Orientalis dan Islam



Dialog Murtadha Karimi Nia dan Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Islam, agama samawi yang terakhir ini, muncul di bumi belahan timur, dan dari sana kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia yang lain. Sehubungan dengan itu, muncullah kelompok orientalis yang melakukan penelitian tentang akidah, bahasa, sastra, sejarah dan dimensi-dimensi lain dari peradaban Islam serta kaum Muslim, mereka mempelajari ilmu-ilmu Islami seperti Ulumul Qur'an, ilmu hadis, sejarah Nabi, bahasa dan sastra Arab, sejarah bangsa-bangsa Muslim, penyebaran agama dan peradaban Islam, serta sumber-sumber agama Islam dan pengaruh masing-masing darinya dalam pemikiran manusia. Bisa dikatakan bahwa tidak ada topik kajian Islam yang belum dijamah oleh mereka.

Ustad Murtada Karimi Nia adalah peneliti yang banyak menggeluti dunia orientalis. Dan berikut ini kami akan menyuguhkan wawancara kami dengannya mengenai kelompok orientalis dan Islam.

Untuk mengawali perbincangan, tolong jelaskan kepada kita tentang makna orientalisme dan siapa sebenarnya kelompok orientalis?

Istilah ini mempunyai latar belakang yang panjang, dan lebih cenderung berarti aktivitas –yang relatif lama- orang-orang Barat dalam rangka mengenal Timur. Makna ini luas sekali, dan mencakup semua aktivitas mereka dari dulu sampai sekarang dalam rangka mengenal Timur secara universal; mulai dari pengenalan atas Timur Tengah, latar belakang Timur Tengah, sejarah, bahasa, sastra, literatur dan peradabannya sampai dengan Asia Tenggara.

Tiga sampai empat ratus tahun yang lalu, yaitu ketika universitas dan lembaga akademis Barat menemukan bentuknya yang modern, jurusan-jurusan ilmu mulai dipilah dan dipisahkan secara lebih terperinci, lambat laun mereka menyoroti juga subjek yang tidak begitu berarti kecuali untuk mereka sendiri, yaitu Timur. Artinya, seolah orang-orang Barat sedang berdiri menyaksikan kawasan lain di dunia ini yang bernama Timur. Pengenalan atas segala sesuatu dari kawasan ini (lingkungan dan budaya), dari dahulu kala sampai sekarang, termasuk dalam subjek penelitian orientalisme. Seirama dengan itu, kuliah-kuliah orientalisme diselenggarakan dan buku, artikel, sekripsi, tesis, disertasi dan jurnal-jurnal orientalisme diterbitkan, tentunya untuk kalangan terbatas cendekiawan. Fenomena ini dimulai sejak kurang lebih dua ratus lima puluh tahun yang lalu.

Apakah orientalisme terbatas pada periode tertentu?

Orientalisme mencakup periode zaman yang sangat panjang, bahkan bisa dikatakan bahwa aktivitas semacam ini sudah berlangsung seribu tahun yang lalu, yaitu ketika agama ini mulai menaklukkan berbagai negara dan melewati gerbang Eropa, ketika ia mulai sampai ke telinga kaum Kristen, khususnya di kawasan yang lebih dekat dengan tempat munculnya Islam, seperti di Siria dan sekitarnya. Sejak itu mereka mengenal agama Islam dan berusaha untuk menelitinya, mereka telah menuliskan buku dan artikel tentang Islam, terlepas apa motivasi di balik itu semua; sebagian memang untuk mengenal dan memperkenalkan agama Islam, dan sebagiannya lagi untuk menentangnya.

Bahkan, apabila orientalisme diartikan dengan aktivitas Islamologi maka latar belakangnya lebih jauh lagi. Bukti-buktinya dengan mudah bisa kita saksikan dalam karya-karya abad sebelas atau duabelas Masehi, meskipun mayoritas karya orientalisme atau Islamologi itu berusaha untuk menolak agama Islam dan membuktikan keunggulan agama Kristen atas Islam.

Tapi perlu digarisbawahi bahwa jangan dibayangkan orientalisme semata-mata dalam kerangka penolakan atas agama Islam atau penelitian tentangnya, karena ada juga topik-topik penelitian orientalisme yang lain, seperti peradaban Cina yang tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, mereka meneliti aliran-aliran kuno, budaya, bahasa, sastra sansekerta, dan lain sebagainya di sana, dan semua ini masih termasuk dalam kerangka kajian mereka.

Pada zaman dulu, ada beberapa fenomena dan orientasi yang sangat membantu orientalisme dan terkadang membimbingnya ke arah tertentu. Contoh, imperialisme; ketika negara-negara Barat merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan primer mereka dengan kekayaan negara mereka sendiri, maka mereka ingin menduduki negara lain seperti Afrika, Malaysia, dan Indonesia dengan berbagai cara. Mereka pelajari dulu posisi dan budaya negara yang akan dijajah, mereka pura-pura ingin memakmurkan negara itu, tapi pada kenyataannya mereka mengangkut kekayaan negara jajahan ke negara mereka. Fenomena imperialisme ini sangat membantu orientalisme, sebaliknya pun demikian; orientalisme sangat membantu imperialisme.

Suatu contoh, ketika Belanda ingin menjajah Malaysia atau Indonesia dan merampas kekayaan alamnya, mereka harus terlebih dulu menguasai budaya, agama, mazhab, tradisi, pribumi, dan hal-hal penting lainnya dari negara itu. Biasanya, orang yang banyak membantu para pejabat politik imperialis adalah duta, sastrawan dan cendekiawan yang sekarang kita kenal dengan sebutan orientalis. Duta politik dan atase kebudayaan di negara jajahan terhitung sebagai orientalis pertama, mereka orang-orang pertama yang meneliti, mendata, menyimpan peninggalan, dan mencatat penemuan-penemuan mereka yang kemudian menjadi referensi bagi mahasiswa dan peneliti orientalis di Barat, lalu peninggalan-peninggalan itu dimusiumkan di sana.

Dengan cara inilah orientalis membantu imperialis sebagaimana imperialis juga membantu mereka. Setelah berhasil menduduki sebuah negara dan menguasainya, mereka pindahkan referensi, litografi dan manuskrip negara itu ke musium dan perpustakaan mereka, itulah sebabnya peneliti-peneliti Barat dengan mudahnya di universitas mereka sendiri mengakses referensi Timur dan melakukan penelitian padanya. Sampai sekarang pun, di beberapa bidang kita masih memerlukan perpustakaan dan musium di Barat untuk mengenal negara kita sendiri, satu contoh apabila kita ingin meneliti latar belakang budaya Indonesia atau Malaysia, kita tidak perlu pergi ke Jakarta atau Kuala Lumpur, dan lebih baik kita pergi ke perpustakaan Lieden Belanda, karena Indonesia dan Malaysia lama menjadi jajahan Belanda.

Perampokan manuskrip dan referensi Islam lainnya punya masa lalu yang sangat jauh, sejak terjadinya perang salib banyak sekali referensi Islam Timur Tengah yang dirampok dan diangkut ke Eropa. Sangat disayangkan sekali bahkan manuskrip asli sebuah kitab referensi kuno Islam hanya bisa kita temukan di perpustakaan Eropa.

Imperialisme bukan satu-satunya faktor yang mendukung orientalisme. Ada juga faktor-faktor lain yang juga membantu, mengembangkan dan memudahkan jalan orientalisme, sehingga praktis jurusan-jurusannya dipisahkan satu sama yang lain, dan sekarang tidak mungkin lagi ada orang yang bisa mengklaim diri sebagai spesialis tentang India, pakar agama Budha sekaligus agama Islam. Di lingkungan akademi Barat, seorang pakar fikih Maliki tidak bisa dengan mudah berpendapat tentang ulumul Qur'an, kecuali jika secara kebetulan penelitian yang pernah dia lakukan selama bertahun-tahun ada kaitannya dengan salah satu topik kajian tentang Al-Qur'an. Pada zaman sekarang tidak mungkin seseorang spesialis di semua bidang; Al-Qur'an, tafsir, hadis, Nabi saw., sejarah, puisi, sastra, biografi, rijal dan lain-lain.

Oleh karena itu, orientalisme di sepuluh abad terakhir ini bermacam-macam, bahkan orientalisme di abad dua puluh berbeda sekali dengan orientalisme di abad dua puluh satu yang baru menginjakkan kakinya, bahkan kita juga tidak bisa mengatakan bahwa para peneliti dan cendikiawan muslim senada dan sealiran; di abad ketiga contohnya, tidak bisa kita katakan bahwa ulama Syi'ah Khurasan atau Qom memiliki pola pikir dan gaya penulisan yang serupa dengan ulama Syi'ah di Baghdad. Itulah sebabnya, di masa sekarang saya lebih setuju dengan penggunaan istilah Islamolog atau Islamisis daripada orientalis. Di Barat sekarang tidak ada lagi orientalis dengan makna yang sebenarnya, yang ada sekarang adalah peneliti peradaban Islam yang melibatkan penelit-peneliti muslim dalam penelitian mereka.

Hal lain yang membedakan antara Islamologi masa lalu dan Islamologi masa sekarang adalah pemilahan yang terdapat pada Islamologi modern antara ranah penelitian dan ranah publik, artinya apa yang didiskusikan, ditulis dan disampaikan di universitas atau lingkungan kampus mengenai hal ini betul-betul spesialis dan khusus untuk kalangan akademisi, adapun masyarakat awam tidak mungkin untuk mencernanya. Itulah kenapa jurnal-jurnal universitas tidak dijual di kios-kios penjualan koran dan majalah, bahkan tidak semua toko buku bisa menjualnya.

Apa tujuan dan target yang dikejar oleh kaum orientalis?

Bukan satu macam orientalis yang kita hadapi, oleh karena itu tidak mungkin kita menyamakan tujuan dan target mereka. Fenomena sosial-humaniora tidak semudah itu bisa dianalisis, apalagi jika sudah terseret ke ranah ilmu pengetahun dan berbagai bangsa ikut terlibat di dalamnya. Di zaman sekarang bahkan batas-batas teritorial sudah tidak begitu berarti, sehingga sebagian unsur yang membentuk kelompok orientalis (Islamolog) zaman sekarang adalah orang-orang muslim itu sendiri. Banyak sekali Islamolog di universitas Barat yang beragama Islam, sebagian dari mereka bekerjasama dengan peneliti non-muslim. Kalau dulu orang-orang Barat harus datang ke negara-negara Islam untuk melakukan penelitian di sana, tapi sekarang penduduk negara itu yang pergi ke Barat dan menyampaikan hasil penelitian mereka sambil membawakan bukti-bukti konkrit yang diperlukan.

Menurut perkiraan saya, di universitas-universitas Barat yang menyajikan jurusan-jurusan seperti penelitian tentang Timur Tengah, sastra Arab, Islamologi dan sebagainya ada sekitar duapuluh sampai tigapuluh persen bahkan di sebagian tempat sampai limapuluh peserta muslim yang bekerjasama di sana, baik itu orang muslim yang datang dari negara lain atau pun muslim yang memang lahir di sana. Ini adalah satu di antara sekian perbedaan yang kita saksikan antara orientalisme (Islamologi) zaman dulu dengan zaman sekarang.

Sebaliknya pun terjadi, di negara-negara Islam seperti Mesir, Libanon, Siria, Turki, Malaysia, Indonesia dan lain-lain terdapat juga mahasiswa Barat yang sedang menjalani program studi dan penelitian tentang agama Islam, Timur, atau Timur Tengah. Ini juga terhitung salah satu hal yang membedakan antara orientalisme (Islamologi) zaman dulu dengan zaman sekarang. Mungkin kenyataan itulah yang menjadi faktor kenapa sekarang kita sering menyaksikan pernyataan yang familier dalam karya Barat tentang Islam. Tentunya saya tidak mengklaim bahwa sekarang tidak ada lagi karya Barat yang ditulis dengan kedengkian, permusuhan dan kesimpulan yang gegabah. Tapi saya ingin katakan bahwa di samping karya-karya seperti itu banyak juga sekarang karya-karya yang menyuratkan persahabatan dengan Islam, dengan mudah kita bisa menemukan orang Barat dan Kristen yang mengakui kejujuran Nabi Muhammad saw., kejujuran dalam arti beliau betul-betul mendapatkan semacam inspirasi tertentu, beliau tidak bermimpi atau berimajinasi dan mengarang apa yang telah beliau sampaikan, beliau tidak berbohong. Beda halnya dengan kaum Kristen zaman dulu, mereka menulis buku dengan apriori bahwa agama Islam dan Al-Qur'an adalah salinan yang tidak sempurna dari agama Yahudi dan Kristen. Kenyataan ini juga merupakan titik pamisah antara orientalisme (Islamologi) zaman dulu dan zaman sekarang.

Oleh karena itu, saya tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan global tentang apa tujuan dan motivasi di balik kegiatan orientalisme. Memang benar pada periode tertentu, seperti abad-abad Pertengahan Masehi, gereja menguasai seluruh kawasan Eropa, sehingga tidak seorang pun berhak menulis tentang Al-Qur'an tapi tidak menolaknya. Pada periode itu, Al-Qur'an harus ditentang dan dicari-cari celanya, kekurangan Rasulullah saw diselidiki, dan sebisa mungkin Al-Qur'an diperkenalkan sebagai kitab yang sesat dan Rasulullah saw adalah sosok yang negatif. Maka dari itu, jelas apa motivasi dan tujuan di balik kegiatan orientalis (Islamolog) periode tersebut.

Adapun di periode baru, ketika universitas menemukan bentuknya yang modern, dan penelitian akademis telah dipisahkan dari ranah perdebatan media massa, tidak bisa kita katakan bahwa tujuan peneliti orientalis dari tulisannya tentang Al-Qur'an, hadis, atau sejarah sama dengan tujuan seorang pendeta Kristen yang menulis pada abad duabelas. Penyamarataan itu bukan pada tempatnya.

Bagaimanakah sikap dan pandangan kaum Orientalis terhadap Islam?

Ketika berbicara tentang sikap orientalis terhadap Islam, kita harus membedakan antara kegiatan ulama muslim di lembaga-lembaga Islami dengan apa yang dikerjakan oleh orang-orang Barat. Pertanyaan dan sikap mereka berbeda, dan poin ini sangat penting untuk diperhatikan. Jelas, kita tidak bisa berharap sesuatu dari seorang ulama muslim seperti kita mengharapkannya dari seorang orientalis Barat, sehingga kita menghukumi orientalis itu salah hanya karena dia tidak memberikan jawaban seperti ulama.

Agar lebih mudah dimengerti saya ingin membawakan sebuah contoh: di bidang ilmu fikih, seorang ulama muslim yang menerima otoritas sebagian referensi Islam (seperti Al-Qur'an, hadis, akal, ijmak dan-atau lain sebagainya) melakukan penyimpulan hukum berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Beda halnya dengan seorang orientalis, dia tidak memiliki pola pandang seperti itu, dari seribu tahun yang silam sampai sekarang tidak ada seorang orientalis pun yang berniat untuk menyimpulkan hukum Tuhan dari sumber Al-Qur'an atau sunnah, karena memang pada prinsipnya pertanyaan dasar, tugas dan pekerjaan dia bukan penyimpulan hukum dari sumber-sumber tersebut. Sikap dan perspektif orientalis Barat adalah historis, pada tahap pertama mereka mencari fenomena yang secara historis menjadi sebab munculnya sebuah persoalan intelektual di kalangan Muslimin, setelah itu dia meneliti sejarah transformasi teori seputar persoalan tersebut, satu contoh dia meneliti kenapa ulama di Arabia berpola pikir A sedangkan ulama di Yaman atau Qom berpola pikir B. Maka dari itu, model pertanyaan yang mengemuka di tengah Islamolog Barat jauh berbeda dengan pertanyaan yang muncul di kalangan ulama muslim. Dan itulah pula sebabnya kenapa secara umum kita tidak boleh menyamakan fungsi seorang Islamolog Barat dengan fungsi atau tugas seorang ulama muslim di lingkungan yang Islami. Kenapa saya katakan 'secara umum', karena memang demikian umumnya yang terjadi, namun ada kalanya ulama muslim di lingkungan mereka sendiri melakukan penelitian seperti yang dilakukan oleh Islamolog di Barat, tapi ini jarang terjadi. Sebaliknya pun demikian, terkadang Islamolog Barat menempuh jalan yang menghasilkan penyimpulan sebuah hukum fikih, dan ini juga jarang terjadi.

Kiranya tepat sekali jika Anda terangkan penelitian yang pernah dilakukan oleh orientalis atau Islamolog Barat tentang Islam?

Banyak sekali penelitian yang mereka lakukan tentang Islam dan tidak bisa kita ulas dalam satu halaman makalah, dua puluh halaman atau bahkan lebih. Apa yang harus diakui di sini bahwa pengetahuan kita tentang masalah ini minim sekali, sudah semestinya hauzah dan universitas kita berusaha lebih banyak dari sebelumnya di bidang ini. Perspektif kaum Orientalis terhadap Islam sangat global, penelitian mereka juga sangat beragam. Masing-masing dari mereka menekuni topik tertentu; yang satu menekuni manuskrip, yang lain membidangi sejarah Al-Qur'an, yang lain lagi meneliti varian-varian dalam membaca Al-Qur'an dan lain sebagainya.

Jika memungkinkan, coba Anda singgung tentang penelitian mereka yang istimewa?

Salah satu kegiatan mereka adalah mengoreksi teks-teks agama. Boleh jadi pada masa sekarang kegiatan mereka ini terbilang remeh dan biasa, tapi pada zaman kegiatan itu dilakukan sungguh merupakan pekerjaan yang sangat berharga, dan meskipun kegiatan itu tidak menghasilkan sebuah penelitian akademis semacam buku yang menyuguhkan teori baru, akan tetapi upaya meneliti dan mengoreksi teks-teks kuno berdasarkan metodologi yang ilmiah lalu menyajikan hasilnya berupa kitab kepada kita di saat kebanyakan orang tidak dapat mengakses kitab tersebut adalah pekerjaan yang sangat penting dan berharga. Mereka meneliti teks-teks kuno dan manuskrip Islam di perpustakaan-perpustakaan, kemudian mereka menuangkannya dalam bentuk kitab dan menerbitkannya dengan jumlah yang besar, bukan lagi dalam bentuk litografi atau tulisan tangan, melainkan dalam bentuk ketikan yang rapih berdasarkan hasil penelitian atas naskah-naskah yang berbeda, bahkan seringkali mereka juga memberitahukan di mana saja letak perbedaan naskah tersebut. Banyak sekali referensi Islam yang diterbitkan oleh orientalis Barat di penghujung abad sembilan belas dan awal abad dua puluh. Saya ingin membawakan satu contoh saja di sini, yaitu penerbit Briel di Belanda yang didirikan sekitar 315 tahun yang lalu, penerbit ini lebih banyak menerbitkan teks-teks dan penelitian agama, termasuk di antaranya dia menerbitkan teks-teks agama Islam yang ditulis sekitar seratus tahun yang lalu.

Setelah sekian lama berlalu, ilmu-ilmu ini semakin meluas dan jumlah pengoreksi kritis teks-teks agama semakin banyak, akhirnya Muslimin di akhir abad dua puluh juga mulai melakukan hal yang serupa, mereka membongkar kembali teks-teks kuno mereka di perpustakaan-perpustakaan, dan terkadang mereka terpaksa harus pergi ke Barat untuk menemukan teks kuno agama mereka sendiri.

Dalam hal ini, harus diakui bahwa kita berhutang budi pada orientalis Barat yang sejak lama memulai kegiatan itu, bahkan mengenai naskah Al-Qur'an kita juga berhutang budi kepada mereka. Kita, sampai abad sembilan belas masih belum memiliki cetakan Al-Qur'an yang disebar ke seluruh dunia dengan satu corak penulisan yang ilmiah dan penentuan nomor ayat yang sama. Untuk pertama kalinya sekitar dua ratus tahun yang lalu seorang yang bernama G. Flügel melakukannya di Jerman. Dia mengoreksi naskah-naskah kuno Al-Qur'an lalu mengetik dan menerbitkannya, sehingga para peneliti di Jerman dengan mudah memberi rujukan kepada Al-Qur'an, baik dari sisi cara membacanya maupun penentuan nomor ayatnya. Dia juga melengkapi terbitan Al-Qur'an itu dengan indeks khusus yang teratur. Hasil karya dia inilah yang berapa dekade kemudian memotivasi Muslimin pada periode Raja Fuad di Mesir untuk menulis dan menerbitkan Mushaf Kairo. Mushaf Kairo adalah Al-Qur'an pertama yang menjadi standar di seluruh dunia Islam dalam penulisan dan penentuan nomor ayat.

Kesimpulannya adalah kelompok orientalis dan Islamolog Barat telah banyak membantu kita umat Islam dalam hal percetakan dan penerbitan teks-teks agama Islam, seperti Al-Qur'an, hadis, sejarah, indeks Al-Qur'an dan hadis, kamus bahasa dan lain-lain. Indeks hadis nabi untuk pertama kalinya ditulis oleh orang Jerman yang bernama Wensinck, dia menulisnya sampai delapan jilid, dan sampai sekarang buku itu masih dicetak dan terbitkan lagi. Perlu diketahui juga bahwa karya-karya seperti ini bersifat netral, dan tidak bisa kita tentukan apakah penulisnya mempunyai tujuan tertentu di balik penulisan itu atau tidak.

Ada juga memang penelitian mereka yang tidak netral, tapi sebagaimana saya katakan sebelumnya bahwa tidak ada seorang pun peneliti Barat yang mencetuskan ilmu fikih (hukum Islam) atau kalam (teologi Islam), penelitian mereka terfokus pada sejarah ilmu-ilmu tersebut, atau penelitian semantik dan filologik serta kajian tentang awal sejarah Islam. Dalam hal ini kita tidak bisa mengatakan karya mereka adalah netral sehingga kita bisa menggunakannya secara leluasa, karena di sini terdapat karya yang baik dan karya yang tidak baik.

Saya akan membawakan contoh yang sudah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk di negara-negara Islam. Antara lain yang paling populer adalah penelitian Toshihiko Izutsu. Hasil penelitian dia disambut hangat baik oleh kalangan peneliti di Barat maupun para peneliti muslim di negara-negara Islam, karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Arab dan Persia, dan sampai sekarang belum ada bantahan yang serius terhadap penelitian itu. Memang Muslimin tidak menyambut hasil penelitian orientalis Barat sehangat sambutan mereka terhadap penelitian Izutsu, tapi bagaimana pun juga hasil penelitian mereka masih terus digunakan dalam dunia Islam, seperti penelitian Arthur Jeffery (peneliti yang berasal dari Australia) mengenai kosa kata asing dalam Al-Qur'an.

Penelitian Barat yang lain adalah tentang awal sejarah Islam. Kita, umat Islam dalam hal ini masih memiliki banyak kendala yang serius, jarang sekali kita punya karya bagus yang dengan mudah dan cepat dapat diakses dan dimanfaatkan secara umum. Adapun peneliti-peneliti Barat dalam hal ini menggunakan dua metode penelitian, yang satu lebih mirip dengan metode yang biasa kita gunakan, adapun yang lain jauh sekali dari metode kita. Dua metode penelitian Barat ini saling bertentangan dan menafikan, tapi hasil penelitian dari masing-masing metode itu bisa kita dapatkan di lembaga-lembaga intelektual dan akademis. Saya akan menerangkan sisi perbedaan antara dua metode tersebut secara global, metode yang pertama bersifat klasik dan tradisional, metode yang lebih mirip dengan metode yang digunakan oleh Muslimin, prinsipnya adalah mayoritas referensi yang ada sekarang adalah otentik dan dapat membantu kita untuk menyelidiki sejarah awal Islam. Contohnya banyak sekali, dan di antaranya yang paling terkenal di periode terbaru ini adalah penelitian William Montgomery Watt, seperti karya dia yang berjudul "Nabi di Mekkah" dan "Nabi di Madinah". Dia meneliti sejarah Nabi Muhammad saw ini berdasarkan sumber-sumber Islam yang ada.

Adapun kelompok yang kedua mempunyai prinsip yang jauh berbeda dengan prinsip peneliti klasik di Barat, mereka dikenal dengan sebutan reformis, mereka ingin membuat gebrakan dan reformasi dalam metode klasik dan kuno serta menyingkirkan prinsipnya. Menurut mereka, metode kalian tidak efektif tidak pula produktif. Apabila kalian betul-betul ingin meneliti Islam secara serius, maka kalian harus memperhatikan seluruh proses yang menetapkan dan merubah sebuah agama. Islam bukanlah agama yang pertama, oleh karena itu kalian harus meneliti bagaimanakah agama-agama yang lain muncul, dan bagaimana sebagian dari agama itu berubah atau hancur. Menurut mereka, sumber-sumber Islam yang ada tidak menunjukkan sejarah Islam yang nyata dan tidak mengilas-balikkan apa yang terjadi sebagaimana adanya. Oleh karena itu, menurut mereka, dengan bersandarkan pada sumber-sumber tersebut seseorang tidak akan pernah sampai kepada sejarah awal Islam yang sebenarnya. Metode mereka dalam meneliti sejarah awal Islam murni akademikal dan tidak berguna untuk kita, umat Islam.

Ada poin dua sisi yang perlu diperhatikan di sini, yaitu meskipun kita umat Islam tidak dapat menggunakan metode-metode itu secara langsung, tapi kita harus mengetahuinya. Selain itu, kita juga harus mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang menyebabkan munculnya metode-metode baru tersebut di Barat, lalu kita usahakan untuk menemukan jawabannya dengan cara kita sendiri. Oleh karena itu, bagaimana pun juga penelitian orientalis dan Islamolog Barat tentang sejarah awal Islam bisa berguna bagi kita, kita dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam lingkungan intelektual dan ranah penelitian kita sendiri, kemudian kita kembangkan dan temukan jawaban yang mungkin berbeda dengan hasil penelitian mereka.

Referensi Islam apa yang sering menjadi acuan kelompok Orientalis dalam penelitian mereka?

Poin penting yang harus diperhatikan dalam penelitian spesialis di universitas Barat adalah, pertama-tama seorang peneliti di bidang Islam harus bisa mengakses dan menggunakan apa saja yang berpotensi menjadi referensi dalam penelitian tentang Islam masa lalu dan sekarang, jika tidak demikian maka penelitian dia dinilai cacat dan kurang berharga. Tentunya ketika meneliti sebuah topik yang Islami, referensi non-Islami (sampingan) juga dapat membantu sebagaimana halnya referensi Islami, dan apabila kalian tidak merujuk kepada referensi itu maka penelitian kalian terhitung cacat dan kurang berharga.

Seperti yang saya jelaskan tadi bahwa cetakan buku-buku Islam yang paling kuno adalah milik Barat, mulai dari Al-Qur'an yang untuk pertama kalinya dicetak oleh Flugel pada tahun 1834 Masehi sampai dengan indeksnya. Bahkan sembilan puluh persen teks-teks Kutubus Sittah (Enam buku induk hadis Ahli Sunnah, seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain), kitab sejarah, puisi Arab Kuno, sastra dan lain sebagainya untuk pertama kali dicetak-terbitkan di Barat. Hal itu karena manuskrip kitab-kitab itu terdapat di perpustakaan mereka. Orang-orang Barat mengoreksi lalu mencetak-terbitkan referensi kuno itu agar bisa memberi rujukan secara tepat dan teliti, kadangkala kita sendiri terpaksa harus menggunakan hasil koreksi dan cetakan mereka, karena memang sampai sekarang belum ada hasil koreksi dan cetakan yang lebih baik daripada itu. Contohnya kitab Thobaqôt Ibnu Sa'd yang diteliti, dikoreksi, dan dicetak oleh Edvard Saxchau bersama delapan rekannya yang lain, lalu buku itu diterbitkan di Lieden Belanda. Cetakan mereka ini sampai sekarang masih terhitung sebagai cetakan yang terbaik, dan muslimin di seluruh penjuru dunia Islam juga masih menggunakannya.

Pertanyaan kami yang selanjutnya adalah, apa boleh kita menggunakan hasil penelitian orientalis dalam penelitian kita yang selanjutnya?

Sebelumnya telah saya jelaskan bahwa sejak dulu para ulama dan ilmuan muslim memproduksi ilmu-ilmu dasar Islam, tapi jarang sekali dari mereka yang memperhatikan tema penulisan sejarah, perkembangan, proses kesempurnaan dan faktor-faktor terbentuknya ilmu-ilmu yang ada serta transformasi teoritis yang terjadi di dalamnya. Sementara tema-tema inilah yang menjadi pusat perhatian para peneliti di Barat. Oleh karena itu, dalam hal ini kita dapat menggunakan hasil penelitian mereka, apalagi akhir-akhir ini hauzah dan universitas negara-negara Islam mulai memberikan perhatian yang lebih banyak dari sebelumnya terhadap sejarah ilmu-ilmu Islam.

Sebagian peneliti Barat secara khusus meneliti sejarah awal munculnya Islam. Sejarah awal munculnya Islam yakni semua kejadian, tokoh, sejarah dan konsep-konsep yang menjadi sebab muncul dan terbentuknya Islam. Konsep-konsep seperti jahiliyah yang sudah ada sebelum munculnya Islam, masyarakat yang hidup dengan tradisi khas tersebut, sejarah, kepercayaan, budaya, pribadi Nabi saw, kaum, nenek moyang, anak-anak dan penentang beliau, dakwah pertama, Nuzulul Qur'an, pemosisian beliau sebagai Nabi dan pemimpin Islam di Madinah, kematian, fenomena-fenomena pasca kematian beliau; penaklukan negara-negara, khilafah dan suksesi, silsilah para khalifah, munculnya kekuasaan Bani Umayyah, runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan munculnya kekuasaan baru Bani Abbasiah, semua ini masuk kategori awal sejarah Islam. Di sela-sela itu mereka juga meneliti ilmu-ilmu yang muncul pada periode sejarah tersebut, seperti ilmu varian membaca Al-Qur'an, tafsir, hadis, rijal dan lain sebagainya.

Penelitian tentang segala dimensi sejarah awal munculnya Islam adalah kegiatan historis, seperti penelitian tentang sejarah peradaban dengan segenap unsur-unsurnya, bukan penelitian tentang sejarah ilmu tertentu, melainkan tentang sejarah sebuah fenomena sosial, agama, revolusi budaya dan religius yang telah mencetuskan pergolakan kuat di berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam pada ini, batas-batas teritorial tidak lagi berarti, tidak pula bisa kita katakan bahwa orang-orang Barat menulis sejarah ilmu sedangkan kita umuat Islam menciptakan ilmu tersebut. Orang Barat meneliti transformasi sejarah yang terjadi pada kaum Yahudi di Madinah pada masa hidup Nabi Muhammad saw, lalu mereka menuangkan hasil penelitiannya dalam bentuk artikel maupun buku, orang muslim pun bisa melakukan hal yang sama; meneliti persoalan yang berlangsung di kalangan Yahudi Madinah pada zaman Rasulullah saw dan menuliskannya dalam bentuk artikel atau buku. Referensi yang digunakan oleh orang Barat dan muslim dalam penelitian ini juga kurang-lebih sama. Mereka sama-sama memperhatikan teks-teks Islam seperti Al-Qur'an, sejarah dan lain-lain, tapi pola penggunaan seorang peneliti Barat berbeda dengan pola penggunaan peneliti muslim terhadap referensi itu. Seorang peneliti muslim Sunni dengan mudahnya mempercayai apa yang tertera di dalam Kutubus Sittah dan –sebagai contoh- menyimpulkan sebuah hukum fikih praktis dari beberapa riwayat di dalamnya, sedangkan peneliti Barat menggunakan referensi itu juga, tapi mereka tidak semudah itu menerima isi referensi tersebut.

Seorang peneliti muslim mungkin sekali menolak sebuah riwayat hanya karena dia melihat cacat dalam literal atau silsilah sanadnya, sedangkan bagi peneliti Barat itu merupakan awal penelitian dia; dia berusaha menemukan sebab-sebab pemalsuan hadis di periode tertentu, bagi dia penting sekali kapankah riwayat itu dipalsukan, apa saja faktor yang membuat riwayat itu jadi populer, masih banyak lagi persoalan yang terkait. Dia sangat tertarik untuk menyingkap sebuah fenomena historis dalam sejarah awal Islam.

Intinya, kita bisa menggunakan hasil penelitian mereka dalam penelitian-penelitian kita, tapi dengan syarat kita mengetahui titik-titik perbedaan, metode dan referensi mereka, bahkan kita juga harus mengetahui perbedaan antara metode-metode yang mereka gunakan, karena seringkali mereka sendiri berselisih dalam metodologi penelitian. Untuk menyingkap sejarah sebuah riwayat, ada beberapa metode yang mereka gunakan; sebagian dari mereka lebih menitikberatkan kepada teks riwayat itu, sebagian lagi lebih menitikberatkan silsilah periwayatnya, sebagian yang lain memilih metode penggabungan dua unsur yang penting tersebut, ada juga yang berpendapat langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyingkap buku apakah yang pertama kali mencatat riwayat itu dan kapankah ia mencatatnya. Tidak terbatas pada empat metode itu saja, melainkan apabila kita menyelami lebih dalam lagi maka kita akan menyaksikan betapa aplikasi metode itu sendiri mengalami berbagai perbedaan. Oleh karena itu, jika kita menguasai perbedaan mereka dengan kita dalam penelitian dan perbedaan di dalam tubuh mereka sendiri serta mengetahui asumsi dasar mereka, maka kita dapat menggunakan hasil penelitian mereka. Satu contoh, dalam analisis semantik dan filolojik, mayoritas penelitian kaum orientalis merujuk kepada masalah diksi, bahasa, fikhul lughoh, derivasi kosa kata Al-Qur'an, dan sampai batas tertentu juga merujuk kepada hadis.

Sejak dahulu kala Muslimin menghadapi beberapa kata yang sukar dalam Al-Qur'an, orang-orang Barat juga dalam penelitian mereka tentang Al-Qur'an selalu memperhatikan akar kata, struktur kata, dan fikhul lughohnya, sehingga lambat laun banyak sekali buku dan artikel tentang masalah ini. Tapi perlu diketahui bahwa penelitian mereka juga beraneka ragam, metode yang digunakan oleh Izutsu dalam menganalisis kosa kata Al-Qur'an sangat kritis jika dibandingkan dengan metodologi orientalis pada umumnya dalam hal itu. Untuk pertama kalinya Izutsu menggunakan metode semantik dalam kajian ini, menurutnya seseorang tidak bisa sampai kepada makna dari kata-kata Al-Qur'an hanya dengan meneliti akar katanya secara detil dan dalam atau dengan pula memperhatikan kata-kata sejawatnya di bahasa-bahasa yang serupa. Metode seperti itu tidak mengantarkan seseorang kepada makna kata yang sesungguhnya digunakan oleh Al-Qur'an, metode itu tidak lebih dari arkeologi bahasa, padahal apa yang paling penting untuk dilakukan di sini adalah kajian semantik; yakni, seorang peneliti harus memperhatikan apa makna yang dimaksudkan dari penggunaan kata tertentu di dalam Al-Qur'an, apa yang ingin disampaikan oleh Allah swt dari penggunaan kata itu dalam jaringan makna yang ada di dalam Al-Qur'an dan konteks kata-kata lain di sekitarnya?

Satu contoh, terkadang Anda meneliti akar kata taqwâ, dan dengan itu Anda hanya akan sampai kepada kesimpulan bahwa kata ini berasal dari kata wiqôyah dan berarti penjagaan, tapi Anda tidak akan sampai kepada makna yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an, Anda akan sampai kepada maksud itu ketika anda meneliti apa saja unsur-unsur yang dibawakan oleh Allah swt bersama dengan kata taqwâ di dalam Al-Qur'an; dengan kata lain, sifat-sifat apakah yang berada di sisi takwa dan sifat-sifat apakah yang jauh darinya. Dengan demikian Anda akan dapat mengetahui makna umum yang dimaksud oleh Allah swt dari kata taqwâ di dalam Al-Qur'an.

Inilah yang ditekankan oleh Izutsu, tentunya dia tidak menolak kegunaan filologi historis atau aplikatif dalam kajian seperti ini, tapi menurutnya itu tidak lebih dari sekedar pengantar, dan masih ada lagi langkah berikutnya yang harus ditempuh oleh peneliti.

Apa mungkin bisa dikatakan bahwa Islamologi atau orientalisme telah mengalami perubahan yang signifikan dari periode awalnya? Dengan kata lain, apa saja yang membedakan antara Islamologi yang berkembang di lembaga-lembaga ilmu dan lingkungan akademis Barat sekarang dengan Islamologi yang ada sekitar tiga ratus sampai lima ratus tahun yang lalu?

Dengan memperhatikan realitas perubahan dan transformasi ilmu, seorang peneliti dapat memandang setiap fenomena dalam konteks perubahan dan transformasi, termasuk di antaranya fenomena orientalisme, begitu pula halnya dengan fenomena-fenomena ilmu yang lain. Ilmu bisa menggemuk dan juga bisa mengurus, lambat laun sebagai persoalan akan tersingkirkan dari sebuah bidang ilmu atau diposisikan tidak lebih dari sekedar catatan pinggir, sebagian metodologi juga mempunyai pengaruh yang dalam terhadap ilmu tertentu dan terkadang sampai merubahnya secara besar-besaran. Adakalanya interaksi dan interkomunikasi ulama yang memproduksi ilmu tertentu dengan lingkungan-lingkungan yang lain membuat ilmu itu menemukan nuansa yang berbeda dengan ilmu itu pada saat diproduksi oleh dua generasi ulama sebelum mereka. Hal ini bisa kita saksikan khususnya dalam ilmu-ilmu Islami seperti fikih (hukum Islam) dan kalam (teologi Islam); interaksi dan interkomunikasi yang terjadi selama berabad-abad antara ulama Sunni dan Syi'ah sangat mewarnai dua ilmu tersebut.

Fenomena orientalisme dan Islamologi di Barat juga mengalami hal yang serupa, di suatu periode fenomena ini terbilang mentah sekali; di abad-abad pertengahan, Barat di bawah hegemoni gereja merasa takut dan terancam oleh agama Islam, bahkan pada waktu itu mereka tidak mengijinkan Alkitab untuk diterjemahkan dari latin ke bahasa yang lain, ketika itu segala macam usaha dan pukulan mereka kerahkan untuk menghancurkan Islam. Itulah sebabnya karya-karya yang mereka terbitkan penuh dengan niat buruk dan kesalahpahaman. Maka perbedaannya adalah: Orientalisme pada awal munculnya masih terbilang mentah dan kekanak-kanakan, para orientalis hanya berusaha untuk menampilkan rupa yang buruk dan menakutkan dari agama Islam dan Nabi Muhammad saw.

Ini memang benar, tapi perlu kita sadari bahwa penelitian orientalis dan Islamolog di Barat sudah mengalami perubahan yang besar dan tidak lagi seperti dulu. Pada abad kedelapan belas dan sembilan belas, khususnya abad kesembilan belas dan dua puluh, kecenderungan negatif seperti itu sedikit-banyak telah disingkirkan, sebagai gantinya muncullah penelitian-penelitian spesialis di bidang bahasa dan sejarah, penelitian yang tidak lagi dilakukan hanya oleh orang-orang bayaran gereja, melainkan terbuka lebar di universitas-universitas, sehingga siapa saja yang menginginkannya bisa pergi ke universitas terkait lalu melakukan penelitian tentang topik yang digemarinya. Namun demikian, banyak sekali peneliti itu yang beragama Kristen, Yahudi atau bahkan tidak beragama sama sekali, itulah kenapa kadang-kadang asumsi dasar, kepercayaan, agama dan pengetahuan mereka menaruh dampak dalam penelitian mereka, tapi hanya sekilas dan tidak secara terang-terangan seperti pada abad-abad pertengahan.

Di era modern, para peneliti Barat sangat sering bersentuhan langsung dengan peneliti muslim, mereka juga menyaksikan Islam dan Muslimin di negara-negara Islam (karena mayoritas akademisi Barat yang terjun di bidang Islamolog,i minimal harus pernah hidup berbulan-bulan di negara Islam dan menyaksikan lingkungan mereka dari dekat dan berinteraksi langsung dengan peneliti-peneliti muslim di sana), maka itu statistik tulisan mereka lebih banyak menunjukan sikap familier dengan Muslimin dan bukan lagi acuh tak acuh. Tidak sedikit dari mereka yang menikmati jika mendengar suara bacaan Al-Qur'an, bagi mereka penting sekali untuk meneliti keindahan bahasa dan sastra Al-Qur'an. Perubahan ini terhitung baru. Oleh karena itu, jangan sampai kita sedang menghadapi satu macam orientalis atau Islamolog di Barat, ada berbagai macam orientalis (Islamolog) di sana sebagaimana setiap disiplin ilmu mempunyai macam yang berbeda-beda di dunia Islam (seperti ilmu fikih dan kalam tadi). Sumber: www.sadeqin.com

Tidak ada komentar: