Pelajaran dari Sebuah Kematian


Oleh Ignas Kleden (Sosiolog dan Kritikus)

MANGUNWIJAYA telah meninggal dunia dalam suatu kematian yang demikian mudah dan cepat sehingga tidak segera meyakinkan teman-temannya pada Rabu siang 10 Februari 1999, di Hotel Le Meridien Jakarta. Siang itu dia menjadi pembicara pada simposium dua hari yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia dengan tema ''Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia''.

Acara itu berakhir pukul 13.30 dan para peserta dipersilakan menuju ruang lain untuk makan siang. Romo Mangunwijaya masih berbicara dengan beberapa orang, dan terakhir bersama Sdr Mohamad Sobary. Kemudian dengan begitu saja dia menjadi lemas dan menahankan dirinya pada bahu Sobary, yang lalu membaringkannya di atas karpet dan mencoba menolongnya dengan melakukan pijatan. Napas Mangunwijaya terdengar kencang, dan ciut juga hati saya karena dari pengalaman saya ingat, itulah bunyi napas orang-orang yang sedang menghadapi sakratulmaut.

Panitia segera memanggil dokter, dan dia dipindahkan ke medical center hotel Le Meridien. Kami meneruskan makan siang dan kemudian setelah kira-kira 10 menit mendapat kabar bahwa beliau telah meninggal dunia pada pukul 13.55. Titian serambut dibelah tujuh antara hidup dan mati telah dilewatinya dengan enteng bagaikan dalam sebuah permainan akrobatik. Kehidupan yang penuh pergolakan dan perjuangan panjang telah berakhir dengan sebuah kematian yang mulus, langsung dan tanpa komplikasi, dalam waktu kurang dari duapuluh menit.

DILAHIRKAN di Ambarawa, Jawa Tengah pada 6 Mei 1929, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya bertumbuh besar dalam sebuah keluarga Jawa Katolik. Ini artinya beberapa bulan lagi dia diharap merayakan ulang tahun ke 70 yang oleh lingkungan kawan-kawannya telah dipersiapkan untuk disambut dengan sebuah perayaan dan penerbitan buku-buku. Setengah dari niat itu tidak kesampaian karena dia telah meninggal selagi bekerja bersama kawan-kawannya dalam memikirkan Masyarakat Indonesia Baru, dan jalan menuju ke sana yang hendak dicoba dirintis dengan menggalakkan peranan buku.

Dengan latar belakang kebudayaan Jawanya yang mantap, Mangunwijaya selalu tampil sebagai pribadi santun yang sekaligus menyimpan sejumlah besar bakat humor dan ironi yang selalu menghangatkan tiap pertemuan dan membuat hidup tulisan-tulisannya yang amat banyak. Dalam berbagai kesempatan berjumpa dengannya yang terlihat ialah bahwa dia sanggup menjaga keseimbangan jiwa dan perasaan, atau mental equanimity, yang menjadi ideal pendidikan dalam kebudayaan ini, tanpa takut menghadapi perbedaan pendapat dan pertentangan kepentingan dan bahkan santai saja menghadapi konflik dengan kekuasaan.

Dididik sebagai seorang rohaniwan katolik, Mangunwijaya melihat dirinya pertama-tama sebagai seorang agamawan. Tetapi tema hidup keagamaannya adalah pengembangan iman dan religius, dan bukan mengerasnya lembaga agama yang dapat mengakibatkan kompartmentalisasi. Rabu siang dalam simposium itu dia bahkan masih berkata: ''Agama cenderung, dan, sampai tingkat tertentu, harus menjadi eksklusif, tetapi iman selalu terbuka dan inklusif.'' Dia bukanlah seorang yang betah hidup tenang intra muros di antara tembok-tembok agamanya, tetapi mempunyai kebebasan seorang beriman, yang mengembara ke mana-mana, berjumpa dengan siapa saja dari golongan mana saja dari berbagai kelas sosial, yang diyakininya bisa menjadi kawan seperjuangan dalam suatu pencarian bersama akan kebenaran, pembelaan bersama akan keadilan, perlawanan bersama terhadap penindasan dan realisasi bersama akan kebaikan.

Dididik sebagai seorang arsitek, Mangunwijaya ternyata tidak hanya terlatih untuk merencanakan dan membangun rumah dan gedung, tetapi juga mahir mendesain pendidikan, merencanakan kebudayaan dan turut aktif membangun suatu masyarakat baru. Dia bukan saja menguasai ilmu tentang ruang fisik tetapi menunjukkan kepekaan yang tinggi dan intuisi yang tajam tentang ruang sosial dan bahkan ruang politik.

Minatnya dan pengetahuannya yang mendalam tentang Iptek justru tidak membuatnya menjadi seorang Fachidiot yang fanatik dengan disiplinnya, tetapi memberinya pemahaman yang sensitif tentang batas-batas kompetensi ilmu dan relatifnya manfaat teknologi dalam kehidupan masyarakat. Kekeliruan yang sering dikritiknya, bahkan dalam makalahnya yang terakhir kemarin, adalah bahwa Iptek telah menimbulkan salah paham bahwa sesuatu yang secara teknis bisa dikerjakan secara moral juga dengan sendirinya boleh dilakukan. Iptek adalah sebuah bidang yang juga mempunyai batas-batas secara etis, karena jika tidak maka dia berubah menjadi sebuah kemampuan yang bisa menciptakan apa saja, dan dapat menghancurkan apa saja. Iptek perlu diberi juga rambu-rambu nilai-nilai. Di sana Mangunwijaya melihat (dan membela dengan gigih) kaitan erat dan tak terpisahkan antara Iptek dan humaniora.

Dalam arti itulah barangkali kegiatan dan keterlibatannya yang intensif dalam bersastra dapat dipahami. Karena dalam sastra khususnya dan kesenian pada umumnya, selalu dituntut bukan saja kebebasan tetapi juga keberanian untuk mengeksplorasi kemungkinan imajinasi untuk menerobos batas-batas yang biasanya sudah diterima begitu saja berdasarkan berbagai dalam tradisi kebudayaan mau pun konvensi ilmu pengetahuan. Sastra juga memberi bentuk pengucapan lain untuk hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara memadai dalam idiom-idiom ilmu pengetahuan.

Dalam pada itu pengembangan karya-karya tulis berupa buku-buku dipandangnya tidak bisa lagi meniru gaya borjuasi Eropa, di mana buku-buku mula-mula menjadi konsumsi kelas atas dan menengah barulah kemudian menjadi milik lapisan bawah dalam masyarakat. Kira-kira sejam sebelum meninggal, Mangunwijaya masih berpesan dalam simposium, bahwa peningkatan peran buku di Indonesia perlu dicarikan modelnya bukan saja di negara-negara Barat, tetapi juga di Cina. Di sana pengadaan buku-buku dilakukan dengan subsidi besar-besaran, dicetak murah, dan terjangkau oleh daya beli rakyat biasa. Kecerdasan dan pendidikan tidak perlu dikembangkan menurut strategi trickle down. Kalau masyarakat menjadi cerdas yang untung adalah pemerintah karena banyak urusan bisa diselesaikan oleh masyarakat sendiri.

KECERDASAN adalah suatu hal yang selalu diperjuangkan Mangunwijaya dalam cita-cita dan usaha pendidikannya. Sebab, dengan keyakinan teguh, dia sudah lama berpendapat bahwa banyak kebodohan tidak selalu dibawa semenjak lahir tetapi seringkali diciptakan setelah orang dilahirkan ke dunia, dan dilestarikan setelah orang menjadi dewasa di tengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan berfungsi, antara lain, mengurangi dan menyingkirkan halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan inteligensi sederhana saja dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas apa pun yang dilakukannya.

Kedekatannya dengan kelompok masyarakat kelas bawah rupanya didorong oleh motivasi pendidikan semacam itu. Hendak dibuktikannya bahwa orang-orang tanpa rumah, kaum gelandangan, dan mereka yang hidup di pinggir kali adalah makhluk yang oleh keadaan dan struktur sosial yang ada diperlakukan sebagai orang-orang bodoh, melalui sikap yang terus-menerus membodohi mereka. Sekolah bukanlah menjadi alat untuk melestarikan perbedaan kelas sosial tetapi sarana untuk memperkecil perbedaan tersebut, dengan kecerdasan sebagai hasil usaha pembebasan. Perbedaan kelas tidak mungkin dihilangkan, tetapi dapat dihadapi dengan wajar tanpa sikap diskrimanasi kelas.

MANGUNWIJAYA memang seorang tokoh dengan berbagai bakat, beragam kegiatan, dan bermacam-macam prestasi. Sekalipun demikian, saya menduga, dia mungkin paling senang dikenang sebagai seorang manusia yang selalu mencoba ''menjadi orang'' dan membuat orang lain ''menjadi orang''. Keterlibatan dan bacaan yang mendalam tentang teori evolusi sebetulnya merupakan usaha untuk menyimak hubungan yang penuh misteri tetapi amat nyata antara proses hominisasi (proses menjadi homo sapiens) dan humanisasi (proses merealisasikan nilai-nilai dan kemampuan human).

Dalam arti itu, kesempurnaan bukanlah ideal seorang Mangunwijaya, tetapi percobaan dan usaha yang terus-menerus, suatu determinasi tanpa pretensi, untuk memikirkan suatu kemungkinan yang lebih baik, dan mencobakannya dalam praktik. Sebuah istilah yang amat digemarinya adalah ''praksis''. Hidup adalah praksis dan bahkan teori adalah sebuah praksis. Pendidikan adalah praksis dan cinta kepada manusia adalah sebuah praksis. Politik adalah praksis. Kalau pada satu saat seseorang berteori tentang politik dan pendidikan, maka di sana dia hanya menguji sebuah praksis dengan sebuah praksis lainnya. Mangunwijaya pada dasarnya adalah seorang ''pembuat'' dan bukan saja seorang ''pemikir''. Seluruh pemikirannya adalah praksis yang dicobanya untuk mendukung atau menguji apa yang sedang atau hendak dibuatnya.

Karena itulah dia tidak pernah takut untuk mengajukan gagasan yang kedengarannya kontroversial, seperti misalnya gagasan negara federasi. Gagasan itu sebaiknya diterima sebagai sebuah praksis, sebuah pemikiran yang diajukan supaya kita bekerja secara konseptual dan politis untuk merumuskan kembali pengertian tentang kesatuan dan persatuan. Apakah kesatuan nasional hanya mungkin terwujud dalam bentuk negara kesatuan? Praksis politik selama setahun terakhir ini menunjukkan bahwa meskipun ada negara kesatuan, berbagai friksi, perpecahan, dan bahkan kekerasan berkembang dengan kecepatan api membakar hutan.

Di sanalah dilema seorang Mangunwijaya: kepercayaan kepada perlunya membentuk pribadi yang matang dan otonom selalu diperhadapkan dengan kecemasan tentang halangan-halangan struktural yang ada dalam masyarakat. Seorang pribadi yang matang, hanya mungkin terwujud dalam masyarakat yang matang, dan masyarakat yang matang hanya mungkin didukung oleh pribadi-pribadi yang matang. Kesempurnaan moral bukan sekadar hasil usaha pribadi, tetapi juga gejala dari perkembangan masyarakat. Suatu masyarakat yang membiarkan dengan acuh, darah orang tertumpah di jalanan, niscaya merupakan halangan besar untuk mewujudkan kesempurnaan, betapa banyak pun usaha kalangan agamawan, pendidik, dan kaum moralis dikerahkan untuk kemajuan budi-pekerti dan kesempurnaan pribadi.

Mangunwijaya juga bukanlah seorang yang sempurna. Pemikirannya memang amat subur tetapi dia bukanlah pemikir sistematis yang mengajukan teori. Pemikirannya adalah respons spontan kepada keadaan, tanpa memberikan suatu kerangka besar yang dapat dipegang secara konseptual. Sebagai seorang aktivis komitmennya kepada suatu cita-cita lebih jelas daripada teori yang melandasinya. Kesempurnaan memang bukan milik setiap orang dan sebaiknya demikian. Seorang yang terlalu sempurna hanya sanggup kita kagumi tetapi sulit sekali untuk dicontohi. Kesempurnaan seseorang secara rohani bisa membawa orang kepada sikap otoriter yang tidak kurang bahayanya seperti otoritarianisme politik.

Kematian Romo Mangunwijaya adalah sebuah kematian yang secara kiasan ingin saya namakan kematian ala Mangunwijaya dan ala Indonesia. Dia meninggal di tengah sebuah simposium yang membahas peningkatan peran buku untuk penciptaan masyarakat baru, di tengah pembahasan tema pendidikan dan kebudayaan yang amat sentral, yang menjadi obsesinya dalam tigapuluh tahun terakhir. Di sana juga dia hadir di tengah sahabat-sahabatnya: Prof Toeti Heraty Noerhadi, Mochtar Lubis, Jakob Oetama, Dr Karlina Leksono, kalangan penerbit buku dan IKAPI, perwakilan Ford Foundation dan UNDP, perwakilan dari Library of Congress, perwakilan Obor Thailand, Dr Henri Chambert-Loir dari EFEO, dan dan tentu saja para wartawan dan orang-orang media. Dia juga tidak meninggal dalam pengawasan seorang rekan pastornya. Ketika dia merasa lemah dan jatuh dalam pelukan Mohamad Sobary, teman ini berkata kepadanya: ''Ada apa Romo?'' Dia menjawab ''He, kamu, kiaiku'' dan setelah itu rebah perlahan-lahan di atas karpet. Kalau kehidupan sulit mempertemukan kita rupanya hanya kematian yang dapat mempersatukan kita kembali. Burung Manyar itu telah terbang ke tempat darimana tak seorang pun dapat memanggilnya kembali.

Tidak ada komentar: