Ketika Imam Ali Dipaksa Menjadi Khalifah



Diriwayatkan juga dari Abu Basyir, "Berkali-kali massa mendatangi Ali as setelah terbunuhnya Utsman, sampai akhirnya mereka berhasil mendesaknya untuk menjadi khalifah. Beliau naik ke mimbar dan berkata, 'Aku tidak butuh pada khilafah, dan terpaksa aku menerimanya. Aku akan sudi memerintah umat apabila mereka berjanji untuk sejalan denganku sepenuhnya.'" Riwayat-riwayat ini mencatat bahwa Thalhah dan Zubair ikut bersama masyarakat yang lain. Di saat semua orang berkumpul di masjid, Thalhah adalah orang pertama yang berbai'at kepada Amirul Mukminin as. Adapun Sa'd Bin Abi Waqqash enggan untuk berbai'at seraya berkata, "Aku tidak akan berbai'at sampai semua orang berbai'at terlebih dahulu." Abdullah Bin Umar juga tidak mau berbai'at. 

Ada satu riwayat di buku Tarikh ath-Thabari yang tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Riwayat ini menyebutkan bahwa Thalhah dan Zubair berbai'at karena takut kepada pedangnya Malik Ashthar. Amirul Mukminin as meminta mereka agar menjadi khalifah, namun mereka sendiri sadar diri tidak pantas untuk menerimanya. Mereka rela membai'at Amirul Mukminin as agar dengan demikian mereka bisa meraih posisi tertentu. Kata-kata Thalhah dan Zubair setelah itu menunjukkan bahwa maksud dari membai'at secara terpaksa di atas bukan terpaksa karena kekerasan dan pedang, melainkan mereka tidak melihat seorangpun di Madinah yang bisa mereka bai'at. Sedangkan Ali as memiliki banyak pendukung. Maka, dengan demikian, mereka terpaksa membai'at beliau.

Sebelum ini juga pernah kami singgung dalam pembahasan bai'at bahwa pada dasarnya, Amirul Mukminin as bukan tipe orang yang mau memaksa seseorang untuk berbai'at kepadanya dengan kekerasan. Jauh setelah ini terjadi di tragedi perang Jamal. Beliau tidak meminta bai'at dari Marwan yang berkata kepada beliau, "Kalau dipaksa, maka aku akan berbai'at." 

Segera setelah berlangsungnya bai'at, mereka meminta Amirul Mukminin as menyerahkan kota Bashrah dan Kufah kepada mereka. Tapi, beliau tidak mengabulkan permintaan itu. Muhammad Bin Hanafiah berkata, "Semua kaum Anshar mebai'at Ali as kecuali berapa gelintir orang. Mereka yang menentang adalah Hassan bin Tsabit, Ka'b bin Malik, Maslamah bin Mukhallad, Muhammad bin Maslamah dan satu dua orang lagi yang semuanya tergolong Utsmaniah (kelompok Utsman). Adapun para penentang dari selain Anshar adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Usamah bin Zaid yang mana mereka semua terhitung orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan khilafah Utsman." 

Ath-Thabari berkata, "Sebatas yang kutahu, tak seorangpun dari Anshar yang keluar dari bai'at kepada Ali as." 

Dari sini bisa dimengerti bahwa kemungkinan besar sebagian orang yang dicatat sebagai orang yang tidak membai'at Ali as, maksudnya adalah orang yang nantinya tidak ikut serta dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, bukan berarti orang yang pada dasarnya tidak berbai'at kepada Ali as dalam urusan khilafah. Dayyari Bakri meriwayatkan bahwa semua sahabat Nabi saw yang ikut bersama beliau di perang Badr dan masih hidup pada masa itu—tanpa terkecuali—berbai'at kepada Ali as. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abzi, ia berkata, "Kami berjumlah delapan ratus orang yang hadir di bai'at Ridhwan, ikut di perang Shiffin dan enam puluh tiga orang dari kami termasuk juga Ammar Bin Yasir terbunuh di perang tersebut."

Diriwayatkan dari Ibn A'tsam bahwa pada mulanya Amirul Mukminin as menolak bai'at itu dan berkata, "Kulihat urusan ini begitu terpecah-belah sehingga hati dan akal setiap orang tidak akan merasa tenang." Ketika itu beliau mendatangi Thalhah dan memintanya untuk menjadi khalifah dan dibai'at. Akan tetapi, Thalhah berkata, "Tidak ada orang lain yang lebih layak darimu untuk urusan khilafah." Ucapan yang sama juga tercatat dari Zubair. Akhirnya, kedua orang itu berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Amirul Mukminin as. 

Ibn A'tsam menceritakan peran Anshar dalam pembai'atan Ali as dan bagaimana pemuka-pemuka Anshar berbicara di masjid kepada masyarakat yang di antara mereka terdapat pendatang Irak dan Mesir. Masyarakat berteriak, "Kalian adalah Ansharullah (penolong Allah). Maka apapun yang kalian katakan, pasti akan kita terima." Anshar memperkenalkan Ali as sebagai khalifah. Dan tanpa menunggu lagi, masyarakat segera mengapresiasi hal itu dengan teriakan-teriakan pertanda sepakat. Hari itu mereka meninggalkan masjid. Dan keesokan harinya Amirul Mukminin as datang ke masjid seraya berkata, "Pilihlah khalifah untuk kalian sendiri dan aku akan sejalan dengan kalian." Tapi, mereka menjawab, "Kami tetap konsisten dengan keputusan kemarin." Thalhah dengan tangannya yang cacat menjadi orang pertama yang berbai'at pada Amirul Mukminin as. Hal itu dikatakan sebagai pertanda yang buruk! Kemudian dilanjutkan dengan Zubair berbai'at kepada beliau. Begitu pula selanjutnya dengan Muhajirin, Anshar dan setiap orang Arab, 'ajam dan mawali yang hadir di Madinah.

Mengenai kenapa sejak awal Amirul Mukminin as tidak menerima bai'at masyarakat, jawaban terbaik adalah ucapan beliau sendiri. Pertama, Amirul Mukminin as memandang masyarakat pada waktu itu sudah sampai batas kerusakan (fasâd) yang tidak bisa lagi dipimpin, sehingga beliau tidak akan mampu menerapkan tolok ukur dan kehendak yang semestinya.

Di tengah semua fitnah yang terjadi, Amirul Mukminin as merasa tidak mungkin untuk memimpin masyarakat kala itu secara utuh. Namun, setelah menyaksikan bahwa mereka tidak melepasnya begitu saja, di samping mengungkapkan keengganannya, beliau minta mereka untuk berjanji menuruti beliau secara utuh dan pasrah terhadap apapun yang beliau kehendaki.  Fenomena-fenomena yang terjadi setelah itu menjadi saksi pandangan Amirul Mukminin as akan sulitnya bekerja di tengah fitnah besar. Sampai pernah diriwayatkan beliau berkata, "Kalaupun aku tahu problem ini meningkat begitu tinggi, niscaya sejak awal aku tidak akan masuk ke dalamnya." 

Suatu saat Amirul Mukminin as melihat seorang bernama Abu Maryam di kota Kufah. Beliau menanyakan alasan kedatangannya ke Kufah. Abu Maryam menjawab, "Aku datang karena janjiku padamu. Sebagaimana kau katakan sebelumnya apabila aku yang menjadi pemimpin, maka aku akan lakukan hal ini dan itu." Amirul Mukminin as menjawab, "Aku tetap pada janjiku, hanya saja aku dihadapkan dengan masyarakat terburuk di muka bumi yang mana mereka sama sekali tidak pernah mendengarkan kata-kataku."

Kesulitan Amirul Mukminin

Ketika Ali as menjalankan tugas sebagai khalifah, beliau dihadapkan pada sejuta  problema dan kesulitan. Semua kesulitan yang ditambah juga dengan kondisi politik yang labil dan kacau balau setelah terjadi pembunuhan Utsman, menggambarkan masa depan yang hitam dan gelap gulita. Berikut ini sekilas tentang kesulitan beliau disambung dengan solusi yang ditawarkan. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa semua kesulitan ini dihadapkan pada seorang seperti beliau yang sangat komitmen terhadap prinsip utama maupun cabang. Di masa sebelum itu, setiap khalifah membuka jalan secara temporal hanya dengan tujuan memperluas kawasan dan menaklukkan negara luar. Tapi, sekarang jelas bahwa kebanyakan jalan yang mereka tempuh adalah keliru sebagaimana terbukti oleh zaman. Contohnya, Umar menyusun buku (diwan) negara berasaskan prinsip etnis. Dan setelah lima belas tahun berjalan, dampak-dampak negatifnya mulai dirasakan secara sosial maupun politik. 

Berikut akan kami sebutkan beberapa kesulitan yang beliau hadapi selama menjalankan tugas kekhilafahan: 

a. Problem pertama yang dihadapi Amirul Mukminin as terfokus pada menjaga keadilan dan kestabilan ekonomi. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Umar menyusun diwan atas dasar masa lalu Islam seseorang dan juga atas dasar etnis. Sahabat yang lebih dahulu masuk Islam mendapatkan saham yang lebih besar. Hal yang sama juga berlaku semasa Utsman menjabat sebagai khalifah. Utsman memulai pemberian dan hadiahnya secara besar-besaran, dan hal ini menambah kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin. Kekayaan ini berkaitan dengan khumus (seperlima yang musti dikeluarkan dari) rampasan perang, pajak negara (kharâj), dan jizyah yang musti dikeluarkan dari tanah yang dimenangkan dan milik muslimin. Ketika Amirul Mukminin as terpilih sebagai khalifah, beliau membagi kekayaan itu secara merata. Dan beliau berdalil bahwa Rasulullah saw juga bertindak demikian.

Pada ceramah pertamanya setelah menjadi khalifah, Amirul Mukminin as menjelaskan bahwa beliau akan bertindak sesuai sunah Rasulullah saw (aku akan membawa kalian di atas jalan Nabi kalian saw). Beliau juga menerangkan politik keuangan negara dan sesungguhnya keutamaan Muhajir dan Ansar terhadap yang lain adalah keutamaan spiritual yang senantiasa terjaga di sisi Allah SWT dan mereka akan menerima pahala dari-Nya. Adapun di dunia, barangsiapa yang menjawab ajakan Allah SWT dan Rasul-Nya saw, masuk Islam dan shalat ke arah kiblat muslimin, maka dia berhak mendapatkan semua haknya dan hudud (batasan dan hukuman Islam) akan berlaku atasnya. Beliau menambahkan, "Kalian adalah hamba-hamba Allah SWT, dan kekayaan ini adalah harta-Nya yang harus dibagi di antara kalian secara merata. Tiada seorang pun yang lebih tinggi daripada orang lain. Orang-orang yang bertakwa akan mendapatkan pahala yang terbaik di sisi Allah SWT." 

Beliau menegaskan politiknya seraya berkata, "Jangan sampai nanti ada orang yang mangatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib as telah menghalangi hak-hak kita." Di keesokan harinya, beliau memerintahkan Ubaidullah bin Abi Rafi', "Berilah 3 Dinar kepada siapapun yang datang." Di situlah Sahl bin Hanif berkata, "Dulu orang ini adalah budakku dan baru kemarin aku membebaskannya." Amirul Mukminin as menimpali, "Semuanya tetap medapatkan 3 Dinar dan kita tidak akan melebihkan satu daripada yang lain." Kelompok elit dari Bani Umaiyah dan juga Thalhah serta Zubair tidak datang untuk mengambil saham mereka. Sehari setelah itu, Walid bin Uqbah beserta rombongan datang pada beliau mengungkit kembali pembunuhan ayahnya oleh beliau di perang Uhud, pembunuhan ayah Said bin 'Ash di perang yang sama, penghinaan terhadap ayah Marwan di depan Utsman dan hal-hal lain. Dengan itu, mereka meminta beliau untuk minimal tidak menarik kembali apa yang telah jatuh ke tangan mereka dari kekayaan negara Islam. Di samping itu juga mereka meminta beliau untuk melakukan qishâsh terhadap pelaku-pelaku pembunuhan Utsman. Amirul Mukminin as menolak permintaan mereka, maka mereka menampakkan kemunafikan dan mulai membisikkan perlawanan. 

Keseokan harinya, beliau ceramah lagi, dan karena marah, beliau menjelaskan bahwa asas pembagian harta negara Islam yang beliau berlakukan adalah kitab suci Allah SWT. Kemudian, beliau turun dari mimbar, shalat dua raka'at lalu duduk di samping masjid dekat dengan Thalhah dan Zubair. Inti pembicaraan dua orang tesebut (Thalhah dan Zubair) adalah pertama, Ali as tidak bermusyawarah dengan mereka dalam menentukan kinerja sehari-hari, dan kedua, —dan ini adalah yang lebih penting—adalah beliau menyeleweng dari sunah Umar dalam membagi kekayaan negara Islam. Hal itu dikarenakan beliau memberikan kepada mereka saham sama seperti orang lain yang tidak berjerih payah untuk Islam. 

Amirul Mukminin as berkata, "Selama masih ada hukum di kitab Allah SWT, maka di situ bukanlah tempat bermusyawarah. Tentu, apabila ada sesuatu yang tidak ada di Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw, maka aku pasti akan bermusyawarah dengan kalian. Adapun berkenaan dengan pembagian sama rata, kita sama-sama menyaksikan Rasulullah saw melakukan demikian, sebagaimana Al-Qur’an pun memerintahkan hal tersebut." Di sana Zubair menggerutu, "Bukankah ini adalah upah kami? Kami telah melangkah di jalan ini dan berkiprah untuknya sampai akhirnya Utsman terbunuh. Tapi hari ini dia mengutamakan atas kita orang-orang yang sebelumnya kita lebih utama dari mereka." 

Ibn Abil Hadid melanjutkan penjelasannya, "Terbiasanya masyarakat pada saat itu dengan cara yang diberlakukan Umar merupakan faktor utama perlawanan sahabat terhadap Amirul Mukminin as, padahal Abu Bakar sendiri menjalankan cara seperti yang telah diberlakukan oleh Rasulullah saw dan tak seorang pun yang menentangnya. Amirul Mukminin as berkata, 'Apakah sunah Rasulullah saw lebih layak untuk diikuti atau sunah Umar?'" 

Perlawanan terhadap cara ini semakin serius, sampai akhirnya sebagian dari sahabat dekat Amirul Mukminin as mendatangi beliau dan mohon agar elit Arab dan Quraisy dilebihkan daripada mawali dan ''Ajam. Beliau tidak menerima permohonan mereka dan berkata, "Apakah kalian menyarankan padaku untuk meraih kemenangan dengan kezaliman?" 

Jauh setelah itu, Ibn Abbas pernah menulis surat kepada Imam Hasan al-Mujtaba as, "Masyarakat meninggalkan ayahmu dan pergi ke Muawiyah lantaran cara yang beliau berlakukan, yaitu membagi kekayaan negara secara merata di antara mereka, sementara mereka tidak tahan akan hal itu. 

Ada beberapa orang yang terang-terangan mengatakan bahwa alasan mereka menentang Ali as adalah karena Ali as membagi harta negara secara merata dan tidak mempedulikan kondisi sosial mereka. 

Yang jelas, salah satu dari keistimewaan yang terkenal dari Amirul Mukminin as adalah pembagian yang sama rata tersebut: Dia membagi secara marata dan berlaku adil terhadap rakyat.

b. Salah satu dampak dari penaklukan negara-negara luar adalah pembauran etnis yang beraneka-ragam, seperti Arab, Iran, Nabth, Romawi dan Barbari. Banyak sekali dari mereka yang mengungsi ke berbagai daerah atau dikerahkan ke sana untuk perang. Dan tidak sedikit dari mereka adalah tawanan perang milik kabilah-kabilah Arab yang diangkut dari berbagai daerah menuju ke Syam, Irak dan Hijaz. Para tawanan yang telah dibebaskan dalam bahasa Arab disebut mawali. Itu berarti, sebelumnya tawanan ini termasuk kabilah Arab tertentu yang pernah merekrutnya, dan sekarang pun dari sisi tertentu dia dianggap orang kabilah tersebut. Tentunya, tingkat mawali berada di bawah Arab, dan hak merekapun relatif lebih sedikit daripada orang Arab asli. Salah satu kesulitan pemerintah Amirul Mukminin as adalah bagaimana menghadapi tradisi yang sudah mengakar tersebut. Jelas, merupakan kesepakatan konvensional-sosial pada saat beliau memerintah bahwa suku Arab adalah lebih utama daripada mawali. Ini adalah problem besar yang menentang jiwa keadilan Amirul Mukminin as dan dalam kaca mata agama tidak ada satu pun bukti atas nepotisme tersebut, melainkan sebaliknya terdapat banyak bukti jelas yang mengharuskan keadilan/persamaan muslimin.

Meskipun Umar berani mencegah budak-budak untuk mendapatkan harta Baitul Mal, dan dengan perlakuan ini dia telah menbangun nepotisme antar-etnis, akan tetapi Amirul Mukminin as sama sekali tidak rela untuk membedakan mereka. Diceritakan ada dua wanita mendatangi Amirul Mukminin as dan mengatakan dirinya fakir miskin. Beliau berkata, "Kalau memang ucapan kalian ini benar, maka merupakan keharusan bagi kami untuk membantu." Beliau mengutus seseorang pergi ke pasar untuk membeli pakaian dan makanan bagi mereka, dan beliau juga memberikan 100 Dirham kepada masing-masing wanita tersebut. Salah satu dari dua wanita itu buka mulut dan protes, "Aku adalah orang Arab, sementara dia adalah mawali, kenapa Anda memperlakukan kami dengan sama?" Amirul Mukminin as menjawab, "Saya membaca Al-Qur’an dan betul-betul kurenungkan. Saya tidak melihat di sana kelebihan (keutamaan) anak-anak Isma'il atas keturunan Ishak walau sebesar sayap nyamuk."

Setiap kali Amirul Mukminin as hendak membagi harta negara, beliau berkata, "Nabi Adam as tidak melahirkan seorang budak laki maupun perempuan, semua hamba Allah adalah merdeka … Sekarang ada harta di tanganku, dan saya tidak akan melihat perbedaan antara kulit hitam dan putih melainkan akan kubagikan secara merata di antara mereka." Kaum Arab tidak tahan terhadap sikap persamaan antara ''Ajam dan Arab. Suatu saat saudari Amirul Mukminin as, Ummu Hani, datang mengambil jatahnya dari Baitul Mal. Amirul Mukminin as memberinya 20 Dirham. Budak perempuan Ummu Hani juga datang untuk hal yang sama, dan beliau juga memberinya 20 Dirham. Ketika berita itu sampai kepada Ummu Hani, dia naik pitam dan pergi protes terhadap beliau. Amirul Mukminin as memberinya jawaban yang simpel bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada keutamaan bagi Arab terhadap ''Ajam.

Di tempat lain Amirul Mukminin as mengatakan kepada Muhajirin dan Anshar bahwa beliau tidak akan memberikan harta kepada seseorang tanpa dalil, dan beliau menyikapi orang berkulit putih dan orang yang berkulit hitam secara merata. Sikap adil Amirul Mukminin as terhadap orang Arab dan 'Ajam ini menjadi sasaran protes orang-orang fanatik semacam Asy'ats bin Qais. Ketika Amirul Mukminin as berada di atas mimbar, Asy'ats berteriak, "Mawali berkulit putih ini telah menang terhadap kita dan kamu sendiri menyaksikannya." Amirul Mukminin as marah dan Ibn Sauhan berkata, "Hari ini akan menjadi jelas di mana harkat orang Arab." Amirul Mukminin as berkata, "Siapakah yang mencegahku dari pembalasan terhadap orang-orang gendut yang selalu berbaring di atas ranjang empuk sampai setengah hati, sementara di sana terdapat sekelompok orang yang menjauhkan dirinya dari ranjang untuk menghidupkan malam? Kalian ingin aku mengusir mereka dan menjadi orang zalim? Sumpah demi Dzat yang menumbuhkan biji-bijian dan menghidupkan binatang, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Demi Allah! Mereka akan memukul kalian (orang-orang Arab) agar kembali pada agama (Islam) sebagaimana dulu kalian memukul mereka agar masuk agama (Islam).'"

Mughirah adh-Dhabi mengatakan, "Ali as mencintai mawali dan sayang terhadap mereka, sedangkan Umar membenci dan menjauhi mereka." Terdapat sebagian puisi Amirul Mukminin as berkaitan dengan penafian pembedaan etnis dalam kemuliaan manusia Ilahi. Maksud puisi tersebut, "Sumpah demi Tuhan! Nilai manusia tidak lain karena agama; adalah tidak layak bagimu mengacuhkan takwa karena keturunan atau kedudukan; Islam mengunggulkan Salman al-Farisi; sementar syirik menghinakan Abu Lahab."

c. Kesulitan besar berikutnya adalah penyelewengan agama (bid'ah) yang dituduhkan para sahabat terhadap Utsman. Di sampaing sebagai bid'ah, problema utamanya adalah mayoritas masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang agama, dan sementara itu, tidak pernah ada upaya serius untuk mengajarkan tuntunan-tuntunan agama kepada mereka secara benar.

Berikut ini akan kami paparkan sebagian dari penyelewengan agama yang telah diperangi oleh Amirul Mukminin as:

Sebagian dari sahabat dan khalifah mengeluarkan hukum hanya berlandaskan pada "kemaslahatan", padahal di sana ada Al-Qur’an dan sunah Nabi saw yang layak untuk dijadikan pegangan. Mengenai hal ini, Anda bisa saksikan lebih jelas beserta bukti-bukti yang lebih banyak dan konkrit di dalam buku-buku referensi hadis dan sejarah; bagaimana mereka telah mengesampingkan sunah Rasulullah saw.

Mungkin ungkapan Abu Ja'far Naqib termasuk salah satu ungkapan yang terang-terangan dari seorang penganut mazhab Ahlussunah yang netral dalam hal ini. Dia mennegaskan, "Sahabat Rasulullah saw secara serempak meninggalkan banyak dari nash-nash beliau saw, dan perlakuan ini disebabkan oleh maslahat menurut mereka dalam meninggalkan nash-nash Nabi tersebut, seperti berkenaan dengan saham keturunan Rasulullah saw (dzawil qurbâ) dan saham orang-orang muallaf (yang baru masuk Islam dan masih perlu dikasihani untuk memperkuat imannya)."

Di salah satu pidatonya, Amirul Mukminin as melontarkan kritikan pedas terhadap pandangan semacam ini dan beliau mengumumkan komitmennya terhadap sunah Rasulullah saw. Dalam sebuah peristiwa, ketika ingin menyelesaikan satu persoalan, masyarakat dihadapkan pada beragam pendapat yang berselisih. Lantas mereka datang pada seorang hakim dan hakim pun membenarkan semua pendapat itu, beliau menentang pendapat tersebut seraya menegaskan, "Hal ini terjadi padahal Tuhan mereka Esa, Nabi mereka satu  dan kitab suci mereka juga satu. Apakah Allah SWT telah berfirman kepada mereka untuk menempuh jalan-jalan yang berselisih sehingga mereka—dengan itu—layak dianggap sebagai orang-orang yang memanuti tuntunan-Nya? Atau malah sebaliknya, Allah SWT melarang mereka untuk berpecah-belah, tetapi mereka malah menentang-Nya? Mungkin ada kemungkinan lain, yaitu apa yang diturunkan Allah SWT adalah kurang, dan Ia meminta pertolongan dari mereka untuk menyempurnakannya? Atau mereka adalah sekutu Allah SWT sehingga merekapun berhak untuk berpendapat dan Ia harus menerima jalan yang mereka tempuh? Atau sebetulnya agama yang Allah SWT turunkan adalah benar, hanya saja Rasulullah saw telah salah dalam meyampaikannya? Padahal, Allah SWT berfirman, 'Kami tidak meninggalkan apapun dalam al-Kitab (kecuali telah Kami jelaskan).'"

Di dalam pidatonya yang lain, Amirul Mukminin as membongkar kesalahan-kesalahan mereka dengan penuh heran seraya berkata, "… mereka senang memperhatikan syubhah, padahal mereka sendiri berjalan di atas syahwah. Ma'ruf di sisi mereka adalah hal yang mereka kenal dan senangi, adapun munkar menurut mereka adalah hal yang mereka enggani. Di tengah problema, mereka hanya bersandar pada diri sendiri, dan dalam memutuskan hal-hal penting, mereka hanya mengandalkan pendapat pribadi. Seakan-akan masing-masing mereka adalah imam bagi diri mereka sendiri. Maka, ketika mereka mengeluarkan sebuah hukum, seolah-olah mereka telah berpegang teguh pada tali yang paling kuat dan seakan-akan mereka telah menggunakan sarana yang paling hebat." 

Yang menarik lagi adalah kepercayaan khalifah kedua dan khalifah ketiga, bahwa di dalam beberapa hal, mereka berhak untuk membuat syariat tertentu sambil meninggalkan sunah, seperti perilaku Utsman yang bertentangan dengan sunah Nabi saw, bahkan dengan sunah khalifah-khalifah sebelumnya. Ia mengerjakan shalat dengan sempurna, tanpa qashar di Mina sementara Nabi saw, Abu Bakar dan Umar mengqasharnya, dan muslimin secara bertahap meyakini tindakan khalifah-khalifah tadi sebagai sunah dan syariat Islam yang kita dilarang keluar dari jalur tersebut. Umar sendiri ketika mau mati berkata, “'Tidak menentukan pengganti' adalah sunah (Rasulullah saw!) dan "menentukan pengganti" adalah juga sunah (Abu Bakar)."

Oleh karena itu, menurut Umar tindakan Abu Bakar juga terhitung sunah. Setelah Umar meninggal dunia, Abdurrahman mepersyaratkan agar kekhalifahan diberikan kepada orang yang beramal sesuai dengan sunah Rasulullah saw dan sunah dua syaikh (Abu Bakar dan Umar). Satu contoh dari perlawanan Amirul Mukminin as terhadap bid’ah pada waktu itu adalah beliau menentang shalat Tarawih yang ditegakkan oleh Umar, padahal ia (Umar) sendiri sadar bahwa itu adalah bid'ah, dan meskipun demikian, menurutnya. itu adalah bid'ah yang bagus. Ketika Amirul Mukminin as tinggal di Kufah, pernah ada sekelompok orang mendatangi beliau agar beliau menentukan seseorang menjadi imam jama'ah shalat Tarawih bagi mereka di bulan Ramadhan. Amirul Mukminin as melarang mereka untuk menunaikan shalat Tarawih. Tak pelak, pada malam itu juga terdengar teriakan-teriakan kencang "wâ ramadhânâh!" (oh Ramadhan telah dilecehkan). Haris al-A'war mendatangi Amirul Mukminin as dan berkata, "Masyarakat gaduh dan tidak senang terhadap keputusanmu." Amirul Mukminin as menjawab, "Biarkan mereka berbuat apapun yang mereka inginkan dan terserah mereka mau pilih siapa yang menjadi imam jama'ah." Riwayat ini menjelaskan bahwa Amirul Mukminin as pernah berhadapan dengan golongan macam apa dan sampai di mana mereka mematuhi beliau.

Amirul Mukminin as menulis surat kepada Malik al-Asytar dan menjelaskan pemilihan orang-orang yang saleh serta kecenderungan orang-orang beragama terhadap dunia, "… sesungguhnya agama ini tertawan di tangan orang-orang jahat, diperlakukan sesuka nafsu dan digunakan untuk merenggut dunia …."

d. Satu lagi dari penyelewengan penting yang secara prinsipal telah menjadi induk dari beberapa penyelewengan yang lain adalah larangan menukil dan mencatat hadis. Rasyid Ridha menegaskan bahwa fenomena ini merupakan pukulan telak yang tidak bisa ditebus terhadap budaya Islam. Tindakan semacam itu muncul karena ketidakpedulian mereka terhadap sunah Rasulullah saw sebagaimana. Begitu pula dengan langkah para khalifah untuk mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer dan tindakan tidak perduli terhadap Al-Qur’an yang jauh sebelumnya telah dikumpulkan/disiapkan oleh Amirul Mukminin as besserta tafsir dan asbabun nuzul ayat-ayat suci Allah SWT itu. Ini adalah bukti lain atas ketidakpedulian mereka terhadap sabda-sabda Rasulullah saw yang telah dicatat rapi oleh Amirul Mukminin as.

Menurut Amirul Mukminin as, faktor utama terjadinya peperangan internal di dalam tubuh muslimin adalah kesamaran dan kemiringan intelektual yang telah mengakar di antara masyarakat. "Namun, sekarang kita memerangi saudara seiman kita lantaran kesesatan, penyelewengan, kesamaran dan takwil yang telah merasuki tubuh Islam." Di tempat lain beliau berkata, "Mengapa syubhah dinamakan syubhah? Karena ia menyerupai kebenaran."

e. Kerusakan sosial adalah kesulitan lain Amirul Mukminin as di masa pemerintahannya. Kecenderungan masyarakat yang berlebihan terhadap kesejahteraan duniawi menjadi sebab lemahnya norma-norma agama di tengah masyarakat. Nilai yang diberikan masyarakat terhadap agama hanya sebatas lahiriahnya saja. Ketika khalifah ketiga, Utsman, terjerembab ke dalam kecenderungan tersebut di atas, mental yang sama berkembang di rakyatnya sehingga secara gradual masyarakat bermasalah dengan agama. Tidak mudah mengantarkan masyarakat yang terjangkit fitnah dan kerusakan kepada keseimbangan moral. Amirul Mukminin as di salah satu pidatonya memperkenalkan masyarakatnya seperti masyarakat jahiliah. Beliau berkata, "Kondisi kalian sekarang kembali seperti kondisi saat Allah SWT mengutus Rasul-Nya." Di sana, Amirul Mukminin as menjelaskan perubahan norma di tengah masyarakat yang harus segera diganti/dikembalikan. Masyarakat ini mesti disaring, mereka yang terlewat harus dikembalikan dan mereka yang teguh dan tetap harus ditunjang/didukung.

Amirul Mukminin as berpesan kepada mereka, "Sadarlah bahwa setelah hijrah dan belajar adab dari syariat, kalian telah kembali pada karakter primitif seperti dulu lagi. Kalian bercerai berai setelah sebelumnya kalian bersatu padu. Kalian tidak berhubungan dengan Islam kecuali sekedar nama saja dan kalian tidak berkaitan dengan iman kecuali sekadar tanda … Ketahuilah bahwa kalian sendiri yang memutus hubungan kalian dengan Islam. Kalian telah langgar ketentuan-ketentuannya dan kalian tinggalkan hukum-hukumnya.

Beliau juga mengatakan, "Sadarlah—semoga Allah merahmati kalian! Kalian hidup pada masa yang mana pembicara kebenaran adalah sedikit, lidah jadi bisu untuk berkata jujur dan orang yang komitmen terhadap kebenaran menjadi terhina di tengah masyarakat. Masyarakat terjerumus ke dalam jurang kemasksiatan … Pemuda-pemudinya berakhlak buruk dan orang-orang tuanya pendosa, cendekiawannya bermuka dua dan pembaca Al-Qur'an mereka penjilat, anak-anak kecil tidak lagi menghormati orang tua dan orang kuat tidak lagi membantu yang lemah."

Munculnya Mu'awiyah sebagai pelopor kesesatan dan penyelewengan di kancah politik Islam merupakan fitnah dan kerusakan sosial terbesar pada masa pemerintahan Amirul Mukminin as. Begitu pula dengan arus Utsmani yang berkembang di Bashrah atau Khawarij yang berkembang di Kufah. Semua itu bola-bola kerusakan yang kadang bergulir atas kesadaran penuh akan kebatilannya dan kadang bergulir atas khayalan bahwa mereka sedang menempuh jalan yang benar. Dengan demikian, mereka telah menutup jalan kebenaran yang mudah. Amirul Mukminin as menyaksikan fitnah Mu'awiyah sebegitu rupa dan berkata, "Ketika kusaksikan depan dan belakang perkara ini, kulihat tidak ada lagi jalan lain kecuali memerangi mereka, atau aku harus kafir dan mengingkari apa yang disampaikan Muhammad saw. [The Ahlulbayt World Assembly]

Tidak ada komentar: