Bagian Pertama
“Ini ‘Ali adalah pembantuku, washiy (penerima
wasiat)-ku, dan khalifahku sepeninggalku.”
Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki
Syi’ah adalah golongan
yang berpegang teguh pada Sunnah Nabawiyah yang bersumber dari penghulu para
nabi Saw –dan mereka sedikit pun tidak akan pernah berpaling darinya selamanya.
Mereka berpegang pada al- ‘urwâtul wusqâ (buhul tali yang amat kuat),
berjalan pada jalannya yang lurus –dan mengambil dari para imam yang suci yang
dipelihara dari kesalahan dan dosa (al-ma’shumin). Mereka mengikuti
Sunnah yang tidak ada keraguan dan kebimbangan di dalamnya –Sunnah yang lurus
yang tidak ada kebengkokan padanya. Mereka hanya mengambil riwayat hadis dari
jalur para imam mereka dengan sanad yang kuat dan dipercaya –dari imam yang
maksum dan juga sepertinya dan demikian seterusnya sampai Rasulullah Saw dari
Jibril –dari Allah Yang Maha Agung.
Para sejarawan tidak
pernah meriwayatkan kepada kita bahwa seorang pun dari para imam Ahlulbait itu
mengambil atau berguru kepada seorang sahabat, tabiin, atau lainnya. Bahkan,
orang-orang yang berguru kepadanya –sedangkan para imam Ahlulbait tidak pernah
berguru kepada seorang pun.
Imam Ja’far ash-Shadiq As berkata: “Sungguh mengherankan orang-orang itu,
mereka berkata bahwa mereka mengambil ilmu mereka semuanya dari Rasulullah Saw
lalu mereka mengetahuinya dan mendapatkan petunjuk. Mereka memandang bahwa kami
Ahlulbait tidak mengambil ilmu Rasulullah Saw dan tidak mendapatkan petunjuk
dengannya. Sesungguhnya kami adalah keluarga dan keturunannya, di rumah kamilah
wahyu turun, dan dari rumah kami pula ilmu menyebar kepada manusia. Maka,
apakah kalian berpendapat bahwa mereka mengetahui dan mendapatkan petunjuk,
sedangkan kami bodoh dan sesat?”
Imam Muhammad al-Baqir As berkata: “Seandainya kami menceritakan kepada
orang-orang dengan pendapat dan hawa nafsu kami –niscaya kami akan binasa. Akan
tetapi, kami menceritakan kepada mereka dengan hadis-hadis yang kami
menyimpannya dari Rasulullah Saw sebagaimana mereka menyimpan emas dan perak
mereka.”
Imam Ja’far ash-Shadiq As berkata: “Hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku
adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis al-Husain, hadis al-Husain
adalah hadis al-Hasan, hadis al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin (‘Ali As),
hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah, dan hadis Rasulullah adalah
firman Allah.”
Imam Ja’far ash-Shadiq As juga berkata: “Barang siapa menceritakan hadis dari
kami, niscaya pada suatu hari kami akan menanyakannya. Apabila dia berkata
benar tentang kami, maka sesungguhnya dia berkata benar terhadap Allah dan
Rasul-Nya. Akan tetapi, apabila dia mengada-adakan kedustaan terhadap kami,
maka sesungguhnya dia mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Sebab, kami apabila meriwayatkan hadis, kami tidak berkata, “Berkata fulan dan
fulan”. Akan tetapi, kami berkata, “Allah berfirman dan Rasul-Nya bersabda.”
Selain itu, Syi’ah hanya mau menerima hadis yang tidak
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh para imam Ahlulbait dan tidak
pula bertentangan dengan al-Quran.
Sebab, mereka mengetahui secara yakin apa yang terjadi pada masa kekuasaan Bani
Umayyah, khususnya pada masa tirani Mu’awiyah, yaitu suatu masa yang hadis
menjadi barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Pada masa itu, seorang perawi hadis dibayar nilai hadisnya sesuai
dengan kadar pengaruhnya pada jiwa, seperti pujian dan celaan.
Di antaranya hadis yang
diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan Mu’awiyah, “Yang dipercaya itu ada
tiga, yaitu: aku, Jibril, dan Mu’awiyah.”
Di antaranya hadis Fathu
Makkah (Penaklukan Makkah), yaitu, “Barang siapa yang masuk rumah Abu
Sufyan, maka dia aman,” seakan-akan rumahnya menjadi tempat yang suci, seperti
Baitul Haram.
Di antaranya,
khutbah-khutbah yang berisikan cacian kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi
Thalib As dan keluarganya –bahkan cacian ini mencapai tujuh puluh ribu mimbar,
sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai sumber Ahlus Sunnah.
Oleh karena itu, Syi’ah
tidak mau menerima riwayat-riwayat dari mereka para perawi pembohong dan
pemalsu hadis. Pada masa yang diliputi kegelapan tersebut, Mu’awiyah telah
menamakan dirinya, demikian juga para pengikutnya, “Ahlus Sunnah wal Jamaah”
sebagai tipu muslihat terhadap Syi’ah ‘Ali. Akan tetapi, pada hakikat dan
realitasnya, Syi’ah-lah yang layak
disebut sebagai Ahlus Sunnah karena mereka mengambil Sunnah dari sumbemya
yang murni, yaitu para imam Ahlulbait, yang sumbemya dari Rasulullah Saw.
Mereka menerima hadis para imam Ahlulbait tersebut tanpa keraguan sedikit pun –dan
mereka senantiasa bertanya kepada mereka (para imam Ahlulbait) tentang segala
sesuatu yang mereka butuhkan.
Misalnya, Imam Ja’far Ash-Shadiq
As, berkumpul di sekeliling tokoh-tokoh ulama terkemuka yang jumlah yang sangat
besar. Bahkan, Abul Hasan al-Wasya berkata kepada sebagian penduduk Kufah, “Aku
menjumpai dalam masjid ini, yaitu Masjid Kufah, empat ribu Syaikh dari kalangan
ahli wara’ dan agama, yang semuanya berkata, “Imam Ja’far bin Muhammad
menceritakan kepadaku.”
Berikut ini, kami akan
menyebutkan kepadamu sebagian hadis yang menjadi bukti kebenaran keyakinan
Syi’ah, yang kami akan meriwayatkannya dari sumber-sumber Ahlus Sunnah.
Hadis Peringatan
Nabi Saw bersabda: “Ini ‘Ali adalah pembantuku, washiy (penerima
wasiat)-ku, dan khalifahku sepeninggalku.” Hadis di atas banyak
diriwayatkan oleh para imam hadis dan sejarah, baik dari Syi’ah maupun Ahlus
Sunnah, dalam kitab-kitab sahih mereka dan Musnad mereka. Mereka mengakui
kesahihan hadis tersebut.
Ath-Thabari menyebutkan
dalam Târikh-nya dari Abil Hamid yang berkata: “Salamah menceritakan
kepada kami, ia berkata, “Muhammad bin Ishaq menceritakan kepada saya, dari
‘Abdul Ghafar bin Qasim, dari al-Minhal bin ‘Umar, dari ‘Abdullah bin al-Harits
bin Naufal bin al-Harits bin’ Abdul Muthalib, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari
‘Ali bin Abi Thalib As yang berkata, “Ketika ayat ini diturunkan kepada
Rasulullah Saw, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmua yang
terdekat.” (Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214). Rasulullah Saw memanggilku,
lalu ia bersabda, “Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku,
Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!
Maka, menjadi sempitlah
dadaku karenanya, dan aku pun tahu, kapan saja aku memulai berkata perkara ini
kepada mereka, niscaya aku akan melihat sesuatu yang tidak aku sukai dari
mereka. Oleh karena itu, aku diam saja sehingga Jibril datang seraya berkata,
“Wahai Muhammad, sesungguhnya kamu jika tidak mengerjakan apa yang
diperintahkan kepadamu, niscaya Tuhanmu akan menyiksamu.” Maka, buatkan untuk
kami (wahai ‘Ali) satu mangkuk makanan, yang di dalamnya ada sepotong kaki
kambing, dan semangkuk penuh susu. Kemudian kumpulkanlah untukku Bani ‘Abdul
Muthalib sehingga aku berkata kepada mereka dan menyampaikan apa yang telah
diperintahkan (Allah) kepadaku.”
Kemudian aku memanggil
mereka, sedangkan jumlah mereka pada hari itu sekitar empat puluh orang
laki-laki, di antara mereka terdapat paman-pamannya, yaitu: Abu Thalib, Hamzah,
al-‘ Abbas, dan Abu Lahab.
Ketika mereka sudah
berkumpul di rumah Rasulullah Saw, ia menyuruhku untuk mengeluarkan makanan
yang telah kubuatkan untuk mereka, lalu aku pun mengambilkan makanan itu.
Ketika aku meletakkan makanan itu, ia mengambil daging kambing itu seraya
memotongnya dengan giginya, kemudian ia melemparkan daging itu ke pinggiran
mangkuk yang berisi makanan, kemudian ia bersabda, ‘Makanlah dengan nama
Allah!’ Lalu, mereka pun makan sekenyang-kenyangnya. Demi Allah, yang jiwa ‘Ali
berada dalam genggaman-Nya, semua yang hadir memakan makanan yang aku hidangkan
itu.
Kemudian ia bersabda
kepadaku: “Berilah mereka minum!’ Lalu, aku mengambilkan mangkuk yang berisi
susu itu, mereka pun semuanya minum sepuasnya. Ketika Rasulullah Saw hendak
memulai berbicara, Abu Lahab mendahuluinya, ia berkata, “Sungguh, kawan kalian
ini (Muhammad Saw.) telah menyihir kalian.” Maka, orang-orang pun berpencar
(meninggalkan Rasulullah Saw) sebelum Rasulullah Saw sempat berbicara kepada
mereka.
Lalu Rasulullah Saw
bersabda kepadaku: ‘Wahai ‘Ali, orang ini (Abu Lahab) telah mendahuluiku,
sebagaimana yang kamu dengar ucapannya, sehingga orang-orang pun berpencar
(meninggalkanku) sebelum aku sempat berbicara kepada mereka. Oleh karena itu,
ulangilah besok membuat makanan sebagaimana yang telah kamu buat, kemudian
kumpulkanlah mereka kepadaku!’
‘Ali As berkata: Aku tunaikan
perintah itu. Kemudian aku kumpulkan (kembali) mereka, lalu ia menyuruhku
menghidangkan makanan, aku pun mendekatkan makanan kepada mereka, lalu ia
melakukan sebagaimana yang ia lakukan kemarin. Kemudian mereka makan sekenyang-kenyangnya,
lalu ia bersabda kepadaku, ‘Berilah mereka minum!’ Aku mengambilkan mangkuk
yang berisi susu itu, lalu mereka pun minum sepuasnya.
Kemudian Rasulullah Saw
berbicara: “Wahai Bani ‘Abdil Muththalib, sesungguhnya aku, demi Allah, tidak
mengetahui seorang pemuda pun di kalangan orang Arab yang datang kepada kaumnya
lebih utama daripada apa yang aku datang dengannya. Sesungguhnya aku telah
datang kepada kalian dengan membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan
sesungguhnya Allah Swt telah menyerukan kalian kepada seruan-Nya. Lalu,
siapakah di antara kalian yang akan membantuku dalam perkara ini sehingga ia
akan menjadi saudaraku, washiyy (penerima wasiat)-ku, dan khalifahku di
tengah-tengah kalian?”
Semua orang diam,
lalu aku berkata, sedangkan aku orang yang paling muda di antara mereka, “Aku
wahai Nabi Allah, yang akan menjadi pembantumu atas seruanmu ini.” Kemudian, ia
memegang leher belakangku, kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya orang ini (‘Ali As) adalah saudaraku, washiyy-ku, dan
khalifahku di tengah-tengah kalian, maka dengarkanlah dan taatilah dia!”
Maka, orang-orang bangkit
dari tempat duduknya sambil tertawa di antara sesama mereka, lalu mereka
berkata kepada Abu Thalib: “Sesungguhnya ia (Muhammad Saw) telah memerintahkan
kepadamu agar engkau mendengarkan anakmu (‘Ali) dan menaatinya.” AI-‘Allamah
al-Hujjah al-Amini berkata dalam kitabnya al-Ghadir,[1] setelah menyebutkan
hadis tersebut, “Hadis dengan lafal tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ja’far
al-Iskafi al-Mutakallim al-Mu’tazili al-Baghdadi, wafat pada tahun 240
Hijriah, dalam kitabnya Naqdhul ‘Utsmaniyyah dan ia berkata,
“Sesungguhnya hadis ini diriwayatkan dalam riwayat yang sahih.” [2]
Al-Faqih Burhanuddin
menukil hadis tersebut dalam Anbâ ‘u Nujabâ ‘ul Abnâ’, halaman 44-48.
Ibnul Atsir dalam al-Kâmil,
halaman 24. Abul Fida’ ‘Imaduddin ad-Dimasyqi dalam Târikh-nya, jil.
1, hal. 116. Syihabuddin aI-Khafaji dalam Syarhusy Syafâ, karya
al-Qadhi ‘Iyadh, jil. 3, hal. 37, dan ia berkata, “Disebutkan di dalam ad-Dalâ
‘il, al-Baihaqi, dan lainnya dengan sanad yang sahih. Al-Khiizin ‘Ala’uddin
al-Baghdadi dalam tafsimya, halaman 390. Al-Hafizh as-Suyuthi dalam Jam ‘ul
Jawâmi’ kamâ fi Tartibihi, jil. 6, hal. 392, yang ia nukil dari
ath-Thabari, dan pada halaman 397 dari enam orang hafizh, yaitu: Abu Ishaq, Ibn
Jarir, Ibn Abi Hatim, Abu Nu’aim, dan al-Baihaqi. Ibn Abil Hadid dalam Syarh
Nahjul Balâghah, jil. 3, hal. 254. Sejarawan George Zaidan menyebutkannya
dalam Târikh at-Tamaddun alI-Islâmi, jil. 1, hal. 31. Dan Ustad Muhammad
Husain Haikal di dalam Hayâtu Muhammad, hal. 104, cetakan
pertama.
Para perawi hadis tersebut
di atas semuanya tepercaya, kecuali Abu Maryam ‘Abdul Ghaffar bin al-Qasim, ia
dilemahkan oleh sebagian kalangan tertentu hanya karena ia berpaham Syi’ah. Akan
tetapi, Ibn ‘Uqdah memuji Abu Maryam dengan pujian yang sangat tinggi,
sebagaimana disebutkan di dalam Lisânul Mizân,jil. 4, hal. 43. Para
hafizh dan imam hadis serta tokoh-tokoh ulama terkemuka lainnya telah
meriwayatkan dar!nya hadis tersebut, dan tidak seorang pun dari mereka yang
mencela atau berkata bahwa hadis tersebut lemah karena di antara perawinya
adalah Abu Maryam (‘Abdul Ghaffar bin al-Qasim), bahkan mereka berhujah
dengannya dalam Dalâ’ilun Nubuwwah wa Khashâ’ishun Nabawiyyah (Tanda-Tanda
Kenabian dan Kekhususan-Kekhususan Nabi Saw).
Abu Ja’far al-Iskafi dan
Syihabuddin juga telah mensahihkan hadis tersebut, dan demikian as-Suyuthi
dalam Jam’ul Jawâmi’ kama fi Tartibihi, jil. 6, hal. 396, yang
menyebutkan bahwa Ibn Jarir ath-Thabari mensahihkan hadis tersebut dan
menyebutkan bahwa hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang lain, yang para
perawinya semuanya tsiqah (tepercaya). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
hadis tersebut dalam Musnad-nya, jil. 1, hal. 111, dengan sanad
yang semua perawinya adalah perawi hadis sahih, yang tidak diragukan lagi,
yaitu: Syarik, al-A’masy, al-Minhal, dan ‘Ibad.
Kemudian al-‘Allamah
al-Amini berkata, “Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, jil.
1, hal. 159, dari ‘Affan bin Muslim ‘tsiqah (tepercaya)’ dari Abu
‘Iwanah ‘tsiqah’, dari ‘Utsman bin al-Mughirah ‘tsiqah’, dari Abu
Shadiq Muslim al-Kufi tsiqah’, dari Rabi’ah bin Najidz “tabi’in
al-Kufi tsiqah”, dari ‘Ali Amirul Mukminin.”
Hadis tersebut juga
diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Târikh-nya, jil. 1, hal. 217,
dan al-Hafizh an-Nasa’i dalam al-Khashâ’ish, halaman 18. Dan al-Hafizh
al-Kanji asy-Syafi’i juga meriwayatkan hadis tersebut i dalam al-Kifâyah, hal.
89, dan Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 3, hal.
255. Al-Hafizh Ibnu Mardawaih meriwayatkan, sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi
di dalam Jam’ul Jawâmi’, juga disebutkan dalam Kanzul ‘Ummâl, jil.
6, hal. 401, setelah menyebutkan permulaan hadis tersebut, kemudian Rasulullah
Saw bersabda, “Wahai Bani ‘Abdul Muththalib, sesungguhnya Allah telah
mengutusku kepada makhluk secara umum, dan kepada kalian secara khusus. Dia
berfirman, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat.” (Qs. asy-Syura [26]: 214)
Aku menyeru kepada kalian
dengan dua kalimat yang ringan di lisandan berat dalam mizân (timbangan),
yaitu kesaksian tidak ada Tuhan kecuali Allah dan aku adalah Rasul Allah.
Siapakah yang bersedia menyambut seruanku ini dan membantuku, niscaya ia
menjadi saudaraku, pembantuku, washiyy-ku, ahli warisku, dan khalifahku
sepeninggalku?” Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang
menyambut seruan itu, lalu ‘Ali berdiri seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda: “Duduklah
kamu!” Kemudian ia mengulangi lagi untuk yang kedua kalinya, tetapi mereka
tetap diam saja. Kemudian, ‘Ali kembali berdiri seraya berkata, “Aku wahai
Rasulullah.” Nabi Saw bersabda: “Duduklah kamu'” Kemudian beliau mengulangi
lagi untuk yang ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada seorang pun di antara
mereka yang menyambut seruan itu. Lalu, ‘Ali berdiri seraya berkata: “Aku wahai
Rasulullah.” Ia bersabda: “Duduklah!
Engkau adalah saudaraku, pembantuku, washiyy-ku, ahli warisku, dan khalifahku
sepeninggalku.”
AI-Imamul Akbar as-Sayyid
‘Abdul Husain Syarafuddin Ra berkata dalam kitabnya al-Murâja
‘ât (Dialog Sunnah Syi’ah), hal. 119, “Hadis ini (hadis peringatan Nabi
Saw. kepada para kerabatnya terdekat) juga disebutkan oleh Muhammad Husain
Haikal al-Mishri dalam kitabnya Hayâtu Muhammad, cetakan
pertama, tetapi ia tidak menyebutkannya kembali pada cetakan kedua dan ketiga
dalam kitabnya tersebut. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahîh-nya, Ahmad dalam Musnad-nya, ‘Abdullah
bin Ahmad di dalam Ziyâdât al-Musnad, Ibnu Hajar al-Haitsami di dalam Jam
‘ul Fawâ’id, Ibnu Qutaibah dalam ‘Uyûnul Akhbâr, Ibnu ‘Abdi Rabbih
dalam al- ‘Iqdul Farid, AI-Jahizh dalam Risâlah-nya tentang Bani
Hasyim, dan Ats-Tsa’iabi dalam Tafsir-nya.
Aku katakan, hadis ini
(hadis peringatan) Nabi Saw kepada para kerabatnya terdekat) merupakan dalil
yang terang dan hujah yang meyakinkan bahwa khalifah sepeninggal Rasulullah Saw
adalah ‘Ali bin Abi Thiilib As. Sebab, Rasulullah Saw mengeluarkan penyataan
tentang perkara ini pada awal dakwahnya dan menjadikan ‘Ali As sebagai
pembantunya dalam dakwahnya ini, dimana ketika itu orang-orang yang hadir di
rumahnya tidak ada satu pun yang menyambut seruan itu kecuali ‘Ali As.
Rasulullah Saw hingga menawarkan tiga kali kepada mereka untuk membantunya
dalam dakwahnya, yang orang itu akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Akan
tetapi, setiap kali tawaran itu diajukan, setiap kali itu pula hanya ‘Ali As
yang bangkit berkata, “Aku wahai Rasulullah.”
Akbirnya, pada kali
ketiganya, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali As, “Engkau (wahai ‘Ali) adalah
saudaraku, pembantuku (dalam dakwah ini), washiyy-ku, dan
khalifahku sepeninggalku.” Demi Allah, wahai pembaca yang berpikiran bebas dan
objektif, apakah ada nash lain yang lebih tegas daripada nash ini
tentang kekbalifahan ‘Ali As ini sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung? Wahai
kaum Muslimin, mengapa masih saja ada kefanatikan setelah adanya nash
yang tegas tentang kekbalifahan ‘Ali As langsung sepeninggal Rasulullah Saw
yang diriwayatkan sendiri oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Catatan:
[1]. Lihat, al-‘Allamah al-Hujjah
al-Amini, al-Ghadir , jil. 2, hal. 279.
[2]. Lihat, Syarh Nahjul
Balâghah, jil. 3, hal. 263.