Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Bagian Keempat)


oleh Ir. Soekarno (Bung Karno)

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya. 

Walaupun pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli-fikir ini ialah:- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek) ; – ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kerja” ini  ialah “wert­bildende Substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer); – ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); – ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi­akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaan­nya berhubung dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya” (materialistische geschiedenis-opvatting) ; – ia mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde” itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan­perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); – dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam­hati yang makin lama makin sangat (Verelendungs-theorie); – teori-teori mana, berhubung dengan kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum begitu mengetahuinya. 

Meskipun musuh-musuhnya, di antara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe B l a n q u i dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa ke­jadian-kejadian itu terjadi”; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; – meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelselnya Karl Marx itu mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya umum, dan mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli­ fikir lain, dirinya Marxlah,  yang meski “bahasa”nya itu untuk kaum “atasan” sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang me­larat-fikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang. Dengan gampang sahaja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu”, mereka lalu mengerti teorinya atas meer­waarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil-pekerjaan padanya; mereka lalu sahaja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetap­kan keadaan manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia itu: e r i s t was e r i s t ; mereka lantas sahaja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil,  – bahwa kaum “burjuasi” itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”. 

Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu masuk tulang-sungsum­nya kaum buruh di Eropah, masuk pula tulang sungsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidakkah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya”. Se­bagai tebaran benih yang ditiup angin ke mana-mana tempat, dan tumbuh pula di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum “bursuasi” sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar” yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu, sebagian telah diterbangkan oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud”, yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian “Internasionale”, yang dari sehari-ke-sehari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah haibatnya bergaung dan ber­kumandang di udara Timur … 

Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas ke-Islaman. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang, – sebagai  yang sudah kita terangkan di muka, – menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita. Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, – begitulah seakan-akan lagu-perjoangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunyai tanah-air”? Katanya: Bukankah dalam “Manifes Komunis” ada tertulis, bahwa “komu­nisme itu melepaskan agama”? Katanya: Bukankah Babel telah mengatakan, bahwa “bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan”? 

Dan sebaliknya! Fihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki fihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “berseku­tuan” dengan orang asing itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: azasnya sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan “kalang-kabutnya negeri” dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu. 

Demikianlah dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah s a l a h mengerti dan saling tidak mengindahkan. 

Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih sahaja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah.

Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya” Marxisme itu, dan yang menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah terjadi oleh “prac­tijknya” faham Marxisme itu, – mereka menunjukkan tak mengertinya atas faham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya “prac­tijknya” tadi. Sebab tidakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialismenya itu hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya di-“sosialis”-kan? 

Bukankah “kejadian” sekarang ini jauh berlainan daripada “voor­waarde” (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu? 

Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada “practijknya” faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa “failliet” dan “kalang­kabut” – nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh han­taman dan serangan pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis, dan jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat-khabar di seluruh dunia. 

Di dalam pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, di mana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda; di mana umpamanya negeri  Inggeris,  yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah “mengotorkan nama Inggeris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan” si sakit dan si lapar itu; di mana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum itu untuk kayu-bakar, sedang di negeri Rusia orang-orang di distrik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya. 

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang masyhur itu, seorang yang bukan Komunis, di mana ia dengan tak memihak pada siapa juga, menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi peri-kemanusiaan … Tetapi mereka dirintang-rintangi”. 

Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak pada siapa juga! Kita hanialah memihak kepada Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua! 

Kita di atas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berobah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afghanistan. 

Adapun teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya haruslah diikut­kan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”,  maka segeralah tampak pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu. Bahwasanya: benarlah pendapat sosial demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya”. 

Perobahan taktik dan perobahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh­-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, di mana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropah atau Amerika itu, pergerakannya harus diobah sifatnya menurut pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropah atau Asia, dan haruslah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena di sini yang pertama-tama perlu bukan kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap pada feodalisme”. 

Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu m e r d e k a, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjoangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu j u g a, dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula. 

Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machts-politiek dari rakyat sendiri.Mereka harus ingat, bahwa rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di lain-lain negeri, dengan iktikad: “ubi bene, ibi patria: di mana aturan-kerja bagus, di situlah tanah-air saya”, – sebagai kaum buruh di Eropah yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya. 

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya. 

Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan ber­bentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. 

Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan seterang-terangyya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxsme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Ko­munis” mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dile­paskan adanya.

Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu daripada Wijsgerig-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi, sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) fikiran itu; historis-materialisme menanya­kan sebab-sebabnya fikiran itu b e r o b a h ; wijsgerig-materialisme men­cari asalnya fikiran, historis materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig materialisme adalah wijsgerig, historis materialisme adalah historis. 

Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti­henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanialah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi. 

Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropah terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropah terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, di mana kaum gereja itu memakai-makai agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisrne, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reak­sioner sekali. 

Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropah itu. Di sini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; di sini agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah”. Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; di sana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas”. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah” ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan”, – agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjoangan yang dalam beberapa bagian s e s u a i dengan perjoangan Marxisme itu. 

Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya seazas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka niscaialah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi. 

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperhatikan segala perobahan teori azasnya, dengan menjalankan segala perobahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menye­butkan diri pembela rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat. 

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, – Marxis yang demikian itu jangan­lah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya! 

Tulisan kita hampir habis. 

Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang­-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa Persatuan­lah yang membawa kita ke arah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menunjukkan bahwa Persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan sahaja organisasinya, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya sahaja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, yang mempunyai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, –  apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunyai pula Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu? 

Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. 

Dan jikalau kita semua insyaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa” ; jikalau kita insyaf, bahwa Roh Rakyat Kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini, – maka pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga. 
Sebab Sinar itu dekat! 


“Suluh Indonesia Muda”, 1926
Ir. Soekarno (Proklamator & Presiden Republik Pertama Republik Indonesia)
Dicuplik dari Buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Ir Soekarno – Jilid Pertama Cetakan Ketiga tahun 1964

Tidak ada komentar: