Tarikh Islam Ghadir Khum


Oleh Jalal al Din al Farsi

Mengenai asal peristiwa Ghadir –mereka yang menyukai kajian Tarikh Islam hendaknya tahu bahwa Ghadir Khum adalah peristiwa yang memang benar-benar telah terjadi. Tak ada keraguan di sini. Bukan hanya Syi’ah yang meriwayatkannya tetapi juga para muhaddits dari kalangan Sunni –baik para muhaddits Sunni terdahulu maupun masa pertengahan dan kontemporer.

Mereka menukil dan meriwayatkan fakta bersejarah ini. Peristiwa ini terjadi di tempat bernama Ghadir Khum pada waktu Nabi Muhammad Saw melaksanakan haji wada’. [2]. Sebagian anggota rombongan besar Nabi Saw berjalan di depan dan telah mendahului beliau. Nabi Saw mengirim utusan dan meminta mereka untuk kembali.

Beliau sendiri memerintahkan rombongan yang bersamanya untuk berhenti di sana menantikan rombongan yang berada di belakang mereka. Terjadilah perkumpulan kolosal. Sebagian menyebutkan bahwa jumlah mereka 90 ribu orang, sebagian menyebut angka 100 ribu dan sebagian bahkan meyakini jumlah mereka yang hadir waktu itu mencapai 120 ribu orang.

Udara saat itu panas menyengat –bahkan, banyak orang yang meski tinggal di gurun pasir dan wilayah pedesaan yang tandus di Jazirah Arabia dan terbiasa dengan hawa panas tak kuasa menahan teriknya panas saat itu. Pasir di bawah kaki terasa membakar sehingga mereka terpaksa meletakkan kain selendang di bawah kaki sekedar untuk menawar rasa panas.

Masalah ini juga disinggung dalam riwayat di buku-buku hadis Sunni. Dalam kondisi seperti itu, Nabi Muhammad Saw berdiri di hadapan mereka dan mengangkat tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (as) di depan umat sambil bersabda:

من كنت مولاه فهذا على مولاه، اللهم وال من والاه و عاد من عاداه

“Barang siapa meyakini aku sebagai pemimpinnya maka ini Ali adalah pemimpinnya pula. Ya Allah, pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin –dan musuhilah orang yang memusuhinya.”

Tentunya kata-kata Nabi Saw itu ada awal dan lanjutannya –namun yang tadi disebutkan adalah bagian terpenting dari riwayat ini. Nabi Saw lewat sabdanya secara jelas mengangkat masalah wilayah –yakni kepemimpinan Islam-. Beliau menobatkan Amirul Mukminin Ali (as) sebagai sosok pemimpin.

Masalah ini disebutkan dalam kitab-kitab yang diakui oleh Sunni –bukan hanya dalam satu atau dua kitab saja tetapi dalam puluhan kitab mereka. Allamah Amini telah melakukan studi terkait hal ini dan hasilnya beliau catat dalam kitabnya, ‘Al-Ghadir’. Selain karya beliau tadi ada banyak kitab lain yang ditulis terkait masalah ini.

Pentingnya Idul Ghadir

Tak syak lagi bahwa hari raya al Ghadir memiliki sisi signifikansi yang tinggi. Dalam banyak riwayat Islam disebutkan bahwa keagungan hari ini bahkan melebihi keagungan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Namun itu bukan berarti mengurangi kebesaran dua hari raya Islam itu. Tetapi lebih berarti bahwa hari raya al Ghadir mengandung satu masalah yang lebih agung –sehingga sejumlah riwayat mengunggulkannya di atas hari-hari besar yang lain.

Masalah terpenting yang ada pada hari raya ini adalah masalah wilayah atau kepemimpinan. Mungkin dapat dikatakan bahwa tujuan dari semua jerih payah yang ditanggung oleh Nabi Muhammad Saw, para tokoh besar agama dan para nabi utusan Allah –salam Allah atas mereka semua- adalah demi tegaknya kepemimpinan Ilahi.

Ada sebuah hadis yang mungkin diriwayatkan dari Imam Jafar Shadiq (as), beliau menjelaskan bahwa jihad di jalan Allah (fi sabilillah) adalah rangkaian kerja keras untuk agama yang tujuannya adalah:

«ليخرج الناس من عبادة العبيد الى عبادة الله و من ولاية العبيد الى ولاية الله

“Untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan hamba kepada penyembahan Allah dan dari kepemimpinan (wilayah) hamba kepada wilayah Allah.”

Tujuannya adalah mengeluarkan umat manusia dari wilayah hamba –dalam pengertian maknanya yang luas- kepada wilayah dan kepemimpinan Allah. Hanya saja, terkait dengan tema Idul Ghadir ada satu poin lagi yaitu bahwa wilayah memiliki dua ruang dan area utama. Pertama, ruang jiwa manusia –artinya, manusia harus bisa menempatkan kehendak Ilahi menguasai dan memimpin jiwanya sehingga dirinya akan masuk ke dalam lingkup wilayah Allah. Ini adalah langkah awal dan paling utama. Selagi langkah ini belum ditempuh maka langkah kedua tak akan pernah ada.

Ruang kedua adalah bahwa manusia harus memasukkan lingkungan kehidupannya ke dalam wilayah dan kepemimpinan Allah. Dalam arti bahwa masyarakat bergerak dengan landasan kepemimpinan Ilahi. Tak ada kekuasaan apapun –baik uang, keluarga, suku, kekuatan, adat istiadat dan kebiasaan keliru yang bisa menghalangi kepemimpinan Allah atau unjuk kekuatan di depan wilayah Ilahi.

Sosok pribadi yang diperkenalkan pada hari seperti ini –untuk mengemban wilayah Allah- adalah sosok mulia Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (as). Beliau adalah insan yang teladan dan pribadi panutan dalam mengamalkan wilayah pada dua ruangnya. Beliau telah berhasil menundukkan jiwa dan hawa nasfu yang merupakan ruang wilayah Allah yang pertama. Beliau juga telah mengabadikan praktik kepasrahan kepada wilayah Allah dalam ruang kedua –yaitu lingkungan kehidupan.

Sejarah telah mengabadikan model pemerintahan Islam dan kepemimpinan Ilahi yang beliau tunjukkan. Siapa saja yang ingin menyaksikan model paling sempurna dari wilayah Ilahi ini dapat mencarinya pada perilaku Imam Ali (as).

Signifikansi Pengurusan yang Ideal

Hari al Ghadir ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as telah ditunjuk oleh Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat pasca beliau adalah satu peristiwa besar dan amat bermakna. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah ini menunjukkan bahwa Islam sangat peduli terhadap masalah pengurusan masyarakat. Jangan dikira bahwa Islam berlepas tangan dan menyepelekan masalah tatanan dan kepemimpinan umat ini. Ini tak lain karena pengurusan masyarakat adalah bagian yang paling signifikan dalam masalah kemasyarakatan.

Terpilihnya Imam Ali as sebagai pemimpin telah memperjelas kedalaman dimensi masalah pengurusan umat –mengingat di tengah para sahabat Nabi SAW, Imam Ali as adalah personifikasi ketakwaan, keilmuan, keberanian, pengorbanan, dan keadilan. Personifikasi inilah yang dipandang penting oleh Islam menyangkut masalah pengurusan umat.

Pihak yang tidak menerima Imam Ali as sebagai penerus langsung Rasulullah SAW pun juga mengakui kehebatan ilmu, kezuhudan, ketakwaan, keberanian dan pengorbanan beliau demi kebenaran dan keadilan. Ini adalah realitas yang diakui oleh seluruh umat Islam dan oleh siapapun yang mengenal Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Terpilihnya Imam Ali as telah memperlihatkan bagaimana pengelolaan dan pemerintahan yang ideal bagi masyarakat Muslim menurut al Qur’an, Islam dan Rasulullah SAW.

Hakikat Nyata dan Tersembunyi dari Ghadir

Ada banyak hakikat di balik peristiwa al Ghadir. Gambaran luar peristiwa itu adalah bahwa sekembalinya dari haji, Nabi Muhammad Saw di Ghadir Khum telah menyelesaikan masalah pemerintahan dan kepemimpinan –dengan maknanya yang luas- atas masyarakat Muslim yang baru berusia sepuluh tahun sejak kelahiran Islam, dengan menobatkan Amirul Mukminin (as) sebagai penerus beliau.

Gambaran luar dari peristiwa ini memang merupakan hal yang sangat krusial –dan bagi mereka yang gemar melakukan penelitian dan merenungkan transformasi sebuah masyarakat revolusioner, pasti akan memandangnya sebagai hikmah yang diatur oleh Allah. Akan tetapi, di balik gambaran luar tersebut ada serangkaian hakikat agung yang jika diperhatikan dengan baik akan menyinari jalan kehidupan umat Islam. Jika umat Islam –termasuk Syi’ah yang memandangnya sebagai masalah imamah dan wilayah maupun kelompok non Syi’ah yang tidak mengartikannya dengan makna imamah meski mengakui kebenaran riwayat ini- menaruh perhatian yang benar terhadap poin-poin penting di balik peristiwa Ghadir, mereka akan memperoleh banyak manfaat darinya.

Salah satu poin penting tersebut adalah bahwa pemaparan figur Amirul Mukminin Ali (as) untuk memimpin umat telah memperjelas tolok ukur dan nilai pemerintahan. Dalam peristiwa al Ghadir, disaksikan oleh umat Islam dan sejarah, Nabi Muhammad Saw telah menunjuk seseorang yang telah merangkai seluruh nilai-nilai kemuliaan Islam secara penuh pada dirinya. Dia adalah insan yang mukmin, punya kedudukan tinggi dalam ketaqwaan, dikenal dengan pengorbanannya untuk agama, tak tergiur oleh gemerlap dunia, teruji di semua medan perjuangan Islam:

[1] Medan yang penuh bahaya, [2] medan ilmu dan pengetahuan, [3] medan menghakimi perkara, dan lain sebagainya. Artinya, dengan dinobatkannya Amirul Mukminin Ali (as) sebagai pemimpin, imam dan wali bagi masyarakat Muslim, seluruh umat Islam sepanjang sejarah harus menangkap pesan ini bahwa penguasa Islam haruslah insan yang memiliki kriteria-kriteria seperti itu atau mendekati kriteria ideal tersebut. Karena itu, dalam masyarakat Islam, orang yang tak punya kriteria agung itu –dalam pemahaman Islamnya, amal, jihad, infak, pengorbanan, tawadhu, dan rendah hati di depan hamba Allah yang kesemuanya adalah sifat-sifat yang ada pada diri Amirul Mukminin (as)- maka ia tak berhak duduk sebagai pemimpin.

Nabi Saw telah menunjukkan kriteria-kriteria tersebut kepada umat Islam. Ini adalah pelajaran yang tak akan terlupakan.

Poin berikutnya yang dapat dipahami dari peristiwa Ghadir adalah persepsi Amirul Mukminin (as) tentang keadilan Ilahi dan Islami. Hal itu telah beliau tunjukkan dalam beberapa tahun masa khilafah dan pemerintahannya. Keadilan itulah yang menjadi tujuan pengutusan para nabi, penurunan kitab-kitab samawi dan pensyari’atan agama.

لیقوم الناس بالقسط

“…supaya manusia melaksanakan keadilan…” (Q.S. Al-Hadid: 25)

Keadilan yang diajarkan dalam Islam adalah yang menjamin tegaknya keadilan hakiki. Masalah ini adalah masalah prioritas dalam pandangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (as).

Pemahaman Wilayah dalam Peristiwa al Ghadir

Terkait tema Ghadir, Nabi Muhammad Saw telah mengamalkan Al-Quran dan melaksanakan kewajiban paling besar yang diperintahkan Allah Swt kepada beliau.

وإن لم تفعل فما بلغت رسالته

“Dan jika engkaui tak melaksanakannya berarti engkau tidak pernah menyampaikan risalahNya.” (Q.S. Al-Maidah: 67)

Masalah pengangkatan Amirul Mukminin Ali (as) untuk kedudukan wilayah dan khilafah adalah masalah yang sedemikian penting –sehingga [Allah] berfirman bahwa jika Nabi tidak melaksanakan perintah pengangkatan Ali, berarti beliau tidak menyampaikan risalah Allah. Ini bisa diartikan bahwa ‘Engkau tidak melaksanakan perintah dan risalah terkait hal ini’ padahal Allah telah memerintahkannya. Atau bahkan maknanya lebih dari itu, yakni dengan tidak melaksanakan perintah ini –pelaksanaan misi kenabian beliau dipertanyakan.

Kemungkinan besar makna kedua inilah yang tepat. Seakan penyampaikan perintah soal kepemimpinan sama dengan risalah itu sendiri. Jika demikian halnya, berarti masalahnya sangat penting.

Dengan makna itu berarti masalah pembentukan pemerintahan, soal kepemimpinan, dan pengaturan negara tergolong sebagai ajaran utama agama. Nabi Saw sendiri melaksanakan perintah itu dengan segala kebesaran. Perintah Allah itu disampaikan di depan khalayak umat dengan cara yang sangat agung. Mungkin tak ada satupun perintah Allah, baik sholat, zakat, puasa, maupun jihad yang dilaksanakan Nabi Saw seagung pelaksanaan perintah ini.

Saat itu beliau mengumpulkan semua orang dari berbagai golongan dan suku serta warga penduduk berbagai negeri di sebuah daerah yang merupakan jalan persimpangan Mekah dan Madinah –demi misi yang sangat penting. Saat itulah beliau menyampaikan perintah Allah tersebut. Di dunia Islam pun segera tersebar berita bahwa Nabi telah menyampaikan sebuah pesan baru.

Makna Imamah dalam Peristiwa al Ghadir

Imamah berarti puncak dari makna ideal pengurusan masyarakat yang berseberangan dengan pengurusan masyarakat yang tercemari kelemahan, syahwat, hawa nafsu, dan ambisi manusia. Islam telah mengenalkan kepada umat manusia konsep imamah. Artinya, orang yang mendapat tugas imamah adalah sosok manusia yang hatinya terpenuhi dengan hidayah Ilahi dan mengenal dengan baik ilmu-ilmu agama. Dia mampu menentukan jalan yang benar dan punya kekuatan untuk bertindak.

یا یحیی خذ الکتاب بقوة و آتیناه الحکم صبیا

“Wahai Yahya ambillah kitab dengan kekuatan (sungguh-sungguh), dan Kami telah memberinya hikmah saat ia masih kanak-kanak” (Q.S Maryam: 12)

Dia tak mementingkan jiwa, kesenangan dan kehidupan pribadi. Baginya, jiwa, kesenangan dan kehidupan umat manusia adalah segalanya. Amirul Mukminin Ali (as) dalam memerintah selama kurang dari lima tahun telah menunjukkan hal itu dalam tindakan. Masa yang kurang dari lima tahun –usia khilafah Amirul Mukminin as- telah menjadi periode panutan dan teladan yang tak akan terlupakan bagi kemanusiaan. Masa itu tetap bersinar meski telah berlalu berabad-abad lamanya dan akan tetap bersinar. Inilah pelajaran, makna dan tafsir yang hakiki dari peristiwa Ghadir.

Al Ghadir dan Persatuan Umat Islam

Masalah Ghadir bisa menjadi alasan untuk menjalin persatuan. Mungkin sekilas cukup mengherankan. Akan tetapi begitulah kenyataannya. Terlepas dari sisi kepercayaan kalangan Syi’ah yang meyakininya sebagai pilar aqidah –yakni penobatan Amirul Mukminin Ali (as) sebagai pemimpin oleh Nabi Muhammad Saw, sebagaimana disebutkan secara jelas dalam hadis Ghadir- masalah Ghadir memaparkan prinsip wilayah. Soal wilayah tak ada perbedaan antara Syi’ah dan Sunni. Jika umat Islam di dunia dan berbagai bangsa di negara-negara Islam serentak menyuarakan slogan wilayah Islam (kepemimpinan Islam) tentu akan banyak pekerjaan yang selama ini tak terjamah dan kesulitan yang tak terurai akan teratasi –dan negara-negara Islam akan semakin mendekati penyelesaian problematika yang dihadapinya.

Catatan:

[1] Ghadir Khum adalah nama sebuah tempat di antara Mekah dan Madinah yang dilalui oleh para hujjaj –jamaah haji. Ghadir dalam bahasa Arab berarti telaga atau kolam. Daerah ini dikenal dengan nama Ghadir Khum karena di sana terdapat sebuah kolam yang menampung genangan air hujan. Di tempat ini, Nabi Muhammad Saw sepulang dari hajjatul wada’ atau haji perpisahan, mengumpulkan seluruh kaum muslimin yang ikut menunaikan haji bersama beliau untuk mengumumkan bahwa Allah telah menunjuk Ali bin Abi Thalib (as) sebagai washi, saudara dan penerus Nabi Saw. Di sinilah Nabi Saw menyampaikan sabdanya yang terkenal;

من کنت مولاه فهذا علی مولاه

“Barang siapa yang meyakini diriku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya pula.”

Hadis yang merupakan penggalan khotbah Rasul Saw yang panjang ini diakui kebenarannya oleh Syi’ah dan Sunni.

[2] Sejak awal bulan Dzulqa’dah tahun 10 hijriyah, Nabi Saw telah mengumumkan ke berbagai daerah dan kepada seluruh kabilah Muslim di Jazirah Arabia bahwa beliau akan bertolak ke Mekah tahun itu untuk melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, tahun itu sejumlah besar umat Islam hadir dalam pertemuan akbar haji yang dikenal dengan hajjatul wada’ atau haji perpisahan.

Tidak ada komentar: