UIN Jogja, Syi’ah, dan Konflik Suriah


Oleh Alfian Syahrani

Di tengah banyak klaim tentang kebenaran yang berujung saling menghakimi satu sama lain, terdapat sekian banyak perdebatan yang tak kunjung usai. Perdebatan seputar kebenaran ini biasanya diperdebatkan oleh seorang atau sekelompok orang yang awam atau bodoh. Mereka yang datang dari kelompok A merasa pemikiran atau alirannya yang paling benar, mereka yang datang dari kelompok B merasa pemikiran atau alirannya yang diinginkan oleh Tuhan, serta mereka yang datang dari kelompok C merasa pemikiran atau alirannya adalah keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat, sesuai dengan keinginan Tuhan, harus ditegakkan meskipun dengan jalan kekerasan atau propoganda dusta. Karena, bagi mereka, itu adalah misi suci dan akan dibalas dengan surga oleh Tuhan.

Sebagian besar umat manusia memang memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi. Rasa ingin tahu memungkinkan manusia untuk berproses lebih jauh. Berbeda dengan hewan, manusia memiliki peradaban yang jauh lebih maju ketimbang hewan. Manusia mampu membaca, menulis, mendengarkan berbagai macam berita, argumen, dan lainnya, kemudian menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan. Manusia memiliki fitrah sebagai makhluk yang bijaksana. Akal yang sehat memungkinkan manusia menjadi seorang yang bijaksana. Melalui akal sehat, manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk, salah dan benar, bahkan kemampuan analisa manusia sangat tinggi. Hanya saja, sejauh yang saya ketahui, tidak semua manusia menggunakan akal sehat mereka dan rasa ingin tahu tersebut. Akal sehat dan rasa ingin tahu seolah-olah terkubur dalam karena agama dan atau kitab suci. Saya tidak sedang mengatakan bahwa kitab suci adalah sesuatu yang usang dan tidak penting. Akan tetapi, saya ingin menekankan peran akal sehat serta keseimbangan antara akal, agama, dan kitab suci.

Memang, saya adalah seorang mahasiswa Filsafat yang membiarkan akal sehat saya untuk terbang stinggi-tingginya. Saya memeluk agama Islam. Saya menganut mazhab Ja’fariyah. Dan mengikuti garis kepemimpinan para imam setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Orang-orang biasa menyebut mereka yang berwilayah pada Imam Ali sebagai seorang Syi’ah. Terlahir dari ayah yang menganut mazhab Hambali dan Ibu yang menganut mazhab Syafi’i, tidak mengakibatkan saya sebagai seorang anak yang menganut mazhab Hambali maupun Hanafi. Sejak kecil bahkan hingga saat ini, orang tua saya selalu mengajarkan saya beragama Islam, bukan bermazhab. Menjadi pengikut para imam suci sepeninggal Nabi Muhammad SAW, terjadi setelah melalui perjalanan panjang. Belajar, berdiskusi, dan mendengarkan ceramah-ceramah adalah kegiatan yang tak pernah saya tinggalkan.

Sebagai seorang mahasiswa Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah sebuah kebanggaan bagi saya. Saya berada di antara dosen, teman, dan lingkungan yang mendukung kebebasan berpikir. Dan manakala kebebasan berpikir itu berbuah manis, dengan menemukan berbagai macam nilai-nilai kebenaran yang ada, ingin rasanya saya menari kegirangan. UIN Sunan Kalijaga adalah sebuah universitas yang bisa dikatakan sebagai kampus ‘liberal’ dan menjadi barometer kajian keagamaan di Yogyakarta, Indonesia, bahkan dunia. Di UIN Sunan Kalijaga Anda bisa menemukan berbagai macam aliran pemikiran. Aliran-aliran pemikiran tersebut eksis hingga saat ini. Aliran garis keras hingga moderat terdapat di UIN Sunan Kalijaga. Aliran yang bernuansa Arab, Indonesia, bahkan Persia bisa Anda temukan di universitas ini. Kesemuanya membentuk harmoni yang saling bersatu padu satu sama lain.

Saya berada di fakultas Ushuluddin. Sebuah fakultas yang berdiri di kampus Timur. Di fakultas ini terdapat jurusan Perbandingan Agama. Jurusan Perbandingan Agama adalah sebuah jurusan yang bisa dikatakan plural. Jurusan Perbandingan agama memungkinkan kita untuk mengkaji agama-agama selain Islam, mulai dari Hindu, Buddha, Yahudi, hingga Nasrani. Apa artinya semua itu? Artinya adalah di universitas ini, anda bisa berpikir terbuka, toleran, dan adil dalam berpikir, karena anda juga mengkaji kebenaran-kebenaran yang ada di luar agama Islam. Selain itu, mereka yang datang dari kalangan NU, Muhammadiyah, IJABI, juga bisa menyuarakan pemikiran mereka dengan sesuka hati. Tak hanya itu, di universitas ini, anda juga mampu menemukan literatur-literatur Sunni maupun Syi’ah. Bahkan, Iranian Corner pun eksis dengan berbagai macam buku kajian tentang Iran dan Syi’ah, yang dapat Anda jumpai di perpustakaan lantai 3.

Saya banyak terinspirasi oleh dosen saya. Mereka mengajak kami untuk membuka cakrawala pemikiran Islam tanpa harus bersikap fanatik dan mementingkan ideologi kelompok atau golongan. Kami mengkaji setiap pemikiran yang ada. Mempelajari pemikiran berbagai macam tokoh, walaupun kami tidak sejalan dengan pemikirannya. Tetapi itulah kami. Bagi kami, belajar adalah sebuah keharusan. Belajar adalah kebutuhan, yang dengan semua itu kami mampu menjadi seorang pemikir yang universal.

Tidak ada salahnya jika di sini saya mencoba untuk mengkaji Syi’ah melalui jendela UIN Sunan Kalijaga. Berbagai macam pertanyaan muncul tatkala Syi’ah menjadi sebuah topik pembahasan. Syi’ah yang kita kenal di kebanyakan tempat, identik dengan hal-hal buruk. Bahkan sejumlah situs yang menamakan diri mereka ‘Islam’ macam Arrahmah.com, Muslim.or.id, Voa-Islam, atau sederet situs kebencian yang berkedok Islam, tak bisa diabaikan begitu saja. Situs-situs ini konsisten menebarkan kebencian kepada Syi’ah, di manapun dan kapanpun, bahkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tak luput dari pengaruh situs yang katanya ‘Islami’ ini.

Tentu, orang akan bertanya, bagaimana bisa UIN Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai kampus liberal, mendadak menjadi kampus yang ramai di isi oleh poster-poster kebencian kepada Syi’ah? Jawabannya ada pada mahasiswa yang bermasalah. Kita tentu tidak bisa membandingkan kualitas pemahaman politik keislaman mahasiswa Indonesia dengan kualitas pemahaman politik mahasiswa di Iran. Karena, sejujurnya, tingkat kecerdasan mahasiswa di Indonesia, masih berada di bawah Iran apabila dilihat secara menyeluruh. UIN Sunan Kalijaga yang saya kenal sebagai sebuah universitas liberal, mendadak menjadi kampus yang berisi kebencian terhadap Syi’ah dikarenakan ulah sekelompok mahasiswa/i yang menjadi agen kebencian atas nama mazhab atau agama. Agen-agen ini rutin menyebar buletin, poster, dan fitnah tentang Syi’ah.

Pengakuan Pahit

Sebagaimana yang sudah saya jelaskan, kelompok mahasiswa/i yang menjadi agen kebencian ini, biasanya datang dari kalangan garis keras atau orang awam yang otaknya sudah dicuci (brain washing) kemudian ikut-ikutan. Mereka sibuk melakukan perpecahan, tanpa memikiran persatuan. Otak mereka dicuci oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kebencian yang membabi buta mengakibatkan mereka buta akan kejujuran dan membunuh akal sehat mereka. Dengan lantang mereka meneriakkan slogan kebencian, mungkin tidak hanya kepada para muslim Syi’ah, bahkan umat beragama lain yang mereka anggap kafir.

Saya mencoba mendalami literatur apa yang mereka pergunakan serta kepada siapa mereka berguru, dan pengajian apa yang mereka ikuti. Maka dari itu, saya melakukan penelitian atas permasalahan ini. Dan ternyata, kebanyakan dari mereka memperoleh bacaan dari media-media yang katanya ‘Islami’ seperti arrahmah atau islampos sebagai rujukan utama. Jadi, dapat dikatakan, mereka adalah para penggila situs berkedok ‘Islam’ yang hampir semua isinya adalah sampah. Karena dalam hal ini saya memfokuskan pengkajian ini dengan menelusuri situs yang menjadi rujukan utama mereka, maka, saya akan memberikan situs perbandingan. Mengenai literatur dalam bentuk buku, saya akan membahasnya pada tulisan selanjutnya. Anda bisa melihat salah satu fitnahnya, http://www.islampos.com/saat-akan-dikuburkan-khomeini-tiga-kali-jatuh-dari-keranda-dan-auratnya-terbuka-71913/

Lantas mengapa mereka mampu berbuat demikian? Ada banyak faktor mengenai permasalahan ini. Akan tetapi, yang menjadi faktor utama adalah lingkungan dan literatur. Lingkungan yang sehat, adalah lingkungan yang bersifat terbuka dalam pemikiran serta menjunjung tinggi akal sehat dan rasa ingin tahu. Manusia, memiliki akal dan rasa ingin tahu dalam menjalani hidup. Dengan akal mereka dapat membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang salah dan benar. Dan, rasa ingin tahu akan mengantarkan manusia untuk belajar, mencari, dan menemukan sesuatu yang ingin ia ketahui. Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahkannya akal serta rasa ingin tahu agar manusia menjadi manusia yang merdeka dalam memilih (free will). Manusia memilih mana yang baik dan buruk, surga atau neraka? Seandainya, jika Tuhan tidak menganugerahkan akal dan rasa ingin tahu pada manusia, bukankah kedudukan kita akan jauh lebih rendah daripada hewan? Bukankah itu bertentangan dengan penciptaan manusia? Maka dari itu, gunakanalah akal dan rasa ingin tahu guna berproses lebih jauh, karena ayat al-Qur’an untuk ditafsirkan, bukan ditelan mentah-mentah. Dan untuk menafsirkannya, akal sehat sangat diperlukan.

Tetapi, sayangnya, mahasiswa/i ini telah mengantarkan dirinya selevel bahkan berada di bawah level hewan. Mereka, secara membabi buta memfitnah, menebar kebencian, dikarenakan doktrin-doktrin sesat yang mereka dapatkan. Tanpa membiarkan akal mereka untuk terbang setinggi-tingginya. Dan yang lebih parah, mahasiswa/i ini tidak hanya menyebar kebencian dan mempengaruhi orang awam untuk membeci Syi’ah. Saat ini, mereka, tengah mencoba menyeret Indonesia menuju negara yang katanya ‘khilafah akan berjaya’ dengan mengimpor pemahaman takfiri dan perang Suriah.

A:
Yang tidak shalat adalah kafir!


B:
Mengapa Anda kafirkan dia?

A:
Karena dia tidak shalat, jadi dia adalah kafir.

B:
Lalu, bagaimana caranya agar ia tidak dikatakan kafir dan kembali menjadi seorang muslim?

A:
Ia ucapkan kembali dua kalimat syahadat.

B:
Lah, ini, dia tidak pernah meninggalkan dua kalimat syahadat. Mengapa Anda suruh ia mengucapkan dua kalimat syahadat lagi?

Jadi, Dia bukan orang kafir. Tetapi, muslim yang berdosa!!!

Prof. Dr. Quraish
Shihab, pengantar buku putih mazhab Syi’ah.

Jujur Pada Diri Sendiri

Mungkin anda teringat akan kalimat seorang filsuf legendaris Prancis, Rene Descartes “Cogito ergo sum” yang artinya, “aku berpikir, maka aku ada”. Descartes mengajak manusia menjadi seorang ‘manusia’. Maksudnya, adalah manusia yang mampu menggunakan akal sehat mereka. Membaca, membandingkan, menganalisa, kemudian menyimpulkan.  Selain itu, berkenaan dengan kasus semacam ini, al-Qur’an memberikan gambaran, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu". [Al Hujurat : 6].

Sejarah telah menunjukkan bahwa Islam berjaya tatkala mereka masih menghidupkan filsafat. Berbagai pemikiran para pemikir seperti Ibnu Sina, ar-Razi, Ibnu Rusyd, dan filsuf lainnya, telah mengantarkan Islam sebagai sebuah agama rasional. Banyak tokoh pemikir Islam yang membahas matematika, fisika, ruh, kosmologi, dan sederet pembahasan lain yang saat itu belum mampu dicapai oleh Barat dikarenakan pemikiran para tokoh Islam yang sangat mengagumkan saat itu. Apa rahasia dari semua itu? Mungkin lebih tepatnya dikarenakan mereka berpikir jauh lebih jauh (kritis).

Seiring dengan berjalannya waktu, geliat filsafat mulai berkurang bahkan melemah di kalangan umat Islam. Dan banyak di antara mereka yang menolak filsafat dan cenderung meneriakkan slogan kembali pada al-Qur’an dan Sunnah. Henry Corbin, dalam bukunya, Histoire De La Philospohie Islamique, mengatakan bahwa sepeninggal Ibnu Rusyd, filsafat tarsus berlanjut di kalangan Syi’ah. Apakah itu artinya pemikiran kritis hanya terdapat pada muslim Syi’ah? Tentu saja tidak. Sunni, yang kaya akan para pemikir, tentu memiliki pandangan yang mirip bahkan sama dalam banyak hal dengan Syi’ah. Namun, ketika Sunni di sandingkan dengan Wahabbi? Atau Syi’ah di sandingkan dengan Wahabbi? Perbedaannya terlalu jauh, baik itu dari segi pemikiran maupun kebudayaan. Sehingga, pemikiran kritis juga dapat dimiliki oleh mereka yang datang dari kalangan non-Syi’ah. Tetapi Wahabbi? Saya meragukannya. Hanya saja, sejujurnya, dalam hal ini, Syi’ah lebih menyadarinya daripada Sunni terkait dengan konflik Suriah. Karena, kebanyakan mereka (Sunni) beranggapan bahwa perang yang terjadi di Suriah adalah perang antara Sunni-Syi’ah. Padahal, yang sebenearnya terjadi adalah perang antara Sunni-Syi’ah melawan takfiri Wahabi.

Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Kebanyakan dari mereka menganut mazhab Syafi’i. Selanjutnya, terdapat mazhab-mazhab lain seperti Ja’fariyah, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Saya teringat akan kalimat yang pernah dikatakan oleh alm. Gus Dur, “Kita ini sebenarnya orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia, atau orang Indonesia yang kebetulan memeluk agama Islam?” Sepintas, memang terkesan sepele, tetapi, jika dicermati secara mendalam, maknanya sangat jelas. Kalimat itu mengajak kita untuk mengenal diri sendiri. Apakah kita memeluk agama Islam melalui proses pencarian? Atau kita hanya memeluk agama Islam lantaran faktor geografis dan terlahir di keluarga yang kebetulan memeluk agama Islam?

Apakah hal itu penting? Jelas penting! Mengapa penting? Karena, Anda tidak mungkin menghakimi kelompok atau aliran lain seolah-olah Anda sangat memahami pemikiran kelompok yang Anda benci. Padahal, Anda sendiri tidak paham atau sok paham, dan, belum tentu memahami mazhab yang Anda anut. Atau mungkin Anda tidak tahu mazhab apa yang Anda anut serta alasan Anda menganut atau mengikutinya. Almarhum Gus Dur juga pernah mengatakan, “NU itu adalah Syi’ah minus imamah”. Artinya, secara garis besar, tradisi yang terdapat di kalangan NU, hampir sama dengan tradisi yang ada di Syi’ah, seperti tahlilan, ziarah kubur, dan sebagainya. Sehingga, tidak perlu ada yang diperdebatkan. Mengapa kita memberikan perhatian yang lebih pada NU? Karena di Indonesia, NU adalah mayoritas.

 Duri Dalam Daging

Fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa terdapat ‘duri’ yang menjadi penyebab hancurnya persatuan antara Sunni-Syi’ah (baik itu antara NU, Muhammadiyah, IJABI, atau lainnya) di Indonesia. Melalui pengamatan atas berbagai persitiwa yang marak terjadi, seperti pembantaian muslim Syi’ah di Sampang, mengakibatkan orang bertanya-tanya, sekiranya Sunni-Syi’ah memiliki banyak kesamaan atau benang merah, lantas, mengapa mereka harus di bantai di Sampang? Bukankah ini sangat bertentangan dengan jalan pemikiran para petinggi NU yang menyatakan bahwa Sunni dan Syi’ah itu bersaudara?

Jawabannya, karena, di dalam tubuh Sunni (bahkan ‘duri’ ini berpura-pura menjadi NU) terdapat penumpang gelap yang mengatasnamakan diri mereka membela Sunni dan para penumpang gelap ini biasanya gemar menyesatkan dan mengkafirkan orang lain. Kelompok ini mengharamkan tahlilan, ziarah kubur, dan praktek lainnya. Bagi mereka, semua itu adalah bid’ah, karena pemahaman mereka yang minim.

Apa Hubungan Kelompok Ini Dengan Konflik Suriah?

Apabila Anda mengkaji sebuah permasalahan, ada banyak faktor yang harus anda pertimbangkan. Marilah kita bertanya, mengapa konflik itu bisa terjadi? Apa penyebab utamanya? Siapa pelakunya? Siapa yang menjadi korban? Siapa yang terlibat? Dan yang terpenting adalah, apa akibat dari konflik tersebut?  Penumpang gelap ini, biasanya datang dari kalangan Islam garis keras. Mereka menggunakan ‘power’ (dana atau posisi strategis) yang mereka miliki untuk mempengaruhi masyarakat awam. Tidak sampai di situ, mereka juga tengah menyeret bangsa Indonesia untuk terlibat dalam konflik Timur Tengah, terutama konflik Suriah. Lebih tepatnya, menginginginkan masyarakat muslim Indonesia untuk mendukung teroris Takfiri Wahabi yang tengah berperang di Suriah.

Di Indonesia, kelompok garis keras ini (Wahabi) membawa misi me-wahabi-kan Indonesia. Hanya saja, kelompok ini belum terlalu terang-terangan memusuhi kelompok Sunni, karena, Sunni di Indonesia adalah mayoritas. Sehingga, mereka melakukan gerakan mereka secara perlahan namun pasti. Memanfaatkan orang-orang awam dari kalangan Sunni untuk membantai saudara mereka yaitu muslim Syiah, adalah pesanan dari Saudi Arabia. Bagaimana mereka bisa melakukannya? Sederhana saja, mereka membawa seni adu domba, memfitnah dan berbohong pada level baru. Perang di Suriah, bukan hanya masalah ideologi semata. Namun, perang di Suriah adalah perebutan pengaruh kawasan dan kepentingan global. Suriah, sebuah negara yang didominasi oleh mayoritas muslim Sunni tak luput dari pembantaian yang dilakukan oleh kelompok Wahabi yang mengatakan diri mereka tengah berjihad ke Suriah. Kelompok Wahabi ini datang dari berbagai negara, bahkan banyak pula yang berasal dari negara Barat. Kelompok Wahabi ini sangat memusuhi Syi’ah. Karena, Iran dan Hizbullah (Syi’ah) mendukung pemerintahan Bashar al-Assad yang konon dikatakan mendirikan pemerintahan Syi’ah? Terutama setelah Hizbullah terlibat dalam perang Suriah pada perebutan kota strategis, Qusyair. Padahal, faktanya adalah pemerintahan di Suriah didominasi oleh kalangan Sunni (perdana menteri, mufti agung, bahkan semua menteri adalah Sunni). Dan yang lebih hebat lagi, 75% tentara Suriah adalah Sunni.

Perlu saya paparkan bahwa perang di Suriah memiliki kepentingan tersendiri. Rusia, China, Iran, Hizbullah, dan sekutunya berdiri tegak membela Suriah untuk melawan teroris berkedok jihad yang didukung oleh Arab Saudi, Qatar, Turki, Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya. Saya membaginya menjadi empat bagian;

Pertama, Suriah adalah sebuah negara jalur sutera yang memiliki letak yang sangat strategis dan sumber daya alam yang melimpah (gas dan minyak), sehingga Suriah adalah aset yang sangat besar untuk dimiliki oleh Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya. Menduduki Suriah sama dengan mengendalikan pipa-pipa minyak Suriah. Terlebih dikarenakan kegagalan mereka menguasai Iran, yang juga kaya akan minyak dan gas. Sehingga Suriah adalah batu loncatan untuk menguasai Iran. Selain itu, Suriah adalah jalur suplai senjata oleh Iran untuk Hizbullah dan Hamas yang tengah berjuang melawan Israel. Suriah, dianggap negara yang merusak kawasan karena enggan tunduk pada Barat dan Israel. Tercatat beberapa kali Suriah berperang melawan Israel. Sama halnya seperti Arab Saudi, namun, Arab Saudi sudah berada dalam cengkraman Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya. Bahkan rezim yang berkuasa di Arab Saudi, rezim Saud adalah hasil kudeta yang dimotori oleh Inggris. Itulah sebabnya anda tidak mungkin menemukan Arab Saudi berperang melawan Israel atau Amerika Serikat. Kecuali rezim Saud tumbang dan diganti oleh rezim yang anti Israel.

Kedua, Suriah adalah negara yang tidak memiliki hutang pada IMF. IMF memberikan pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, dengan bunga yang sangat tinggi yang sangat sulit untuk dibayar oleh negara. Sehingga untuk menaklukkan Suriah tanpa ada intervensi militer, maka, Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya menggunakan kelompok takfiri Wahabbi untuk menyerang Suriah dari dalam dengan berkedok ‘jihad’ melawan pemerintahan Bashar al-Assad. Para teroris Takfiri Wahabbi yang mengaku sedang berjihad ke Suriah ini, melakukan pengerusakan makam, situs bersejarah, pembunuhan massal dengan cara menggorok, menyalib, menyemblih, dengan alasan seseorang dianggap kafir, dan yang tentu mengakibatkan kerugian besar adalah menghancurkan infrastruktur yang terdapat di Suriah. Dengan begitu, IMF akan menawarkan pinjaman uang guna menguasai Suriah, karena Suriah harus membangun kembali fasilitas-fasilitas yang hancur selama perang. Namun, Bashar al-Assad menolaknya. Untuk lebih jauh lagi, silahkan membaca ini, http://liputanislam.com/wawancara/mahasiswa-indonesia-suriah-hutang-luar-negeri-suriah-nol/

Ketiga, penyebaran ideologi Wahabi. Dalam perang Suriah, Arab Saudi memiliki peranan yang sangat besar dalam menyuplai dana dan senjata kepada para teroris takfiri Wahabi. Meskipun Israel, Turki, Qatar dan beberapa negara Barat mendukung para teroris ini dengan senjata, Arab Saudi memiliki pengaruh yang sangat besar. Hal itu bisa dilihat dari para kelompok yang berperang melawan pemerintahan Bashar al-Assad didominasi oleh kelompok yang menganut paham Wahabbi. Sehingga, apabila pemerintahan Suriah tumbang, maka dipastikan kelompok garis keras ini akan memegang pemerintahan. Apabila kelompok Wahabbi ini berkuasa, bisa dipastikan seluruh situs dan makam bersejarah akan rata dengan tanah. Contohnya, beberapa saat yang lalu teroris ini menggali makam sahabat Nabi Muhammad SAW, Hujr Ibn Adi, dan mencuri jenazahnya. Apakah tindakan itu benar? Akal sehat dan nurani yang jujur tentu akan berkata tidak.

Keempat, pendirian khilafah. Perlu diketahui, agenda perang di Suriah juga didasarkan pada jihad pendirian khilafah. Para pemuda dari berbagai Negara berbondong-bondong datang ke Suriah untuk ikut berperang. Hizbut Tahrir, menyatakan baiat mereka kepada kelompok ini. Dengan segala kemampuannya, menyebarkan buletin di masjid dengan memfitnah dan menggambarkan bahwa pemerintah Suriah adalah pemerintah yang kejam dan haus darah. Mereka menganggap misi mereka adalah misi suci dan kematian mereka adalah syahid. Hal itu dikarenakan ulah dari ulama-ulama bayaran yang menyeru jihad ke Suriah. Jika Anda sedikit kritis, mungkin anda akan bertanya, jika memang mereka ingin berjihad, mengapa mereka tidak melakukannya ke Palestina? Bukankah Palestina telah menanggung luka lebih dari 60 tahun? Atau mungkin bagi mereka (teroris takfiri Wahabbi/orang yang hobi mengkafirkan) Palestina adalah negara kafir sehingga tidak perlu dibela. Anda bisa membandingkannya, dan membacanya dengan akal sehat anda http://dinasulaeman.wordpress.com/2014/02/14/update-suriah-baiat-dari-indonesia/ http://kabarislamia.com/2013/07/23/kenapa-iran-tidak-pernah-menyerang-israel/

 Kemudian, di mana konflik antara Syi’ah dan Sunni? Jawabannya, tidak ada! Jika tidak ada mengapa media macam CNN, FOX, Al Jazeera, dan media propaganda munafik Barat lainnya mengatakan perang Suriah adalah perang antara Sunni melawan Syiah. Media arrahmah dan beberapa media ‘Islami’ lainnya di Indonesia juga mengatakan perang Suriah adalah perang antara Sunni melawan Syi’ah. Mengapa konflik Suriah dibalut dengan nuansa agama? Karena agama adalah hal yang seksi untuk dijadikan kedok. Hukum? itu kerang menarik.

Bertanyalah pada diri sendiri, mengapa berita yang mereka sampaikan selalu sama? Pertontonan apa ini? Apakah tujuan mereka sama? Ya! Tujuannya sama! Karena dengan menyerang Islam dari dalam, melalui berita-berita palsu, umat Islam akan terpecah belah. Semua dikarenakan, tidak semua umat Islam Indonesia memiliki sifat yang kritis. Jika memang pemerintahan Bashar al-Assad adalah pemerintah yang dzalim? Mengapa hingga hari ini rakyat dan militer Suriah mendukungnya? Bukankah mayoritas masyarakat Suriah adalah Sunni? Bukankah mufti Suriah, Syaikh Ahmad Badrouddin Hassoun adalah Sunni? Dan, bukankah Syaikh Ramadhan al-Bouti adalah ulama Sunni terkenal? Namun tewas di bom oleh para teroris ini? Juga Sunni? Silahkan lihat; http://www.youtube.com/watch?v=bWNzxP5eOyw

Jika memang Bashar al-Assad tidak memiliki tempat di Suriah dan ditolak oleh rakyat Suriah, seharusnya ia tidak mampu bertahan hingga saat ini. Tetapi, pada kenyataannya, ia didukung oleh mayoritas rakyat Suriah. Sehingga mampu bertahan hingga saat ini. Untuk memperoleh dukungan, kelompok teroris seperti ISIS yang tengah berperang di Suriah, memiliki pendukung di Indonesia. Pendukung di Indonesia juga aktif mengkampanyekan perang dan jihad di Suriah. Kelompok Wahabi jaringan ISIS di Indonesia gencar melakukan propoganda melalui buletin, jejaring sosial, bahkan seminar terkait konflik Suriah dengan mengatasnamakan diri mereka ahlus sunnah wal jamaah. Segalanya, mereka lakukan demi memperoleh dukungan dari masyarakat awam. Untuk lebih jauh, silahkan membaca artikel ini, http://www.arrahmah.com/news/2014/02/20/kurang-cerdas-melarang-kaum-muslimin-indonesia-jihad-ke-suriah.html http://dinasulaeman.wordpress.com/2014/02/14/update-suriah-baiat-dari-indonesia/

Melalui jejaring sosial, mereka juga menyebarkan berbagai macam foto yang diedit sedemikian rupa dan digambarkan seolah-olah akibat dari kekejaman Bashar al-Assad. Sehingga, orang-orang awam yang tidak kritis tentu akan terkena propoganda sesat ini dan akan menganggap semua orang Syi’ah sama seperti Bashar al-Assad yang konon difitnah sebagai penguasa haus darah (Alawi). Jika memang benar Bashar al-Assad adalah penguasa haus darah?  Atau di sini, http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/06/11/apa-sebenarnya-kata-rakyat-suriah/ http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/06/11/sudah-terbit-prahara-suriah/ Terkadang saya berpikir, seandainya saja orang-orang bodoh ini diam. Tentu masalah kekerasan antar Sunni-Syi’ah di Indonesia bahkan di dunia tidak akan terjadi.

Bagaimana Kita Menyikapinya?

Islam adalah agama rasio. Islam adalah sebuah agama yang menekankan pengkajian atau verifikasi. Artinya, Islam mengajak kita untuk menjadi manusia yang kritis dan cerdas. Beberapa kasus yang saya temukan, banyak pemuda yang hingga hari ini beranggapan bahwa Islam adalah agama doktrin. Bagi mereka mungkin iya, tetapi, tidak bagi saya. Kita tidak sedang membicarakan bahwa filsafat identik dengan kritis atau sebaliknya. Kita juga tidak sedang membicarakan suatu ajaran dalam agama Buddha ‘Datang dan Buktikan’. Tetapi, kita harus melihat kebenaran dari berbagai macam sudut pandang. Karenanya, membandingkan informasi yang kita peroleh adalah suatu keharusan. Anda tidak bisa menelan mentah-mentah informasi yang anda peroleh melalui situs garis keras, kemudian mengenyampingkan situs Islam moderat (jika Anda pengguna dunia maya). Anda juga tidak bisa mendengarkan ceramah dari para ulama intoleran tanpa membandingkannya dengan ceramah ulama moderat. Jika Anda hanya mendengar atau melihat informasi dari satu sumber, katakanlah sumber yang bernuansa kebencian, garis keras, kemudian mengenyampingkan bacaan serta mendengar informasi moderat, itu adalah naif.

Tidak ada komentar: