Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Bagian Kedua)


oleh Ir. Soekarno (Bung Karno)

Nasionalisme itu ialah suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!

Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan di atas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjoangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita. 

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Boedi Oetomo dalam usahanya mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjoangannya mencari Hindia­ Besar atau Indonesia-Merdeka adanya. 

Apakah rasa nasionalisme, – yang, oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi kesombongan-bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan-ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup),  – apakah nasionalisme itu dalam per­joangan-jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-­macam bangsa dan bermacam-macam ras; -apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat-diri dengan Marxisme yang internasional, inter-rasial itu? 

Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa! 

Sebab, walaupun Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, –  maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-­manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia-kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; – bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”; – bahwa segala fihak dari per­gerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal-ikhwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”, persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa-golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara fihak-fihak pergerakan di Indonesia-kita ini, – akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula! 

Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa  persahabatan  bisa tercapai! 

Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi: “Buat saya, maka cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan mempersatukan fihak Islam dengan fihak Hindu, fihak Persia, fihak Jain, dan fihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini! 

Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridla hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme, tak setuju pada kemodalan! 

Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu. 

Bahwa sesungguhnya, asal  mau  sahaja tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah “rukun membikin sentausa” (itulah sebaik­-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam per­gerakan kita ini. 

Kita ulangi lagi: Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis. 

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, – nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham penge­cualian yang sempit-budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, – nasionalis yang menerima rasa-nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala faham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta­bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupya segala hal yang hidup. 

Wahai, apakah sebabnya kecintaan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang­-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecin­taan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das? 

Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jingo-nationalism, sebagai jingo-nationalismnya Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jingo-nationalism yang semacam itu “akhirnya pastilah binasa”, oleh karena “nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas azas-azas yang lebih suci”.

Bahwasanya, hanya nasionalisme ke-Timur-an yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis-Timur yang sejati. Nasionalisme Eropah, ialah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasional­isme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, – nasionalisme yang semacam itu akhirnya pastilah kalah, pastilah binasa. 

Adakah keberatan untuk kaum Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, oleh karena Islam itu melebihi ke­bangsaan dan melebihi batas-negeri ialah super-nasional super-teritorial? Adakah internationaliteit Islam suatu rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan? 

Banyak nasionalis-nasionalis di antara kita yang sama lupa bahwa pergerakan-nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini -ya, di seluruh Asia – ada sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan ini: dua-duanya berasal nafsu melawan “Barat”, atau lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawannya lah adanya. Betapa lebih luhurnialah sikap nasionalis Prof. T. L. Vaswani, seorang yang bukan Islam, yang menulis: “Jikalau Islam menderita sakit, maka Roh kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab makin sangatnya negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannya, makin lebih sangat pula imperialisme Eropah mencekek Roh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia-sediakala; saya percaya bahwa Rohnya masih akan menang. Islam adalah internasional, dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu adalah diperkuat oleh segenap kekuatannya iktikad internasional itu.” 

Dan bukan itu sahaja. Banyak nasionalis-nasionalis kita yang sama lupa, bahwa orang Islam, di manapun juga ia adanya, di seluruh “Darul Islam”, menurut agamanya, wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan ke-Islam-annya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia itu. “Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu ia masih menjadi satu bahagian daripada rakyat Islam, daripada Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya”. 

Inilah Nasionalisme Islam! Sempit-budi dan sempit-pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit-budi dan sempit ­pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu azas, yang, walaupun internasional dan inter-rasial, mewajibkan pada segenap pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa merekapun juga, mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya! 

Adakah pula keberatan untuk kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh karena Marxisme itu inter­nasional juga? 

Nasionalis yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, – Nasionalis yang semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnya roda-politik dunia dan riwayat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tadi. Ia lupa, bahwa memusuhi bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan-sejalan dan menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis walaupun beliau itu yakin, bahwa peraturan Marxis pada saat itu belum bisa diadakan di negeri Tiongkok, oleh karena di negeri Tiongkok itu tidak ada syarat­-syaratnya yang cukup-masak untuk mengadakan peraturan Marxis itu. Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa Nasionalisme itu, baik sebagai suatu azas yang timbulnya dari rasa ingin hidup menjadi satu; baik sebagai suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, – perlukah kita membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme itu, asal sahaja yang memeluknya mau, bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut mengambil contoh-contoh sikapnya pendekar-­pendekar Nasionalis di lain-lain negeri,  yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat-diri dengan kaum-kaum Marxis? 

Kita rasa tidak! Sebab kita percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna, sudahlah cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu. Kita percaya, bahwa semua Nasionalis-nasionalis-muda adalah berdiri di samping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan persatuan; hanialah kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan itu. 
Pada mereka itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk mereka lah terutama tulisan ini kita adakan. 

Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu. Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan riwayat, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!
ISLAMISME, KE-ISLAM-AN!
Sebagai fajar sehabis malam yang gelap-gulita, sebagai penutup abad-­abad kegelapan, maka di dalam abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah di dalam dunia ke-Islam-an sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang tertulis dalam buku-riwayat Muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah-tinggi Al-Azhar, dan Seyid Jamaluddin El-Afghani – dua panglima Pan-Islam-isme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia daripada kegelapan dan kemun­duran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini ada berbedaan sedikit satu sama lain – Seyid Jamaluddin El Afghani ada lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang membangunkan lagi kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin, yang pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap pada bahaya imperialisme Barat; merekalah terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkhotbahkan suatu barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya  imperialisme Barat itu.

Sampai pada wafatnya dalam tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau yang gagah-berani itu, bekerja dengan tiada berhentinya, menanam benih ke-Islam-an di mana-mana, menanam rasa-perlawanan terhadap pada ketamakan Barat, menanam keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat”. Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak makin lama makin haibat, sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar, maka di seluruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Marocco dan Kongo, ke Persia, Afghanistan, membanjir ke India, terus ke Indonesia, gelombang Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana! (Bersambung ke Bagian Ketiga


Tidak ada komentar: