Pemerintahan Menurut Imam Ali dalam Nahjul Balaghah (Bagian Pertama)



Oleh Ayatullah Sayid Ali Khamenei (Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran). Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Tema pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah, seperti puluhan tema penting lainnya di dalam kitab yang agung ini, diutarakan dengan cara yang berbeda dari cara yang biasa digunakan oleh para peneliti dan penulis. Tentunya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tidak membuat pasal tersendiri yang secara khusus membahas tentang pemerintahan dengan cara menyusun beberapa premis kemudian menarik sebuah konklusi. Cara bertutur beliau dalam persoalan ini seperti dalam persoalan-persoalan lainnya, adalah cara yang bijak, yakni melintasi medium-medium dan memfokuskan renungan pada konklusi. Pola pandang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as terhadap tema pemerintahan adalah pola pandang seorang bijaksana terkemuka yang mempunyai hubungan dekat dengan sumber wahyu.

Poin berikut yang perlu dicermati di sini adalah tema pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah tidak diutarakan dalam bentuk pembahasan yang terpisah dari kenyataan di lapangan. Sayidina Ali bin Abi Thalib as berkecimpung secara langsung dengan pemerintahan, dan beliau berbicara di sini dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan seorang yang mengatur jalannya negara Islam dengan segenap kendala dan malapetaka yang dia hadapi serta menangani langsung berbagai dimensi pemerintahan. Perhatian terhadap persoalan ini akan banyak memberi pelajaran kepada kita yang pada masa kini sedang mengalami situasi dan kondisi yang mirip dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh beliau.

Setelah membaca Nahjul Balaghah secara singkat, ada beberapa tema utama yang saya catat dan ingin saya sampaikan pada kesempatan (ceramah) kali ini. Tema-tema utama yang harus diperhatikan dalam persoalan ini adalah sebagai berikut:

MAKNA PEMERINTAHAN
Pertama-tama harus diperhatikan apakah pemerintahan menurut kaca mata Imam Ali bin Abi Thalib as berarti sama dengan makna pemerintahan yang dimengerti dalam kamus populer dunia kuno dan dunia modern? Yakni apakah pemerintahan berarti ketuanan, kesultanan, penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah dan terkadang penguasa memiliki hak-hak yang istimewa dalam kehidupan? Atau bukan, pemerintahan menurut kamus Nahjul Balaghah memiliki makna yang berbeda? Dalam hal ini, kita akan menggunakan beberapa kata dan istilah khusus Nahjul Balaghah seperti imam, wali, dan wali amr untuk pemimpin dan rakyat untuk masyarakat yang dipimpin.

URGENSI PEMERINTAHAN
Tema berikutnya adalah persoalan tentang urgensi pemerintahan. Ada pembahasan tersendiri apakah pemerintahan merupakan sesuatu yang urgen bagi umat manusia atau tidak? Kesimpulan dari pembahasan ini berarti komitmen terhadap konsekuensi-konsekuensi tertentu dalam kehidupan kolektif dan bukan sekedar menerima bahwa pemerintahan merupakan keharusan bagi sebuah masyarakat. Sebaliknya, kesimpulan dari pembahasan ini sangat melukiskan ciri dan garis tertentu dalam metode memimpin, metode dipimpin dan dalam kepengurusan masyarakat.

SUMBER PEMERINTAHAN
Apa sumber pemerintahan menurut Nahjul Balaghah? Apakah sesuatu yang natural, ras, keturunan, nasab, dan kekuasaan (yakni kekuasaan natural atau kekuasaan yang diperoleh)? Atau bukan, melainkan sumber pemerintahan dan yang memberikan pengesahan terhadap pemerintahan seseorang ataupun kelompok tertentu adalah perkara Ilahi atau perkara massa?

PEMERINTAHAN, HAK ATAU TUGAS?
Persoalan keempat adalah apakah perihal memerintah termasuk hak atau tugas? Apakah pimpinan berhak memerintah atau bertugas untuk memerintah? Siapakah orang yang boleh atau harus memerintah? Menurut Nahjul Balaghah, pemerintahan adalah hak dan sekaligus tugas. Pada kondisi tertentu, orang yang memenuhi syarat dan standar pemerintahan bertugas dan berkewajiban untuk memerintah, dan dia tidak boleh melepaskan tanggungjawab itu begitu saja.

PEMERINTAHAN, TUJUAN ATAU SARANA?
Persoalan kelima adalah, apakah perihal memerintah bagi seorang pemimpin atau dewan pimpinan merupakan tujuan atau hanya sebuah sarana? Dan jika itu merupakan sarana, maka sarana untuk tujuan apa? Tujuan apa yang ingin dicapai oleh pimpinan untuk masyarakat?

PEMIMPIN dan RAKYAT
Tema keenam adalah persoalan sensasional tentang hubungan antara pemimpin dan rakyat. Apa dasar dan asas yang membangun hubungan antara mereka? Apakah itu hak pemimpin yang sepihak terhadap rakyat? Atau hak dua belah pihak di antara mereka? Ini merupakan kajian yang paling asasi, berbobot dan berkonsekuensi tentang pemerintahan menurut Nahjul Balaghah.

RAKYAT dan PEMERINTAHAN
Tema ketujuh adalah persoalan tentang rakyat dalam sebuah pemerintahan. Patut kita perhatikan secara seksama di dalam Nahjul Balaghah, apa peran rakyat di hadapan pemerintahan? Apakah mereka memiliki peran yang menentukan? Apakah mereka yang memulai? Apakah mereka mempunyai kuasa pilih yang penuh? Ataukah mereka sama sekali tidak berperan aktif? Atau apa? Semua ini persoalan-persoalan yang sangat teliti dalam Nahjul Balaghah. Budaya-budaya yang dewasa ini mendominasi benak masyarakat dalam berbagai ranah politik sama sekali tidak ada yang sesuai dengan budaya Nahjul Balaghah.

POLA PERLAKUAN TERHADAP RAKYAT
Tema kedelapan adalah persoalan yang secara prinsipil tergolong sekunder, akan tetapi secara praktik sangat sensasional dan penting sekali, yaitu persoalan tentang pola perlakuan pemerintah terhadap rakyat. Bagaimanakah seharusnya pejabat dan anggota pemerintah memperlakukan rakyat? Apakah mereka penagih dari rakyat? Ataukah sebaliknya, mereka berhutang kepada rakyat? Apa etika pemerintah di hadapan rakyatnya?

PERILAKU PEMIMPIN TERHADAP DIRINYA
Tema kesembilan termasuk persoalan yang menarik sekali, yaitu tentang perilaku pemimpin terhadap dirinya sendiri. Apakah ada batasan untuk perilaku pemimpin terhadap dirinya? Apa cukup perilaku baik pemimpin terhadap rakyatnya? Ataukah tidak, ada hal lain di balik cara berhubungan pemimpin dengan rakyatnya, yaitu hubungan dia dengan dirinya sendiri? Bagaimanakah semestinya kehidupan pribadi pemimpin? Apa pandangan Nahjul Balaghah dalam persolan ini?

SYARAT-SYARAT PEMIMPIN
Tema yang kesepuluh berkenaan dengan syarat pemimpin. Manusia yang bagaimana menurut Nahjul Balaghah yang boleh memimpin umat manusia? Inilah tema-tema persoalan tentang pemerintahan dalam Nahjul Balaghah, dan kita bisa mengutarakan serta membahasnya.

MAKNA PEMERINTAHAN
Persoalan pertama berkenaan dengan makna pemerintahan. Menurut ungkapan yang populer di dalam bahasa Arab, pemimpin biasa disebut dengan sultan dan malik (raja). Kata sultan secara implisit mengandung makna penguasaan dalam diri pemimpin. Yakni pemimpin dipandang dari sisi penguasaannya; orang lain tidak berhak mencampuri urusan rakyat, sedangkan dia berhak. Adapun malik (raja), mengandung makna kepemilikan atas rakyat atau kepemilikan atas nasib mereka. 

Di dalam Nahjul Balaghah, pemimpin umat Islam tidak pernah disebut dengan malik atau sultan. Julukan pemimpin di dalam Nahjul Balaghah yang pertama adalah imam, artinya penghulu dan pembimbing. Berbeda antara penghulu dan petunjuk jalan, penghulu adalah orang yang apabila dia mengajak sekelompok orang atau umat terlebih dulu dia sendiri harus bergerak dan berada di barisan terdepan. Ada semacam makna gerakan, maju, dan posisi terdepan di garis perjalanan rakyat di dalam kata imam.


Sebutan lain bagi pemimpin adalah wali. Wali berasal dari kata wilayah atau walayah. Dan bertolak dari derivasi-derivasi kata itu kita bisa sampai pada tujuan yang dimaksud dari penggunaan kata wali untuk pemimpin. Wilayah pada dasarnya menurut bahasa berarti sambungan dua hal. Bahasa mengatakan wilayah yakni sambungan dua belah pihak antara dua hal yang sekiranya tidak ada jarak pemisah di antara mereka. Sambungan yang utuh dan sempurna adalah makna wilayah. Memang ada juga makna lain yang disebutkan, seperti wilayah berarti cinta, wilayah berarti tanggungjawab pengasuhan, wilayah berarti pembebasan budak, wilayah berarti budak atau majikan.


Sepertinya, bentuk-bentuk sambungan yang terdapat dalam makna-makna wilayah tersebut merupakan fakta dari sambungan erat tanpa jarak pemisah. Wali sebuah umat dan wali sebuah rakyat adalah orang yang bertanggungjawab atas perkara rakyat dan senantiasa bersambung dengan mereka. Makna wali ini sendiri menunjukkan sisi khas konsep pemerintahan menurut Nahjul Balaghah dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as; wali amr yakni pelaksana perkara. Tidak ada nilai keistimewaan yang terkandung dalam kata pelaksana perkara. Masyarakat Islam seumpama pabrik besar yang terdiri dari bagian-bagian, mesin-mesin, baut-baut, mur-mur, bagian-bagian kecil dan besar yang sebagiannya sangat berpengaruh dan sebagiannya lagi tidak terlalu berpengaruh. Salah satu bagiannya yang terdiri dari pengatur masyarakat juga seperti bagian-bagian yang lain. Dia sama dengan bagian dan elemen yang membentuk himpunan ini. Wali amr artinya pelaksana sebuah pekerjaan. Dan pelaksana sebuah pekerjaan sama sekali tidak menuntut keistimewaan tersendiri dan praktis tidak ada kelebihan bagi dia dari sisi fasilitas kehidupan material. Jika dia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik maka dia telah memperoleh keistimewaan spiritual sepantas keberhasilannya, dan tidak lebih dari itu. Inilah makna pemerintahan yang sebenarnya di dalam Nahjul Balaghah.

Oleh karena itu, pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah sama sekali tidak berbau hegemoni. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menuntut keistimewaan yang lebih daripada yang lain. Di sisi lain, penduduk suatu kawasan yang dipimpin menurut ungkapan Nahjul Balaghah adalah rakyat. Rakyat berarti sekumpulan orang yang harus dijaga, diperhatikan dan dilindungi oleh wali amr atau pemimpin. Tentunya perlu dicatat bahwa adakalanya perhatian dan perlindungan dilakukan terhadap benda mati, dan hal itu memiliki makna tersendiri, adakalanya dilakukan terhadap binatang, dan itu juga memiliki makna tersendiri. Namun, adakalanya perhatian dan perlindungan dilakukan terhadap manusia, dengan segenap dimensi kepribadiannya, cinta kebebasan dan tuntutannya untuk menambah spiritualitas, kemungkinan ruhnya untuk membubung tinggi, dan dengan cita-cita serta tujuannya yang mulia, semua ini harus kalian perhatikan sebagai sebuah himpunan, dan manusia dengan segenap himpunan ini harus dijaga, diperhatikan dan dilindungi.

Inilah hal penting yang sepanjang masa dititikberatkan dalam peradaban Islam. Kumait Asadi mengatakan, “Dia memerintah tidak seperti orang yang memelihara manusia sama dengan binatang ternak.” [1] Artinya, manusia harus dipelihara lengkap dengan semua dimensi kemanusiaannya. Inilah arti rakyat dan ungkapan yang digunakan oleh Nahjul Balaghah untuk kelompok manusia yang dipimpin.

Singkat kata bahwa ketika kita mencari makna pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah, dari satu sisi kita melihat di puncak pemerintahan adalah seorang wali, wali amr, penanggung jawab urusan rakyat, petugas yang memikul kewajiban besar, dan orang yang beban tanggung jawabnya lebih banyak dan lebih berat daripada yang lain. Di sisi lain kita melihat rakyat yang harus dipelihara dengan segenap norma-norma dan cita-citanya serta unsur-unsur yang membentuk kepribadiannya. Inilah makna pemerintahan, dan makna pemerintahan ini sama sekali bukan hegemoni, adidaya, atau keserakahan.

Di berbagai kesempatan dalam Nahjul Balaghah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as telah menyinggung kerangka pemerintahan. Bisa dikatakan ada puluhan kalimat beliau di dalam Nahjul Balaghah yang menentukan makna pemerintahan menurut pandangan beliau. Di antaranya adalah perintah beliau atas Malik Asytar: “Jibâyatu khorôjiha, wa jihâdu ‘aduwwihâ, wa istishlâhu ahlihâ wa ‘imârotu bilâdihâ.” [2] Inilah makna pemerintahan. Malik Asytar terpilih sebagai gubernur Mesir bukan untuk meraup kekuasaan atau memperoleh keistimewaan material, melainkan untuk menjalankan tugas-tugas sebagai berikut: menarik pajak dari rakyat untuk mengatur masalah keungan negara, bertempur melawan musuh-musuh rakyat dan menjamin keamanan mereka, mengajak mereka kepada perbaikan (perbaikan dengan dimensinya yang luas mencakup sisi material dan spiritual menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as dan logika Nahjul Balaghah), memakmurkan kawasan pemerintahan. Dengan kata lain, membina manusia, memakmurkan tanah air, meningkatkan akhlak dan nilai-nilai spiritual, dan menuntut tugas rakyat di hadapan tugas-tugas berat yang harus ditanggung oleh pemerintah. (Bersambung Ke Bagian Kedua


Tidak ada komentar: