirin, namun pilihan apa yang dia miliki? Dia baru saja memebenamkan diri dalam urusan negerinya ketika ia menerima badai terakhir: datang berita yang mengabarkan bahwa Khusraw telah merebut kembali takhtanya, tetapi di sampingnya ada wanita lain. Maryam, putri Roma, sekarang menjadi isteri Khusraw. Hati Syirin luluh-lantak. Namun demikian, di tengah tangisnya dia masih sempat bergembira, karena Khusraw telah kembali mendapatkan kembali haknya sebagai raja Persia.

Pada akhirnya Syirin tidak dapat lagi menanggung perpisahannya dengan Khusraw. Tugas-tugas kerajaan bahkan tidak dapat mengalihkannya dari deritanya. Syirin merasa seperti orang asing di negerinya sendiri, dan merasa tidak mampu menjalankan kewajibannya kepada rakyatnya. Karenanya, setelah berembug dengan Syapur, dia memutuskan untuk meninggalkan Armenia, menyerahkan urusan Negara kepada sepupu satu-satunya. Berangkatlah Syirin ke Persia.

Syirin masih memiliki gedung yang dulu dibangun untuknya di dekat Mada’in. Di situlah dia berada agar dapat mendengarkan berita mengenai Khusraw setiap hari. Dia juga membangun ruangan khusus untuk Syapur, yang ikut menyertainya ke Persia. Begitu Khusraw mendengar bahwa Syirin tinggal di dekatnya, api cintanya yang tertidur kembali bersemi. Khusraw menyuruh kurir menyelidiki, dan dia mendapatkan berita kehidupan Syirin sedetail-detailnya, selengkap-lengkapnya. Setelah membuat keputusan, Khusraw memberitahu isterinya, “Sayangku, aku ingin Ratu Syirin pindah ke istana ini.” Dengan ekspresi serius Khusraw coba sebisa mungkin agar tidak mengkhianati perasaan terdalammnya. “Aku diberi tahu bahwa para pelayannya tidak banyak membantu, padahal rumahnya sudah tidak dapat lagi menampung salah satu bawahannya.” Khusraw menatap lembut mata Maryam yang menyelidik. Maryam jarang menatapnya seperti itu. “Aku akan dianggap tidak baik bila membiarkan ratu Syirin dalam keadaan begitu sederhana. Dia seorang anggota kerajaan, dan pikiran bahwa aku mengabaikan tamuku diperlakukan tidak selayaknya akan menggangguku.” Khusraw tersenyum berharap dapat meyakinkan isterinya bahwa dia hanya menjaga kehormatan dirinya sendiri.

Maryam telah mendengar rumor yang menyangkut cinta suaminya terhadap Syirin, dan tidak tertipu oleh akting gombal Khusraw yang murahan. Dia mulai menangis tersedu-sedu, menuduh Khusraw tidak mencintainya, serta menuduh Khusraw tengah berencana menjalin hubungan romantis diam-diam dengan Ratu Armenia. “Tidak ada yang tidak layak dan tidak terhormat karena membiarkannya hidup dengan jalan pilihannya sendiri. Jika ia ingin hidup sebagai anggota kerajaan, dia akan tetap tinggal di istananya sendiri, bukan?” tantang Maryam. “Di samping itu,” tambah Maryam, “dia tidak pernah datang menghadap untuk menghormati kita. Jadi, dia pasti berharap dibiarkan sendirian.” Ketika Khusraw tidak memperhatikan tangis ataupun argumennya, dengan marah Maryam melangkah maju, jarinya terangkat dengan sikap yang mengerikan, dan mengancam, “Jika nanti aku tahu engkau mendekati Syirin sedikit saja, aku akan bunuh diri. Itu sumpahku!” Khusraw tidak pernah lagi menyebut nama Syirin bila isterinya ada. Tetapi diam-diam dia memohon Syirin untuk bertemu. Namun, Syirin menolaknya dan segera mengirimkan pesan singkat: “Sebaiknya engkau tetap setia kepada isterimu.”

Melewati hari-hari yang panjang, siang malam memikirkan dan mencemaskan sang raja, akhirnya membuat Syirin lemah dan sakit. Tabib istana memberinya resep susu kambing, tetapi satu-satunya ternak gembala yang tersedia berada di sebuah gunung. Siapa yang akan mengambilkan susu dengan jarak yang begitu jauh? Syapur punya gagasan untuk mengatasinya: ada seorang arsitek seniman yang bernama Farhad yang tinggal di dekat situ. Pastilah Farhad punya jawabannya. Syapur mengundang Farhad dan menjelaskan keadaan buruk yang menimpa Syirin. Maukah Farhad memikirkan cara agar dapat segera mengambil susu kambing untuk Syirin? Ketika seniman muda berbakat itu melihat Syirin, dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Terbakar oleh gairah baru pada tugas yang dipercayakan kepadanya, Farhad bersumpah akan membawa susu tersebut kepada Syirin, tak peduli apa pun yang akan dihadapinya.

Farhad yang tinggi dan tampan adalah seorang yang terkuat di Armenia. Dia hidup dengan jujur dan tak peduli dengan semua kilauan harta atau materi. Bila dia mendesain sebuah bangunan, motifnya semata-mata karena dia tertarik dengan pekerjaan tersebut, atau karena ingin membantu orang-orang yang memerlukan bakat dan karyanya. Sekarang, dengan gairah baru, tanpa menunda waktu ia mengambil peralatannya dan pergi ke gunung. Seminggu kemudian, arsitek besar tersebut telah mendesain dan membangun terowongan yang menghubungkan gunung dengan villa Syirin. Para gembala memerah susu kambingnya, dan pasokan susu tersebut mengalir langsung menuju pintu Syirin. Untuk menunjukkan penghargaannya atas pekerjaan Farhad yang penuh cinta, Syirin mengundang Farhad dan menyampaikan rasa terima kasihnya secara pribadi. Setelah memuji hasil karanya, Syirin mengambil anting-anting lalu menyerahkan kepada Farhad sambil berkata, “Engkau akan menjadi kesayanganku. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Terimalah giwang ini sebagai tanda persahabatan. Giwang ini adalah seluruh kekayaanku yang tersisa sejak aku meninggalkan Armenia.”

Bagi Farhad, hadiah berharga tersebut melebihi dari apa yang pernah dia harapkan. Farhad membawa giwang tersebut bersamanya ke mana pun dia pergi, dan menjadi mabuk cinta kepada Syirin. Farhad menghabiskan hari-harinya sendirian di gunung, hanya meminum aliran susu dari terowongan yang dulu dibuatkannya untuk Syirin, demi memenuhi kebutuhan gizinya. Terkadang dia berjalan di dekat rumahnya Syirin, berharap dapat memandang sekilas wajahnya. Dia berbicara dengan terbuka kepada orang-orang tentang perasaannya, dan tidak lama kemudian setiap orang di Mada’in sudah tahu bagaimana perasaan Farhad terhadap Syirin. Khusraw pun mendengarnya. Dia memerintahkan agar Farhad dibawa menghadap, dan sekarang, dengan tidak sabar Khusraw menatap aula besar di mana dia akan menerima sang arsitek. Meski berusaha keras, dia tidak juga dapat mengendalikan ketakutan akan kehilangan Syirin, bahwa Syirin akan bersama orang yang akan ditemuinya. Ketika penasihatnya mengumunkan kedatangan Farhad, Khusraw memasang ancang-ancang untuk menghadapi sang pendatang. Farhad membungkukkan badan sebagai salam hormat. Dan perlahan meluruskan badan, menatap raja, menunggu titah.

“Engkau Farhad, si arsitek itu?” ketika Farhad mengangguk membenarkan, Khusraw menyuruh duduk. “Aku telah mendengar tentang dirimu,” kata Khusraw sambil berjalan melalui pemuda yang sekarang duduk bersila di lantai, matanya tampak kuyuh. “Asalmu dari mana?” Untuk menambah kerisauan sang raja, Farhad tidak menunjukkan tanda ketidaknyamanan. Kenyataan bahwa kehadiran Yang Mulia Raja Persia tidak mempengaruhi sedikit pun. Dengan tenang Farhad mengangkat wajahnya dan menatap Khusraw. “Jika Yang Mulia maksudkan adalah di mana hamba lahir, hamba harus mengatakan bahwa hamba lahir di Mada’in. Tetapi sejak hamba jatuh cinta, rumah hamba adalah di mana pun kekasih hamba tinggal.” Tampang geram menghias wajar Khusraw seperti bayangan. Tak seorang pun yang berani berbicara dengan raja dengan sikap selantang itu. Namun pemuda tersebut berkata jujur. “Aku diberitahu tentang pekerjaanmu untuk Yang Mulia Ratu Armenia. Benarkah engkau jatuh hati kepada Yang Mulia?” Farhad mengangguk. “Benar, hamba mencintai Yang Mulia Ratu, dan ingin mengabdikan hidup hamba untuknya.” “Itu mustahil,” Khusraw menggertakkan giginya dan menatap langsung mata Farhad. “Jangan berharap akan ada keberlanjutan pada kegilaanmu ini.” “Mungkin bagi Yang Mulia ini terlihat seperti kegilaan, namun bagi hamba, ini adalah cinta sejati,” jawab Farhad. “Dan cinta sejati tidak memiliki akhir. Meskipun terlihat seolah berakhir dengan kematian fisik sang pencinta, di dalam kenyataannya tetap akan abadi.”

Untuk pertama kali dalam hidupnya Khusraw menemukan lawan tanding yang tangguh. Sebenarnya, bersaing dengan pemuda tersebut akan menjadi sebuah tantangan. Setelah mengambil napas panjang, Khusraw membelakangi Farhad, coba mengendalikan kemarahannya. “Bagaimana dengan perasaannya? Sudahkah engkau mempertimbangkan apa yang mungkin Ratu harapkan? Dan bagaimana jika dia meminta apa yang tidak engkau miliki, atau menuntut perbuatan yang bukan berada di dalam kuasamu untuk melakukannya?” “Hamba tidak berharap Yang Mulia Ratu membalas cinta hamba; hamba hanya meminta diizinkan untuk mencintainya.” Farhad beranjak dari duduknya kemudian bangkit ketika Khusraw mengangguk. “Hati hamba, satu-satunya yang hamba miliki, sudah menjadi miliknya,” kata Farhad yang sekarang berhadapan muka dengan sang raja, “dan apabila dia menginginkan yang lebih dari hamba, hamba akan memohon kepada Tuhan agar menganugerahi kekuatan kepada hamba untuk memenuhi keinginannya.”

Khusraw bergerak menuju pelayannya untuk menuangkan dua gelas anggur, lalu dia menyerahkan satu gelas anggur kepada Farhad. “Sahabatku,” katanya dengan tersenyum untuk pertama kalinya, “bagiku, kehidupanmu tampak penuh kepahitan dan masalah.” Khusraw meneguk anggurnya dan menepuk bahu Farhad, menggiringnya ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman. “Kenapa engkau mau hidup di dalam kehidupan di mana kekasihmu tidak berbuat apa-apa selain sekedar tahu keberadaanmu, padahal engkau dapat memiliki seluruh cinta yang kauinginkan dari wanita cantik lainnya? Kenapa engkau harus hidup melarat dan penuh derita, padahal engkau dapat memiliki uang dan harta yang kau inginkan?” Farhad memahami apa yang disarankan Khusraw, tetapi kalau pun dia marah, ia tidak menunjukkannya sedikit pun. Dengan tenang Farhad berpaling kepada raja, “Hamba tidak menganggap hidup hamba sakit, karena bagi seorang laki-laki yang benar-benar mencintai, sakit dan obatnya adalah satu dan sama, sama dan satu. Dan kenyataan bawa kekasih hamba mengetahui diri hamba atau pun tidak, adalah bukan tanggung jawabnya. Hamba mencintainya demi kepentingannya dan bukan demi hamba. Cukup bagi hamba hanya mencintainya. Dan sejauh hasrat hamba yang diperhatikan, bagaimana hamba dapat memiliki hasrat, bila hamba sendiri sulit menyadari keberadaan hamba?” “Bagaimana jika seandainya rajamu memerintahkanmu agar meninggalkan Yang Mulia Ratu dan meninggalkan cinta yang bodoh ini?” Farhad tahu bahwa Khusraw pernah mencintai Syirin, tetapi baru sadar bahwa Khusraw masih sangat mencintai Syirin. Tiba-tiba dia merasa iba kepada sang raja. “Itu tidak dapat hamba patuhi, Tuanku,” katanya dengan kilatan kesedihan di matanya.

Semakin panjang percakapan itu berlangsung, Khusraw merasa semakin kalah. Karena itu Khusraw menyuruh Farhad keluar ruangan lalu memanggil para penasihatnya. “Dia orang yang berbahaya,” kata Khusraw. “Kita tidak dapat menyuapnya dengan apa pun.” Kening Khusraw berkerut. “Kita harus memikirkan cara untuk mengusirnya.” Para penasihat itu berunding dengan cepat dan memberitahukan tindakan apa yang harus diambil. Khusraw kembali memanggil Farhad. “Kami berjanji tidak akan mengganggu kau dan Syirin asalkan dengan satu syarat,” uacap sang raja. Arsitek muda itu menjatuhkan dirinya bersujud, airmata bahagia menggelimang di pipinya. “Apa pun titah Yang Raja Agung inginkan!” “Kami memerlukan jalan tembus yang melalui gunung Bistun, agar kita dapat bepergian ke sisi lain gunung itu dengan lebih cepat dan efisien.”

Selama bertahun-tahun Gunung Bistun menjadi rintangan yang berat. Semua upaya untuk membangun jalan tembus berupa terowongan mengalami kegagalan, karena batu granit pada tebingnya tidak memungkinkan para pekerja membuat jalan perintis. Belum ada yang mampu mengatasi kesulitan proyek tersebut. Khusraw tersenyum sendiri. Begitu Farhad memulai tugas yang mustahil tersebut, tidak ada harapan untuk kembali. “Begitu engkau menyelesaikan pekerjaanmu, demi kepuasan kami, kami akan menikahkanmu dengan Syirin,” kata Khusraw. “Hamba akan mulai besok. Dan hamba akan melakukannya dengan kemampuan terbaik hamba,” jawab Farhad, gembira karena sebentar lagi Syirin akan menjadi miliknya.

Bagi Farhad, proyek Gunung Bistun tidaklah sulit. Memimpikan kekasihnya ketika dia bekerja keras, membuat pekerjaan tersebut lebih mudah buatnya. Dia tidak menghiraukan terik matahari, otot-ototnya yang sakit, ataupun punggungnya yang terluka. Setiap pukulan palu, baginya laksana kata-kata manis dari Syirin. Pada malam hari, ketika dia berhenti bekerja, ia memahat lukisan Syirin, Khusraw, dan dirinya pada batu. Kemajuan hasil pahatannya mencerminkan kemajuan pekerjaannya di gunung. Syirin, yang mendengar upaya Farhad, langsung tahu bahwa itu adalah rencana yang ditujukan untuk kematian Farhad. Syirin menyadari bahwa dia harus memaksakan diri untuk berangkat ke Bistun dan memperingatkan sahabatnya. Mereka berbincang- bincang. Farhad memperlihatkan hasil karyanya. Proyek itu sudah berjalan lebih dari setengahnya, dan Syirin memutuskan untuk tidak memberitahukan sama sekali tentang rencana Khusraw. “Khusraw akan dikalahkan oleh rencananya sendiri,” pikir Syirin.

Pada hari itu juga Syirin kembali pulang dengan keyakinan akan menang. Namun kunjungan Syirin diketahui. Mata-mata raja membawa berita tersebut kepada Khusraw. Tertekan-panik, sang raja mengumpulkan para penasihatnya. Di satu sisi dia takut Syirin akan jatuh cinta kepada Farhad, untuk apa lagi Syirin menempuh kesulitan bila hanya untuk mengunjungi Farhad? Di sisi lain, konstruksi jalan pintas Bistun hampir selesai, apa yang harus ia lakukan dengan janjinya kepada Farhad? Dia telah meremehkan sang pencinta. Khusraw menyukai ide baru penasihatnya. Karena itu dia mengirim seorang lelaki tua ke Gunung Bistun. Orang ini menyapa Farhad dengan wajah sedih. “Apa yang kau lakukan pada gunung ini?” tanyanya. Farhad menjelaskan tugasnya lantas menambahkan, “Untuk cintaku tidak ada kerja yang sulit.” Dia menggores tanah dengan palunya. “Aku akan memindahkan gunung ini bila perlu.”

Lelaki tua itu menggelengkan kepala dengan sedih. “Kasihan…,” katanya. Lalu memalingkan wajah seakan-akan ingin menyembunyikan airmata. Gerak isyarat tersebut memancing Farhad. “Apa maksudmu?” Tanya Farhad sambil meletakkan palu. “Tidak ada.” Lelaki itu tampak enggan bicara. “Engkau harus mengatakannya kepadaku.” “Aku tidak dapat mengelak berpikir bahwa engkau bekerja begitu keras…dan untuk apa?” Farhad memegang bahu lelaki tua itu dan membalikkan tubuhnya, “Tolonglah, katakan apa yang engkau tahu!” “Kekasihmu sudah tiada,” lelaki tua itu membuka rahasia dengan nada gusar dan sedih. “Syirin telah tiada dua hari yang lalu.” Farhad melepaskan bahu lelaki tua itu, tubuhnya merosot terduduk di tanah, terpaku.

Malam sudah datang. Orang tua itu sudah lama pergi. Namun Farhad belum sedikitpun berubah posisi. Sedikit demi sedikit, dia mati rasa. Dia tidak memiliki tenaga lagi untuk berdiri. Seakan-akan seluruh pekerjaan fisik berbulan-bulan yang telah dilakukannya tiba-tiba berbalik menyerang tubuhnya. Dia beringsut-ingsut menyeret dirinya di tanah hingga ia bisa meraih pahatan wajah Syirin yang dibuatnya. Tangannya, yang penuh parut dan melepuh, mulai berdarah ketika Farhad membelahi pahatan itu, meninggalkan darahnya pada wajah yang terpahat. Kemudian dia menekan wajahnya dengan penuh derita pada pahatan paras Syirin. Keesokan harinya, Khusraw memindahkan tubuh Farhad yang sudah tidak bernyawa dari Bistun, dan menguburkannya dengan nisan sederhana. Syirin berkabung atas kematian Farhad selama beberapa hari. Khusraw menulis ucapan dukacita kepada Syirin, yang dijawab dengan ucapan: “Engkau telah mencabut persabatan kami. Aku berdoa semoga Tuhan akan mengampuni jiwamu.”

Kenangan tentang Farhad segera sirna dari benak orang-orang. Kehidupan terus berlanjut. Cinta Syirin kepada Khusraw lebih kuat dari sebelumnya –begitu kuat, sehingga Syirin memaafkan apa yang pernah dilakukan Khusraw kepada Farhad. Syirin masih mencintai Khusraw, sedangkan Khusraw juga masih mencintai Syirin. Mereka tidak pernah bertemu, namun masing-masing selalu berusaha mencari tahu kabar satu sama lain dari teman- teman mereka. Sekali lagi tragedi terjadi, ketika Maryam, sang ratu, sakit mendadak dan menemui ajalnya. Ketika masa berkabung telah berlalu, Syirin mengirimkan ucapan belasungkawa kepada Khusraw, dengan kalimat tambahan, “Sekalipun ratu telah tiada, raja tak perlu merasa cemas. Aku yakin Yang Mulia dapat menemukan kesenangan hidup dalam pelukan wanita lainnya yang banyak tersedia.” Geram karena ejekan tersebut, Khusraw tidak menjawabnya. Sebaliknya, dia menuruti saran Syirin dan benar-benar melakukannya. Selama dua tahun Khusraw menyibukkan diri dengan mencobai pelbagai jenis perempuan cantik. Tetapi akhirnya kemarahannya mereda dan dia menyesali perbuatannya yang gegabah. Dia ingat kembali kepada sobat lama sekaligus keluarganya, yaitu Syapur, yang telah menemani Syirin selama bertahun-tahun. Khusraw kemudian mengirim pemberitahuan bahwa dia ingin bertemu.

Syapur mengatur pertemuan pribadi dengan sang raja di ruangannya. Syapur juga mengupayakan agar Syirin menunggu di ruang sebelahnya. Dalam jawabannya terhadap pertanyaan sang raja mengenai Syirin, Syapur meyakinkan Khusraw bahwa Syirin belum berhenti mencintainya dan tidak membiarkan seorang lelaki pun memasuki hatinya. Syirin mengikuti berita tentang sang raja setiap hari, kata Syapur, menunggu saat untuk bertemu kembali dengan Khusraw. “Aku lebih mengenalmu daripada dirimu sendiri,” kata Syapur kepada Khusraw. “Aku tahu engkau juga masih mencintainya. Tetapi, seperti halnya Syirin, engkau terlalu angkuh dan terlalu keras kepala untuk mengakuinya.” Syapur berjalan mendekati sang raja. “Ayo, sekaranglah waktunya untuk bertemu dengannya. Engkau berutang maafnya.” Sebelum raja dapat menjawab, Syirin melangkah masuk. Diam- diam Syapur lalu menyelinap pergi, menutup pintu di belakangnya. Kemarahan dan keputusasaan yang mengendap bertahun-tahun seolah lenyap begitu kedua pencinta itu berpelukan. Khusraw dan Syirin membincangkan semua yang telah mereka alami selama perpisahan mereka. Kemudian Khusraw berlutut di hadapan Syirin dan dengan rendah hati memohon Syirin agar mau menjadi ratunya. Keesokan harinya, Syirin dikawal menuju ibukota. Enam orang pelayan membantunya mengenakan baju gaun pengantin yang paling mewah yang ada di kerajaan itu. Seluruh penduduk kota diundang menjadi saksi peristiwa magis penyatuan Syirin dan Khusraw ketika mereka berlutut di hadapan pendeta tertinggi. Akhirnya, mereka bersatu di dalam mahligai pernikahan. Perayaan pernikahan tersebut berlangsung gegap-gempita selama berhari-hari.

Syirin menyerahkan takhta Armenia kepada Syapur, dan menjadi penasihat paling bijak bagi Raja Khusraw. Rakyat mencintainya, dan dengan bebas datang menemuinya membawa persoalan mereka. Syirin akan mendengarkan mereka dan membuat rekomendasi kepada Khusraw. Persia tidak pernah tampak semakmur seperti saat itu. Namun ada satu titik gelap di dalam gambaran yang cerah ini. Titik gelap itu adalah Shirwieh, putra Khusraw dari Maryam. Pemuda ini telah mengalami masa kecil berliku-liku, dan Khusraw mencemaskannya. Oleh karena itu, atas saran para penasihatnya, sang raja tidak mengumumkan Shirwieh sebagai pewaris takhtanya. Shirwieh tidak tahan melihat ayahnya bahagia dalam pernikahan barunya dan melihat ayahnya semakin populer di mata rakyat. Sudah lama Shirwieh menyimpan dendam, dia menyalahkan kematian ibunya sebagai akibat pangabaian Khusraw. Keadaan bertambah buruk, karena pemuda itu tidak dapat menolak pesona kecantikan Syirin dan jatuh cinta kepada Syirin. Semua kepiluan ini membuat Shirwieh yang iri dengki diam-diam berencana membunuh ayahnya.

Untuk membangun kekuatan di istana raja, Shirwieh menyogok orang-orang di situ dan menjanjikan mereka kesejahteraan dan posisi yang akan mereka peroleh apabila ia berkuasa. Dengan hati-hati dia mengumpulkan orang-orang di sekelilingnya dengan cara menyamar ke tempat-tempat umum, dan bersikap sebagai orang biasa. Meskipun Raja Khusraw tidak pernah memberi komentar dan saran serius di istana menanggapi pendapat Shirwieh, Shirwieh memberi kesan kepada publik bahwa dia-lah yang telah membela orang-orang lemah di istana, dan bahwa dia-lah yang berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Setelah mengambil hati rakyat dan menjilat pejabat istana, Shirwieh memberi sentuhan puncak pada rancangannya: dia dan pengikutnya menawan Khusraw dan Syirin di istananya sendiri. Ia lantas menduduki takhta dan mengumumkan dirinya sebagai raja. Anehnya, sang Raja tidak berusaha mengambil kembali mahkotanya. Bersama ratunya, dia hidup terasing dalam ruangan yang sederhana di mana mereka dikurung. Melihat kebahagiaan mereka, palu kekalahan meremukkan hati Shirwieh. Dalam bayangannya yang penuh hasrat, Shirwieh mengira Syirin akan tetap ingin menjadi ratu, dan akan dengan pasrah kepadanya sebagai raja yang baru. Namun Syirin terus setia kepada cintanya. Hal yang tidak dapat ditahan Shirwieh melihat Syirin selalu berada di dalam pelukan ayahnya. Oleh karena itu Shirwieh menyibukkan diri dengan rencana barunya. Lewat tengah malam, bulan purnama bersinar, tidak ada suara terdengar dan keheningan meliputi istana. Diam-diam Shirwieh membuka pintu ruang tawanan. Syirin dan Khusraw tampak berdampingan terlelap dengan damai. Shirwieh merasakan amarah bergejolak di dalam dirinya. Dia menggertakan giginya, dan mencabut belati dari sarungnya. Dia menggenggam belati itu di atas tubuh ayahnya sesaat, lalu menghujamkannya tepat pada jantung ayahnya. Shirwieh bergegas lari menuju pintu dan meninggalkan ruangan tersebut. Khusraw terbangun oleh rasa sakit yang membakar dadanya. Dia sadar ia sedang sekarat, namun tidak ingin membuat Syirin takut, jadi dia menggigit bibirnya, menahan penderitaannya hingga akhirnya dia tidak kuat lagi membuka matanya. Tak lama kemudian, basahnya darah Khusraw membangunkan Syirin. Tetapi, sudah terlambat, karena suami tercintanya telah tiada, dibunuh dengan tangan dingin.

Tidak sulit bagi Syirin untuk menebak siapa pembunuhnya, tapi dia tidak berkata apa-apa. Penampilan Syirin sepenuhnya tenang dan pasrah, dengan anggun dia menerima lamaran Shirwieh. Dia hanya meminta waktu untuk mengadakan pemakaman yang terhormat bagi Khusraw. Diam-diam Syirin memberikan seluruh miliknya kepada kaum papah, hanya menyimpan perhiasan dan gaun terbaiknya yang dkenakannya pada hari pemakaman. Ketika dia bergabung dengan para bangsawati lainnya selama prosesi pemakaman, orang-orang terkejut melihat bagaimana dia sengaja berdandan dan bersolek. Apakah itu sikap yang pantas bagi seorang janda yang sedang berkabung? Dan yang lebih buruk lagi, sang ratu kemudian menari di kawasan perkuburan tersebut. Kelihatannya dia begitu senang dengan kematian suaminya, atau mungkin dia juga sudah gila!

Di dalam ruang pemakaman Khusraw, Syirin meminta semua temannya supaya membiarkannya sendirian untuk mengucapkan perpisahan kepada suaminya. Ketika semua orang telah meninggalkan ruang pemakaman, Syirin berdiri diam di samping suaminya, dengan penuh rasa hormat menatap mata suaminya yang terpejam. Kemudian dengan tenang dia meraih sesuatu dari balik gaunnya dan mengeluarkan pisau yang disembunyikannya. Tanpa ragu Syirin menancapkan pisau tersebut pada jantungnya sendiri. Syirin terjatuh di atas tubuh suaminya, dia merebahkan kepalanya di atas dada suaminya. Syirin meninggal dengan senyum di bibirnya.

Tidak ada komentar: