Narasi Kuliner dan Problem Identitas, Membaca Konde Penyair Han


oleh Sulaiman Djaya (penyuka sambal, sayur asam, dan sayur lodeh khas Banten & Betawi)

Salah-satu hal yang menarik dalam perpuisian Indonesia mutakhir adalah sejumlah ragam tema yang disuarakan, semisal tema-tema lokal dan etnik, yang dapat dibaca dan dipahami sebagai upaya para penyair untuk “menggapai” identitas kepenyairan masing-masing dengan upaya mereka dalam ikhtiar menemukan bentuk penulisan, strategi narasi, dan tema yang mereka angkat atau yang mereka suarakan. Namun sebelum melangkah lebih jauh, penting dikatakan bahwa yang saya maksudkan dengan kata “mutakhir” di sini membatasi diri pada karya-karya puisi yang terbit sejak era tahun 2000-an di sejumlah media dan antologi buku para penyair Indonesia, semisal tampak dalam dua buku dari pertemuan ragam penyair: Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko itu. Dalam hal ini, Hanna Fransisca, sebagai contohnya, tampak cukup konsisten mengangkat tema-tema seputar persinggungan etnik Tionghoa di Indonesia, semisal gugatan tentang konsep “pribumi” dan upaya perlawanan untuk menolak stereotipisasi etnis Tionghoa dalam lanskap dan konteks politik dan kultural kewargaan Indonesia, di mana menurut Hanna Fransisca, etnik Tionghoa seolah-olah selalu saja dianggap sebagai “non-pribumi” meski telah menjadi warga Negara Indonesia dan telah tinggal puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, terutama yang berkaitan dengan Singkawang dan peristiwa Mei 1998 di Jakarta.

Hanna Fransisca adalah contoh penyair Indonesia mutakhir yang bergelut dengan persoalan identitas seperti ini, berusaha kuat untuk memprotesnya atau menggugatnya demi menemukan dan menawarkan wawasan baru persoalan identitas itu sendiri, sembari menggunakan adat tradisi dan mitologi Tionghoa sebagai material sekaligus rujukan narasi sejumlah puisinya. Sementara itu, secara naratif atau pada pilihan strategi narasinya, seperti yang dikemukakan Wahyu Arya dalam bukunya yang berjudul Sebuah Pintu yang Terbuka (Wahyu Arya, 2012: 97-99), sebagai salah-satu contoh pendapat saja, menyatakan bahwa Hanna tergolong penulis yang berusaha bergeser dari estetika pengucapan lama bersama-sama dengan Joko Pinurbo dan Afrizal Malna.

Dalam buku antologinya yang berjudul Konde Penyair Han, itu mayoritas puisi-puisi Hanna Fransisca bergelut dalam persoalan dan dilema identitas tersebut, bila dilihat dari sisi pilihan isu yang ia kemukakan dan yang ia hadirkan melalui puisi-puisinya. Soal identitas dan isu Tionghoa merupakan tema dan rujukan paling dominan yang disuarakan dan diangkat dengan puisi-puisinya. Di sana, narasi kuliner lebih merupakan pinjaman dalam upayanya membangun metafora sekaligus sebagai jembatan material penceritaan itu sendiri.

Narasi kuliner dalam puisi-puisi Hanna Fransisca rupa-rupanya dipinjam sebagai medium dan metafora pada saat bersamaan, semisal dipinjam untuk menarasikan kepedihan, persoalan gender, dan tak luput juga “tubuh perempuan” yang memang acapkali menjadi objek kekerasan identitas dan penindasan politis dan kultural, terutama di sini dalam konteks Indonesia. Sedangkan dari sudut stilistika, banyak puisi-puisi Hanna Fransisca dalam bukunya yang berjudul Konde Penyair Han itu, menurut saya, yang secara naratif tergolong dengan bentuk pengungkapan dan penulisan otobiografis dan gaya pengucapan sajak bebas, selain nuansa otobiografis tersebut kental juga dalam pengangkatan tema dan rujukan bagi puisi-puisinya, semisal seputar tanah kelahiran, kampung halaman yang dalam hal keduanya yang dimaksudkannya adalah Singkawang, dan soal-soal cultural identity dan political identity sebagaimana yang banyak diangkat dan disuarakan puisi-puisinya, sebelum beralih ke ranah Jakarta.

Pada konteks ini, pilihan kuliner sebagai medium atau jembatan penceritaan dan metafora punya alasan yang cukup kuat dan tak dapat diabaikan begitu saja dalam puisi-puisi Hanna Fransisca yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han itu. Dalam puisi-puisinya, kuliner dipinjam sebagai metafora sekaligus sebagai medium karena kuliner itu sendiri sangat kental kaitannya dengan adat-istiadat dan tradisi masyarakat Tionghoa, bahkan merupakan kegiatan yang tak dapat dipisahkan dari tradisi dan ritual keagamaan masyarakat Tionghoa yang beragam jumlahnya. Dalam puisi-puisi Hanna Fransisca, hal itu tampak ketika sejumlah puisi yang terdapat dalam buku Konde Penyair Han menjadikan media kuliner sebagai kiasan hidup demi menceritakan kenangan dan kepedihan, sebagai contohnya. Dalam hal ini, kita bisa membayangkan, misalnya, seorang perempuan yang tengah dirundung kegundahan atau kesedihan, dan lalu meluapkan dan mengalihkan perasaan atau amarahnya saat ia mengolah bahan makanan di dapur yang akan ia masak di saat tengah memasak di dapur atau di tempat lainnya.

BERMULA DARI SINGKAWANG
Dalam sejumlah puisinya itu, Singkawang sebagai tanah kelahiran Hanna Fransisca merupakan titik awal narasi Konde Penyair Han, baik sebagai kenangan dan ingatan penyairnya pada masa silam atau sebagai pemberangkatan ketika mengemukakan dan menghadirkan persoalan identitas melalui puisi-puisinya. Dari sana lah isu seputar etnis Tionghoa diawali sebelum merambah Jakarta, semisal seputar Tragedi Mei 1998, seperti yang tampak dalam beberapa puisi dalam buku Konde Penyair Han, baik yang menjadikan Singkawang sebagai judul puisi atau yang tidak menggunakan Singkawang sebagai judul puisinya.

Latar belakang dan upaya untuk menghadirkan Singkawang ini tidak bisa kita anggap remeh dan kecil di sejumlah sajak yang ada dalam buku Konde Penyair Han. Karena itu, kita tentu akan dapat memahami, atau minimal, mengerti maksud sejumlah puisi Hanna Fransisca jika kita tahu tentang Singkawang, meski penyairnya sendiri tampak berusaha mengenalkan Singkawang kepada kita. Perlunya kita mengetahui Singkawang dalam arti umum, tak lain karena Singkawang yang dihadirkan penyairnya melalui sejumlah puisinya tersebut lebih merupakan sejumlah gambar dan sketsa yang abstract, sejumlah realitas yang telah “diimajinasisasi” ulang dan “direkonstruksi” sedemikian rupa sesuai dengan subjektivitas penyairnya, semisal ketika sejumlah puisinya bercerita tentang keterbatasan dan kepedihan masa kanak-kanak. Meskipun demikian, upaya mengetahui Singkawang secara umum tersebut tentu saja bukan sebagai maksud untuk mengerti makna atau maksud sejumlah puisinya secara utuh, yang akan menyisihkan possibilitas dan heterogenitas pembacaan atas teks puisi itu sendiri, melainkan demi mendapatkan informasi dalam konteks yang seperti apakah sejumlah puisi Hanna Fransisca bercerita dan berbicara kepada kita sebagai pembaca dan penikmat, justru ketika kita ingin menyelaminya dengan adil dan bijak.

Informasi seputar Singkawang, dalam rangka sedikit untuk mengetahuinya secara sosio-politik-budaya dalam arti umum itu, contohnya dapat kita baca melalui reportase jurnalistiknya T. Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI edisi Agustus 2004, hal. 158-166 dan hal. 182. Dalam tulisan yang dihadirkan Tjahjo Widyasmoro, itu kita setidak-tidaknya dapat mengerti “konteks” sejumlah puisi Hanna Fransisca yang terdengar prihatin. Sebab, seperti yang dinarasikan Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI, itu Singkawang adalah sebuah contoh konkrit yang membantah dan mementahkan stereotipe umum masyarakat Indonesia yang membayangkan bahwa etnis Tionghoa adalah etnis yang secara ekonomis sukses dan monopolis, dan karena anggapan dan stereotipe itu, sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta harus menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Namun apabila kita menengok sejenak Singkawang, minimal di era tahun 80-an hingga awal 2000-an, maka yang ada di sana adalah suatu masyarakat Tionghoa yang prihatin, bahkan tragis. Simak saja penuturan Tjahjo Widyasmoro berikut:

Sebuah cerita tragis tersiar pada 17 Juli 1998. Hiu Po Thin (58) secara tragis mengakhiri hidupnya beserta keempat anaknya yang berusia 5 – 15 tahun. Di gubuk yang teramat sederhana, berdinding kayu, dan beratapkan daun, mereka ditemukan tewas dalam posisi berdampingan di tempat tidur setelah menelan makanan yang dicampur racun serangga. Saat kejadian, istri dan putra tertuanya kebetulan sedang tidak berada di rumah.” (INTISARI, Agustus 2004, hal. 159).

Membaca penuturan Tjahjo Widyasmoro tentang etnis Tionghoa di Singkawang tersebut, saya mendapati dan merasakan “konteks” yang koheren dengan sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, semisal Kepada Adik dan Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, sekedar menyebut dua contoh saja. Dalam catatan penyairnya sendiri, misalnya, tampak penyairnya berusaha mengkomunikasikan konteks puisi-puisinya tersebut, terutama yang mencoba menghadirkan Singkawang, sebelum merambah konteks Mei 1998 di Jakarta: “Ketika di rumah, saya selalu dihadapkan terlibat memikirkan persoalan hidup sehari-hari –yang semestinya adalah bagian dari persoalan orang-orang dewasa. Seringkali ketika menghadapi ancaman tidak bisa mengikuti ujian, dan mendengar bagaimana Ibu mengatakan, “Tidak ada perlunya membayar uang sekolah, uang sedikit lebih baik digunakan untuk membeli beras”, maka saya berdiri sejenak di belakang rumah melihat bagaimana angin begitu kerasnya menghempaskan batang-batang ilalang”. (Hanna Fransisca, 2010:12). Pengantar penyair tersebut dan sejumlah puisi di buku Konde Penyair Han pada dasarnya memang sejumlah catatan otobiografis seputar ingatan dan kenangan masa kanak-kanak penyairnya di tanah kelahiran dan kampung halamannya nun di Singkawang, Kalimantan Barat sana. Marilah kita simak sajaknya yang berjudul “Kepada Adik”:

“Di helai daun kangkung aku selipkan beberapa peristiwa,
agar kau endus lagi aroma terasi bercampur bawang putih
di atas kuali yang menghisap keringat ibu.”
…..
”Di sepanjang jalan Singkawang, di lorong-lorong pecinan,
kubangan lumpur dan gubuk tempat ibu pernah berdiri
tak letih-letih aku mencari.”

Puisi Kepada Adik tersebut merupakan narasi otobiografis yang sifatnya pastoral, yang bercerita tentang kenangan masa kanak dan masa remaja, sebuah narasi yang jika dilihat dari sudut konteks penceritaan, tak jauh berbeda dengan gambaran sebuah kondisi yang dipaparkan narasi jurnalistiknya Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI itu. Puisi tersebut tergolong pada sajak “memoir” di mana aku lirik merupakan seorang narator yang menulis dan bercerita berdasarkan kenangan dan ingatan, ketika ingin “mengabarkan” kesahajaan atau kemiskinan sebuah etnik yang selama ini di-stereotip-kan sebagai etnik yang melakukan “dominasi” ekonomi dalam konteks politik dan kewargaan Indonesia. Dengan puisi tersebut, Hanna sebenarnya hendak mementahkan stereotip yang dimaksud, atau mengajak pembaca untuk melihat “Tionghoa yang lain”. Sejumlah puisi Hanna sebenarnya mencoba melakukan hal ini: mengajak pembaca untuk memahami, mengenali, dan berempati apa itu “Tionghoa”.

Beberapa puisinya juga mencoba menghadirkan “Tionghoa yang lain”, semisal bahwa pelabelan atau stereotipisasi secara ajeg atas apa yang kita sebut Tionghoa telah menyebabkan “kekerasan” dan “ketidakadilan” atas dan terhadap “Tionghoa” itu sendiri, baik secara fisik maupun diskursus dan wacana yang sifatnya kultural dan politis dalam konteks politik dan “kewargaan” di Indonesia. Inilah soal identitas yang ingin dikomunikasikan Hanna Fransisca melalui sejumlah sajaknya yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han, sebuah persoalan dan dilema yang juga menarik minat penulis dan intelektual di luar sana, semisal Amin Maalouf dengan bukunya yang berjudul In the Name of Identity dan Amartya Sen dengan bukunya yang berjudul Identity and Violence: The Illusion of Destiny itu.

Tendensi untuk mengenalkan dan mewacanakan adat-tradisi dan mitologi Tionghoa tersebut sangat terasa dalam beberapa puisi Hanna Fransisca. Rupa-rupanya, hal itu dipilih karena salah-satu untuk menghilangkan “kesalahpahaman” terhadap etnis Tionghoa adalah dengan cara dan jalan “mengenalkan” atau memberikan “wacana alternatif” tentang apa itu Tionghoa, yang dalam hal ini memilih puisi sebagai medianya, karena hanya dengan puisi lah “penerimaan” atau “resepsinya” akan lebih netral, sekaligus dapat mengundang simpati dan menggugah perasaan pembacanya. Namun, di sisi lain, hal itu barangkali akan berdampak pada kesulitan tersendiri bagi para pembaca yang masih asing dengan idiom-idiom dan mitologi yang sifatnya etnik tersebut, meski bisa saja karena pilihan ini pembaca kemudian menjadi ingin mengetahui apa itu Tionghoa secara historis dan kultural.

IHWAL STRATEGI NARASI PUISI
Dibanding prosa, puisi memang yang paling membuka peluang bagi penulisan otobiografis penyairnya di mana pengalaman dan hidup penyairnya sendiri kemudian menjadi inspirasi dan rujukan kreativitas, ketika suasana meditatifnya memang bersumber dari subjektivitas pengalaman si penyair itu sendiri. Namun, bila mengkomparasi soal ini dengan wawasan-nya T.S Eliot (Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, 2000: 13-26), pengalaman yang sifatnya personal tersebut sebenarnya bisa saja selayaknya hanya dijadikan sebagai “tabung pembakaran” (semacam fermentasi) kreativitas estetik, di mana seorang penyair dapat mengalihkannya ke dalam stategi narasi yang bersifat simbolis atau surealis, sebagai contohnya. Dalam hal ini, T.S. Eliot memang mengidealkan seorang penyair yang sanggup merubah “penderitaannya” menjadi suara-suara estetik, di mana di sana yang muncul kemudian bukan lah “narasi penderitaan si penyair”, melainkan sajak yang telah terbebaskan hingga menjadi sebuah karya estetika yang digali dan dicipta bersama-sama dengan upaya untuk “menemukan” dan “mencipta” bahasa yang segar. Dalam beberapa esainya, sebagai contoh, T.S. Eliot lebih memandang penyair yang berhasil adalah penyair yang sanggup menaklukkan pengalamannya sekaligus mampu “mengkreasi ulang” tradisi (meski tak meski meninggalkannya secara total) menjadi pencapaian kreativitas bentuk atau strategi penulisan, meski seorang penyair masih menulis tema yang sama seperti para pendahulunya.

Namun demikian, ideal prinsip estetik ala T.S. Eliot tersebut untuk saat ini rupa-rupanya sudah tidak menjadi hal yang membuat rikuh sejumlah penyair. Untuk konteks Indonesia, contohnya, banyak penyair perempuan yang menuliskan puisi-puisi mereka dengan bahasa, kata-kata, atau ungkapan “apa adanya”, ketika mereka menuliskan puisi-puisi otobiografis seputar isu-isu ketidakadilan dan kekerasan gender dalam konteks politik dan kultural Indonesia, atau puisi-puisi yang menarasikan pengalaman urban dan metropolis, semisal puisi-puisinya Ratna Ayu Budiarti. Hanya saja, ada keunikan tersendiri dalam puisi-puisinya Hanna Fransisca, yaitu ketika puisi-puisinya ditulis dengan narasi-kisah kuliner, tepatnya tradisi-kuliner masyarakat Tionghoa di Indonesia, ketika mencoba mengangkat isu-isu sosial, identitas, dan ketidakadilan yang menimpa beberapa etnik Tionghoa, utamanya dalam kasus Mei 1998 di Jakarta itu. Kekhasan itu, tak lain, karena Hanna Fransisca, menjadikan kuliner sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana kepedihan dan ketidakadilan layaknya “bebek peking”, misalnya, yang pasrah saat dicincang, demi menggambarkan ketakberdayaan dan kepasrahan di tengah amok politik yang menimpa etnik Tionghoa di Jakarta pada Mei 1998 itu. Dalam hal ini, puisi-puisi Hanna Fransisca bisa disebut sebagai puisi protes sosial yang dinarasikan dan disuarakan dengan strategi dan bentuk reflektif dan sindirian halus, sembari diungkapkan dan dituturkan dengan idiom-idiom budaya dan mitologi etnik Tionghoa.

KONTEKS TRADISI
Kentalnya idiom-idiom tradisi Tionghoa dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca tersebut, seperti telah saya katakan sebelumnya, dapat mendatangkan kesulitan tersendiri bagi pembaca yang tidak akrab dengan budaya Tionghoa. Hanna Fransisca sebenarnya tidak sendiri pada tataran ini, Tan Lioe Ie juga melakukan hal yang sama dalam kumpulan puisinya yang berjudul Malam Cahaya Lampion. Dalam hal ini, baik Tan atau Hanna tampak jelas sama-sama ingin memperkenalkan adat tradisi dan budaya Tionghoa dalam puisi-puisi mereka, dan karena itu, sekurang-kurangnya, diperlukan pengetahuan tentang adat tradisi dan budaya Tionghoa ketika hendak mencerna dan memahami konteks dan metafora puisi-puisi mereka. Hal itu karena idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut tidak dapat dianggap hanya sebagai sampiran atau sisipan belaka, tapi merupakan bagian yang inheren alias tak mungkin dipisahkan begitu saja dalam puisi-puisi mereka, karena melalui mitologi dan budaya Tionghoa itulah mereka membangun dan menciptakan kiasan puisi-puisi mereka, yang karenanya menghadirkan otentisitas dan kekhasan strategi narasi dan pengungkapan dalam puisi-puisinya Hanna Fransisca, dan juga Tan Lioe Ie, sebagai perbandingannya. Kekentalan dan kemenyatuan idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut dapat dicontohkan dalam puisi Hanna Fransisca yang berjudul Hari Kue Bulan:

“Bicarakan pada kue bulan,
ini hatiku terang dalam kelam
….//….
Kita ini tengah membagi cinta
dalam kenangan air mata
….//….
Mengenang Peng Meng
yang menyelusup di peraduan Chang Er.”

Untuk memahami maksud dan konteks puisi tersebut, dibutuhkan informasi seputar tradisi dan pentingnya Festival Rembulan atau Hari Raya Pertengahan Musim Gugur, yang konon bermula dari sebuah kisah Chang’e Terbang ke Bulan. Ada unsur tragis dan kebahagiaan pada saat bersamaan dalam kisah tersebut yang membuatnya menjadi ironis dan ambigu, sebagaimana bait-bait puisi Hanna sendiri rupa-rupanya bermaksud demikian ketika berkata: “Bicarakan pada kue bulan, ini hatiku terang dalam kelam”, di mana ironi dan ambiguitas tampak jelas dalam frase: hatiku terang dalam kelam.

PROBLEM ETNIK DAN IDENTITAS
Masalah etnik dan identitas yang coba dinarasikan sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam bukunya yang berjudul Konde Penyair Han, itu memang merupakan persoalan yang usianya sudah setua usia manusia itu sendiri. Tentu ada konteks sosial-politik, references, ketika Hanna mengangkat isu ini, yakni Peristiwa Mei 1998 di Jakarta dan pengalaman hidupnya sendiri semasa kanak-kanak dan remaja di tanah kelahiran dan kampung halamannya, Singkawang di Kalimantan Barat itu. Salah-satu puisinya yang paling kuat mencoba mengangkat isu ini adalah Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, yang nada protes dan sindirannya terasa sangat kuat saat menggugat stereotipsasi dan “penindasan”, juga prasangka atas etnik Tionghoa. Puisi ini dapat dikatakan sebagai pintu pembuka pertama sebelum sejumlah puisi lainnya mengangkat seputar isu-isu “tanah air” dan “kewargaan”. Hanna menggunakan kata sekaligus metafora “mulut” sebagai mula kekerasan stereotipisasi dan piranti “penindasan” atas apa yang hendak diprotes-nya tersebut. Di sana “mulut” memang bersifat dualistik: tempat dan sumber kebajikan sekaligus keburukan, dan dari sana lah bermula ujaran, penamaan, identifikasi, dan stereotipisasi atas “yang lain”, “mulut adalah lubuk biru”.

“Maaf. Mulut adalah lubuk biru
tempat rimbun anggur dan lembut kabut”
…..
”Maaf. di kuburan kita janji ketemu
hantu lelaki yang menggigil lantaran istri yang mati.
Sebut sembarang saja
namanya: Aliong, Aliung, Along,
atau nama lain seperti Hartono, Hartanto,
atau Hardoyo. Atau nama lain semisal babi licik,
maling baba, -bukan pribumi”.

Puisi tersebut seakan hendak mendedahkan sebuah kearifan bahwa mula kekerasan dan penindasan bermula dari “mulut”, dari ujaran, dari sebutan, singkatnya dari identifikasi dan stereotipisasi atas “yang lain”. Dari muasal yang sebenarnya bersifat “wicara”, yang ketika terus-menerus diujarkan secara berulang-ulang maka akan menjelma stereotip dan “identifikasi”, yang lalu menjelma eksclusi terhadap “yang lain” dan “yang differ” atau “yang berbeda”. Dari sini kita sebenarnya bisa mengatakan bahwa kekerasan dan penindasan juga bermula dari kebiasaaan. Sebab, seperti yang pernah dikatakan Hannah Arendt (Lihat Karlina Supelli, BASIS Edisi Maret-April 2007: 13-15), kejahatan dan kedurjanaan dapat bersumber dari “kelesuan karakter”, “ketaksadaran”, dan “kemalasan berpikir”. Setidak-tidaknya, dalam konteks inilah sejumlah puisi Hanna Fransisca mesti dipahami. Pun pada sisi lainnya, puisi-puisi Hanna Fransisca pada saat bersamaan dapat dimengerti sebagai refleksi sosial yang dinarasikan dengan jalan menghadirkan ironi, karena dengan itu terpancar kekuatan meditatifnya demi memancing permenungan dan empati para pembaca. Dengan kata lain, puisi-puisi Hanna Fransisca menyindir sekaligus menegur kita dengan halus:

“Ia tak ingin hidupnya mati sampai di sini.
Mungkin kelak ia pandai menghitung koin,
dan barang kelontong demi harga diri.
Tapi ia sungguh tak ingin tidur dan mati di
dalam peti. Satu hal pasti: sejak disapa
guru pribumi jadi noni, ia lantas berhenti
membaca negeri. Ia putuskan
tak lagi jatuh cinta. Di sudut bibirmu
ada sebutir nasi. “Engkau hanya lah tamu
tanah dan air, menunggu di beranda
sampai mati”

(Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi).

Seperti terlihat dalam sejumlah puisinya, salah-satu masalah identitas yang kerap kali muncul adalah pertanyaan tentang “tanah air”, juga masalah “pribumi” dan “non-pribumi” yang rupa-rupanya cukup menyita pikiran dan tenaga estetik Hanna Fransisca, hingga soal-soal tersebut berkali-kali ia hadirkan dan ia ketengahkan melalui sejumlah puisinya, semisal lewat puisi yang berjudul Air Mata Tanah Air, Lilin Negeri, dan Nyanyi Tanah Negeri.

MASALAH GENDER DAN TRADISI PATRIARKHI
Isu lain yang tak bisa diabaikan dalam puisi-puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu adalah soal gender dan tradisi patriarkhi. Hal ini tampak dalam beberapa puisinya yang mengangkat sosok “Ibu”, yang acapkali digambarkan Hanna sebagai seorang “pahlawan” dan sosok “yang mengorbankan diri” demi keberlangsungan kehidupan keluarga, seperti tampak dalam puisinya yang berjudul Puisi Kacang Hijau:

“Dalam gelombang panas //
Ibu menambah kuah gula dan kelapa //
bersarung merah daster tembaga. //
Ia titipkan matanya
dalam liuk api
yang mententeramkan cinta. //

Hijau kulitmu,
biru api nasibmu. //
Pecah biji kacang
satu persatu. //

Hingga senja tiba,
menunggu usia binasa //
Ibu menuangkan seluruh dirinya
ke dalam mangkuk, // lalu menitipkan anak-anaknya //
pada hidup yang akan menjadikannya dewasa”.

Puisi-puisi Hanna Fransisca yang berusaha mengangkat sosok “Ibu” dan “perempuan” tersebut akan mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh perempuan yang juga dikisahkan Jung Chang melalui bukunya yang berjudul Wild Swans –Three Daughters of China (Lihat Jung Chan, Angsa-Angsa Liar, Gramedia 2005) itu, sekedar sebagai perbandingan longgar, yang menceritakan tokoh-tokoh perempuan yang berjuang dalam himpitan dan tekanan tradisi dan budaya patriarkhi dari generasi ke generasi. Sosok perempuan, terutama sosok “Ibu” yang dipotret Hanna Fransisca tersebut, tak jauh berbeda dengan sosok-sosok perempuan-nya Jung Chang, entah nenek buyutnya, neneknya, atau ibunya, yang dilukiskan sebagai perempuan-perempuan yang sabar, acapkali dalam himpitan dan tekanan, yang salah satunya karena budaya patriarkhi dan tradisi, tokoh-tokoh yang berjuang keras dan memang “berkorban” demi kelangsungan wangsa dan keluarga. Secara khusus, dalam Puisi Kacang Hijau, itu Hanna Fransisca menggambarkan bubur kacang hijau yang hendak ia santap sebagai “nasib” dan “tubuh” ibunya sendiri. Atau minimal ia terkenang perjuangan dan “pengorbanan” ibunya saat hendak menyantap dan saat menyantap menu santapan yang terbuat dari bahan kacang hijau tersebut.

Puisinya yang lain yang juga bernada dan mengangkat isu serupa, selain tentang kenangan dan ingatan penyairnya, adalah yang berjudul Kepada Adik: “Di sepanjang jalan Singkawang // di lorong-lorong pecinan // kubangan lumpur dan gubuk tempat ibu pernah berdiri // tak letih-letih aku mencari……Di rumah tua sepasang tangan keriput // masih menanak jagung yang kausuka. // Asap halus mengepul di wajah ibu yang mulai menua”. Tema puisi ini, sebagaimana tema Puisi Kacang Hijau, adalah sosok “Ibu” yang begitu nyata dan akrab dalam ingatan kanak-kanak penyair hingga dewasa. Sosok “Ibu” yang dinarasikan dan digambarkan Hanna Fransisca begitu sakral. Sosok “Ibu” diangkat karena bagi si penyairnya merupakan contoh nyata “perempuan” yang berjuang di tengah tradisi patriarkhi, yang pada saat yang bersamaan seakan hanya bisa menanggung “ketakberdayaan” untuk melawan adat tradisi.

Pertarungan naratif dan metaforik puisi-puisi Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han pada dasarnya adalah pencarian “identitas” dalam konteks adat tradisi dan budaya Tionghoa-nya di satu sisi, dan persoalan pergulatan identitas Tionghoa itu sendiri dalam konteks sosial-politik dan kewargaan Indonesia. Dalam hal ini, melalui beberapa puisinya semisal puisi Air Mata Tanah Air, Lilin Negeri 2, dan Sang Naga, penyairnya bahkan berusaha melakukan dialog fiktif dan sunyi dengan sosok Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid, yang tak lain sosok pluralis, pembela hak-hak asasi manusia, ulama kharismatik, yang pada saat bersamaan dikenal dekat dengan etnik Tionghoa, yang bahkan berusaha memerangi ketidakadilan kepada etnik Tionghoa, baik ketika menjadi budayawan, ketua PBNU, dan presiden RI. Dapat dikatakan, Gus Dur merupakan figur penting bahkan dianggap “pahlawan” bagi Hanna Fransisca. Ia dianggap sosok yang humanis dan ideal seorang manusia yang patut diteladani.

REFLEKSI BERSAMA
Membaca puisi-puisi Hanna Fransisca yang menarasikan diri mereka dengan ujaran reflektif dan sindiran halus itu, meski berangkat dari latar belakang kehidupan si penyairnya, entah kenangan dan ingatannya tentang tanah kelahiran plus kampung halaman dan sosok ibunya, dan upayanya menggunakan adat tradisi dan mitologi etnik Tionghoa sebagai reference dan kiasan puisi-puisinya, tersebut sebenarnya dapat dibaca sebagai refleksi bersama dalam konteks budaya dan lanskap kewargaan kita di Indonesia. Salah-satu contohnya, yang dengan mempersembahkan beberapa puisinya, yang merupakan dialog fiktif dan upaya mempersembahkan kepada sosok Gus Dur, itu seakan berusaha mengajak dan menegur kita secara halus untuk belajar “bagaimana menjadi manusia” dari figur KH. Abdurrahman Wahid, yang memang telah kita kenal sebagai figur pembela humanisme yang teguh dan lantang, seperti terlihat dalam perjuangan dan upayanya menolak dan melawan diskriminasi SARA dalam konteks politik dan budaya Indonesia.

Berangkat dari dan berdasar aras wawasan tersebut, sejumlah puisi yang termaktub dalam Konde Penyair Han-nya Hanna Fransisca pada dasarnya datang dari seorang wakil warga Negara Indonesia, dari salah-satu etnik dari sekian banyak etnik di negeri kita, ketika ia merasa ada “ketidakadilan”, “prasangka negatif”, dan “tuduhan sepihak” yang merasa perlu ia hadirkan dan ia wacanakan ke hadapan kita semua demi mendapatkan “pemahaman” dan “empati”. Maka wajar, jika dalam beberapa puisinya di buku Konde Penyair Han, itu Hanna Fransisca tak segan-segan menghadirkan dan menggambarkan etnik Tionghoa sebagai korban, utamanya korban amok politik pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Peristiwa Mei 1998 tersebut bahkan dapat dikatakan sebagai inspirasi dan rujukan penting bagi kreativitas penulisan beberapa puisinya. Dengan latar dan rujukan itu pulalah kemudian si penyairnya berusaha merefleksikannya dengan jalan menengok atau berziarah kembali ke “genealogy” wangsa dirinya, adat istiadat, dan mitologi Tionghoa, yang tentu saja, sangat ia kenal dan sangat ia akrabi, karena ia sendiri hidup bersama dan menghidupi adat istiadat, tradisi, dan mitologi etnik Tionghoa itu. Inilah salah-satu pijakan dan latar-belakang yang tak dapat diabaikan ketika kita membaca puisi-puisinya Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han.

Penerokaan dan refleksi seputar identitas dan etnisitas yang terpancar lewat dan dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu mengingatkan saya pada refleksi-refleksi diarisnya Amin Maalouf yang cukup investigatif dan mencerahkan saat Amin Maalouf mencoba mengangkat dua isu penting tersebut dalam hidup kita secara politik dan kultural. Amin Maalouf dan Hanna Fransisca bahkan memiliki kemiripan reflektif, meski Amin dan Hanna menggunakan media yang berbeda untuk mengangkat soal-soal tersebut, esai dan puisi. Keduanya pun berangkat dari dunia politik-kultural dan pengalaman mereka masing-masing, yang karena sifatnya yang universal itu, kemudian memiliki nada keprihatinan yang tak jauh berbeda. Lewat-lewat esai diaris-reflektifnya dalam bukunya yang berjudul In the Name of Identity itu, seperti halnya kemudian nada serupa tampak dalam sejumlah puisi Hanna, Malouf memaklumkan kita bahwa soal identitas dan etnisitas kerapkali menjadi sumber kekerasan dan pertikaian, meski apa yang kita sebut “identitas” itu sendiri sesungguhnya tak pernah ajeg. “Orang bertanya pada saya”, tulis Maalouf, “apakah saya lebih Perancis atau lebih Lebanon? Dan saya selalu melontarkan jawaban yang sama: Keduanya! Saya berkata demikian tidak memaksudkan supaya jawaban saya terdengar adil dan berimbang, tetapi karena jawaban yang lain sama artinya dengan kebohongan” (Amin Maalouf, 2004: 1-5). Dilema identitas sebagaimana yang diungkapkan Maalouf tersebut serupa dengan dilema yang dialami dan dihidupi oleh Hanna Fransisca, seperti tergambar dalam sejumlah puisinya, di mana ia seorang etnik Tionghoa sekaligus “hidup” di Indonesia, hingga tak teringkari bahwa Hanna adalah seorang Tionghoa sekaligus Indonesia, dan itulah identitasnya, bila kita meminjam logika dan wawasannya Amin Maalouf.

Seperti halnya Maalouf, Hanna pun seakan-akan hendak mengatakan bahwa menetapkan identitas seseorang atau pun kelompok masyarakat secara ajeg bisa menimbulkan masalah dan mengingkari realitas dunia dan hidup saat ini, di mana banyak orang menyandang sematan identitas yang beragam secara bersamaan. Dalam dunia saat ini, sebagaimana diungkapkan Amin Maalouf dan Amartya Sen, misalnya, tak lagi bisa dipahami sebagai konsep general yang mengingkari pengalaman-pengalaman khusus dan unik setiap individu. Sebagai contoh, Kartu Identitas semisal KTP, mestilah lebih dipandang sebagai kebutuhan statistik saja ketimbang sebagai definisi substantif seseorang yang menyandangnya. Sebab, seperti telah kita maphumi bersama, di jaman ini sudah banyak sekali individu-individu yang sebenarnya hidup dengan sekian identitas campuran dan menghidupinya dengan sukarela atau terpaksa, seperti Amin Maalouf yang keturunan Arab-Libanon, beragama Kristen, mengenal bahasa Arab secara fasih yang juga merupakan bahasanya banyak kaum muslim, tapi pada saat bersamaan adalah seorang warga-negara Perancis dan menulis dalam bahasa Perancis. Kenyataan serupa juga dapat kita kiaskan pada kasus Hanna, seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, dan kini hidup di Jakarta, akrab dan menghidupi adat istiadat dan budaya Tionghoa, namun pada saat bersamaan tinggal di Indonesia dan menulis juga berbicara dengan dan dalam Bahasa Indonesia.

Selain Amin Maalouf dan Amartya Sen, kita juga bisa menimba refleksi bersama ini dari tulisan-tulisan dan wawasan filosofisnya Richard Rorty, tentu sebagai cermin untuk menilai dan melihat arti refleksi yang dihadirkan oleh sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han itu. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism itu, Richard Rorty, yang diinspirasi oleh renungan-renungan filsafatnya Adorno dan Hannah Arendt, dan pengalaman sejarah nasionalisme modern dan rezim kekuasaan politik otoritarianismenya, kita diajak menengok sebuah masa ketika kesadaran kita tergiring kepada pengalaman pahit abad 20, ketika kepercayaan ideologis yang dogmatis malah memanen kekejaman dan kemalangan bagi jutaan ummat manusia. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism itu, contohnya, Rorty menginterupsi kepercayaan dan pemahaman kita tentang apa yang kita terima dan kita percayai sebagai kebenaran yang masih berbasis pendasaran metafisik dan universalisme yang mengatasi sejarah alias tidak didasarkan pada pengalaman kefanaan kita yang lebih nyata. “Truth is not the sort of thing one should expect to have a philosophically interesting theory about”, tulis Rorty, “truth is just the name of a property which all true statements share” (Richard Rorty, 1991: xiii-xxi). Di sini, dialog dan sharing pemahaman merupakan media dan jalan yang mesti dipilih dalam lingkungan sosial dan situasi epistemik dunia modern saat ini, termasuk melalui tulisan dan penyebaran dan publikasi wacana. Menurut Rorty, contohnya, sudah bukan saatnya lagi bagi kita untuk bertanya “apakah kita” seperti lazimnya filsafat tradisional, tetapi lebih baik bertanya “siapakah kita”, di mana dengan pertanyaan kedua itu kita akan lebih menyadari eksistensi dan posisi kita dalam keragaman dan situasi epistemik jaman ini. Singkatnya lebih realistis, sebagaimana yang juga dibayangkan oleh Amartya Sen dan Amin Maalouf. Tapi, sepertinya, meski hanya tersirat saja, dalam beberapa puisi Hanna Fransisca, pertanyaan dan refleksi “apakah kita” dan “siapakah kita” sama-sama penting. Lebih khusus dan spesifik, dalam kasus sejumlah puisi Hanna Fransisca sebagaimana yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han itu, pertanyaan dan refleksinya menjadi “Apakah Tionghoa” dan “Siapakah Tionghoa”, yang kemudian seakan-akan hendak merenungkan, merefleksikan, dan mempertanyakan kembali “Apakah Indonesia” dan “Siapakah Indonesia”. Dari sinilah kita dapat juga menilai kekhasan sejumlah puisi Hanna Fransisca, minimal dalam pemilihan tema dan isu pergulatan puisi-puisinya dalam buku Konde Penyair Han itu, di tengah dunia penulisan yang berjuang untuk tidak menjadi sekadar “hiburan” dan “propaganda” semata, jika saya meminjam istilahnya Daniele Sallenave, di tengah serbuan kamuflase (rekayasa) buku-buku yang melabelkan best sellers, di mana sastra atau penulisan rentan menjadi komoditas sesaat saja. Di sini, dengan meminjam langsung penuturannya Daniele Sallenave, sastra mendapati fungsi dirinya lebih pada upaya membuka suatu “renungan”, yang tak bakal berakhir dan tak bakal diakhiri, tentang makna kehadiran manusia-manusia konkret (Jurnal Kalam Edisi 9, 1997: 63-64).

Setidak-tidaknya, apa yang “diidealkan” Daniele Sallenave tentang di mana sastra, yang dalam konteks tulisan ini dapat dikatakan di mana puisi, mesti menempati dirinya atau “menjalankan” fungsinya sebagai usaha membuka kemungkinan bagi “renungan” akan manusia-manusia atau subjek-subjek konkret itu tercermin juga dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han. Sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, meski tentu saja tak luput menjadi “pembelaan” subjektif dan sepihak, berusaha menempatkan dan memposisikan diri sebagai suara-suara “perenungan” dan “refleksi-investigatif” dalam soal-soal identitas, kewargaan, dan etnisitas, yaitu “Tionghoa” dan “Indonesia” pada saat bersamaan.

PUSTAKA
Buku:
Amin Maalouf, In the Name of Identity, Alih Bahasa: Ronny Agustinus, Resist Book 2004.
Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, Alih Bahasa: Arif Susanto, Marjinkiri 2007.
Hanna Fransisca, Konde Penyair Han, KataKita 2010.
Jung Chang, Angsa-Angsa Liar, Alih Bahasa: Honggo Wibisana, Gramedia 2005.
Richard Rorty, Consequences of Pragmatism, Harvester 1991.
Risalah Dari Ternate, Ummu Press Oktober 2011.
Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi 2012.
Tan Lioe Ie, Malam Cahaya Lampion, Bentang 2005.
Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, Yayasan Obor Indonesia 2000.
Tuah Tara No Ate, Ummu Press Oktober 2011.
Wahyu Arya, Sebuah Pintu yang Terbuka, Kubah Budaya 2012.

Jurnal dan Majalah:
Majalah BASIS Edisi Maret-April 2007.
Jurnal Kalam Edisi 9, 1997.
Majalah INTISARI Edisi Agustus 2004. 


Tidak ada komentar: