Mini Biografi Pewaris Zulfikarnya Muhammad Saw


(Gambar: Panji Kesultanan Perlak, Kesultanan Banten, dan Kesultanan Cirebon) 

Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dikenal sebagai orang yang paling dekat dan paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Banyak riwayat dan hadis yang menjelaskan tentang hal ini. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendapat kiriman daging burung panggang. Nabi SAW mengatakan bahwa dia hanya akan memakan daging itu bersama dengan orang paling beliau cintai dan paling dicintai oleh Allah. Kepada Anas bin Malik yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu di rumah Nabi, beliau bersabda bahwa orang yang akan datang ke rumah ini adalah orang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Anas menanti-nantikan kedatangan orang itu. Dalam hati kecilnya, ia berharap, semoga orang yang dimaksudkan adalah salah seorang sanak keluarganya. Ketika sedang termenung, mendadak ia mendengar suara ketukan pintu. Anas membukakan pintu. Ia kecewa karena yang datang ternyata Ali bin Abi Thalib. Ali meminta izin bertemu Rasul. Anas menjawab bahwa Nabi sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Pintu rumah Rasul kembali ditutup.

Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara ketukan pintu. Anas bergegas membukakannya. Ia kembali kecewa karena ternyata Ali-lah yang datang. Tiga kali berturut-turut, Ali datang dan Anas tidak memberinya izin berjumpa dengan Rasulullah. Pada kali ketiga, Rasul bertanya kepada Anas, “Siapakah yang ada dibelakang pintu.” Anas menjawab, “Ali.” Rasul menyuruh Ali masuk dan bersabda bahwa Ali adalah orang yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Pengorbanan yang dipersembahkan Ali untuk Islam dalam disaksikan dalam semua sisi kehidupan manusia mulai ini. Perang Khandak atau Perang Parit adalah saksi nyata dari perngorbanan besar yang dipuji oleh Rasulullah. Saat itu, ketika kaum kafir Quresy berhasil mengajak sejumla suku-suku Arab untuk menyerang Madinah pada tahun ke-5 hijriyah, sekitar 10 ribu pasukan kafir mengepung kota itu.

Pengorbanan untuk Islam

Untuk pertahanan mengadapi pasukan sebesar itu, atas saran Salman dan perintah Rasulullah SAW, kaum muslimin menggali parit. Meski demikian, ada beberapa jawara Quresy yang berhasil menyebrangi parit melalui bagian yang relatif sempit. Salah satu diantara mereka adalah Amr bin Abdi Wadd, yang dikenal sebagai jawara Arab tertangguh masa itu.

Ketika berhasil menyeberangi parit, Amr berteriak-teriak menantang siapa saja yang berani berhadapan dengannya. Kebisuan menyelimuti barisan kaum muslimin yang tahu dengan benar siapa Amr bin Abdi Wadd. Tiba-tiba Ali memecah kebisuan dan menyatakan kesiapannya bertarung dengan Amr. Dengan memakai serban yang dililitkan oleh Rasul di kepalanya, pemuda putra Abu Thalib itu melangkah menjawab tantangan Amr.

Kepergian Ali ke medan laga ditatap oleh Rasul yang bersabda, “Ini adalah pertarungan antara keimanan murni dan kekafiran murni.” Debu-debu beterbangan menyelimuti medan pertarungan dua jawara dari dua barisan yang berseteru dan menghalangi tatapan ribuan pasang mata. Hanya gemerincing suara benturan pedang yang terdengar. Tiba-tiba, suara takbir menggema yang menandakan bahwa Ali berhasil menghabisi Amr.

Kemenangan Ali atas Amr dalam kondisi seperti itu, mendapat pujian Nabi SAW. Beliau bersabda, “Pukulan pedang Ali pada perang Khandak lebih mulia dari ibadah seluruh manusia dan jin.”

Pada tahun ke-7 hijriyah, setelah mendengar berita persiapan kaum Yahudi Khaibar untuk menghabisi kota Madinah, Rasulullah SAW mengirim pasukan untuk menyerang mereka. Satu persatu benteng Khaibar jatuh ke tangan kaum muslimin. Namun gerakan pasukan Islam terhenti setelah dua hari berturut-turut gagal menundukkan benteng yang terkuat. Akhirnya, Nabi SAW bersabda bahwa esok beliau akan menyerahkan panji perang kepada orang yang menyintai Allah dan Rasul serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah orang yang tidak akan mundur sebelum berhasil menguasai benteng itu.

Esoknya, oleh Nabi, panji perang itu diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib as. Di tangan Ali, benteng terkuat Khaibar berhasil dikuasai dan kaum Yahudi di kawasan itu bertekuk lutut di hadapan kekuatan Islam. Kekalahan Yahudi Khaibar berarti kekalahan Yahudi di seluruh negeri Hijaz.

Perang Hunain adalah cerita lain yang mengisahkan ketegaran Ali dalam membela agama Allah. Perang Hunain terjadi setelah penundukan kota Mekah oleh pasukan muslimin. Dengan pasukan besar, sebagian kaum muslimin merasa tidak ada kekuatan di Arab yang bisa mengalahkannya. Namun tanpa diduga, barisan kaum muslimin diobrak-obrik oleh suku Hawazin dan Tsaqif. Barisan yang semula rapi itu mendadak kacau dan sebagian besar orang lari menyelamatkan diri dari serbuan suku Hawazin dan Tsaqif.

Hanya beberapa orang yang tetap menyertai Rasulullah SAW, diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Mutthalib. Saat itulah Nabi memerintahkan Abbas untuk memanggil kembali orang-orang yang terikat dengan baiat Ridhwan. Akhirnya, sedikit demi sedikit mereka yang lari kembali ke barisan dan siap menghadapi musuh.

Kepahlawanan dan kesetiaan Ali kepada Allah dan Rasul-Nya tidak diragukan oleh siapapun. Nama Ali membuat gentar setiap musuh Islam. Untuk itulah, ketika Nabi SAW membawa pasukan besar ke arah Tabuk, beliau memerintahkan Ali untuk tinggal di Madinah dan mengamankan kota ini dari konspirasi kaum munafikin yang ingin membuat kekacauan. Kehadiran Ali di Madinah di saat Nabi SAW dan sebagian besar kaum muslimin pergi ke Tabuk telah mengacaukan rencana kaum munafikin. Karenanya mereka menebar isu miring bahwa Rasul tidak lagi memerlukan Ali dalam perang Tabuk karena perjalanannya yang panjang dan panas yang membakar. Mereka juga menebar kasak-kusuk bahwa Ali meminta untuk tinggal di Madinah dengan anak-anak kecil dan kaum wanita di saat semua orang pergi menanggung kesusahan ke Tabuk.

Mendengar isu itu Ali mengejar Nabi SAW sampai ke daerah Juhfah yang terletak beberapa kilometer dari kota Madinah. Kepada utusan Allah itu, Ali menyampaikan isu yang beredar di Madinah. Nabi bersabda, “Wahai Ali, tidak bersediakah engkau memiliki posisi di sisiku sama seperti Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?”  

Ali as Setelah Kepergian Nabi SAW

Tahun 10 hijriyah, Nabi SAW bersama para sahabatnya melakukan ibadah haji. Musim haji tahun itu, hanya dihadiri oleh mereka yang telah memeluk agama Islam. Sejarah mencatat, bahwa lebih dari 100 ribu muslim ikut menyertai rasulullah SAW dalam ibadah haji yang disebut dengan hajjatul wada’ ini. Hajjatul Wada berarti haji perpisahan, karena setelah tahun itu umat Islam ditinggalkan oleh pemimpin mereka, Rasulullah SAW yang wafat hanya selang beberapa bulan sepulangnya dari haji ini.

Seperti yang telah kami singgung dalam searah kehidupan rasul SAW, di tengah perjalanan pulang ke Madinah, Nabi mendapatkan wahyu untuk menyampaikan pesan penting Tuhan. Untuk melaksanakan perintah itu, beliau menyuruh para sahabatnya untuk berhenti di tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Di sanalah beliau menyampaikan hadisnya yang terkenal, “Man Kuntu Maulahu fahadza Aliyyun maulah.” Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin maka Ali adalah pemimpinnya juga. Hadis ini difahami sebagai pengumuman dari Nabi bahwa sepeninggal beliau Ali-lah yang akan memimpin umat Islam.

Di penghujung bulan Shafar tahun 11 hijriyah, Nabi SAW menerima panggilan Sang Khalik untuk menghadap-nya. Beliau wafat meninggalkan umatnya setelah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Umat Islam bagai anak-anak yatim yang kehilangan orang tua mereka. Untuk itulah sejumlah orang berkumpul di sebuah balairung yang disebut dengan nama Saqifah bani Saidah. Pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah orang Anshar dan beberapa orang muhajirin. Meski sempat terjadi keributan, pertemuan itu menghasilkan keputusan mengangkat Abu bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah untuk memerintah atas umat.

Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah di saat jenazah suci Rasulullah SAW belum dimakamkan, cukup mengejutkan bagi para sahabat yang lain. Sebagian dari mereka masih meyakini bahwa Rasul sudah menjelaskan siapakah yang bakal menjadi penerus beliau. Namun segala penentangan terhadap keputusan itu tidak membuahkan hasil apapun. Beberapa bulan setelah wafatnya Rasul, Ali dan para pengikutnya mengulurkan tangan baiat kepada Abu Bakar. Sejarah mencatat bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai jawara tangguh dan pewaris ilmu Rasulullah SAW, hidup menyendiri. Beliau lebih menyibukkan diri dengan ibadah, menulis Al-Quran, bekerja dan mengajarkan ilmu kepada orang-orang tertentu, semisal Abdullah bin Abbas. Hubungan Ali dengan khalifah Abu Bakar tidak banyak dicatat oleh sejarah. Sepeninggal khalifah Abu Bakar, Umar yang menjadi khalifah kedua banyak memanfaatkan ilmu dan nasehat Ali. Ketika akan menyerang Persia, sesuai dengan saran Ali, Umar tidak menyertai pasukannya. Dalam banyak kasus, Umar juga membatalkan keputusannya ketika ada penentangan dari Ali. Kata-kata Umar yang terkenal, “Jika tidak ada Ali, Umar pasti binasa,” atau ungkapan, “Semoga Allah tidak menguji dengan satu maslah tanpa kehadiran Abul Hasan” diabadikan oleh para sejarawan.

Menjelang kematiannya, khalifah Umar menunjuk enam orang sahabat, yatiu Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf sebagai anggota syura. Tugas syura ini adalah memilih salah seorang diantara mereka sebagai khalifah. Dengan ketentuan yang telah ditetapkan, Abdurrahman bin Auf mengulurkan tangannya untuk membaiat usman. Keputusan itulah yang akhirnya ditetapkan dan Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga.

Di masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Ali tidak banyak memegang peranan, sebab khalifah ketiga ini lebih mengutamakan sanak familinya dari pada orang lain termasuk dalam masalah pemerintahan. Ketidakpuasan umum terhadap kinerja khalifah dan para pejabat pemerintahan saat itu, telah memunculkan kebangkitan massa. Meski termasuk tokoh yang paling vokal terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan saat itu, Imam Ali as tetap berusaha mencegah terjadinya aksi pembunuhan terhadap khalifah. Semua upaya dilakukannya termasuk memerintah putra-putranya untuk mengirimkan air dan makanan ke rumah khalifah yang dikepung massa. Namun, takdir berkehendak lain dan khalifah Usman terbunuh di tengah kerusuhan tersebut.

Ali Dibaiat Sebagai Khalifah

Masyarakat umum yang merasakan kekosongan kepemimpinan menyerbu rumah Ali dan mengajukan baiat mereka. Putra Abu Thalib menolak baiat tersebut dan meminta umat untuk membaiat orang selain dirinya. Ketika desakan massa semakin kuat, Ali menerima baiat mereka. Praktis dengan baiat yang dilakukan umat secara aklamasi terhadap dirinya, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah kaum muslimin.

Kebijakan pertama yang dilakukan Ali adalah mencopot para pejabat yang tidak layak lalu mengganti mereka dengan orang-orang yang cakap dan adil. Imam Ali yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-undang yang diskriminatif. Beliau memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang sebelumnya diberikan kepada orang-orang Quresy dan menyamaratakan hak umat atas kekayaan baitul mal.

Fitnah Jamal

Sikap inilah yang mendapat penentangan sejumlah orang yang selama bertahun-tahun menikmati keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya. Ketidakpuasan itu kian meningkat sampai akhirnya mendorong sekelompok orang untuk menyusun kekuatan melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah berhasil mngumpulkan pasukan yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah Ali bin Abi Thalib.

Mendengar adanya pemberontakan itu, Imam Ali mengerahkan pasukannya. Kedua pasukan saling berhadapan. Ali terus berusaha membujuk Thalhah dan Zubair agar mengurungkan rencana berperang. Beliau mengingatkan keduanya akan hari-hari manis saat bersama Rasulullah SAW dan berperang melawan pasukan kafir.

Meski ada riwayat yang menyebutkan bahwa himbauan Imam Ali itu tidak berhasil menyadarkan kedua sahabat Nabi itu, tetapi sebagian sejarawan menceritakan bahwa Thalhah dan Zubair saat mendengar teguran Ali, bergegas meninggalkan medan perang.

Perang tak terhindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya karena ketidakpuasan sebagian orang terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Imam Ali as. Pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan yang dikomandoi Aisyah, yang saat itu menunggang unta. Perang Jamal atau Perang Unta berakhir setelah unta yang dinaiki oleh Aisyah tertusuk tombak dan jatuh terkapar. Sebagai khalifah yang bijak, Ali memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan dikawal oleh sepasukan wanita bersenjata lengkap. Fitnah pertama yang terjadi pada masa kekhalifahan Imam Ali as berhasil dipadamkan. Namun masih ada kelompok-kelompok lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai poros kebenaran.

Fitnah Shiffin

Setelah api fitnah pasukan Jamal berhasil dipadamkan, pemerintahan Imam Ali as kembali diguncang oleh pemberontakan pasukan Syam pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perang ini terjadi setelah Muawiyah yang menjabat sebagai gubernur Syam sejak masa khalifah Umar bin Khatthab, menolak berbaiat dan tidak bersedia tunduk kepada pemerintahan Imam Ali as. Saat Imam Ali melalui sepucuk surat memintanya untuk berbaiat, Muawiyah mengumpulkan warga Syam di masjid dan mengatakan bahwa ia akan menuntut darah khalifah Usman yang dibunuh oleh para pemberontak.

Muawiyah mendapat dukungan warga Syam yang siap melakukan pembalasan atas darah khalifah. Pasukan Syam telah disiagakan untuk memberontak. Berita akan kesiapan pasukan Syam sampai ke telinga Imam Ali as. Beliau segera memanggil para sahabatnya untuk meminta pendapat mereka mengenai rencana serangan ke Syam. Sebagian besar sahabat mendukung rencana itu, bahkan beberapa diantaranya mencaci pasukan Syam. Imam melarang mereka dan mengatakan bahwa beliau tidak menyukai orang yang suka mencaci. Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat besar Nabi SAW dan pengikut setia Imam Ali as turut menyatakan dukungan. Setelah Imam Ali as yakin bahwa Muawiyah hanya mengenal bahasa kekerasan, beliau mengumumkan rencananya menyerang Syam kepada seluruh warga. Al-Hasan dan Al-Husein as, dua putra Imam Ali as memikul tugas mengajak masyarakat untuk menyertai pasukan Kufah menuju Syam.

Mendengar kesiapan pasukan Kufah, Muawiyah mengumpulkan warga Syam di masjid. Di atas mimbar masjid Syam, dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah baju yag berlumur darah seraya mengatakan, “Inilah baju khalifah Usman yang masih berlumur darah.” Muawiyah mengajak warga Syam untuk menyertai pasukannya menyerang pasukan Irak yang dipimpin oleh Imam Ali as.

Dua pasukan besar Syam dan Kufah bertemu. Kepada para sahabatnya, Imam Ali berpesan untuk tidak memulai perang sebelum pasukan Syam menyerang. Tanggal 1 Shafar tahun 37 hijriyah, kedua pasukan terlibat pertempuran sengit. Perang yang dikenal dengan nama perang Shiffin ini berlangsung cukup lama. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Diantara mereka yang gugur di pasukan Imam Ali adalah Ammar bin Yasir, Khuzaimah yang disebut nabi dengan nama dzu syahadatain atau orang memiliki dua syahadah, Uwais Al-Qarani, seorang arif yang dipuji Nabi serta sejumlah sahabat besar lainnya.

Ketika Muawiyah menyaksikan keletihan dan ketidakmampuan pasukannya untuk melanjutkan perang, ia memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat Al-Qur’an di atas tombak seraya memekikkan suara gencatan senjata. Tipu muslihat itu berhasil membuat pasukan Kufah ragu melangkah. Mereka tertipu oleh tipu daya ini dan tidak lagi mengacuhkan perintah Imam Ali as untuk melanjutkan perang. Ketidakpatuhan pasukan Kufah kepada pemimpinnya memaksa Imam Ali as untuk menerima ajakan damai yang sebenarnya hanyalah tipu muslihat Muawiyah untuk lolos dari kekalahan yang sudah di depan mata dalam perang Shiffin.

Gencatan senjata dilanjutkan dengan masing-masing pasukan mengirimkan juru runding. Muawiyah menunjuk Amr bin Ash yang dikenal licik ke meja perundingan. Sementara Imam Ali menunjuk Abdullah bin Abbas yang di kalangan Quresy dikenal sebagai orang cerdik dan arif. Tetapi lagi-lagi, pasukan Irak menentang keputusan Imam Ali. Dengan berdalih bahwa Ibnu Abbas adalah anggota pasukan Irak, maka dia tidak berhak duduk di meja perundingan. Mereka lantas memilih Abu Musa Al-Asy’ari yang tidak terlibat dalam perang Shiffin. Imam Ali yang kecewa dengan sikap pasukannya yang tidak lagi menghiraukan pemimpin mereka mengatakan, “Silahkan lakukan apa yang kalian inginkan.”

Dalam perundingan itu, Amr bin Ash dan Abu Musa sepakat untuk bersama-sama mengumumkan pencabutan jabatan Imam Ali dan dan Muawiyah. Setelah terlebih dahulu Abu Musa menyatakan keputusan menurunkan Ali dari khilafah, Amr dengan licik menyatakan bahwa dia menunjuk Muawiyah untuk menjadi pemimpin dan khalifah atas umat Islam.

Fitnah Nahrawan

Peristiwa hakamiyyah atau perundingan setelah perang Shiffin menjadi percikan awal munculnya kelompok baru yang dinamakan Khawarij. Kelompok ini mengangkat slogan “Tidak ada keputusan kecuali keputusan Allah.” Dengan slogan ini mereka menyatakan penentangan atas keputusan Imam Ali yang bersedia berunding dengan Muawiyah. Setelah mendengar jawaban dan keterangan dari khalifah ini, sebagian besar orang yang semula bergabung dengan kelompok itu memisahkan diri dan kembali ke barisan Imam Ali as.


Tak lama kemudian Khawarij membentuk pasukan dan memilih salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin. Pasukan ini bergerak ke arah daerah bernama Nahrawan. Siapa saja yang ditemui dan menyatakan mendukung kepemimpinan Imam Ali as tidak selamat dari tebasan pedang mereka. Keberingasan Khawarij membulatkan tekad Imam Ali untuk menghabisi mereka.

Saat dua pasukan berhadapan, sekali lagi Ali menasehati mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Kelompok demi kelompok memisahkan diri dari pasukan khawarij, sampai jumlah mereka berkurang menjadi hanya 1.800 penunggang kuda dan 1.500 pejalan kaki. Imam Ali berpesan kepada pasukannya yang berjumlah 14 ribu orang untuk tidak memulai perang. Khawarij secepat kilat menyerang dengan beringas dan dengan cepat pula barisan mereka kucar kacir. Pasukan ini lumpuh hanya beberapa saat setelah perang dimulai. Dari barisan Imam Ali hanya kurang dari 10 orang yang gugur. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9 Shafar tahun 38 hijriyah.

Warga Kufah Khianati Khalifah

Hasil keputusan perundingan antara Amr bin As dan Abu Musa Al-Ashari tidak bisa diterima oleh Imam Ali. Beliau segera mengeluarkan pengumuman tentang rencana menyerang kembali Syam. Akan tetapi hasutan orang-orang semisal Asyats bin Qais membuat orang-orang yang berada di barisan Imam Ali mengambil keputusan untuk kembali ke Kufah dengan alasan letih menghadapi peperangan. Hanya sekitar 300 orang yang memenuhi panggilan khalifah untuk berkumpul di kamp Nukhailah bersama beliau.

Ketidakloyalan warga Kufah kepada pemimpin mereka cukup memukul perasaan Imam Ali. Beliau terpaksa kembali ke Kufah dan urung menyerang Syam dengan jumlah pasukan yang hanya segelintir orang saja. Imam Ali kecewa dan mengecam sikap warga Kufah tersebut.

Wafat Imam Ali As

Setelah perang Nahrawan berakhir, Imam Ali as kembali mengimbau umat untuk bersiap-siap menyerang Muawiyah di Syam yang melakukan pembangkangan dan merusak persatuan kaum muslimin. Namun seruan beliau itu tidak mendapat sambutan masyarakat luas. Sejumlah orang seperti Asy’ats bin Qais sangat berperan dalam mengendurkan semangat para pendukung khalifah untuk kembali menyusun kekuatan di bawah kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib as. Akibatnya, dengan alasan letih karena perang, mereka memilih untuk meninggalkan pemimpin mereka di kamp Nukhailah. Menyaksikan kondisi yang demikian, Amirul Mukminin terpaksa kembali ke Kufah.

Imam Ali as memendam kekecewaan yang mendalam terhadap warga Kufah. Berkali-kali beliau mengecam warga kota itu karena ketidakloyalan mereka kepada khalifah. Dalam sebuah khotbahnya, beliau mengatakan, “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”

Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”

Meski kecewa akan sikap dan perlakuan warga Kufah terjhadap dirinya, Imam Ali as terus berusaha menyadarkan mereka dan menggerakkan semangat mereka untuk kembali berjihad di jalan Allah. Dalam banyak kesempatan, beliau mengingatkan mereka akan kebenaran yang berada di pihaknya dan bahwa berperang melawan Muawiyah adalah tugas suci yang harus dilaksanakan, sebab Muawiyah memecah belah umat dan berusaha menyebarkan kebatilan di tengah umat.

Berbeda dengan kondisi Kufah, di Syam, Muawiyah menikmati kesetiaan warga di negeri itu yang siap mengorbankan nyawa deminya. Muawiyah yang mendengar berita pengkhianatan warga Kufah terhadap pemimpin mereka, berusaha memanfaatkan kesempatan itu untuk mengguncang dan merongrong pemerintahan Ali bin Abi Thalib as. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penyerangan ke sejumlah wilayah kekuasaan khalifah yaitu Jazirah Arabia dan Irak. Dengan cara ini, Muawiyah berupaya menjatuhkan mental para pendukung Ali. Usaha Imam Ali as untuk kembali menyusun kekuatan, mulai menampakkan hasil. Kelompok demi kelompok menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dengan pasukan beliau. Upaya menggalang kekuatan terus dilakukan oleh orang-orang dekat dengan Imam Ali as, termasuk kedua putra beliau Al-Hasan dan Al-Husein as. Dalam kondisi seperti itu, Allah ternyata berkehendak lain. Setelah berjuang sekian tahun menjaga amanah imamah yang diberikan oleh Rasulullah, dan setelah menyaksikan pengkhianatan demi pengkhianatan orang-orang di sekelilingnya, Imam Ali a.s. harus menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 hijriyah. Amirul Mukminin Ali as keluar dari rumahnya menuju masjid Kufah untuk memimpin shalat subuh berjamaah. Di tengah shalat, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahi putra Abu Thalib itu. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. Jemaah masjid tersentak mendengar suara Ali, “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”

Ali roboh di mihrabnya dengan luka yang parah, sementara warga dengan cepat menangkap sang pembunuh yang tak lain adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Al-Hasan membawa ayahnya ke rumah. Berita itu segera menyebar di seluruh penjuru kota Kufah. Berbagai usaha dilakukan untuk menyelematkan jiwa Imam Ali as. Tetapi takdir Allah berkehendak lain. Ali bin Abi Thalib gugur syahid pada tanggal 21 Ramadhan atau dua hari setelah peristiwa pemukulan itu terjadi.

Sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Amirul Mukminin mewasiatkan beberapa hal kepada putra-putranya dan kepada umat. Di antara pesan beliau adalah menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.

Menurut sejumlah riwayat, Imam Ali as menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” Artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali as sejak lama telah mengetahui kapan dan bagaimana beliau akan meneguk cawan syahadah. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW menjelaskan kemuliaan bulan Ramadhan kepada para sahabatnya. Kepada Nabi, Ali bertanya, di bulan suci ini, amalan apakah yang terbaik? Rasul SAW menjawab, “Meninggalkan perbuatan dosa.” Mendadak mata Nabi berkaca-kaca. Ali menanyakan apa yang membuat beliau menangis? Rasul menjawab, bahwa Ali kelak akan dibunuh di bulan Ramadhan.

Kepergian Imam Ali as meninggalkan kedukaan yang mendalam di tengah umat Islam. Betapa tidak, Ali adalah orang yang mewarisi ilmu Nabi dan pemimpin besar umat ini. Akan tetapi, beliau ternyata harus meninggalkan ummat setelah mengalami berbagai macam pengkhianatan dan fitnah. Kondisi yang ada saat itu memaksa keluarga besar Rasulullah untuk memakamkannya di malam hari secara diam-diam di luar kota Kufah. Tempat itu di kemudian hari menjadi sebuah kota bernama Najaf.

Keutamaan dan Keagungan Imam Ali AS

1- Kepahlawanan dan Pengorbanan

Ali bin Abi Thalib adalah sosok manusia yang sempurna dari semua sisi. Kebesarannya diakui oleh kawan maupun lawan. Tidak ada seorangpun yang dapat melukiskan keagungan dan keutamaannya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW bersabda kepada Ali, “Wahai Ali tidak ada yang mengenal Allah dengan sebenarnya kecuali aku dan engkau. Tidak ada yang mengenalku dengan sebenarnya kecuali Allah dan engkau, dan tidak ada yang mengenalmu dengan sebenarnya kecuali Allah dan aku.”

Untuk itu, apa yang coba kami angkat dalam kesempatan ini, tak lain adalah upaya untuk mengenalkan sosok agung yang pernah ada di tengah umat Islam ini, sekaligus menghiasi pertemuan kita ini dengan nama Ali bin Abi Thalib. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda, “Menyebut Ali termasuk amal ibadah.”

Keutamaan pertama Imam Ali bin Abi Thalib adalah keberanian, kepahlawanan dan pengorbanannya dalam membela Rasulullah dan ajaran yang beliau bawa. Sejarah menyebutkan bahwa ketika berada di Mekah dan diboikot oleh Quresy, Rasulullah SAW bersama pamannya Abu Thalib dan keluarga besar Bani Hasyim tinggal di lembah atau Syiib Abu Thalib. Masa yang sulit itu berlangsung selama tiga tahun. Setiap malam, karena khawatir akan keselamatan Rasulullah SAW, Abu Thalib memerintahkan beberapa orang termasuk Ali untuk tidur di pembaringan Rasul, secara bergilir.

Malam ketika Nabi Muhammad SAW hendak pergi meninggalkan rumah menuju Madinah, beliau memerintahkan Ali untuk berbaring di tempat tidur Nabi dan mengenakan selimut beliau, padahal puluhan pemuda Arab sedang menunggu di luar dengan pedang terhunus untuk secara serentak menyerang rumah Nabi dan membunuh beliau. Pengorbanan Ali di malam itu disanjung oleh Allah dan diabadikan di dalam Al-Qur’an.

Ketika pasukan muslim yang berjumlah sedikit untuk pertama kalinya bertemu dengan pasukan kafir Quresy yang jumlahnya tiga kali lebih besar di Badr, Ali dengan keberanian dan kepahlawanan yang tertandingi berhasil menyungkurkan jawara-jawara kafir Quresy semisal Walid, Syaibah, Ash, Handhalah dan Naufal. Sejarah bahkan mencatat bahwa setengah dari 70 korban tewas di kubu pasukan Quresy, tersungkur setelah terkena sabetan pedang Ali.

Di Uhud, ketika pasukan kafir Quresy berhasil membuat barisan muslimin kocar-kacir, bahkan banyak yang melarikan diri, Ali tetap menyertai Nabi dan berperang dengan gigih di sisi orang yang ia cintai itu. Di tangan Ali-lah pasukan Quresy yang mengepung dan berusaha membunuh Nabi, berhasil dipukul mundur. Di medan yang penuh hiruk pikuk itu, luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya, tidak membuat kendur semangat Ali untuk berkorban dan membela Rasulullah SAW. Di Uhud inilah terdengar suara Jibril yang memuji Ali dengan mengatakan, “Tidak ada pahlawan seperti Ali dan tidak ada pedang seperti Dzul Fiqar.” Tahun kelima Hijriyah, di saat kaum kafir dengan pasukannya yang berjumlah besar mengepung Madinah dan tertahan karena benteng parit yang dibuat kaum muslimin, Ali menunjukkan kepahlawanan dengan melawan Amr bin Abdi Wadd, jawara Arab yang sangat ditakuti. Ketika kuda tunggangannya, berhasil melompati parit, dengan congkak, Amr menantang siapa saja yang berani bertarung dengannya. Tantangan itu ia ulangi tiga kali berturut-turut, dan tiga kali pula Ali menyatakan kesiapannya untuk menjawab tantangan itu. Rasul mengizinkan dan Ali berhasil memenggal kepala Amr setelah melalui pertarungan yang sengit.

Kisah kepahlawanan Ali terulang di Khaibar ketika beliau berhasil menundukkan benteng Khaibar yang paling kuat, padahal pasukan muslim telah dua kali gagal mendudukinya. Dalam perang itu, Marhab bin Abi Marhab, jawara Yahudi Khaibar tersungkur setelah pedang Ali memilah tubuhnya menjadi dua bagian. Padahal saat bertarung dengan Ali Marhab mengenakan pakian besi yang menutupi seluruh tubuhnya.

Di Hunain, ketiika pasukan muslimin yang berjumlah sepuluh ribu orang diserang secara mendadak oleh suku Hawazin dan sebagian besar dari mereka lari tunggang-langgang meninggalkan Nabi, Ali bersama segelintir orang tetap berada di sisi Rasulullah SAW. Tebasan pedang Ali yang menjungkalkan Abu Jarwal, pahlawan kaum kafir di Hunain, berhasil menyiutkan nyali musuh-musuh Rasulullah dan mengundang pasukan muslim yang lari untuk kembali menyusun barisan.

Apa yang disebutkan tadi hanyalah sedikit contoh dari kepahlawanan dan pengorbanan besar Ali bin Abi Thalib untuk agama Allah dan ajaran Rasulullah SAW. Tidak sedikit pujian yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan hadis mengenai pengorbanan Ali di jalan Allah ini.

2- Keluasan dan kedalaman Ilmu

Keutamaan Imam Ali as berikutnya adalah keluasan ilmu beliau. Sejak masa kanak-kanak, Ali selalu menyertai Rasulullah SAW ke manapun beliau pergi bahkan dalam sebuah ungkapannya, Imam Ali menyatakan bahwa beliau sering diajak Nabi SAW berkhalwat dan beribadah di gua Hira yang berada di luar kota Mekah. Imam bahkan menuturkan bahwa beliau merasakan kehadiran malaikat Jibril yang membawa wahyu untuk Nabi SAW di gua itu. Dengan menyertai Nabi, Ali menimba ilmu-ilmu ilahiyah dari manusia paling agung di dunia itu. Ali pernah mengatakan bahwa Nabi mengajarinya seribu macam ilmu yang masing-masing memiliki cabang seribu.

Di hadapan sahabat-sahabatnya, Nabi SAW berulang kali bersabda bahwa beliau adalah kota ilmu yang pintunya adalah Ali bin Abi Thalib as. Sabda Nabi ini dibenarkan oleh para sahabat yang menyaksikan sendiri betapa Ali adalah satu-satunya orang sepenninggal Nabi yang menjadi rujukan dalam berbagai hal. Bahkan para khalifah, khususnya khalifah Umar bin Khattab sering meminta pendapat Ali dalam memghambil keputusan. Lebih jauh Umar mengatakan, “Jika tidak ada Ali maka celakalah Umar.”

Pernyataan Ali yang meminta umat untuk bertanya kepadanya sebelum mereka kehilangan dirinya, adalah ungkapan yang diabadikan oleh para sejarawan dan ahli hadis. Ali dikenal sebagai bapak dari berbagai cabang ilmu. Abdullah bin Abbas yang dikenal sebagai guru besar tafsir Al-Qur’an sepanjang sejarah, adalah orang yang berguru kepada Ali. Abul Aswad Al-Duali, sasterawan besar Arab dan penyusun ilmu Nahwu adalah murid Imam Ali as. Bahkan, beliaulah yang memerintahkan dan menuntun Abul Aswad untuk menyusun ilmu Nahwu. Kepada sahabat dekatnya yang bernama Kumail bin Ziyad, Imam Ali as pernah menjelaskan kemuliaan ilmu dibanding harta. Kemudian beliau menunjuk dadanya secara mengatakan, “Di sini terpendam ilmu yang sangat luas. Andai saja aku menemukan orang yang bisa menerimanya.”

3- Kedermawanan

Imam Ali bin Abi Thalib as dikenal sebagai orang yang sangat dermawan bahkan di saat beliau sedang bergelut dengan kesulitan hidup sekalipun. Sering beliau memberikan makanannya kepada orang lain dan tidur dalam keadaan lapar. Perilaku Rasul yang sering mengganjalkan batu di perut beliau untuk menahan lapar karena lebih mementingkan orang lain, menjadi teladan baginya. Banyak Ayat Al-Quran yang turun memuji kedermawanan Imam Ali. Salah satu kisah termasyhur yang diabadikan oleh Al-Qur’an dan ditulis dengan tinta emas oleh para sejarawan adalah kisah turunnya surah Al-Insan.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika, Imam Ali as dan keluarganya bernadzar akan berpuasa tiga hari setelah Allah memberikan kesembuhan kepada dua anaknya, Hasan dan Husein yang saat itu sedang sakit. Setelah keduanya sembuh, Imam Ali melaksanakan nadzar itu. Beliau bersama istri, dua anak dan bahkan pembantunya yang bernama Fidldlah menjalankan ibadah puasa tiga hari. Saat itu di rumah beliau hanya ada persediaan makanan yang sangat terbatas.

Hari pertama, ketika hendak berbuka puasa, seseorang mengetuk pintu rumah beliau. Imam Ali membuka pintu. Setelah mengucapkan salam, orang tersebut mengatakan bahwa dia adalah orang miskin yang sedang kelaparan. Mendengar penuturannya, Ali as memerintahkan untuk memberikan makanan yang telah tersedia kepada si miskin. Malam itu keluarga beliau hanya cukup berbuka dengan air.

Kejadian serupa terulang lagi. Pada hari kedua seorang anak yatim dan hari ketiga seorang tawanan datang meminta sekedah kepada keluarga suci ini. Imam Ali memberikan makanan itu kepada mereka. Kedermawanan Ali dan keluarganya ini di saat mereka sedang memerlukan, dipuji oleh Allah swt. Surat Al-Insan atau Ad-Dahr turun berkenaan dengan peristiwa ini. Saat seorang pengemis meminta sekedah kepada orang-orang yang sedang berada di masjid Nabi, tidak ada seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Ali yang sedang menunaikan salat sunnah di masjid, saat ruku’ mengulurkan tangannya kepada si peminta sedekah. Orang tersebut lantas mengambil cincin yang ada di jari Imam dan pergi meninggalkan masjid. Kejadian itu direkam dalam Al-Qur’an Al-Karim. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah, Rasul dan orang yang beriman yang menunaikan salat dan membayar zakat saat sedang ruku’.”

Mengenai kedermawanan beliau, Muawiyah yang dikenal sebagai musuh Ali nomor satu, mengatakan, “Jika Ali memiliki dua buah rumah yang satu terbuat dari emas dan yang satu lagi terbuat dari kayu, dia akan bersedekah dengan rumah emas itu sampai tidak tersisa sedikit pun darinya.”

4- Kezuduhan

Keutamaan lain Imam Ali as adalah kezuhudan beliau. Sering Imam Ali menyatakan bahwa dirinya tidak akan bisa digoda oleh kemewahan dunia. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Imam Ali mengatakan, “Wahai dunia, godalah orang selain aku. Aku telah menceraimu dengan tiga kali talak. Tidak mungkin engkau akan kembali kepadaku. Umurmu terlalu singkat dan kehidupanmu hina.”

Menu makanan Imam Ali setiap harinya hanya sekerat roti kering dengan garam atau cuka. Beliau tidak pernah membiarkan perutnya dipenuhi makanan atau minuman. Pakaian yang beliau kenakan terbuat dari kain kasar. Meski duduk sebagai khalifah dan memegang seluruh kekayaan negara atau baitul mal beliau tidak pernah tergoda oleh gemerlap dinar yang ada di dalamnya. Diceritakan bahwa ketika menghitung uang baitul mal untuk dibagikan kepada rakyat, beliau bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur karena tidak tergoda oleh harta yang ada di hadapannya.

Suatu kali, ketika Ali mengerahkan pasukan ke Basrah untuk memadamkan fitnah perang Jamal, sekelompok jemaah haji mendirikan kemah di dekat kemah pasukan beliau. Mereka ingin bertemu dengan khalifah. Ibnu Abbas yang meruapakan salah seorang sahabat dan murid dekat Imam Ali bergegas memberitahu beliau. Saat itu Imam sedang menjahit sepatunya. Setelah selesai, sambil menunjuk ke arah sepatu itu, beliau bertanya kepada Ibnu Abbas, berapa harga sepasang sepatu ini?

Ibnu Abbas menjawab harga sepatu yang sudah kumal seperti ini tidak lebih dari setengah Dirham. Imam Ali as mengatakan, “Demi Allah, sepatu ini jauh lebih berharga bagiku dibanding jabatan khilafah, kecuali jika dengan khilafah ini aku dapat menegakkan keadilan dan menumpas kebatilan.”

5- Taqwa dan Keimanan yang Tinggi

Imam Ali bin Abi Thalib as juga dikenal sebagai orang yang banyak beribadah. Malam hari merupakan saat yang paling indah bagi beliau untuk bermunajat dan berkeluh kesah dengan Tuhannya. Ketika sedang menunaikan salat tidak ada apa pun yang dilihatnya kecuali kemuliaan dan keagungan Allah swt. Diceritakan bahwa pada suatu malam di saat perang Shiffin berkecamuk, Imam Ali as tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Mendadak sebuah panah menerjang dan menancap di kaki beliau. Sahabat beliau yang menyaksikan kejadian itu, menarik anak panah tersebut ketika Imam sedang dalam keadaan salat. Karena kekhusyukannya, Imam Ali tidak merasakan sakit saat anak panah itu menancap kemudian dicabut dari kakinya.


Munajat dan doa-doa yang diajarkan Imam Ali kepada para sahabatnya telah dibadaikan dalam buku-buku riwayat Islam. Doa-doa itu mengandung makna yang sangat dalam dan mengajarkan bagaimana tata krama dan cara seorang hamba berdoa dan bermunajat dengan sang Khaliq. Imam Ali juga mengajarkan bagaimana hendaknya seorang pecinta sejati melantunkan pujian kepada Tuhannya. Bahkan Imam Ali Zainal Abidin yang sepanjang sejarah dikenal sebagai orang yang paling banyak beribadah mengatakan, “Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi ibadah Ali bin Abi Thalib as.” 


Tidak ada komentar: