Nabi dan Imamah Menurut Mulla Sadra

Oleh Asghar Purbehrami

Dalam tulisan ini, pertama-tama akan memaparkan pemikiran Mulla Sadra secara umum tentang konsep Mahdawiyyah. Selanjutnya membandingkan pandangannya dengan pandangan sebagian mutakallim (teolog) dan sebagian filosof klasik. Dalam meraih kedua maksud tersebut, terlebih dahulu menjelaskan pandangan Sadra bahwa nubuwwah dan imamah tidak memiliki perbedaan yang mendasar, dan juga menjelaskan pandangannya tentang kenabian, karakteristik nabi, kualitas dalam meraih wahyu, terutama tentang wilayah dan kenabian terakhir. Setelah menjelaskan pandahuluan tersebut, barulah menjelaskan pandangannya mengenai imamah, manfaat keberadaan imam, serta relasi yang begitu dalam antara pandangan yang meniscayakan keberadaan seorang imam dalam setiap zaman dengan pandangan mahdawiyah. Sepuluh argumentasi Sadra dalam membuktikan keniscayaan keberadaan seorang imam akan dianalisa secara detail. Selanjutnya memaparkan penjelasannya mengenai mahdawiyah serta akidahnya mengenai imam keduabelas dan kegaibannya. Pada akhir pembahasan sebagai sebuah kesimpulan akan menganalisa beberapa argumentasinya dalam membuktikan keniscayaan keberadaan seorang imam dengan membandingkan argumentasi lain oleh para pamikir sebelumnya, sehingga akan terlihat dengan jelas peranan Sadra dalam sejarah pembahasan persoalan ini.

Kata kunci: 1. Mahdawiyah 2. Kenabian 3. Imamah 4. Wilayah 5. Wahyu 6. Kegaiban 7.Mulla Sadra 8. Syekh Mufid 9. Sayyid Murtadha 10. Khajah Nashiruddin Thusi 11.Al-Farabi 12. Ibn Sina 13. Syekh Isyraq 14. Mir Damad

Keyakinan pada keberadaan dan kemunculan Imam Mahdi as pada akhir zaman, memiliki akar pembahasan di dalam hadits-hadits dan riwayat-riwayat ma’tsur dari Rasulullah saw dan para Imam Maksumin. Namun jika melihat secara umum pada sejarah ilmu-ilmu keislaman, akan terlihat dengan jelas bahwa pembahasan mengenai keyakinan ini tidak hanya menjadi perhatian oleh ahli hadits semata, bahkan juga oleh para mutakallim, urafa, serta para filosof sebagaimana terlihat di dalam karya mereka. Mereka membahas dan menganalisa pembahasan tersebut, berdasarkan dengan sistem bangunan pemikiran yang mereka miliki. Berbagai analisa serta pemaparan yang beragam dari para mutakallim, urafa, dan filosof mengenai pembahasan ini, terlihat dengan jelas titik kesamaan dari berbagai pandangan tersebut yaitu gagasan tentang keniscayaan keberadaan seorang imam dan kemunculan seorang imam pada setiap zaman. Berbagai argumentasi serta penjelasan dalam membuktikan mahdawiyah pada umumnya mengacu pada aspek kesamaan tersebut. Oleh karena itu, dalam menganalisa pandangan para filosof Islam tentang keyakinan mahdawiyah – yang merupakan objek tulisan ini – maka yang harus diteliti sebelumnya adalah argumentasi-argumentasi mereka dalam membuktikan keniscayaan keberadaan seorang imam. Dengan memperhatikan lebih jauh pembahasan ini dari karya-karya para filosof Islam maka hakekat ini akan nampak bahwa pembahasan mengenai mahdawiyah senantiasa menjadi pusat perhatian para filosof Islam mulai dari Farabi hingga Mulla Sadra. Namun penjelasan dan pentingnya pembahasan ini dalam sistem filsafat Farabi dan Ibn Sina terlihat lebih sedikit jika dibandingkan dengan filsafat iluminasi, namun dalam hikmah muta’aliyah terlihat lebih banyak lagi.[1]

Dalam tulisan kali ini, pertama-tama melacak gagasan Sadra tentang kenabian dan kualitas perolehan wahyu, selanjutnya gagasan tersebut berfungsi sebagai pendahuluan dalam membahas pandangan imamah dalam hikmah muta’aliyah. Setelah itu, melalui penjelasan argumentasi-argumentasi Sadra atas keniscayaan keberadaan seorang imam, maka pada saat yang sama dia akan menjelaskan keyakinannya pada mahdawiyah. Tahap selanjutnya akan kami jelaskan pandangan Sadra tentang keberadaan dan kegaiban imam keduabelas. Pada akhir pembahasan akan kami bandingkan secara umum pandangan Sadra dengan pandangan Farabi, Ibn Sina, Syekh Isyraq, Mir Damad, dan para mutakallim imamiyah seperti Syekh Mufid, Sayyid Murtadha, dan Khajah Nashiruddin Thusi tentang mahdawiyah. Pada kesempatan tersebut akan kami paparkan bahwa pandangan Sadra bukan hanya memiliki gagasan yang utuh jika dibandingkan dengan gagasan-gagasan sebelumnya, bahkan gagasan Sadra memiliki muatan tertentu yang tidak ditemukan pada gagasan sebelumnya.

Kenabian

Dalam karya Mulla Sadra yang paling monumental al-hikmah muta‘aliyah fî asfâr al-‘aqliyah al-arba‘ah yang merangkum seluruh gagasan filsafatnya, tidak terdapat sebuah pasal yang secara khusus membahas tentang kenabian. Namun dalam karyanya yang lain seperti al-syawâhid al-rubûbiyah, al-mabda’ wa al-ma‘âd, al-mazâhir al-ilâhiyah, al-mafâtîh al-ghayb, dan akhirnya syarah ushûl kâfî, secara luas membahas tentang nubuwwah dan wilayah. Namun dalam kesempatan ini kami tidak bermaksud untuk membahas gagasan Sadra tentang nubuwwah secara panjang lebar, akan tetapi dikarenakan dalam filsafat Sadra, pembahasan mengenai nubuwwah berhubungan secara erat dengan pembahasan imamah, maka kami akan membahas pembahasan nubuwwah sekedar untuk membantu menjelaskan konsep imamah dan mahdawiyah dalam filsafat Sadra.

2.1 Tiga hal karekteristik kenabian

Karekteristik pertama seorang nabi, ilmu tanpa perantara dan keagungannya. Dalam pandangan Sadra, jiwa-jiwa manusia memiliki beragam tingkatan dari sisi cara memperoleh pengetahuan. Sebagian dari jiwa mereka, saking lemah dan gelapnya bahkan disaat mempelajari suatu pengetahuan, jiwanya tidak mampu menangkapnya. Namun kebalikannya, ada juga orang yang memiliki jiwa dengan potensi intuitif yang sangat kuat sehingga dapat memahami pengetahuan yang banyak dengan waktu yang sangat singkat. Begitu juga dengan tahapan selanjutnya, puncak tingkatan yang paling sempurna dari potensi intelek ini, ada pada jiwa suci para nabi dimana dengan hanya waktu yang sangat singkat dan tanpa belajar pada manusia yang lain, dapat memperoleh seluruh pengetahuan yang dimungkinkan untuk diketahui oleh manusia lainnya. Dalam menjelaskan karekteristik nabi, Sadra mengingatkan bahwa dikarenakan mereka memiliki aspek kemurnian dan kesucian sehingga jiwa intelek mereka menyatu dengan akal universal dan ruh agung yaitu akal aktif itu sendiri, sehingga pengetahuan-pengetahuan Ilahi diberikan kepada jiwa nabi dengan jalan penyatuannya  dengan akal aktif. Menurut Sadra, maqam ini dapat diperoleh oleh para nabi dan para wali.

Karekteristik kedua, jiwa nabi dalam tingkatan potensi imajinasinya, begitu kuat dan sempurna sehingga dalam keadaan sadar [tidak tidur] sekali pun dapat menyaksikan alam gaib, alam bentuk-bentuk partikular atau alam imajinasi dengan mata batin. Dalam tingkatan ini, potensi imajinasi nabi sampai pada aktualitas yang sempurna sehingga bentuk malaikat pembawa wahyu bertamatstsul [menampakkan dirinya dalam bentuk tertentu] padanya, maka dengan kondisi tersebut seorang nabi dapat mendengarkan perkataan malaikat yang berasal dari Tuhan. Mulla Sadra meyakini bahwa maqam ini hanya dikhususkan kepada nabi sedangkan seorang wali tidak bisa menyertai nabi pada maqam tersebut.

Karekteristik ketiga, jiwa nabi – dari aspek fakultas praktis – sampai pada puncak kesempurnaan, sehingga dapat mempengaruhi inti alam materi. Maksudnya jiwanya telah mampu mengganti sebuah bentuk tertentu pada bentuk yang lain. Berdasarkan hal ini, mukjizat secara praktis terjadi terhadap para nabi seperti menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan mukjizat-mukjizat lainnya. Mulla Sadra dalam menjelaskan hal tersebut mengatakan bahwa yang memberikan efek terhadap inti alam serta yang memberikan bentuk-bentuk yang berbeda-berbeda terhadapnya adalah nufûs falakî (souls of the spheres). Oleh karena itu, jika jiwa manusia sampai kepada kesempurnaan dan fakultas praktisnya atau fakultas penggeraknya sampai kepada puncak kesempurnaan, maka dirinya akan sama dengan nufûs falakî. Maksudnya jiwanya mampu mempengaruhi alam mumkin. Mulla Sadra dalam persoalan ini – sebagaimana dalam persoalan-persoalan lainnya – juga meyakini akan adanya gradasi dalam intensitas dan lemah. Berdasarkan hal tersebut, meskipun dari satu sisi terdapat jiwa suci para nabi dan para wali, namun dari sisi lain terdapat juga jiwa manusia lainnya yang lemah dimana jiwanya hanya bisa mempengaruhi badannya semata dan tidak lebih dari hal itu. Mereka hanya mampu mempengaruhi dan mendominasi fakultas praktis badannya sendiri (19, h. 399-402. 20, V.2, h. 802-806. 18, h. 440-443. 16, V.6, h.288-280).

Persoalan yang mesti dijelaskan dalam kesempatan kali ini bahwa dalam pandangan Sadra, masing-masing dari ketiga karekteristik di atas merupakan mukjizat itu sendiri dan supernatural. Oleh karena itu, selain para nabi, mereka tidak mampu sampai pada derajat ini, dan hal ini sebenarnya adalah tanda akan kebenaran dan risalah mereka yang berasal dari Tuhan. Namun kesempurnaan nabi dalam intelek, menurut Sadra, merupakan mukjizat yang paling tinggi nilainya. Para ulama dan pemikir meyakini mukjizat Rasulullah saw sebagai mukjizat yang paling tinggi diantara bagian mukjizat yang lain (19, h.401. 20, V.2, h.806. 16, V.2, h.281). Sebagaimana yang anda saksikan, diantara ketiga karekteristik yang ada pada nabi, hanya bagian karekteristik kedua yang dikhususkan kepada para nabi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Sadra meyakini tidak ada perbedaan yang mendasar antara imamah dan nubuwwah. Selain dari hal tersebut, Sadra juga meyakini bahwa para imam dan para wali mampu meraih derajat yang lebih rendah dari wahyu yang disebut dengan ilham. Menurut Sadra, perbedaan antara wahyu dan ilham; pertama, dari sisi intensitas kejelasan makrifat yang dihasilkan dari akal aktif atau identik dengan malaikat yang membawa wahyu, sedangkan kejelasan yang lebih rendah dari hal tersebut adalah ilham. Kedua, perbedaan selanjutnya dari sisi mengetahui sebab pemberi pengetahuan atau malaikat wahyu (dalam kewahyuan) dan tidak mengetahui (dalam ilham) (19, h.406-408. 20, V.2, h.807-811).

Mulla Sadra di sisi lain dalam syarh ushûl kâfî mengisyaratkan karekteristik-karekteristik lain seorang nabi dan imam. Namun dikarenakan ketiga karekteristik yang telah dijelaskan sebelumnya dalam sistem pemikiran Sadra, memiliki peranan yang sangat penting dalam membuktikan keniscayaan wujud seorang imam pada setiap zaman dan juga keniscayaan meyakini pada seorang imam yang hadir, maka karekteristik-karekteristik yang lain akan kami sebutkan dalam menjelaskan manfaat keberadaan seorang imam dalam pembahasan imamah. 

2.2 Keniscayaan Diutusnya Para Nabi                      

Mulla sadra menjelaskan argumentasi keniscayaan diutusnya seorang nabi dalam karyanya al-syawâhid al-rubûbiyah (19, h.419-421), al-mabda’ wa al-ma‘ad (20, V.2, h.815-818), mafâtîh al-ghayb (22, h.479-480), dan dalam syarh ushûl kâfî. Argumentasi-argumentasi tersebut terlihat secara sepintas memiliki muatan yang sama, akan tetapi bentuk penjelasan serta metode susunan premis-premisnya satu sama lain berbeda. Dalam kesempatan ini, kami akan memaparkan argumentasi Sadra dalam karyanya syarh usûl kâfî, namun kami juga akan menjelaskan argumentasi lainnya pada karyanya yang lain dikarenakan bentuk penjelasan serta muatan yang ada di dalamnya dikaji dalam berbagai dimensi. Mulla Sadra dalam mengomentari hadits pertama bab “al-idhthirâr ila al-hujjah” dalam ushûl kâfi, mengawalinya dengan menjelaskan beberapa premis;

Premis pertama, kita mengetahui adanya Khalik (pencipta) yang kuasa atas segala sesuatu. Premis kedua, Pencipta yang dimaksud tentunya bukan materi dan juga tidak berkaitan dengan materi, maka dia tidak dapat dindrai. Premis ketiga, Pencipta tersebut memiliki ilmu dan hikmah yang absolut sehingga mengetahui dengan baik aspek-aspek kebaikan dan segala maslahat pada hambanya, baik dalam kehidupan duniawi maupun dalam kehidupan akhirat. Premis keempat, karena Pencipta tersebut – dalam hal ini Tuhan – bukan materi dan tidak berkaitan dengan materi maka Dia tidak bisa secara langsung mempengaruhi entitas-entitas material. Oleh karena itu terdapat perantara dalam penciptaan, dalam memberikan efek, dan dalam mengatur perkara-perkara. Premis kelima, adapun manusia dalam mengatur perkara-perkara dunianya dan akhiratnya membutuhkan seseorang yang mengatur perkaranya serta menunjukkan jalan untuk sampai kepada kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki.

Mulla Sadra dalam menjelaskan alasan dari premis kelima mengatakan bahwa manusia seorang diri tidak dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya, bahkan membutuhkan orang lain dari sejenisnya yang dapat membantu sebagian dari persoalan-persolannya. Oleh karena itu,  manusia diciptakan secara sosial dan berkelompok-kelompok dimana individu-individu dalam masyarakat saling membantu satu sama lain dan hajat-hajat mereka satu sama lain terpenuhi. Disisi lain, ketika kelompok-kelompok masyarakat tercipta, ada kemungkinan tiap-tiap individu hanya memikirkan keuntungannya masing-masing sehingga terjadi gesekan-gesekan diantara mereka. Oleh karena itu masyarakat membutuhkan bentuk aturan-aturan dan syariat-syariat yang akan memberikan penyelesaian gesekan-gesekan yang terjadi. Kaidah-kaidah dan syariat-syariat tentunya meniscayakan adanya sang peletak aturan dan sang peletak syariat. Peletak syariat ini melazimkan harus dari golongan manusia, alasannya karena manusia tidak dapat menyaksikan malaikat oleh karena malaikat tidak memiliki aspek materi. Hanya sebagian kecil dari manusia yang memiliki intensitas jiwa yang kuat sehingga mampu menyaksikan malaikat dalam bentuk-bentuk jismani [mutamatstsil]. Dalam pandangan Sadra, peletak syariat mesti memiliki mukjizat dan dapat melakukan perkara yang luar biasa sebagai pertanda kebenaran atas perkataannya, dan juga agar manusia dapat menaatinya lebih dalam.

Setelah Mulla Sadra menjelaskan premis-premis sebelumnya, ia menyatakan, dengan premis-premis tersebut telah membuktikan bahwa adanya seorang nabi untuk menjaga generasi manusia dan untuk kebahagiaan manusia merupakan sebuah kebaikan dan maslahat. Juga karena Tuhan adalah Maha mengetahui dan hakim mutlak, maka melazimkan Dia mengetahui – dari sisi maslahat dan kebaikan – mengapa seorang nabi mesti diutus. Disisi lain, karena ilmu Tuhan adalah ilmu aktual maka dengan hanya ‘inayah Ilahi tertuju pada perkara yang baik tersebut maka perkara tersebut dengan sendirinya akan mewujud dan tercipta. Pada akhirnya, karena kebutuhan manusia terhadap nabi dan perantara dari sisi Tuhan, maka setiap zaman pasti ada. Oleh karena itu, karena keberadaan para nabi adalah maslahat maka Tuhan mengutus nabi dalam setiap zaman. Dalam menegaskan hal ini, Mulla Sadra menambahkan bahwa Tuhan tidak pernah lalai pada hal yang sekecil apa pun yang mungkin menurut manusia hal tersebut tidak begitu penting, misalnya pada diri manusia diatas matanya terdapat bulu (alis) yang berfungsi agar air tidak langsung mengalir pada mata, atau hikmah dari cekungnya bentuk telapak kaki. Jadi, jika pada hal yang kecil saja Tuhan tidak lalai, maka Tuhan tidak mungkin lalai dalam melakukan hal yang lebih penting dan lebih niscaya keberadaannya seperti adanya seorang nabi untuk terjaganya generasi dan kebahagiaan manusia.

Mulla Sadra menegaskan bahwa kesimpulan dari argumentasi ini memiliki tiga bagian; pertama, adanya seorang nabi adalah niscaya. Kedua, nabi yang dimaksud mesti berasal dari golongan manusia itu sendiri. Ketiga, nabi tersebut mesti memiliki mukjizat tersendiri yang berbeda dari orang lain (18, h.390-395). Dalam menganalisa argumentasi ini dan membandingkan dengan argumentasi filosof Islam lainnya, dan juga argumentasi Mulla Sadra sendiri dalam al-syawâhid al-rubûbiyah, al-mabda’ wa al-ma‘ad, dan juga mafâtîh al-ghayb, bahwa argumentasi lainnya lebih banyak menjelaskan premis kelima saja, yaitu mereka hanya menekankan kebutuhan ummat Islam pada seorang nabi dalam mengatur dan mengurusi perkara-perkara sosial, politik, ekonomi, dan masyarakat muslim. Oleh karena itu, keunggulan argumentasi Mulla Sadra diatas karena terdapat empat premis lainnya selain premis kelima. Berdasarkan hal ini, meskipun pada argumentasi lainnya tidak lalai dalam menjelaskan kebutuhan ummat Islam akan adanya seorang nabi, namun hal yang sangat ditekankan pada argumentasi Sadra adalah pada faktor yang paling inti yaitu hidayah Ilahi melalui seorang nabi. Kebutuhan kepada seorang nabi karena hidayah Ilahi lebih penting jika dibandingkan dengan kebutuhan sosial, politik, ekonomi, dan masyarakat muslim. Oleh karena itu dalam argumentasi Sadra, jalan untuk membuktikan adanya seorang imam yang hadir pada saat ini – yang pada saat ini sedang gaib – lebih praktis seperti seorang negarawan politik yang tidak secara langsung berhubungan dengan politik praktis.

2.3 Kenabian Terakhir                                         

Mulla Sadra menjelaskan persoalan kenabian terakhir dan keterputusan wahyu Ilahi dalam dua kitabnya al-syawâhid al-rubûbiyah dan mafâtîh al-ghayb. Menurut Sadra, jika yang dimaksud dengan wahyu adalah pengajaran Tuhan kepada manusia, maka wahyu dalam pemaknaan seperti ini tidak akan terputus, atau dalam kata lain, kenabian dan risalah tidak akan terputus di bumi ini. Namun jika yang dimaksud dengan wahyu adalah tamatstsul [penampakan dalam sebuah bentuk tertentu] malaikat wahyu kepada diri seorang nabi sehingga malaikat tersebut dapat dilihat dan suaranya terdengar, maka wahyu dalam pemaknaan seperti ini telah berakhir, berikut kenabian dan setelah diutusnya Rasulullah saw telah berakhir. Malaikat wahyu tidak akan nampak lagi pada seseorang dan kalamullah tak akan lagi terdengar oleh telinga seseorang. Setelah Mulla Sadra menjelaskan hal diatas, ia kemudian mengisyaratkan bahwa tentunya kenabian dari aspek ‘hukum’ dan ‘esensi’ tidak akan pernah terputus. Menurut Sadra, perpanjangan nubuwwah dari aspek ‘hukum’ ada pada Imam Maksumin as dan para mujtahid ilmu agama. Hukum kenabian Muhammadi akan berjalan selanjutnya melalui metode seperti ini. Namun kenabian dari aspek ‘esensi’ juga akan berjalan terus melalui para waliyullah yang sempurna. Dalam waliyullah kenabian hadir dalam bentuknya yang gaib dan batin, sedangkan kenabian bagi diri seorang nabi merupakan aspek zahirnya. Oleh karena itu dalam pandangan Sadra dalam persoalan kenabian terakhir, pertama, tidak memiliki perbedaan yang mendasar antara nubuwwah dan imamah. Kedua, imamah merupakan perluasan dari nubuwwah. 

2.4 Wilayah

Pada pembahasan sebelumnya telah kami uraikan bahwa dalam pandangan Sadra kenabian dari aspek ‘esensi’ masih berlanjut melalui wilayah. Juga telah kami paparkan bahwa dalam pandangan Sadra, para Imam Maksumin merupakan pengejawantahan para wali. Sekarang kami akan menjelaskan pandangan Sadra mengenai wilayah. Dalam karyanya mafâtîh al-ghayb, terdapat pembahasan khusus yang membahas tentang wilayah. Pada pembahasan tersebut, pertama-tama ia menjelaskan makna bahasa dari wilayah. Menurutnya wilayah berasal dari kata wali yang berarti ‘kedekatan’. Berdasarkan hal ini, habîb dari aspek kedekatannya dengan mahbûb juga disebut dengan wali. Dalam menjelaskan makna wilayah secara istilah, sebelumnya ia membagi wilayah pada dua bagian; ‘umum’ dan ‘khusus’. Wilayah secara umum adalah beriman kepada Tuhan dan mengerjakan amal-amal saleh, sedangkan wilayah khusus adalah kefanaan seseorang dalam Tuhan pada sisi zat [zat dalam pemaknaan tajalli, bukan zat sebagaimana zat], sifat, dan perbuatan. Wilayah khusus juga terbagi pada dua bagian; ‘pemberian wilayah khusus’ dan ‘perolehan wilayah khusus’. Pemberian wilayah khusus adalah seseorang yang sebelum melakukan usaha tertentu dan mujahadah, telah tertarik ke sisi Tuhan dengan magnetis Ilahiyah. Orang seperti ini, ketertarikannya mendahului mujahadahnya dan disebut dengan ‘mahbûb’. Perolehan wilayah khusus adalah seseorang yang setelah melakukan usaha dan mujahadah akan dekat dengan Tuhan melalui perantara magnetis Ilahi. Orang seperti ini, usahanya mendahului ketertarikannya dan disebut dengan ‘muhib’. Mulla Sadra menambahkan bahwa pada wilayah ini, meskipun wilayah tersebut disebut dengan ‘perolehan’, dan hasil dari mujahadah, ibadah, dan riyadhah dari orang tersebut, akan tetapi kecendrungan itu sendiri pada mujahadah dan melaksanakan ibadah, juga merupakan magnetis batiniyah dan Ilahiyah dari Tuhan yang mengajak orang tersebut dari dalam agar mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika magnetis batiniyah ini tidak ada maka orang tersebut tidak akan bisa meninggalkan keinginan-keinginan egoismenya.

Dalam membandingkan pemberian dan perolehan wilayah khusus, Mulla Sadra meyakini bahwa para mahbûb yaitu orang-orang yang memiliki ‘pemberian wilayah khusus’ adalah para muhib itu sendiri, yaitu orang-orang yang memiliki ‘perolehan wilayah khusus’, namun memiliki kesempurnaan yang lebih banyak. Berdasarkan keyakinan tersebut, wilayah menjadi aspek pembeda antara wali dan bukan wali. Ilmu penyaksian argumentatif kepada Allah swt, sifat-sifat-Nya, ayat-ayat-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari kebangkitan merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tidak akan pernah hilang dan sirna. Sadra juga meyakini bahwa meskipun karamah-karamah dan perkara-perkara yang luar biasa bisa terjadi bagi seorang wali, namun hal tersebut tidak terbilang sebagai syarat-syarat wilayah sehingga dengan adanya hal tersebut pada diri seseorang disebut dengan wali, dan jika hal tersebut tidak ada maka wilayah orang tersebut diingkari. Menurut Sadra, perbuatan luar biasa bisa saja muncul bukan dari seorang wali (22, h.487-489).

Teori Imamah

Dalam pembahasan nubuwwah, kami telah mengisyaratkan pandangan Sadra mengenai nubuwwah, wahyu, dan mukjizat. Kami juga telah menentukan beberapa pondasi filsafatnya dalam pembahasan ini. Juga telah kami isyaratkan bahwa dalam filsafat Sadra, terdapat banyak kesamaan antara nabi, imam, dan wali, dan berdasarkan hal ini pertama-tama kami memaparkan terlebih dahulu pandangan Sadra tentang nubuwwah dan setelah itu kami menjelaskan pandangannya tentang imamah.  Pada pembahasan sebelumnya telah kami paparkan tentang nubuwwah. Dalam kesempatan ini, pertama-tama akan kami jelaskan sebagian dari manfaat-manfaat keberadaan seorang imam dalam pandangan Sadra dan selanjutnya akan kami uraikan gagasannya mengenai keniscayaan imamah serta persoalan-persoalan mengenai hal tersebut, dan terakhir, akan kami uraikan pandangannya mengenai keyakinan terhadap mahdawiyah.

3.1 Beberapa Manfaat Keberadaan Imam

Pada akhir pembahasan sifat-sifat nabi telah kami paparkan bahwa Sadra dalam karyanya syarh ushûl kâfî menguraikan beberapa lagi sifat-sifat nabi dan imam. Pembahasan tersebut akan kami uraikan pada pembahasan ini. Sekarang yang ingin kami katakan bahwa meskipun Mulla Sadra dalam menyebutkan sifat-sifat ini meyakini sebagai titik kesamaan antara nabi dan imam. Namun dengan memperhatikan tujuan penulisan pada makalah ini, maka akan lebih baik jika sifat-sifat ini dijelaskan dibawah tema manfaat-manfaat keberadaan seoran imam. Persoalan lainnya, meskipun sifat-sifat ini pada filsafat sebelum Sadra tidak begitu jelas dan tidak begitu detail, namun kita dapat mengatakan dengan jelas bahwa sifat-sifat tersebut dijelaskan secara terang dalam filsafat Sadra dan bukan itu saja, Sadra juga menggunakan sifat-sifat tersebut untuk mengargumentasikan keniscayaan keberadaan seorang imam dan keniscayaan dalam meyakini seorang imam yang hadir pada saat ini. Penelitian lebih dalam pada pandangan Sadra akan membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa keberhasilan dia dalam membuktikan keniscayaan keberadaan seorang imam dan keniscayaan meyakini pada seorang imam yang hadir pada saat ini, terilhami oleh riwayat-riwayat para Imam maksumin yang begitu luas. Mulla Sadra dalam syarh ushûl kâfî menyebutkan sifat-sifat imam seperti hujjah bagi ciptaan, sebagai saksi bagi ummatnya, sebagai orang yang menunjukkan jalan hidayah, sebagai wali amr, dan perbendaharan ilmu.[2] Pada tulisan ini, kami akan membagi sifat-sifat tersebut pada dua bagian; tasyri‘i dan takwînî.

Dalam menjelaskan manfaat tasyri‘i keberadaan imam, ia menyatakan bahwa imam adalah hujjah Tuhan terhadap ciptaan. Dalam mengomentari hadits pertama pada bab ‘anna al-hujjah lâ taqûm lillah ‘ala khalqihi illâ bi al-imâm’ menyatakan bahwa imam adalah hujjah bathiniyah. Matan hadits ini dinukil oleh Dâwûd Al-Râqî dari Imam Mûsa bin Ja‘far sebagai berikut: “hujjah Tuhan bagi ciptaannya tak akan tegak terkecuali dengan keberadaan seorang imam sehingga diri-Nya diketahui” (25, V.1, h.250). Dalam mengomentari hadits ini Mulla Sadra membagi hujjah pada dua bagian; hujjah lahiriyah dan hujjah batiniyah. Hujjah batiniyah adalah cahaya suci (nûr al-qudsî) dan argumentasi ‘arsyî (burhân al-‘arsyî) yang bertajalli pada qalbu sebagian dari orang-orang tertentu, kemudian melalui hal tersebut, orang tersebut akan sempurna dalam persoalan tauhid dan hari akhir (ma‘ad), dan juga akan mengetahui jalan menuju Allah swt dan menjauhi akan azab pada hari kiamat. Namun yang dimaksud dengan hujjah lahiriyah adalah para nabi dan para imam. Menurut Sadra, hanya sebagian kecil saja yang mampu meraih  hujjah batiniyah, maka dari itu mereka membutuhkan hujjah lahiriyah yang diperoleh dengan mentaati para nabi dan para imam agar mereka dapat mengetahui Allah swt serta mengetahui jalan untuk sampai kepada-Nya dan mendapatkan pertolongan dari azab akhirat (18, h.463-464).

Sebagaimana yang disaksikan diatas, Mulla Sadra dalam kesempatan ini menegaskan keberadaan seorang imam berdasarkan faedah tasyrî‘î. Berdasarkan faedah eksistensial tersebut, Mulla Sadra membangun argumentasi-argumentasi pertama, kedua, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan dalam membuktikan keniscayaan keberadaan seorang imam – sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya – serta membuktikan keniscayaan diutusnya para nabi. Mulla Sadra pada tahapan selanjutnya menjelaskan faedah takwini imam dalam mengomentari hadits keempat pada bab ‘anna al-hujjah lâ taqûm lillah ‘ala khalqihi illâ bi al-imâm’. Matan hadits ini dinukil oleh Abân bin Tughlab dari Imam Ja‘far Shâdiq as, bunyinya seperti ini: “hujjah Tuhan telah ada sebelum ciptaan, juga ada pada saat ciptaan, dan juga setelah ciptaan” (25, V.1, h.250-251). Dalam mengomentari hadits ini, Mulla Sadra mengeritik kepada kalangan awam yang mengira para nabi dan para imam diciptakan hanya untuk sebagai hidayah bagi hamba Tuhan. Dalam pandangan Sadra, selain sebagai pemberi hidayah, juga sebagai perantara dalam menciptakan makhluk. Dalam menjelaskan asumsinya, Mulla Sadra menggunakan bangunan filsafatnya yang disebut dengan wujud râbithî (copulative exixstence). Sadra menjelaskan bahwa wujud terbagi menjadi dua bagian: pertama, wujud di dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri, kedua, wujud di dalam dirinya sendiri dan untuk yang lain. ‘Wujud di dalam dirinya sendiri dan untuk yang lain’ disebut dengan wujud râbithî seperti wujud aksiden dimana wujudnya di dalam dirinya sendiri adalah wujud untuk substansinya itu sendiri. Berdasarkan dalil ini, jika substansi sirna maka aksiden pun akan sirna, namun substansi tidak demikian halnya dikarenakan wujud-wujud substansi adalah wujud di dalam dirinya dan untuk dirinya. Meskipun terkadang terdapat wujud yang bersifat relasi seperti jiwa intelek manusia, dimana satu sisi memiliki wujud di dalam dirinya sendiri yang merupakan wujud hakikinya dan di sisi lain memiliki wujud untuk yang lain dimana wujudnya untuk badan jismaninya. Oleh karena itu, ketika jiwa terpisah dari badan, badannya akan sirna akan tetapi hakekat wujudnya tetap saja ada. Menurut Mulla Sadra, wujud para nabi dan para wali demikian halnya, yaitu ke-hujjah-an mereka bagi makhluk dilihat dari aspek relasi tersebut. Oleh karena itu, jika tak ada makhluk maka mereka pun tak akan ada sebagai hujjah bagi makhluk. Namun hal ini tidak melazimkan bahwa hakekat wujudnya sebagai perantara dalam menciptakan makhluk juga akan sirna, bahkan hakekat keberadaan mereka akan abadi. Jadi, dalam pandangan Sadra, jika dilihat dari aspek sebagai perantara dalam penciptaan makhluk maka para imam telah ada sebelum diciptakannya alam ini, dan jika dilihat dari sisi keberadaan mereka sebagai hujjah yang akan menunjukkan jalan hidayah menuju Tuhan maka setelah penciptaan pun mereka tetap ada (18, h.467-468).

Berdasarkan hal diatas, Mulla Sadra membedakan antara faedah tasri‘i imam dan faedah takwînî imam. Berdasarkan hal ini juga maka keberadaan imam sebelum dan setelah penciptaan menunjukkan faedah takwînî imam, dan keberadaan imam dalam menyertai makhluk merupakan faedah tasyri‘i imam. Mulla Sadra membuktikan argumentasi keempat akan keniscayaan keberadaan seorang imam dengan bersandar pada keberadaan imam sebelum penciptaan. Kemudian, Mulla Sadra membangun argumentasi ketiga akan keniscayaan keberadaan imam yang didasarkan pada keberadaan imam setelah penciptaan. Kedua argumentasi tersebut akan dianalisa secara terperinci.

2.3 Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam dalam Setiap Masa

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui gagasan Mulla Sadra mengenai titik persamaan antara imamah dan nubuwwah, juga tentang persoalan kenabian terakhir pada diri Rasulullah saw dan kelanjutan nubuwwah terdapat pada diri seorang imam dalam setiap masa dimana dalam membuktikan asumsi ini, Mulla Sadra mengurai argumentasinya melalui dalil pembuktian akan keniscayaan diutusnya pada nabi dimana dalil tersebut juga digunakan sebagai dalil dalam membuktikan keniscayaan keberadaan seorang imam. Dalam kata lain, sebagaimana yang telah kami uraikan mengenai argumentasi Sadra dalam membuktikan keniscayaan diutusnya seorang rasul bahwa, kebutuhan masyarakat terhadap seorang nabi sebagai perantara antara makhluk dan Tuhan senantiasa terjaga. Dengan memperhatikan sisi kebaikan akan adanya perantara seperti ini serta faedah-faedah yang dihasilkan darinya maka Tuhan niscaya menciptakan dalam setiap masa manusia sempurna sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai perantara antara makhluk dan Tuhan. Begitu juga dengan penjelasan Mulla Sadra tentang kenabian terakhir, meskipun manusia sempurna tersebut tidak menyaksikan malaikat wahyu dan juga tidak mendengar kalam-Nya – karena berdasarkan hal inilah mereka tidak memiliki syariat – akan tetapi mereka mendapatkan ilham, dan dengan tanpa mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor perolehan pengetahuan Ilahi, cahaya ilmu bertajalli pada qalbunya dan dengan perantara hal tersebut dirinya menjadi imam – bukan nabi – yang akan menunjukkan jalan dalam memperoleh hidayah.

Kesimpulan seperti ini – sebagaimana yang telah dianalisa dalam pandangan Sadra mengenai nubuwwah – terlihat dengan jelas dalam uraiannya mengenai nubuwwah dan wilayah. Selain dari hal ini, Mulla Sadra menjelaskan argumentasi-argumentasi secara terpisah dalam membuktikan keniscayaan seorang imam dalam setiap masa dalam syarh ushûl kâfî. Kami akan menjelaskan persoalan ini pada pembahasan beikutnya.

3.2.1 Argumentasi Pertama atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam  

Mulla Sadra menjelaskan argumentasi ini dalam menafsirkan hadits ketiga pada bab ‘al-idhthirâr ila al-hujjah’. Pertama-tama Sadra menjelaskan dengan sebuah perumpamaan yang juga disebutkan pada hadits tersebut sebagai mukaddimah, yaitu jika terdapat perbedaan diantara pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan melalui panca indra – dimana hal ini akan menyebabkan munculnya keraguan apakah pengetahuan tersebut benar atau salah – maka qalbu akan menghilangkan keraguan tersebut yang berfungsi sebagai hakim dan imam. Dengan qalbu keraguan akan disingkirkan dan kebenaran akan diketahui. Jadi, sejauh keberadaan qalbu yang berfungsi dalam menghilangkan pertentangan diantara persepsi-persepsi indrawi adalah maslahat maka Tuhan niscaya menciptakan qalbu bagi manusia. Oleh karena itu, jika dibandingkan pemisalan tersebut dengan keberadaan seorang imam bagi umat Islam ketika terdapat perbedaan, keraguan, dan kejadian-kejadian yang penting, mereka akan merujuk kepada seorang imam dan hal tersebut merupakan maslahat dan kebaikan. Jika hal tersebut adalah maslahat dan merupakan kebaikan maka Tuhan niscaya akan menciptakannya dalam setiap masa, apalagi jika dilihat dari sisi bahwa ilmu Tuhan adalah aktualnya atas segala sesuatu yang niscaya diciptakannya (18, h.401-405).

Analisa terhadap muatan atas argumentasi diatas menunjukkan bahwa argumentasi tersebut merupakan mukaddimah kelima argumentasi atas keniscayaan diutusnya para nabi, dengan satu perbedaan bahwa disini yang dimaksud adalah hanya membuktikan keberadaan seorang imam. Namun dalam setiap kondisi tersebut, sesuatu yang menjadi faktor keniscayaan keberadaan seorang nabi (pada mukaddimah kelima diargumentasikan atas keniscayaan diutusnya seorang rasul) dan imam (dalam argumentasi saat ini) adalah kebutuhan masyarakat terhadap seorang hakim yang dapat memutuskan dan memberlakukan sebuah aturan.

3.2.2 Argumentasi Kedua atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Dalam mengomentari hadits pertama pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’ Mulla Sadra menjelaskan argumentasi para teolog imamiyah tentang keniscayaan keberadaan seorang imam. Sadra menjelaskan bahwa keberadaan seorang imam merupakan sebuah karunia dan anugerah Tuhan terhadap hamba-hambanya. Karena dengan adanya seorang imam sebagai puncak penentu persoalan, maka manusia akan dijauhkan dari perkara-perkara yang buruk dan akan mendekatkan manusia kepada kewajiban-kewajiban mereka. Disisi lain, karunia dan anugerah adalah niscaya bagi Tuhan, maka Tuhan niscaya mengangkat seorang imam (18, h.474-478).

3.2.3 Argumentasi Ketiga atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Dalam mengomentari hadits kesepuluh pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’ Mulla Sadra menjelaskan argumentasi lainnya mengenai kemustahilan pada satu periode tertentu kosong dari keberadaan seorang imam. Mulla Sadra menjelaskan argumentasinya yang didasarkan pada prinsip tingkatan-tingkatan yang berbeda mengenai wujud. Penjelasan argumentasi tersebut sebagai berikut; Tuhan menciptakan berbagai keberadaan dalam tingkatan yang berbeda-beda. Ciptaan Tuhan mulai dari tingkatan yang paling atas hingga tingkatan yang paling bawah. Tuhan telah menginginkan agar masing-masing dari tingkatan tersebut tidak dapat naik pada tingkatan yang lebih tinggi darinya. Berdasarkan dengan hal ini, setiap tingkatan yang lebih tinggi dan lebih mulia merupakan tujuan bagi tingkatan yang ada dibawahnya. Jadi, tujuan eksistensi tanah, untuk sampai pada eksistensi tumbuhan, dan tujuan dari tumbuhan untuk sampai kepada tingkatan hewan, dan tujuan hewan untuk sampai kepada maqam insan. Tujuan manusia sampai kepada derajat imamah atau maqam insan kamil. Oleh karena tujuan yang paling tinggi yang dimaksud adalah sampai pada maqam imamah, maka dapat disimpulkan bahwa tanah beserta apa saja yang ada didalamnya berusaha untuk sampai kepada maqam imam. Segala yang ada tidak akan diciptakan terkecuali dengan maksud tersebut. Di sisi lain, apa saja yang diciptakan untuk sesuatu yang lain, selama sesuatu tersebut belum ada, maka sesuatu yang pertama tersebut juga tidak ada. Jika ada suatu masa alam ini kosong dari imam, bumi ini akan hancur dan sirna (18, h.487-488).

Mulla Sadra tidak menjelaskan lebih jauh argumentasi di atas dan juga tidak menjelaskan secara tegas, apakah yang menyebabkan jika imam tidak ada maka alam beserta isinya akan hancur. Namun dalam pandangan kami, sebagaimana uraian Mulla Sadra dalam argumentasi tersebut, imam berada pada posisi yang paling puncak di antara ciptaan yang ada sehingga menjadi tujuan bagi tingkatan-tingkatan yang ada di bawahnya. Jika diasumsikan bahwa pada suatu periode tertentu alam ini kosong dari imam, maka asumsi ini akan melazimkan tingkatan yang ada di bawah imam tidak memiliki sebab tujuan dan karena sebab tujuan yang merupakan salah satu bagian dari sebab sempurna tidak ada, maka sebab sempurna tidak akan merealitas. Pada akhirnya, akibat yang keberadaannya bergantung kepada sebab sempurna akan sirna. Mulla Sadra juga mengomentari hadits keduabelas pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’ yang dinukil dari Ibn Abî Harâsah dari Imam Muhammad Bâqir as yang bunyi haditsnya: “sebagaimana imam berasal dari bumi, dimana bumi akan tergoncang dengan penduduknya, sebagaimana lautan” (25, V.1, h.253). Selain Mulla Sadra mengisyaratkan hadits ini, juga sekaligus mengomentarinya.

Hadits tersebut menunjukkan secara jelas terhadap apa-apa yang telah disebutkan sebelumnya, keberadaan nabi dan imam bukan hanya sekedar bahwa masyarakat butuh kepada mereka dalam persoalan agama dan dunia semata – meskipun hal tersebut merupakan keniscayaan bagi imam dan nabi – bahkan bumi beserta seisinya bersandar kepada keberadaan imam dan nabi. Karena keberadaan nabi dan imam bagi bumi beserta seisinya merupakan sebab tujuan. Jadi, bumi beserta seisinya tidak akan tegak bahkan sedetik sekalipun terkecuali melalui perantara keberadaan insan kamil (18, h.501-502). Dalam kitabnya mafâtîh al-ghayb Sadra juga menjelaskan yang sedikit banyaknya mirip dengan penjelasan diatas. Pada kitab tersebut Sadra menjelaskan tingkatan imam, wali, dan puncak dari genus-genus dan qualitas-qualitas adalah Rasulullah saw. Menurut Sadra, dikarenakan maksud dari penciptaan genus untuk sampai pada spesis tertentu, dan yang dimaksud dengan spesis tertentu adalah sampai pada jenis tertentu, dan yang dimaksud dengan jenis tertentu adalah sampai pada individu tertentu, maka maksud dari seluruh penciptaan genus-genus, spesis-spesis, dan jenis-jenis tertentu adalah sampai pada individu tertentu yang melingkupi rahmat Ilahi. Individu tersebut bisa jadi nabi, imam, dan yang paling puncak adalah sosok nabi terakhir Rasulullah saw (22, h.481. lihat juga: 21, h.146-148). Oleh karena itu, dari penjalasan ini kita dapat menyimpulkan bahwa jika terdapat suatu masa pada alam ini dimana sosok yang dimaksud yaitu imam atau insan kamil tidak ada, maka seluruh penciptaan akan sia-sia dan tidak memiliki makna, dan perkara ini tidak relevan  dengan Tuhan Yang Maha Bijaksana, dalam kata lain bertentangan dengan hikmah Ilahi.

3.2.4 Argumentasi Keempat atas Keniscayaan Keberadaan Imam

Pada hadits pertama bab ‘annahu law lam yakun fî al-ardh illâ rajulân lakâna ahaduhumâ al-hujjah’ Mulla Sadra menjelaskan argumentasi lainnya tentang ketidakmungkinan suatu masa kosong dari seorang imam yang didasarkan pada kaidah imkân asyraf (possibility of the higher). Dalam menjelaskan argumentasi tersebut Mulla Sadra menjelaskan bahwa keberadaan-keberadaan alam eksistensi yang memiliki tingkatan yang berbeda-beda ini semuanya berasal dari Tuhan. Tingkatan-tingkatan ini di mulai dari tingkatan yang paling tinggi dan mulia hingga pada tingkatan yang paling bawah. Oleh karena itu, pada setiap tingkatan yang tinggi pasti lebih dahulu dibandingkan dengan tingkatan yang ada di bawahnya dan perbandingan ini terjadi pada setiap level tingkatan. Dan dikarenakan di antara tingkatan-tingkatan ini terjadi dengan relasi kausalitas, maka tingkatan yang bawah tidak akan ada terkecuali tingkatan yang ada di atasnya telah ada. Jadi, tingkatan manusia atau yang lebih tinggi dari hal tersebut adalah insan kamil dan imam telah lebih dahulu ada terhadap bumi ini beserta seisinya, bahkan insan kamil adalah sebab bagi bumi dan seisinya. Maka melalui rangkaian ini, jika terdapat suatu periode dimana imam tidak ada, maka bumi yang merupakan akibat darinya juga tak akan ada (18, h.502-503).

Setelah menjelaskan argumentasi diatas, Mulla Sadra menjelaskan sebuah kritikan terhadap teori imkân asyraf bahwa teori ini hanya berlaku pada alam non-materi yang tak memiliki materi dan potensi. Sebab pada alam materi, dikarenakan adanya sisi potensi maka mungkin saja imkân asyraf tidak akan terjadi pada realitas eksternal jika tidak memiliki potensi tertentu atau ada sesuatu yang menghalangi. Dalam menjawab hal tersebut, Mulla Sadra mengingatkan bahwa pembahasan kita berada pada konteks spesis dan natural-natural universal seperti manusia, falak (celestial sphere), dan lain-lain. Kemudian sebagaimana diketahui bersama bahwa prinsip spesis-spesis dan natural-natural universal adalah prinsip kreasi yang secara substansi tidak membutuhkan kepada potensi tertentu. Mulla Sadra kemudian menambahkan; maka bisa saja mereka mengeritik dengan mengatakan bahwa dengan penjelasan tersebut maka argumentasi anda tidak benar, karena hujjah dan bukan hujjah, beserta imam dan masyarakat, semuanya berasal dari satu jenis maka tidak akan ada yang lebih dahulu (taqaddum) dan yang lebih terakhir (taakhkhur). Berdasarkan hal ini, maka tidak ada lagi rangkaian tingkatan eksistensi yang paling rendah hingga tingkatan eksistensi yang paling tinggi. Dalam menjawab kritikan kedua ini, hujjah dan bukan hujjah, serta nabi dan bukan nabi jika dilihat dari sisi material dan badan adalah berada dibawah satu jenis golongan, namun dari sisi spiritual manusia berada dibawah golongan yang berbeda-beda, bahkan perbandingan antara hujjah [insan kamil] dengan manusia-manusia lainnya seperti perbandingan jenis manusia dengan hewan-hewan. Oleh karena itu, menurut Sadra prinsip ini juga berlaku baik bagi persoalan hujjah dan bukan hujjah (18, h.503-504).

3.2.5 Argumentasi Kelima atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Pada surah al-hadîd  ayat 25 Mulla Sadra memiliki penafsiran tentang kelaziman hidayah bagi manusia oleh para nabi dan para wali dimana persoalan ini juga bisa dijadikan sebagai argumentasi atas keniscayaan diutusnya seorang rasul, dan juga bisa dijadikan sebagai argumentasi atas keniscayaan keberadaan seorang imam pada setiap masa. Mulla Sadra menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia pada dua hal; pertama, pengetahuan dia terhadap hakekat-hakekat sesuatu, kedua, memiliki sifat-sifat yang baik dan menjauhi dari hal-hal yang buruk. Menurutnya manusia pada awal penciptaan dan pada saat dia dilahirkan tidak memiliki kesempurnaan tersebut dan hanya orang-orang yang memiliki hubungan dengan emanasi Ilahi yang memperoleh kesempurnaan-kesempurnaan tersebut sehingga perkara-perkara tersebut diketahui melalui ‘wahyu’ dan ‘ilham’. Di sisi lain bagi manusia-manusia lainnya, yaitu mereka yang tidak berhubungan dengan alam malakut maka mereka tidak akan bisa menyempurna menuju jalan keselamatan terkecuali melalui perantara wujud para nabi dan para wali yang memperoleh kesempurnaan-kesempurnaan secara langsung dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam setiap waktu mesti ada nabi atau wali yang akan mengantarkan manusia dalam meraih kesempurnaan-kesempurnaan dan jalan keselamatan (16, V.6, h.275).

3.2.6 Argumentasi Keenam atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Dalam mengomentari hadits kedua pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’ Mulla Sadra memaparkan argumentasi lain dalam membuktikan keniscayaan imamah. Dia menjelaskan bahwa manusia pada umumnya tidak maksum maka mungkin terjadi kesalahan dan kekeliruan pada mereka yang akan berakibat pada penambahan dan pengurangan di dalam agama. Oleh karena itu, mesti ada seorang imam yang akan mengembalikan penambahan tersebut dan yang akan menyempurnakan kekurangan yang ada. Setelah Mulla Sadra menjelaskan argumentasi tersebut, ia menambahkan bahwa boleh jadi ada orang yang mengeritik seperti ini; akal dan pikiran orang merupakan tolak ukur yang mana jika manusia menggunakannya maka dirinya akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan. Jadi, dalam posisi seperti ini manusia tidak membutuhkan seorang imam. Dalam menjawab kritikan ini Mulla Sadra mengatakan bahwa meskipun tolak ukur seperti ini ada akan tetapi dalam kesempatan yang banyak para pemikir sekalipun tidak memperhatikan hal tersebut sehingga banyak kesalahan-kesalahan yang terjadi di dalam pemikiran mereka. Mulla Sadra mencontohkan seperti pandangan para filosof yang saling bertentangan satu sama lain seperti dalam persoalan huduts dan qidamnya alam. Jika tolak ukur yang dimaksud itu cukup maka kesalahan-kesalahan tersebut tidak akan pernah terjadi. Dalam menyempurnakan gagasannya, Sadra menambahkan gagasan lain bahwa sebagian dari rahasia-rahasia agama diluar dari konteks pemikiran dan untuk mengetahui hal tersebut membutuhkan perkara diluar konteks akal yang disebut dengan wilayah dan nubuwwah. Oleh karena itu, jika berkaitan dengan rahasia-rahasia agama maka akal tidak bisa menjadi tolak ukur (18, h.478-479).

3.2.7 Argumentasi Ketujuh atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Dalam mengomentari hadits kelima pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’ Mulla Sadra memaparkan argumentasi lainnya tentang keniscayan keberadaan seorang imam. Matan hadits diriwayatkan oleh Abî Bashîr dari Imam Muhammad Bâqir atau Imam Ja‘far Shâdiq as, bunyi haditsnya sebagai berikut: “ Tuhan tidak akan membiarkan bumi tanpa adanya seorang alim, sebab haq dan batil tidak akan diketahui” (25, V.1, h.252). Mulla Sadra menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘alim’ di dalam hadits ini adalah alim rabbânî dimana ilmunya di dapatkan melalui wahyu dan ilham dalam bentuk ladunni dari Tuhan. Oleh karena itu jika terjadi kekacauan pada alam ini maka dia sama sekali tidak pernah ragu di dalam hatinya. Namun bagi mereka yang ilmunya hanya dengan mendengarkan riwayat-riwayat maka ada kemungkinan terjadi keraguan di dalam hati mereka. Setelah Mulla Sadra menjelaskan pendahuluan ini, Sadra lalu berargumentasi bahwa jika suatu masa alam ini kosong dari alim rabbânî yang merupakan nabi dan imam maka hak dan batil – dalam perkara-perkara akal manusia tidak dapat menjangkaunya – tidak akan diketahui. Oleh karena itu, dalam setiap masa mesti ada seorang nabi atau seorang imam sehingga dengan bantuan ilmu ladunni serta cahaya wahyu dan ilham yang dimilikinya dapat mengetahui hak dan batil (18, h.483).

3.2.8 Argumentasi Kedelapan atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Dalam mengomentari hadits keenam pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’ Mulla Sadra kembali memaparkan argumentasi lain atas keniscayaan keberadaan seorang imam. Dalam menegaskan keniscayaan keberadaan seorang imam di dalam sistem agama dan dunia serta kebutuhan masyarakat kepada seorang imam yang harus ditaati, Mulla Sadra mengatakan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap seorang imam lebih penting dari pada kebutuhan mereka terhadap makanan, pakaian, dan perkara-perkara lainnya. Jadi, jika Tuhan membiarkan pada masa tertentu tanpa adanya seorang imam, maka akan melazimkan salah satu dari ketiga kemungkinan berikut ini; apakah Tuhan tidak mengetahui akan kebutuhan seperti ini pada manusia, ataukah Tuhan tidak mampu menciptakan seorang imam pada masa tersebut, atau Tuhan bakhil dalam melakukan tindakan seperti ini. namun ketiga kelaziman tersebut semuanya batil, maka kesimpulannya bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan bahkan satu detik pun kosong dari keberadaan imam (18, h.483-484).

3.2.9 Argumentasi Kesembilan atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Dalam mengomentari hadits kedelapan pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’ Mulla Sadra menguraikan argumentasi lain atas keniscayaan keberadaan seorang imam dalam setiap masa. Matan Hadits diriwayatkan oleh Abî Bashîr dari Imam Ja‘far Shâdiq as, bunyi haditsnya sebagai berikut; “Tuhan Yang Maha Mulia dan Yang Maha Besar tidak akan membiarkan bumi ini kosong dari seorang imam yang adil” (25, V.1, h.252). Sadra menjelaskan bahwa imam dalam hadits tersebut meliputi rasul dan pengganti rasul. Ia menjelaskan argumentasinya dengan jalan memaknai ke-hujjah-an seorang imam atau rasul. Menurutnya, ke-hujjah-an seorang imam atau rasul adalah bahwa dengan keberadaan mereka manusia bisa mengenal Khaliqnya. Berdasarkan hal ini, jika seorang rasul atau imam tidak ada maka manusia tidak akan mengenal Khaliqnya, dan karena mereka tidak mengenal Khaliq mereka sendiri – dimana qualitas dalam melakukan perbuatan yang akan membuat mereka dekat dengan Tuhan dan perbuatan yang harus diwaspadai yang akan membuat mereka jauh dari Tuhan – maka mereka tidak akan mengetahui-Nya. Oleh karena itu, taklîf (tugas)  merupakan bagian dari pengetahuan atas mukallaf (yang diberikan tugas) dan mukallafun bih (yang memberikan tugas). Jadi taklif, bagi orang yang seperti itu [yang tidak mengenal Khaliqnya] akan terhenti dan jika taklîf terhenti maka akan mengeluarkan dirinya dari batasan insaniyah dan akan memasukkan dirinya pada derajat kebinatangan, dan jika demikian halnya maka dirinya tidak layak mendapatkan ganjaran pahala dan juga tidak akan ditimpa siksaan. Kesimpulannya, agar tidak terjadi kelaziman tersebut maka dalam setiap masa niscaya mesti ada seorang imam (18, h.485-486).

3.2.10 Argumentasi Kesepuluh atas Keniscayaan Keberadaan Seorang Imam

Selain menjelaskan argumentasi diatas, Mulla Sadra juga menjelaskan argumentasi naqlî [argumentasi melalui teks] dalam membuktikan keimamahan 12 imam. Berdasarkan keyakinan syi’ah imamiyah dan sesuai dengan hadits-hadits yang dijelaskan oleh Mulla Sadra pada bab keimamahan para 12 imam yang didasarkan pada keimamahan setelah Rasulullah saw sebanyak 12 orang hingga pada hari kiamat nanti. Penjelasan ini sebagai argumentasi Mulla Sadra pada bab keniscayaan keberadaan seorang imam pada setiap masa yang akan kami jelaskan pada pembahasan selanjutnya.

Pembahasan lainnya bahwa argumentasi ini akan membuktikan dua hal; pertama, jumlah imam sebanyak 12 orang dan hingga hari kiamat nanti tidak akan ada suatu masa dimana pada masa tersebut kosong dari imam, kedua, imam yang keduabelas adalah Imam Mahdi as. Mulla Sadra menjelaskan hadits ini disela-sela mengomentari hadits ketiga pada bab ‘inna al-ardh lâ takhlû min hujjah’. Sadra dalam menegaskan dan menjelaskan bukti-bukti rasional tersebut, ia menukil riwayat-riwayat dari Rasullullah saw baik dari periwayatan ahlussunnah maupun dari syi’ah yang menjelaskan tentang kemustahilan pada suatu masa kosong dari hujjah. Menurut Sadra, meskipun hadits-hadits ini dari sisi kata terlihat beragam akan tetapi dari sisi makna mutawatir. Dalam kesempatan ini kami akan mengisyaratkan hadits-hadits nabi tersebut dimana Mulla Sadra menjadikannya sebagai mukaddimah di dalam argumentasinya: “dunia ini hingga hari kiamat akan senantiasa tegak, bersamanya akan senantiasa benar, kokoh, dan Islam yang benar dan mustaqim akan senantiasa ada. Tuhan meletakkan keimamahan pada keturunan Husain as dan firman Tuhan; dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada-Nya (al-zukhruf;28). “ setelahku akan ada 12 amîr”.” Perintah ini akan senantiasa kekal pada Quraysy hingga sampai pada satu masa hanya tinggal dua orang saja”. “Urusan masyarakat senantiasa dia laksanakan hingga pada suatu masa wilayah mereka diserahkan kepada 12 orang”. “Agama ini tidak akan sempurna hingga diserahkan kepada 12 khalifah”. “Agama ini akan senantiasa jaya dan mulia selama ada 12 khalifah”. “Agama ini akan senantiasa tegak dan kekal hingga hari kiamat dengan adanya 12 khalifah yang seluruhnya dari Quraysy”. “jumlah khalifah setelahku sama dengan jumlah pemimpin bani israil”. “Para imam setelahku mereka adalah itrahku yang jumlahnya sebanyak pemimpin bani israil dimana 9 diantaranya dari keturunan Imam Husain as yang mana Tuhan memberikan kepada mereka ilmu dan pemahaman yang aku miliki, dan yang kesembilan dari keturunan Imam Husain as adalah Imam Mahdi as”. “Mahdi as adalah dari itrahku, dari anak-anak Fathimah as. Bumi ini akan dipenuhi dengan keadilan dengannya sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman”. “dunia ini tidak akan sirna sehingga seorang dari ahlulbaitku yang mana namanya sama dengan namaku dan akan memerintah arab”. Dan “jika dunia ini waktunya hanya tinggal sehari, maka Tuhan akan akan memanjangkan hari tersebut sehingga seseorang dari ahlulbaitku yang mana namanya seperti namaku, pada hari itu dia akan bangkit yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman”.

Setelah Mulla Sadra menyebutkan hadits-hadits tersebut untuk mengeritik perkataan Al-Thayyibî yang mengomentari buku al-misykât bahwa menurut Mulla Sadra hadits-hadits tersebut menunjukkan atas pengkhususan khilafah hanya pada Quraysy. Hadits-hadits tersebut juga bisa menunjukkan sebagai kesimpulan argumentasi naqlî atas keniscayaan keberadaan seorang imam. Sadra mengatakan bahwa seseorang yang akalnya tidak disertai dengan penyakit dan bashirahnya tidak terganggu maka ia akan mengetahui bahwa nash-nash tersebut kebenarannya adalah mutawatir. Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pengganti Rasulullah saw setelahnya adalah 12 imam dan semuanya dari Quraysy. Dengan perantara mereka agama akan tegak hingga akhir kiamat nanti. Jumlah ini dan sifat-sifat ini tidak akan ada kecuali pada imam-imam syi’ah imamiyah. Mereka itulah para aushiya (pengganti) Rasulullah saw. Jadi disini akan terbukti bahwa bumi ini tidak akan kembali dari satu kondisi kepada kondisi yang lain terkecuali Tuhan telah menaruh hujjah di dalamnya (18, h.489-481).

Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, Mulla Sadra menyimpulkan bahwa sesuai dengan nash-nash yang mutawatir menunjukkan bahwa hingga akhir kiamat nanti terdapat 12 imam dari ahlulbait Rasulullah saw yang akan memiliki wilayah tertentu bagi manusia dan tidak ada satu masa kosong dari seorang imam.

4.Keyakinan Terhadap Mahdawiyah

Dari pembahasan sebelumnya telah diketahui bagaimana pandangan Mulla Sadra tentang  nubuwwah, wilayah, dan imamah, khususnya keniscayaan keberadaan seorang imam dalam setiap masa. Juga tentang pembahasan Sadra mengenai para imam syi’ah imamiyah yang didasarkan pada hadits-hadits nabi yang selanjutnya akan menunjukkan dengan jelas pandangannya mengenai Imam Mahdi as sebagai imam saat ini. Pada pembahasan ini kami bermaksud untuk menjelaskan pertama-tama pandangan Sadra mengenai Imam Mahdi as, dan setelah itu kita akan melihat pembelaan dirinya terhadap kegaiban imam yang keduabelas serta jawaban Sadra terhadap kritikan keberadaan imam keduabelas.

4.1 Mengenai Imam Keduabelas

Dalam menafsirkan surah al-hadid ayat 27 yang berkaitan dengan imam keduabelas, Mulla Sadra mencoba mengisyaratkan bahwa sunnah Ilahi selamanya berjalan sejak pertama dari Nabi Adam, Nuh, dan keluarga Nabi Ibrahim as hingga sampai pada masa Rasulullah saw, dan setelah kenabian terakhir, melalui jalan wilayah yang merupakan batin dari nubuwwah itu sendiri berlaku hingga hari kiamat nanti. Dia menjelaskan bahwa berdasarkan hal inilah alam ini tidak pernah kosong dari sunnah Ilahi yaitu adanya seorang wali. Menurutnya, wali Tuhan memiliki ilmu Ilahi yang akan memangku secara mutlak kepemimpinan dalam perkara dunia dan agama, baik wali ini akan ditaati oleh masyarakat atau pun tidak, dan baik secara lahiriyah dan nampak atau tidak, apapun bentuknya dan dalam setiap masa senantiasa ada hujjah yang merupakan sunnah Ilahi dari Tuhan. Selanjutnya Sadra menjelaskan bahwa sebagaimana nubuwwah berakhir pada Rasulullah saw, wilayah pun akan berakhir pada Imam Mahdi as sebagai keturunan terakhir Rasulullah saw yang mana namanya sama dengan Rasulullah saw, dan kemunculannya akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman (16, V.6, h.298).

Dalam syarh ushûl kâfî dalam mengomentari hadits keduapuluhsatu dari kitab al-‘aql wa al-jahl Mulla Sadra menjelaskan pembahasan tentang imam keduabelas. Salah satunya Sadra menjelaskan hadits dari Imam Muhammad Bâqir as yang berbunyi: “karena al-qâim kami bangkit maka Tuhan akan meletakkan tangan rahmat-Nya diatas kepala hamba-hamba-Nya, sehingga akal mereka menyatu dan pada akhirnya intelek mereka akan sempurna” (25, V.1, h.29)”. Mulla Sadra menjelaskan bahwa al-qâim yang dimaksud adalah Imam Mahdi as yang masih hidup hingga saat ini akan tetapi tersembunyi dari penglihatan kita. Wujudnya tak akan lemah, sakit, dan menjadi tua. Namun jangan diasumsikan bahwa ruhnya terpisah dari badannya, bahkan dia makan, minum, berkata-kata, bergerak, berdiri, berjalan, duduk, dan menulis. Mulla Sadra menganggap kehidupan Imam Mahdi as seperti kehidupan Nabi Isa as. Mereka yang mengingkari keberadaannya karena pengetahuan mereka pendek, iman mereka lemah, atau mereka tidak memperoleh pengetahuan yang secukupnya mengenai kegaiban tersebut sehingga mereka mengingkarinya atau meragukannya. Menurutnya, banyaknya berita-berita dan riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan bahwa kemunculannya pasti terjadi, meskipun umur dunia hanya tinggal sehari saja (17, h.558-559).

Mulla Sadra meyakini bahwa jika dilihat dari sisi bahwa tidak ada hijab yang menghalangi mata batinnya maka Imam Mahdi as menyaksikan perkara-perkara tersebut sebagaimana adanya di dalam ilmu Tuhan. Jadi, dia dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara ulama ilmu agama dan mengganti beragam hukum yang berbeda-beda dengan hukum yang satu. Berdasarkan hal ini maka pada masanya hanya ada satu mazhab saja sebagaimana pada masa Rasulullah saw (22, h.487).

4.2 Jawaban atas Kritikan Kegaiban Imam Keduabelas

Terdapat kritikan terhadap keyakinan imamiyah bahwa keberadaan seorang imam merupakan karunia dan anugerah. Oleh karena karunia bagi Tuhan adalah niscaya maka keberadaan imam adalah keniscayaan. Namun mesti dikatakan bahwa hanya sekedar keberadaan imam bukanlah karunia, namun seorang imam dimaknai sebagai anugerah jika memiliki otoritas undang-undang dan menjalankannya. Dalam kata lain, seorang imam hanya bisa dimaknai sebagai anugerah jika berkaitan langsung dengan umat akan tetapi hal tersebut tidak diyakini oleh imamiyah dan menganggapnya tidak wajib.

Sebagaimana yang anda lihat, kritikan ini dikhususkan kepada keimamahan imam yang keduabelas dimana kegaiban dirinya berarti tidak bersentuhan secara langsung dengan umat. Namun imamiyah meyakini bahwa keberadaannya merupakan karuniyah dan melalui jalan ini mereka membuktikan keberadaan dan keimamahannya. Dalam kata lain, jika kritikan mereka diterima bahwa imam hanya memiliki makna jika imam berhubungan langsung dengan umat maka keimamahan Imam Mahdi as akan ternafikan.

Jawaban para teolog imamiyah sebagaimana yang dinukil oleh Mulla Sadra bahwa, keberadaan imam itu sendiri merupakan karunia Ilahi baik itu berhubungan langsung dengan umat atau pun tidak. Sebenarnya penghalang dari imam tidak bersentuhan langsung dengan umat dikarenakan umat itu sendiri, oleh karena mereka tidak menaatinya. Mereka takut terhadap jiwa mereka sendiri sehingga mereka tidak akan menolong imam, dan akibatnya mereka sendiri menjadi penghalang sehingga imam tidak bisa bersentuhan langsung dengan umat. Setelah menjelaskan gagasan para teolog, Mulla Sadra menambahkan bahwa para filosof dan urafa dengan menggunakan prinsip-prinsip akal dan ayat-ayat Qur’an sampai pada sebuah hakekat bahwa di bumi senantiasa harus ada hujjah. Melalui hujjah tersebut maka nabi, rasul, imam, dan washî senantiasa ada dan sunnah Ilahi selalu berjalan dalam sepanjang sejarah dari Nabi Adam as hingga Rasulullah saw. Mulla Sadra mengatakan, mereka meyakini bahwa setelah Rasulullah saw sebagai nabi terakhir harus ada seorang imam. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan berakhirnya kenabian maka imamah akan dimulai sebagai batin dari nubuwwah. Seorang imam memiliki pengetahuan terhadap kitab Ilahi serta memiliki maqam kepemimpinan mutlak dalam persoalan agama dan dunia, baik itu umat menerima keimamahan dan kepemimpinannya atau pun tidak. Pada hakekatnya dia adalah seorang imam dan pemimpin mutlak (18, h.475-476). Sebagaimana yang terlihat pada pembahasan sebelumnya, dalam menafsirkan surah al-hadid ayat 27 Mulla Sadra telah menjelaskan persoalan tersebut tanpa mengisyaratkan kritikan tersebut, bahkan Sadra lebih menekankan bahwa Imam Mahdi as sebagai salah satu pembawa sunnah Ilahi.

Dari gagasan Mulla Sadra dapat disimpulkan bahwa keimamahan tidak disyaratkan pada bersentuhan secara langsung kepada umat. Bahkan imam adalah seorang imam, meskipun tidak seorang pun menerima perintahnya. Maka demikian halnya dengan Imam Mahdi as, meskipun tidak bersentuhan secara langsung dengan umat namun dia adalah imam pada saat ini.

Mulla Sadra dalam akhir penafsirannya surah al-hadid ayat 27 memaparkan dua kritikan dari ahlussunnah mengenai penolakan mereka terhadap keberadaan dan keimamahan imam keduabelas. Kritikan pertama, berkaitan dengan umur Imam Mahdi as yang sangat panjang. Mulla Sadra menjawabnya dengan mengambil perumpamaan yang masyhur seperti usia Nabi Adam as dan Nabi Nuh as yang juga cukup panjang, maka Imam Mahdi as juga dimungkinkan untuk memiliki umur yang panjang . Kritikan kedua, kritikan ini biasanya kita temukan dalam kitab-kitab kalam imamiyah yang telah banyak dibahas dan juga telah dijawab oleh para teolog imamiyah. Berdasarkan hal ini, keyakinan terhadap keberadaan seorang imam tidak akan memiliki faedah bagi mereka yang tidak sampai kepada persoalan tersebut dan juga bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan dalam mempertanyakan  persoalan-persoalan agama. Dalam menjawab persoalan tersebut Mulla Sadra menjelaskan bahwa hanya sekedar memiliki pengetahuan terhadap imamah dan kepemimpinan serta meyakini akan keberadaan dirinya bahwa imam adalah khalifah Tuhan di bumi akan memberikan manfaat, dan tidak lazim bahwa imam mesti disaksikan. Dalam menegaskan hal tersebut Mulla Sadra menjelaskan bahwa pada masa hayat Rasulullah saw terdapat sebagian orang – seperti Uways Qaranî – yang meyakini dan beriman kepada keberadaan dan kenabian Rasulullah saw tanpa pernah melihat wujud Rasulullah saw dan keimanan tersebut memberikan manfaat kepada Uways. Selanjutnya Mulla Sadra menukil sebuah hadits dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Jâbir bin ‘Abdullah  Anshârî mengenai manfaat keberadaan Imam Mahdi as: suatu ketika Rasulullah mengingatkan Imam Mahdi as dan kemudian bersabda: dia adalah seseorang dimana Tuhan memberikan kekuasaan di  tangannya segala yang ada di timur dan barat bumi. Namun dia gaib dari para pengikutnya terkecuali bagi orang-orang yang telah diuji qalbunya dengan keimanan oleh Tuhan. Jâbir berkata; wahai Rasulullah, apakah dalam kegaibannya memberikan manfaat bagi para pengikutnya ? Rasulullah saw menjawab; benar, aku bersumpah, demi Allah yang telah mengutusku dengan kebenaran, para pengikutnya akan mendapatkan sinar dari cahayanya, dan dari wilayahnya dalam kegaibannya akan mendapatkan manfaat sebagaimana manusia mendapatkan manfaat dari matahari meskipun ada awan yang menghalanginya (16, V.6, h.301-302).

Berdasarkan sabda Rasulullah saw, Mulla Sadra meyakini bahwa Imam Mahdi as meskipun dalam masa kegaiban akan tetapi keberadaannya bagi para mukmin dan bagi para pengikutnya memiliki manfaat, mereka akan memperoleh manfaat melalui cahaya wilayahnya pada masa kegaibannya. Dalam mengomentari hadits kelima pada bab ‘annahu law lam yakun fî al-ardh illâ rajulân lakâna ahaduhumâ al-hujjah’ yang dinukil dari Yûnus bin Ya‘qûb dari Imam Ja‘far Shâdiq as: “jika di bumi ini hanya ada dua orang, maka salah satunya pastilah seorang imam” (25, V.1, h.254), Mulla Sadra mengisyaratkan sebuah pemahaman dari manfaat keberadaan seorang imam yang gaib. Ia menjelaskan bahwa keberadaan imam itu sendiri dalam setiap masa merupakan hidayah. Sekarang, jika manusia tidak mendapatkan hidayah dari keberadaan dirinya dan tidak mendapatkan sinaran dari cahayanya, maka hal tersebut disebabkan oleh manusia itu sendiri, bukan imam. Sadra menjelaskan bahwa tidak terhidayahinya manusia dikarenakan oleh hijab antara dirinya dengan imam. Hijab tersebut adalah dominasi syahwat terhadap jiwa-jiwa mereka. Jika Tuhan melalui rahmat-Nya mengangkat hijab tersebut, maka manusia akan mendapatkan hidayah dengan cahaya hidayahnya (18, h.507-508).

Kesimpulan

Setelah menganalisa pandangan Mulla Sadra mengenai mahdawiyah dan keniscayaan keberadaan seorang imam dalam setiap masa, dan membandingkan pemikirannya dengan pandangan kaum mutakallimin dan para filsuf lainnya, maka terlihat dengan jelas argumentasi kedua Mulla Sadra dalam membuktikan keniscayaan imamah adalah argumentasi dari para mutakallim[3] seperti Syekh Mufîd (14, h.347 / 15, h.39-40), Sayyid Murtadha (10, h.410 / 11, V.2, h.294 / 12, h.35-36), Khajah Nashîruddin Thûsî (29, h.204 dan 221 / 30, h.407 / 31, h.427-428 / 32, h.36-39 / 33, h.460). Al-Farâbî (24, h.112-114). Ibn Sînâ (1, V.3, h.271 / 2, h.441-443 / 3, h.338-340), Syekh Isyrâq (4, V.3, h.75 / 5, V.1, h.95-96 / 7, V.2, h.270-271 / 8, V.4, h.238 / 9, V.3, h.453-455) juga dikarenakan Mulla Sadra tidak meyakini perbedaan secara mendasar antara nubuwwah dan imamah, maka Sadra menggunakan satu argumentasi yang sama dalam membuktikan keniscayaan keberadaan seorang nabi atau imam dalam setiap masa. Dia menjelaskan pembahasan tersebut sebagai mukaddimah kelima argumentasi Mulla Sadra atas keniscayaan diutusnya para nabi. Selain Syekh Isyrâq menggunakan argumentasi ini, di dalam karyanya hikmah al-isyrâq (6, V.2, h.11) menjelaskan pembahasan lain mengenai kelaziman keberlangsungan wilayah dan keberadaan seorang wali dalam setiap masa sebagai pembawa sunnah Ilahi. Uraiannya sesuai dengan gagasan Mulla Sadra mengenai keberadaan Imam Keduabelas sebagai pembawa sunnah Ilahi. Begitu juga dengan Mîrdâmâd dalam beberapa karyanya (26, h.34 / 27, h.396) juga menjelaskan mengenai posisi dan peranan yang agung Rasulullah saw yang sedikit banyaknya seperti argumentasi Mulla Sadra yang ketiga.

Argumentasi naqlî Mîrdâmâd dalam membuktikan kelaziman wujud para imam 12 dan imam keduabelas (2, h.19-21) secara keseluruhan sesuai dengan argumentasi kesepuluh Mulla Sadra. Kesimpulan yang bisa diraih dari gagasan Mulla Sadra dengan membandingkannya dengan gagasan-gagasan para mutakallim dan para filsuf sebelumnya bahwa, gagasan Sadra bukan hanya sebagai gagasan utuh dan menyeluruh dalam persoalan mahdawiyah, bahkan gagasannya mengandung gagasan yang mendalam dan argumentasi-argumentasi baru seperti argumentasi pertama, keempat, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan begitu juga dengan persoalan-persoalan dalam pembahasan-pembahasan keyakinan terhadap mahdawiyah beserta jawaban yang diberikan terhadap kritikan atas kegaiban imam keduabelas.

Pustaka

1.      Ibn Sîna, Abû ‘Alî Husayn bin ‘Abdillah, (1379 H), Al-isyârât wa al-tanbîhât, ma‘a syarh Nashiruddin Thûsî wa Quthbuddin Râzî, V.3, Tehran, Penerbit; Al-Haydarî.
2.      ----------, (1380 H / 1960 M), Al-Syifâ (al-ilahiyât), pengantar; Ibrahim Madkur, tahqiq al-ab qinwâtî wa sa‘id zâyid, Mesir, Penerbit; al-hayah al-‘ammah lisyuun lilmathâbi‘ al-amîriyah (buku ini juga bisa didapatkan di Qom, pada perpustakaan A. Al-Uzma Mar‘asyî Al-Najafî, 1404 H).
3.      ----------,(1405 H / 1985 M), al-najâh, pengantar; Mâjid Fakhrî, Beirut, Penerbit; dâr al-âfâq al-jadidah, cetakan pertama.
4.      Syuhrawardî, Syahâbuddin Yahya, (1380), Partû Nâmeh, (Majmu‘eh Mushannifât Syekh Isyrâq), V.3, Pengantar; Sayyid Husayn Nasr, Pengantar bahasa Perancis; Henry Corban, Tehran, Penerbit; Pezuhesyga-e ulum-e insanî va muthâle‘ât-e Farhanggî, Cetakan ketiga.
5.      ---------------,(1380 H), al-talwîhât, (Majmu‘eh Mushannifât Syekh Isyrâq), V.1, Pengantar; Henry Corban, Tehran, Penerbit: Pezuhesyga-e ulum-e insanî va muthâle‘ât-e Farhanggî, Cetakan ketiga.
6.      ---------------,(1380 H), hikmah al-isyrâq, (Majmu‘eh Mushannifât Syekh Isyrâq), V.1, Pengantar; Henry Corban, Tehran, Penerbit: Pezuhesyga-e ulum-e insanî va muthâle‘ât-e Farhanggî, Cetakan ketiga.
7.      ---------------,(1380), fî i‘tiqâd al-hukamâ’, (Majmu‘eh Mushannifât Syekh Isyrâq), V.2, Pengantar; Henry Corban, Tehran, Penerbit: Pezuhesyga-e ulum-e insanî va muthâle‘ât-e Farhanggî, Cetakan ketiga.
8.      ---------------,(1380), allamahât, (Majmu‘eh Mushannifât Syekh Isyrâq), V.4, Pengantar; Najafquli Habibi, Tehran, Penerbit: Pezuhesyga-e ulum-e insanî va muthâle‘ât-e Farhanggî, Cetakan ketiga.
9.      ---------------,(1380), yazdân syenakht, (Majmu‘eh Mushannifât Syekh Isyrâq), Pengantar; Sayyid Husayn Nasr dan pengantar bahasa perancis; Henry Corban, Tehran, Penerbit: Pezuhesyga-e ulum-e insanî va muthâle‘ât-e Farhanggî, Cetakan ketiga.
10.   Al-Sayyid Al-Murtadha, Abî Al-Qâsim ‘ali bin Al-Husayn,(1411 H), al-zakhîrah fî ‘ilm al-kalam, Tahqiq; Al-Sayyid Ahmad Al-Husaynî, Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islâmî.
11.  ----------,(1410 H), risâlah fî ghaybah al-hujjah, rasâil al-syarîf al-murtadha, Tahqiq; Al-Sayyid Ahmad Al-Husaynî, V.2, Qom, Dâr Al-Qur’an. 
12.  ----------,(1374), al-muqni‘ fî al-ghaybah, Tahqiq; Muhammad Ali ‘Al-Hakim, Qom, Penerbit; Muassasah Ali Al-Bayt ‘Alayhimussalam lilahyâi Al-Turâts.
13.  Al-Sayûrî Al-Hillî, Jamâluddin Miqdâd bin ‘Abdillah,(1420 H/ 1378 HS), al-anwâr al-jalâliyah fî syarh al-fushûl al-nashîriyah, Tahqiq; ‘Ali Hâjî Abâdî va ‘Abbâs Jalâlî Niyâ, Masyhad, Penerbit; Al-Ustânah Al-Radhawiyah Al-Muqaddasah, Majma‘ Al-Bahûts Al-Islamiyyah, Al-Thab‘ah Al-Ula.
14.  Al-Syekh Al-Mufîd, Muhammad bin Muhammad bin Al-nu‘mân,(1410 H), Al-Irsyâd, Beirut, Penerbit; Muassasah Al-‘ilmî lilmathbû‘ât, Al-Thab‘ah Al-Tsâlitsah.
15.  ----------,(1413 H), al-nakt al-i‘tiqâdiyah, Tahqiq; Ridhâ Mukhtârî, Al-Mu’tamir Al-‘âlimî Al-Syekh Al-Mufîd.
16.  Shadrul Mutaallihîn, Shadruddin Muhammad Syîrazî,(1380 H), tafsîr Al-Qur’an Al-Kârîm, V.6, Tashhih; Muhammad Khajawî, Qom, Penerbit; Bîdâr, Cetakan ketiga.
17.  ----------,(1366), syarh ushûl kâfî (kitâb al-‘aql wa al-jahl), Tashhih; Muhammad Khajawî, Tehran, Muassasah Muthale‘ât-e va Tahqîqât-e Farhanggî, Cetakan Pertama.
18.  ----------,(1367), syarh ushûl kâfî (kitâb fadhl al-‘ilm wa kitâb al-hujjah), Tashhih; Muhammad Khajawî, Tehran, Muassasah Muthale‘ât-e va Tahqîqât-e Farhanggî, Cetakan Pertama.
19.  ----------,(1382), al-syawâhid al-rubûbiyah fî al-manâhij al-sulûkiyah, Tashhih, tahqiq, dan pengantar; Sayyid Mushtafa Muhaqqiq Damâd, Tehran, Penerbit; Bunyâd Hekmat-e Islamî Shadrâ, Cetakan Pertama.
20.  ----------,(1381), al-mabda’ wa al-ma‘ad, Tashhih, tahqiq, dan pengantar; Muhammad Zabîhî dan Ja‘far Syah Nazarî, V.2, Tehran, Penerbit; Bunyâd Hekmat-e Islamî Shadrâ, Cetakan Pertama.
21.  ----------,(1378), al-mazâhir al-ilahiyah fî asrâr al-‘ulûm al-kamâliyah, Tashhih, tahqiq, dan pengantar; Sayyid Muhammad Khamenei, Tehran, Penerbit; Bunyâd Hekmat-e Islamî Shadrâ, Cetakan Pertama.
22.  ----------,(1363), mafâtîh al-ghayb, ma‘a ta‘lîqât lilmaula ‘ala al-nûrî, Tashhih, tahqiq, dan pengantar; Muhammad Khajawî, Tehran, Penerbit; Bunyâd Hekmat-e Islamî Shadrâ, Cetakan Pertama.
23.  Al-‘Allamah Al-Hillî, Hasan bin Yûsuf bin Mathhar Hillî,(1422 H), kasyful murâd fî syarh tajrîd al-i‘tiqâd, Tashhih, tahqiq, dan pengantar; A. Hasan Hasan Zâdeh Amulî, Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islamî, Al-Thab‘ah Al-Tâsi‘ah.
24.  Al-Farâbî, Abû Nasr Muhammad bin Muhammad,(1995 M), Arâ’ Ahlul Madinah Al-fâdhilah, Pengantar; ‘Ali Bûmulhim, Beirut, Dâr wa maktabah al-hilâl.
25.  Al-Kulaynî Al-Râzî, Abî Ja‘far Muhammad bin Ya‘qûb bin Ishâq,(1389 H / 1348 HS), ushûl kâfî, tarjemah va syarh; Sayyid Javad Mushthafavî, V.1, Qom, Penerbit; Daftar-e Nasyr Farhangg-e Ahl-e Bayt ‘Alayhimussalam.
26.  Mîrdâmâd, Muhammad Bâqir bin Muhammad,(t.t), al-rawâsyih al-samâwiyah fî syarh ahâdîts al-imâmiyah, Penerbit; Sanggî.
27.  ----------,(1374), nibrâs al-dhiyâ wa taswâ’ al-sawâ’ fî syarh bâb al-badâ’ wa itsbât al-jadwî al-du‘â’, Ta‘lîqât; Al-Malâ ‘Ala Al-Nûrî, Tahqîq wa Tashhîh; Hâmid Nâjî Ishfahânî, Tehran, Penerbit; Hejrat, Daftar-e Mirâts-e Maktûb, Cetakan Pertama.
28.  ----------,(1374 H), al-qabasât, Kumpulan Penulis; Mahdi Muhaqqiq, Sayyid ‘Ali Musawi Bahbahani, Toshihiko Izutsu, Ibrahim Dîbâjî, Tehran, Penerbit; Muassasah Intisyârât va Câp-e Dânesygâh-e Tehran, Cetakan Kedua.
29.  Nashîruddin Thûsî, Abû Ja‘far Muhammad bin Muhammad,(1406 H), Tajrîd Al-i‘tiqâd, Tahqîq; Muhammad Jawâd Al-Husaynî Al-Jalâlî, Qom, Penerbit; Markaz Al-Nasyr wa Maktab Al-a‘lâm Al-Islâmî, Al-Thab‘ Al-Ula.
30.  ----------,(1359), Talkhîs Al-Muhashshal, Editor; ‘Abdullah Nûrânî, Tehran, Muassasah Muthâle‘ât-e Islamî Dânesygâh-e MiccGail Syu‘beh Tehran Bâ Hamkârî Dânesygâh-e Tehran, Cetakan Pertama.
31.  ----------,(1359), Risâlah Al-Imâmah, Talkhîs Al-Muhashshal, Editor; ‘Abdullah Nûrânî, Tehran, Muassasah Muthâle‘ât-e Islamî Dânesygâh-e MiccGail Syu‘beh Tehran Bâ Hamkârî Dânesygâh-e Tehran, Cetakan Pertama.
32.  ----------,(1335), Fushûl Khajah Thûsî wa terjemeh tâzî an, Editor; Muhammad Taqî Dânesypezuh, Tehran, Penerbit; Intisyârât-e Dânesygâh-e Tehran.
33.  ----------,(1359), Qawâ‘id Al-‘aqâid, Talkhîs Al-Muhashshal, Editor; ‘Abdullah Nûrânî, Tehran, Muassasah Muthâle‘ât-e Islamî Dânesygâh-e MiccGail Syu‘beh Tehran Bâ Hamkârî Dânesygâh-e Tehran, Cetakan Pertama                 

Catatan:

[1] Telaah lebih lanjut pandangan para mutakallim dan para filsuf Islam mengenai mengenai keyakinan terhadap mahdawiyah serta perbandingan diantara pandangan yang beragam mengenai hal ini, bisa merujuk kepada; barrasî masaleh-ye mahdaviyat dar falsafe va kalam-e Islâmî, karya thesis ; Purbehrâmî, Asghar, penerbit; muassaseh pezuhesy-e hekmat va falsafe-ye Iran, Syahrivar 1383.
[2] Telaah mengenai pandangan Mulla Sadra mengenai kesaksian imam terhadap ummatnya. Silahkan merujuk ke syarh ushûl kâfî (kitâb fadhl al-‘ilm wa kitâb al-hujjah), h587-607. Telaah mengenai pandangan Sadra bahwa imam sebagai pemberi petunjuk, silahkan merujuk kepada buku yang sama, h.607-615. Sedangkan untuk mengetahui lebih lanjut pandangan Sadra mengenai wali amr dan sebagai perbendaharaan pengetahuan, silahkan merujuk pada buku yang sama, h.616-617  
[3] Untuk menghindari dari pengulangan pembahasan, kami tidak akan menguraikan argumentasi para mutakallim dan para filsuf, kami cukupkan dengan menyebut referensi-referensi.

(Penerjemah: M. Nur Jabir. Sumber: Jurnal al Qurba)

Tidak ada komentar: