Fitnah Atas Syi'ah (Dialog Dengan Ulama)


Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi*

Temanku mengajakku pergi ke sebuah masjid yang berada di sisi masjid jami'. Di dalamnya terbentang permadani yang indah dan di mihrabnya juga terukir ayat-ayat AlQuran yang sangat menarik. Tiba-tiba mataku tertuju pada kerumunan anak-anak remaja bersorban yang tengah duduk mengelilingi mihrab. Mereka sedang belajar bersama-sama sambil memegang kitab masing-masing. Aku sangat terpesona dengan pemandangan yang indah ini, karena belum pernah kulihat syaikh-syaikh yang begitu muda, yang berumur sekitar tiga belasan sampai enam belasan tahun. Terlebih pakaian yang mereka kenakan itu, benar-benar membuat mereka tampak seperti bulan purnama yang bersinar.                                                                                                     

Temanku bertanya tentang Sayed. Mereka menjawab bahwa beliau tengah shalat berjamaah. Aku tidak tahu siapa Sayed yang dimaksudkan. Aku pikir beliau pasti seorang ulama. Kemudian aku diberitahu bahwa beliau adalah Sayed al-Khui, pemimpin Hauzah Ilmiah bagi orang-orang Syi'ah. Gelar Sayed dalam mazhab Syi'ah diberikan kepada mereka yang datang dari keturunan Nabi SAW. Seorang Sayed yang alim atau yang sedang belajar ilmu-ilmu Islam akan memakai sorban hitam. Sementara ulama-ulama yang lain akan memakai sorban putih dan dipanggil dengan gelar Syaikh. Orang-orang Sayed yang tidak alim, biasanya memakai serban berwarna hijau.

Temanku meminta mereka menemaniku sejenak, dan dia akan pergi menemui Sayed. Mereka menyambutku dengan penuh hangat sambil duduk mengelilingiku. Kuperhatikan wajah-wajah mereka dan kurasakan kebersihan hati mereka. Aku teringat pada sebuah hadis Nabi, "Manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Ibu bapaknyalah yang akan meyahudikannya, atau mengkristenkannya atau memajusikannya." Lalu kukatakan juga pada diriku, atau "men-Syi'ah-kannya."

Mereka bertanya dari mana aku berasal. "Dari Tunisia." Kujawab. "Apakah di sana ada Hauzah Ilmiah?" Tanya mereka lagi. "Hanya ada universitas dan sekolah-sekolah biasa." Jawabku. Berbagai pertanyaan dilemparkan padaku, dan semuanya sungguh sulit kujawab. Apa yang harus kukatakan kepada anak-anak tak berdosa seperti ini yang menduga bahwa seluruh dunia Islam semuanya memiliki Hauzah Ilmiah yang mengajar Fiqh, Usul-fiqih, Usuluddin, Syariah dan Tafsir. Mereka tidak tahu bahwa dunia Islam dan negara-negara kita sekarang telah maju sangat pesat. Kita telah menggantikan madrasah-madrasah yang mengajar Al Quran dengan taman kanak-kanak yang dipimpin oleh pendeta-pendeta Katolik. Apakah harus kukatakan bahwa mereka masih ketinggalan dibanding kita? Seorang diantara mereka bertanya: "Mazhab apa yang dianut di Tunisia?" "Mazhab Maliki" jawabku. Kuperhatikan ada sebagian mereka yang tertawa. Tetapi aku tak peduli. "Apakah Anda pernah tahu tentang mazhab Ja'fari?" Tanyanya lagi. "Nama baru apa ini? Tidak, kami tidak tahu selain dari empat mazhab. Selain empat itu mereka bukan tergolong dari mazhab Islam. "Jawabku.           

Sambil tersenyum, dia berkata lagi: "Maaf, sebenarnya Mazhab Ja'farilah yang benar-benar Islam. Bukankah Imam Abu Hanifah berguru kepada Imam Ja'far as-Shadiq? Itulah mengapa Abu Hanifah berkata: "Kalau bukan karena dua tahun, maka Nu'man telah celaka." Aku hanya diam saja. Nama itu baru bagiku, nama yang tidak pernah kudengar sebelum ini. Namun aku memuji Allah bahwa Imam mereka Ja'far as-Shadiq tidak pernah menjadi guru kepada Imam Malik." Kami ikut mazhab Maliki bukan Hanafi." Aku coba menjawab. "Imam empat mazhab belajar satu sama lain", sambungnya. "Ahmad bin Hanbal belajar dari Syafi'i; Syafi'i belajar dari Malik dan Malik belajar dari Abu Hanifah sementara Abu Hanifah sendiri belajar dari Ja'far as-Shadiq. Dengan demikian maka mereka semua adalah murid Ja'far as-Shodiq. Beliau juga adalah orang pertama yang membuka "universitas" Islam di masjid datuknya Rasulullah SAW. Lebih dari empat ribu ahli hadits dan ahli fiqih berguru padanya."

Aku sangat terkejut mendengar perkataan anak muda yang bijak ini, yang hafal dengan apa yang dikatakannya seperti hafalnya anak-anak kami suatu surah AlQuran. Lebih terkejut lagi ketika dia sebutkan sebagian buku-buku rujukan sejarah beserta bilangan jilid dan babnya. Dia sangat lancar berbicara seolah-olah seperti seorang guru di tengah muridnya. Aku merasa lemah dihadapannya. Aku berharap kalau-kalau temanku segera datang supaya aku tidak lebih lama berada di antara mereka. Setiap kali mereka bertanya padaku tentang fiqih atau sejarah, aku tak mampu menjawabnya. Mereka bertanya lagi, kepada siapa aku bertaklid? "Imam Malik" jawabku. "Bagaimana Anda mengtaklid seorang yang telah mati, yang jaraknya antara Anda dan beliau sekitar empat belas abad. Jika Anda kini ingin bertanya padanya tentang masalah-masalah yang kontemporer, apakah dia akan menjawab Anda?" Setelah berpikir sejenak, kemudian aku berkata: "Ja'farmu juga telah mati empatbelas abad yang lalu. Lalu kepada siapa Anda bertaklid?" "Kami bertaklid pada Sayed al-Khui. Beliau adalah Imam kami." Jawabnya yang kemudian diikuti oleh teman-temannya yang lain.

Aku tidak tahu apakah Khui lebih alim ataukah Ja'far as-Shadiq. Aku berusaha mengubah topik permasalahan dengan bertanya hal-hal lain. Aku menanyakan jumlah penduduk di Najaf, berapa jauh jarak antara Najaf dan Baghdad, apakah mereka tahu negara-negara selain Irak. Setiap kali mereka jawab, kuajukan pertanyaan-pertanyaan lain hingga mereka tidak sempat lagi bertanya dariku. Ya, karena aku tidak mampu menjawab dan merasa bodoh. Meskipun jauh dalam lubuk hatiku aku mengakui kebenaran kata-katanya. Segala sanjungan, kemuliaan, dan penghormatan yang kudapat di Mesir, luluh seketika di sini, terlebih setelah berjumpa dengan anak-anak ini. Di situ aku memahami makna sebuah syair yang berkata:

Katakan kepada mereka yang mengaku berfilsafat di dalam ilmu 
Hanya sedikit yang kau tahu sementara banyak yang kau tidak tahu.            

Sudah barang tentu akal anak-anak muda ini lebih tinggi dari akal syaikh-syaikh yang kujumpai di al-Azhar; dan bahkan lebih tinggi dari akal ulama-ulama yang kukenal di Tunisia. Sayed Khui masuk disertai serombongan ulama yang semuanya menyandang keagungan dan kewibawaan. Anak-anak berdiri, dan aku juga ikut berdiri. Mereka menghadap Sayed dan mencium tangannya dan aku tidak bergeming dari tempatku. Sayed tidak duduk sampai semua yang hadir duduk terlebih dahulu. Beliau memulai kata-katanya dengan ucapan massakum bil khoir, selamat petang, kepada setiap orang yang hadir. Kemudian dijawab dengan kata-kata yang sama oleh mereka. Beliau juga mengucapkan kata-kata itu kepadaku dan kujawab dengan jawaban yang sama.

Kulihat temanku tengah berbisik sesuatu kepada Sayed, lalu mengisyaratkan aku agar mendekat dan duduk di sisi kanan Sayed. Setelah mengucapkan salam, temanku berkata kepadaku: "Ceritakan kepada Sayed apa yang kalian dengar tentang Syi'ah di Tunisia?" Kukatakan padanya, "Ya akhi, buanglah jauh-jauh segala cerita yang kami dengar tentang Syi'ah dari sana-sini. Yang penting adalah aku ingin tahu dengan mata kepala sendiri apa yang dikatakan oleh Syi'ah. Aku ada beberapa pertanyaan yang kuinginkan jawabannya secara terus terang." Temanku mengisyaratkanku agar aku mengatakan secara terus terang kepada Sayed tentang bagaimana pandangan kami terhadap Syi'ah. Kukatakan bahwa Syi'ah menurut pandangan kami lebih berbahaya kepada Islam dibandingkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka menyembah Allah dan beriman kepada Risalah Nabi Musa as, sementara Syi'ah -yang kami dengar- menyembah Ali dan mengkultuskannya. Ada juga di antara mereka yang menyembah Allah, tetapi menempatkan Ali sejajar dengan Rasulullah SAW. Kubawakan cerita yang mengatakan konon Syi'ah percaya bahwa Jibril telah berkhianat ketika menyampaikan amanah Allah; yang sepatutnya amanah tersebut diberikan kepada Ali tetapi Jibril memberikannya kepada Muhammad.     

Sayed menunduk sejenak. Kemudian memandangku dan berkata, "Kami menyaksikan tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah; dan Ali hanyalah seorang hamba Allah." Kemudian beliau menoleh ke arah para hadirin lalu berkata: "Lihatlah mereka yang tak berdosa ini, betapa tuduhan-tuduhan yang dusta mengorbankan mereka. Ini tidak begitu aneh. Karena saya juga pernah mendengar tuduhan-tuduhan yang lebih berat dari orang-orang lain. Fala haula wala quwwata illah billah al-A'li al-A'zim. Kemudian beliau menoleh ke arahku sambil bertanya:

"Apakah Anda membaca Al Quran?"                  

"Aku bahkan telah hafal setengahnya ketika aku masih usia kurang dari sepuluh tahun." Jawabku.

"Tahukan Anda bahwa semua mazhab Islam yang beraneka ragam ini telah sepakat akan Al Quran al-Karim. Al Quran yang ada disisi kami adalah sama dengan AlQuran yang ada disisi kalian?"

"Ya, aku tahu." Jawabku.

"Nah, bukankah Anda telah membaca firman Allah, 'Muhammad hanyalah seorang Rasul di mana sebelumnya (telah datang) para rasul (yang lain).' (QS. Ali Imran: 144) Dan juga firman-Nya, 'Muhammad adalah Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya sangat keras terhadap orang-orang kafir.' (QS. al-Fath: 29). Juga firmanNya: 'Muhammad bukanlah ayah salah seorang di antara laki-laki kalian, namun dia adalah Rasulullah dan penutup segala Nabi.' (QS. Al-Ahzab: 40)

"Ya, aku tahu ayat-ayat tersebut." Jawabku.          

"Lalu di mana Ali? Jika AlQuran berkata bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka dari mana datangnya tuduhan-tuduhan seperti ini?"

Aku diam saja tanpa berniat untuk menjawab sedikit pun.         

Lalu beliau menyambung lagi: "Tentang pengkhianatan Jibril, oh... (tuduhan) ini lebih buruk dari yang pertama itu. Karena ketika Jibril diutus oleh Allah kepada Muhammad, waktu itu usia Muhammad empat puluh tahun, dan Ali masih seorang anak kecil yang berumur sekitar enam atau tujuh tahunan. Bagaimana mungkin Jibril dapat salah dan tidak dapat membedakan antara Muhammad yang dewasa dan Ali yang masih kecil?"      

Aku tetap diam. Lama kurenungkan kata-katanya dan logikanya yang benar-benar menyentuh pikiranku dan mampu mengikis keragu-raguanku. Dalam benakku sempat bertanya kenapa kita tidak pernah menganalisanya dengan cara mantik dan logika seperti ini.                                                                                                             

Kemudian Sayed al-Khui menyambung kata-katanya:

"Saya katakan lagi bahwa Syi'ah adalah satu-satunya mazhab Islam yang mempercayai akan kema'suman para Nabi dan Imam. Jika para imam kami ma'sum (tidak berbuat salah) dari segala kesalahan, sementara mereka adalah manusia seperti kita, maka malaikat Jibril, malaikat yang disebut oleh Allah sebagai malaikat yang muqarrab dan sebagai Ruh al-Amin tentu lebih utama."      

"Lalu dari mana datangnya tuduhan-tuduhan seumpama ini?" Tanyaku kemudian. "Dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah kaum muslimin dan memporakporandakan mereka. Kaum muslimin itu bersaudara, baik Syi'ah atau Sunnah. Mereka menyembah Allah yang Maha Esa dan tidak mensyirikkan-Nya. Al Quran mereka satu, Nabi mereka satu dan kiblat mereka juga satu. Syi'ah dan Sunnah tidak berselisih apa-apa melainkan dalam sebagian hukum fiqih saja, sebagaimana hal itu juga ada diantara mazhab Sunnah sendiri. Fatwa Malik berbeda dan menyalahi fatwa Abu Hanifah, dan fatwa Abu Hanifah berbeda dengan Syafi'i, dan sebagainya."

"Jadi apa yang dituduhkan kepada kalian adalah dusta semata-mata?"

"Alhamdulillah, Anda adalah seorang yang berakal dan memahami segala sesuatu. Anda telah melawat negara Syi'ah dan hidup di sekitar mereka. Apakah Anda pernah melihat atau membuktikan tuduhan-tuduhan seumpama itu?"

"Tidak sama sekali. Yang aku lihat hanya kebaikan saja. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengenalkan aku dengan ustadz Mun'im saat kami berada di kapal menuju Lebanon. Dialah yang membawa saya ke Irak dan memberitahu banyak hal yang selama ini saya ragukan."    

Temanku Mun'im juga tertawa sambil berkata: "Itu juga berkat pusara Imam Ali ini." Kemudian aku remas tangannya dan berkata: "Di sini saya telah banyak belajar bahkan dari anak-anak muda itu sekalipun. Saya bercita-cita akan belajar di Hauzah seperti mereka jika aku diberi kesempatan."

"Ahlan wa sahlan." Jawab Sayed serta merta. "Jika memang Anda ingin belajar dan menuntut ilmu, maka Hauzah akan menanggung Anda dan kami sepenuhnya akan berkhidmat pada Anda."        

Para hadirin menyambut baik gagasan ini, terutama Mun'im yang nampak lebih berseri. Kemudian kukatakan bahwa aku telah berkeluarga dan kini punya dua anak.        

"Kami akan jamin semua keperluan Anda termasuk tempat tinggal, biaya hidup dan segala yang Anda perlukan. Yang penting Anda belajar saja." Jawab Sayed.

Aku berfikir sejenak. Rasanya tidak mungkin aku belajar lagi setelah lima tahun aku mengajar dan mendidik generasi muda. Tidak mudah memang untuk mengambil keputusan dalam waktu yang begitu singkat. Akhirnya aku mengucapkan terima kasih pada Sayed al-Khui atas tawarannya itu. Kukatakan bahwa aku akan memikirkan hal ini sepulangnya dari umrah kelak Insya Allah. "Aku perlu sejumlah buku referensi", kataku. Kemudian Sayed berkata pada orang sekitarnya: "Berikan padanya sejumlah buku." Dan sebagian orang yang ada di sekitar kemudian berdiri lalu membuka beberapa lemari yang ada. Tidak lama kemudian mereka berikan padaku buku-buku sebanyak tujuh puluh jilid lebih dan beberapa set buku lain. Sayed berkata bahwa ini adalah hadiah darinya. Melihat semua ini rasanya tidak mungkin aku dapat membawanya, apalagi aku akan pergi ke Saudi yang biasanya melarang segala jenis kitab masuk ke dalam negeri mereka, karena khawatir pada berbagai akidah yang berlainan dengan mazhab mereka. Tetapi aku juga tidak mau kehilangan buku-buku seperti ini yang tidak pernah kulihat sepanjang hidupku. Kukatakan kepada temanku dan yang hadir bahwa perjalananku sangat jauh, melalui Damaskus, Yordania baru Saudi. Dan ketika pulang justru lebih jauh lagi. Mengingat aku akan melalui Mesir, Libya hingga Tunisia. Selain dari beratnya bawaan, kebanyakan negara juga melarang membawa buku.

Sayed kemudian meminta alamatku dan kelak beliau akan mengirimkannya ke sana. Kuberikan padanya alamatku di Tunisia dan kuucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga. Ketika aku berdiri untuk pulang, beliau juga berdiri sambil berkata: "Semoga Allah menyelamatkanmu dalam perjalanan. Jika kelak Anda berdiri di hadapan kuburan datukku Rasulullah, sampaikan salamku padanya." Yang hadir merasa terharu. Begitu juga aku. Kulihat air matanya jatuh. Kukatakan pada diriku bahwa tidak mungkin orang seperti ini akan salah atau berdusta. Sungguh, wibawa, keagungan dan sikap rendah hatinya mencerminkan bahwa beliau benar-benar keturunan Nabi. Lalu aku menjabat tangannya dan menciumnya walau dia coba menolaknya. Semua berdiri dan menyalamiku. Anak-anak muda yang mendebatku tadi juga mengikutiku dan meminta alamatku untuk berkirim surat. Dan aku tidak mengabaikan permintaan mereka.

Kami menuju Kufah memenuhi undangan salah seorang yang hadir di majlis Sayed al-Khui tadi. Beliau adalah teman Mun'im. Namanya Abu Syubbar. Kami menginap di rumahnya. Malam itu kami berdiskusi panjang dengan sejumlah pemuda aktifis. Di antara mereka terdapat sejumlah murid Sayed Muhammad Baqir as-Sadr. Mereka menyarankanku untuk berjumpa dengannya, dan pertemuan itu akan diatur besok. Temanku sangat setuju tetapi sayang dia tidak dapat hadir lantaran menyelesaikan beberapa urusan penting di Baghdad yang tak dapat ditinggalkan. Kami sepakat untuk tinggal di rumah Sayed Abu Syubbar selama tiga atau empat hari sampai Mun'im kembali. Setelah shalat Shubuh Mun'im pergi ke Baghdad dan kami pergi tidur setelah satu malam suntuk berdiskusi panjang. Malam itu aku banyak sekali belajar dari mereka. Aku kagum terhadap berbagai ilmu yang mereka pelajari di Hauzah llmiah, Selain dari ilmu-ilmu Islam seperti Fiqih Syariah dan Tauhid mereka juga belajar ilmu-ilmu seperti ekonomi, sosiologi dan politik. Begitu pula ilmu-ilmu sejarah, sastra, astronomi dan sebagainya. (*Penulis buku Tanyalah Pada Ahlinya)

Tidak ada komentar: