Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Bagian Ketiga)


oleh Ir. Soekarno (Bung Karno)

Sesudah Amir Muawiah mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan Chalifah, sesudahnya “Chalifah-chalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya”

Begitulah rakyat Indonesia kita ini, insyaf akan tragik nasibnya, sebagian sama bernaung di bawah bendera hijau, dengan muka ke arah Qiblah, mulut mengaji La haula wala kauwata illa billah dan Billahi fisabilillahi! 

Mula-mula masih perlahan-lahan, dan belum begitu terang-benderanglah jalan yang harus diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya, makin lama makin banyaklah hu­bungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam di negeri-negeri lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya yang internasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak hairanlah kita, kalau seorang profesor Amerika, Ralston Hayden, menulis, bahwa pergerakan Sarekat Islam ini “akan berpengaruh besar atas kejadiannya politik di kelak kemudian hari, bukan sahaja di Indo­nesia, tetapi di seluruh dunia Timur jua adanya”! Ralston Hayden de­ngan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai internasional dari pergerakan Sarekat Islam itu; ia menunjukkan pula suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamar-ul Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjoangan Islam Asia! 

Makin mendalamnya pendirian atas keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin ke mukanya sifat internasional itulah oleh kaum Nasionalis “kolot” dipandang tersesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik “kolot” maupun “muda”, baik evolusioner maupun revolusioner, sama berkeyakinan bahwa agama itu tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang “fanatik”, sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis, menghina politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang politik kebangsaan itu sebagai sempit, dan mengatakan politik kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah “sempurna”- lah adanya perselisihan faham! 

Nasionalis-nasionalis dan Marxis-marxis tadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-negeri Islam itu kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir semuanya di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat. 

Mereka kusut-faham! Bukan Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam pada mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya kebesaran-nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam itu ialah oleh karena rusaknya budi-pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiah mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan Chalifah, sesudahnya “Chalifah-chalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya”, begitulah Oemar Said Tjokroaminoto berkata. Dan, dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan contoh-contoh kebesaran yang mencengang­kan bagi siapa yang mempelajari riwayat-dunia, mencengangkan bagi siapa yang mempelajari riwayat-kultur? 

Islam telah rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi-pekertinya. Negeri-negeri Barat telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi dan susunan pergaulan-hidup bersama, sudah satu “historische Notwendigkeit”, satu keharusan-riwayat, yang negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tadi. Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang imperialisme Sepanyol dan Perancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata! 

Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari.kenistaan dan kerusakan tadi! Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya na­sionalis pula! 

Bukankah, sebagai yang sudah kita terangkan, Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mecintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam? 

Seyid Jama­luddin El Afghani di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme, yang oleh musuhnya lantas sahaja disebutkan “fanatisme”; di mana-mana pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri, mengkhotbahkan rasa luhur-diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas sahaja dinamakan “chauvinisme” adanya. 

Di mana-mana, terutama di Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid Jamaluddin lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap bagian­bagiannya”. 

Dan bukan Seyid Jamaluddin sahajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta-bangsa. Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali … semuanya adalah panglimanya Islam yang mengajar­kan cinta-bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme di masing­-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis kita yang “fanatik” dan sempit-budi, dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang anti-kafir itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia! Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak bukanlah Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang “kolot”, Islamisme yang tak mengerti aliran zaman! 

Demikian pula kita yakin, bahwa kaum Islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum Marxis, walaupun pada hakekatnya dua fihak ini berbeda azas yang lebar sekali. Pedihlah hati kita, ingat akan gelap­-gulitanya udara Indonesia, tatkala beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permu­suhan antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah jadi dua bahagian yang memerangi satu sama lainnya. Pertarungan inilah isinya halaman-halaman yang paling suram dari buku-riwayat kita! Pertarungan saudara inilah yang membuang sia-sia segala kekuatan pergerakan kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya! 

Aduhai! Alangkah kuatnya pergerakan kita sekarang umpama pertarungan saudara itu tidak terjadi. Niscaya kita tidak rusak-susunan sebagai sekarang ini; niscaya pergerakan kita maju, walaupun rintangan yang bagaimana juga!

Kita yakin, bahwa tiadalah halangan yang penting bagi persahabatan Muslim-Marxis itu. Di atas sudah kita terangkan, bahwa Islamisme yang sejati itu ada mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis. Walaupun sosialistis itu masih belum tentu bermakna Marxistis, walaupun kita mengetahui bahwa sosialisme Islam itu tidak bersamaan dengan azas Marxisme, oleh karena sosialisme Islam itu berazas Spiritualisme, dan sosialismenya Marxisme itu berazas Materialisme (perbendaan); walaupun begitu, maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistislah adanya. 

Kaum Islam tak boleh lupa, bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut azas-perbendaan (materialistische historie opvatting) inilah yang seringkali menjadi penunjuk-jalan bagi mereka tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia yang sukar dan sulit; mereka tak boleh pula lupa, bahwa caranya (methode) Historis-Materialisme (ilmu perbendaan berhubungan dengan riwayat) menerangkan kejadian-keja­dian yang telah terjadi di muka-bumi ini, adalah caranya menujumkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka! 

Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme, dalam hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, – teori meerwaarde itu disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapital­isme sampai pada akar-akarnya! 

Untuk Islamis sejati, maka dengan lekas sahaja teranglah baginya, bahwa tak layaklah ia memusuhi faham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde itu, sebab ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba dan memungut bunga. Ia mengerti, bahwa riba ini pada hakekatnya tiada lain daripada meerwaardenya faham Marxisme itu! 

“Janganlah makan riba berlipat-ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga kamu beruntung!”, begitulah tertulis dalam Al Qur’an, surah Al ‘Imran, ayat 129! 

Islamis yang luas pemandangan, Islamis yang mengerti akan kebutuh­an-kebutuhan perlawanan kita, pastilah setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, oleh sebab ia insyaf bahwa memakan riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya adalah suatu perbuatan yang terlarang, suatu perbuatan yang haram; ia insyaf, bahwa inilah caranya Islam memerangi kapitalisme sampai pada akar dan benihnya, oleh karena, sebagai yang sudah kita terangkan di muka, riba ini sama dengan meerwaarde yang menjadi nyawanya kapitalisme itu. Ia insyaf, bahwa sebagai Marxisme, Islam pula, “dengan kepercayaannya pada Allah, dengan pengakuannya atas Kerajaan Tuhan, adalah suatu protes terhadap kejahatannya kapitalisme”. 

Islamis yang “fanatik” dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal akan larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian itu tak mengetahui, bahwa, sebagai Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukan uang secara kapitalistis, melarang penimbunan harta-benda untuk keperluan sendiri. Ia tak ingat akan ayat Al Qur’an: “Tetapi kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan perak dan membelanjakan dia tidak menurut jalannya Allah khabarkanlah akan mendapat satu hukuman yang celaka!” Ia mengetahui, bahwa sebagai Marxisme yang dimusuhi itu agama Islam dengan jalan yang demikian itu memerangi wujudnya kapitalisme dengan seterang-terangnya! 

Dan masih banyaklah kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab tidakkah pada hakekatnya faham kewajiban zakat dalam agama Islam itu, suatu kewajiban si kaya membagikan rezekinya kepada si miskin, pembagian-rezeki mana dikehen­daki pula oleh Marxisme, – tentu sahaja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam bercocokan anasir-anasir “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” dengan Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati telah membawa “segenap perikemanusiaan di atas lapang kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”? Tidakkah nabi-Islam sendiri telah mengajarkan persamaan itu dengan sabda: “Hai, aku ini hanialah seorang manusia sebagai kamu; sudahlah dilahirkan padaku, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu?” Bukankah persaudaraan ini diperintahkan pula oleh ayat 13 Surah Al-Hujarat, yang bunyinya: “Hai manusia, sungguhlah kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan dari padamu suku-suku dan cabang-cabang keluarga, supaya kamu berkenal­kenalan satu sama lain?” Bukankah persaudaraan ini “tidak tinggal sebagai persaudaraan di dalam teori sahaja”, dan oleh orang-orang yang  bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang beberapa kaum Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”? 

Hendaklah kaum Islam yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya. Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakan­nya itu dengan pergerakan Marxis, banyaklah persesuaian cita-cita, banyak lah persamaan tuntutan-tuntutan. 

Hendaklah kaum itu mengambil teladan akan utusan kerajaan Islam Afghanistan, yang tatkala ia ditanyai oleh suatu surat khabar Marxis telah menerangkan, bahwa, walaupun beliau bukan seorang Marxis beliau mengaku menjadi “sahabat yang sesungguh-sungguhnya” dari kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh yang haibat dari kapitalisme Eropah di Asia! 

Sayang, sayanglah jikalau pergerakan Islam di Indonesia-kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di Indo­nesia-kita ini ada pergerakan, yang sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagai pergerakan Islam dan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di negeri-kita ini ada pergerakan yang begitu menggetar sampai ke dalam urat-sungsumnya rakyat, sebagai pergerakan yang dua itu! Alangkah haibatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan mana rakyat itu tidur dan dengan mana rakyat itu bangun, bersatu menjadi satu banjir yang sekuasa-kuasanya! 

Bahagialah kaum pergerakan-Islam yang insyaf dan mau akan persatuan. Bahagialah mereka, oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguhnya menjalankan perintah-perintah agamanya! 

Kaum Islam yang tidak mau akan persatuan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian itulah sikap yang benar, – wahai, moga-mogalah mereka itu bisa mempertanggungkan sikapnya yang demikian itu di hadapan Tuhannya! 

MARXISME!
Mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayang-bayangan di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak­-koyak ; tampak pada angan-angan kita dirinya pembela dan kampiun si­ mudlarat tadi, seorang ahli-fikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebisaannya “mengingatkan kita pada pahlawan-pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Germania yang sakti dengan tiada teralahkan itu”, suatu manusia yang “geweldig” (haibat) yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama “grootmeester” (maha guru) pergerakan kaum buruh, yakni: Heinrich Karl Marx. 
Dari muda sampai pada wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara dan bagaimana mereka itu pasti akan mendapat kemenangan; tiada kesal dan capainya ia berusaha dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk di atas kursi, di muka meja-tulisnya, begitulah ia dalam tahun 1883 menghembuskan nafasnya yang penghabisan. 

Seolah-olah mendengarlah kita di mana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 menulis seruannya :


“Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!” Dan sesungguhnya! Riwayat-dunia belumlah pernah menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinan satu golongan pergaulan-hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan .. begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan terang-fikiran, tetapi “amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat fikiran yang berkeluh-kesah itu”. (Bersambung ke Bagian Keempat


Tidak ada komentar: