Indonesia Diobok-obok oleh Willem Oltmans (1999)


“Prabowo dan CIA telah mengkhianati Presiden Habibie dan Jenderal Wiranto, dengan memberi gambaran seolah-olah mereka sibuk memberantas kekerasan dan pembunuhan”

TIMOR TIMUR
Ketika catatan-catatan perjalanan ke Indonesia pada bulan Mei dan Juni 1999 ini dicetak, Perserikatan Bangsa-Bangsa, bersama dengan Indonesia, menyelenggarakan suatu referendum di bekas jajahan Portugis di Timor-Timur. Dengan munculnya jumlah pemilih secara maksimal, hampir delapan puluh persen pemilih memilih untuk kemerdekaan Timor Timur. Hampir serentak terjadi pertumpahan darah, yang dilakukan oleh kelompok anti-kemerdekaan, yang disebut milisi.


Dunia luar tergoncang menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana bisa Presiden Habibie dan Jenderal Wiranto, Panglima Angkatan Bersenjata, tidak mampu menghentikan dengan segera pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Dili dan sekitarnya? Dari seluruh dunia datang protes kekesalan. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan malah menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, seolah-olah dia membuka pintu bagi pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab di Jakarta, menuju Pengadilan Internasional di Den Haag. Bayangan-bayangan dari Belgrado dan Kosovo, dari Milosevic, Mladic atau Arkan timbul dalam kenang-kenangan bersama kejadian itu.

Seperti biasa, kali ini pun kita perlu sejenak kembali ke sejarah Indonesia akhir-akhir ini. Dengan diturunkannya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1988, terjadi perkelahian bayangan antara dua jenderal. Di satu pihak Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Menteri Pertahanan, Jenderal Wiranto (52), mantan ajudan Soeharto. Di lain pihak Letnan Jenderal Prabowo Subianto (47), komandan pasukan elit strategis cadangan (Kostrad) yang terdiri dari 17.000 orang. Prabowo adalah menantu Soeharto, yang menikah dengan putrinya, Siti Hediyati. Wiranto menyetujui pengangkatan Habibie sebagai presiden, dan bisa dikatakan, begitu pula kekuatan-kekuatan di Washington, Gedung Putih, State Department dan Pentagon, yang mendukung perubahan menuju demokrasi di Indonesia. Pada tahun 1965, Soeharto sebagai mantan komandan Kostrad melalui insubordinasi/ketidaktaatan dan pengkhianatan dan bantuan CIA mencapai kekuasaan puncak. Menantunya, berpikir-pikir untuk mengikuti tindakan itu, tetapi kemudian dilumpuhkan. Wiranto mengirimnya ke Bandung, memimpin Sekolah Staf Komando, suatu jabatan tetap bagi para jenderal pemarah, yang perlu disalurkan ke jalur samping. Akhirnya keluarganya menghindar ke Yordania. Amman adalah sarang lebah yang terkenal untuk CIA.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa sebagian penting dari korps-perwira Indonesia secara tersembunyi memihak si pemberani Prabowo ini. Kepentingan-kepentingan ekonomi di Timor Timur dalam lingkungan militer, sejak tahun 1975 telah bertambah dengan cukup besar, misalnya dengan dikembangkan secara bersama sumber-sumber energi di daerah itu dalam bentuk joint venture dengan perusahaan-perusahaan Australia. Jadi sebagian dari tentara jelas-jelas tidak setuju dengan referendum dan membiarkan tekanan dari luar negeri.

Kolonel-kolonel yang membangkang merupakan gejala yang lama dalam sejarah Indonesia. Sebelumnya sudah cukup banyak pemberontakan terjadi di Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Jenderal Nasution pun sudah acap kali ingin mencoba mengadakan perebutan kekuasaan terhadap Soekarno. Begitu pula pernah meriam-meriam diarahkan ke istana. Bung Karno keluar, berbicara dengan tentara itu dan semuanya pulang ke rumah. Tetapi sejak coup pada tahun 1965, saat mana Soeharto didorong ke depan oleh CIA, permainan berubah. Saat itu Soeharto juga memiliki seorang yang mirip tipe Prabowo, yakni Jenderal Sarwo Edhie, yang sebelumnya telah dibicarakan, yang dengan orang-orangnya telah membunuh sedikitnya 500.000 orang. Sebagai komandan Kostrad dan mengetahui rahasia CIA, hal ini dianggap normal. Dengan datangnya milisi di Timor Timur Prabowo (seperti yang dicoba dilakukan Soeharto sebelum dia) bangkitnya dari kuburannya di Amman, Yordania dan bersama perwira-perwira Indonesia yang bersimpati dengannya untuk mengadakan pertumpahan darah lagi, kali ini di Dili dan sekitarnya.

Gerrit de Boer, pada tanggal 11 September 1999 melaporkan secara teratur dari Jakarta kepada de Volkskrant, bahwa Jenderal Wiranto menyuruh para tentara yang masih setia padanya dari pasukan strategisnya di Kostrad berangkat ke Dili untuk mengembalikan keamanan. Yang sebenarnya terjadi adalah kelanjutan konflik Wiranto - Prabowo yang terjadi setahun sebelumnya. Sementara Wiranto tiap hari mengadakan hubungan telepon dengan kepala staf Tentara Amerika, Jenderal Henry Shelton, untuk menjelaskan bahwa dia berkewajiban untuk mencegah agar para militer Indonesia tidak saling tembak, Prabowo menelepon dari Amman ke markas besar CIA dan sobat-sobatnya di Kostrad untuk mempermalukan musuh bebuyutannya Wiranto dan dengan demikian juga Presiden Habibie. Ini berhasil dengan baik, sebab Kofi Annan telah menjanjikan kepadanya nasib - Milosevic lengkap dengan penginapan di Scheveningen. Sebenarnya Soeharto dan Prabowo harus dikirim ke pengadilan Den Haag. Apa lagi majikan-majikan CIA-nya.

Lewat milisi yang mempunyai nama buruk itu, Prabowo dan CIA telah mengkhianati Presiden Habibie dan Jenderal Wiranto, dengan memberi gambaran seolah-olah mereka sibuk memberantas kekerasan dan pembunuhan, sementara sebenarnya tentara Kostrad dari komandan-komandan sebelum Soeharto dan Prabowo yang melakukan kekerasan dan pembunuhan di Timor. Seperti halnya CIA di Kosovo yang membentuk tentara bayaran, yakni UCK, untuk mempermalukan Milosevic dan menjadikan Belgrado kambing hitam dalam pembersihan etnik, maka di Timor karya CIA ini terulang lagi dengan memperkeruh pertentangan-pertentangan yang ada dalam tubuh angkatan bersenjata Indonesia. Wiranto rupanya telah mensalahdugakan kewibawaannya pada beberapa kesatuan Kostrad dan menghadapi teka-teki, yang dapat dengan kesabaran Jawanya berhasil diselesaikan untuk mencegah agar tentara Indonesia tidak saling tembak. Kali ini rupanya berhasil. Karena itu Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas bersungguh-sungguh, ketika lewat CNN ia mengatakan bahwa tembak-menembak di Timor lebih rumit daripada yang dibayangkan dunia luar.

Keadaan perang yang telah ada sejak didirikannya CIA pada tahun 1948, antara organisasi rahasia ini, yang secara langsung juga budgehair berada di bawah Presiden dan Gedung Putih dan di bawah pengawasan demokratis dinas-dinas intel militer yang dioperasikan Pentagon di Amerika Serikat, memperlihatkan diri kembali dari segala penjuru selama affair Timor Timur. Pertumpahan darah yang disebabkan Soeharto segera setelah coup CIA melawan Presiden Sukarno yang sah, tidak akan pernah berhasil tanpa pelatihan Amerika kepada para perwira dan kelompok-kelompok elit sebelumnya -- belum lagi persenjataannya. Yang sama terjadi di Timor Timur, sudah sejak tahun 1991 Soeharto menyuruh membunuh beribu-ribu orang di Timor Timur, pemandangan mana pada tahun 1999 diulang lagi yang katanya dilakukan oleh milisi.

Pada tahun 1992 Kongres Amerika menghentikan latihan-latihan militer taktis dengan angkatan bersenjata Indonesia, setelah terjadinya pertumpahan darah di Dili. Tetapi ingatan manusia itu pendek. Tidak lama setelah itu kontak antara Pentagon dan Jakarta pulih kembali dan sejak itu, demikian laporan Dana Priest dan Bradley Grahan di koran Washington Post, pada tanggal 15 September 1999, telah diadakan 41 latihan militer bersama antara pasukan-pasukan elit Amerika dan Indonesia. Pasukan khusus Indonesia, Kopassus, dilatih untuk internal defense, di mana tentara Amerika mengajar bagaimana menjadi pembidik ulung dan cara menembak yang jitu, bagaimana melakukan perkelahian satu lawan satu, bagaimana cara menangani mortir dalam perang gerilya, cara menculik orang yang dicurigai melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak, dan cara menyiksa orang untuk memperoleh informasi. Washington

Post menulis secara khusus bahwa kesatuan-kesatuan elit Kopassus pada tanggal 1 Mei 1998 mulai mengacau lagi di Timor Timur. Garis pemisah amat sukar ditentukan antara campur tangan Pentagon di Indonesia dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan CIA. Yang jelas bisa ditetapkan bahwa Jenderal Shelton, pada tanggal 9 September 1999 menyampaikan pesan yang amat pedas per telepon kepada rekannya Wiranto, agar kekacauan yang terjadi di Timor Timur segara harus dihentikan. Dua hari kemudian Presiden B.J. Habibie mengumumkan suatu UN-Peacekeeping Force (Pasukan Perdamaian PBB) boleh berangkat ke Dili. Di Den Haag Menteri Jozias van Aartsen berfantasi bahwa Duta Besar Peter van Walsum, yang pada bulan September 1999 menjabat Ketua Dewan Keamanan di New York, yang menyebabkan terlaksananya jalan keluar ini.

Jadi, sementara Washington dan Bill Clinton berteriak-teriak merekalah perintis pejuang paling utama di dunia yang membela hak asasi orang miskin, orang teraniaya dan yang diburu, justru orang-orang Amerika yang sama itulah yang mendidik perwira-perwira Indonesia dan kelompok-kelompok elit menjadi teroris dan pembunuh massal yang licik. Dan selanjutnya, bila tuan-tuan ini dengan sopan dan taat melantunkan kata-kata yang telah mereka pelajari dari orang-orang Amerika, kemudian berteriak-teriak mengenai penjahat-penjahat perang Indonesia sebenarnya justru merekalah yang harus mendapat one-way ticket untuk dikirim ke Mahkamah Pengadilan Internasional di Den Haag. Mengapa tak ada seorang pun yang mempunyai gagasan cemerlang untuk mengadukan mereka yang telah bertahun-tahun menyebarkan terorisme dari Washington ke daerah-daerah yang damai dan tidak bersalah seperti Indonesia, dan menjebloskan mereka untuk selamanya di penjara security tinggi di Scheveningen.

Kompleksitas Indonesia, negara keempat terbesar di dunia, negara dalam pembangunan, di mana kekuatan-kekuatan intern masih kacau, di mana dinas-dinas intel yang berniat buruk dari negara-negara asing mencoba mengambil keuntungan, secara permanen ditaksir oleh dunia maju. William Blake melihat kekacauan suatu dunia dalam sebutir pasir. Leibniz menemukan suatu dunia yang penuh sesak dalam setetes air. Berapa lama lagi markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyadari, atau akan memperhitungkan dengan sunguh-sungguh, bahwa Republik Indonesia dengan alasan yang sangat masuk akal masih sibuk menemukan identitas nasionalnya sendiri? Karenanya kekacauan tetap tidak dapat dihindarkan.


Perselisihan-perselisihan kami sendiri di Hoek dan Kabeljauw (1345-1492) terjadi 500 tahun lalu. Revolusi Amerika terjadi pada tahun 1775; Revolusi Perancis tahun 1789; Revolusi Cina tahun 1911; Revoluasi Rusia tahun 1917; Revolusi Afro-Asia baru berlangsung setelah Perang Dunia Kedua. Seharusnya negara-negara kayamemberikan waktu kepada dunia ketiga untuk menyesuaikan diri dan menemukan jalannya sendiri; nyatanya negara-negara berkembang sejak mengumumkan kemerdekaan dan kemandiriannya hampir selalu dilanda intervensi teroris barat dari luar.

Rupanya negara-negara Barat melupakan sejarahnya sendiri, di mana misalnya perang Amerika antara Utara dan Selatan termasuk perang yang paling berdarah di sejarah. Orang berharap, dunia Afro-Asia dapat membenahi urusannya dari hari ke hari, sedangkan kami sendiri membutuhkan waktu yang berabad-abad untuk memberlakukan norma-norma dan nilai-nilai dalam bentuk pemerintahan yang dapat diterima oleh semua orang. Terutama Washington merasa memiliki hak dalam memaksakan kopi rumah tangga rakyat Amerika pada bagian-bagian dunia lain untuk dianut. Dan barang siapa tidak segera mendengarkan dan menuruti kemauan sang polisi dunia ini, pasti akan menerima tekanan dan ancaman dari Bank Dunia atau IMF (Internationale Monetaire Fonds), atau lebih parah lagi dijatuhi embargo perdagangan dan blokade seperti halnya yang dialami Kuba sejak tahun 1960.

Indonesia berada dalam persimpangan jalan yang menentukan, apakah negara akan kembali ke posisi negara satelit Washington, CIA dan Pentagon, atau akan berhasil melepaskan diri dari kekangan dan berkembang menjadi negara adi daya autentik diantara negara-negara non blok dalam blok Bandung, yang didirikan Sukarno pada tahun 1955. Pemerintah antara Soeharto (Suharto-interregnum) di mana penjahat-penjahat CIA menguasai tuan ini di Indonesia serta menyuruhnya mengikuti semua perintahnya dengan bantuan segudang cara untuk menekan dan mengancam dari Washington, Bank Dunia dan IMF, telah jatuh dengan diusirnya diktator yang fasis itu oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia pada tahun 1998.

Perdana Menteri Rusia Yevgeni Primakov pada tahun 1998 dalam suatu kunjungan resmi ke New Delhi mencetuskan gagasan strategic triangle: suatu aliansi antara Cina, India dan Rusia sebagai bandingan sang polisi modern dunia yaitu Amerika Serikat yang setiap saat seenaknya minta bantuan sesama anggota NAVO seperti Inggris dan Australia untuk campur tangan dimanapun di dunia ini. Gagasan Primakov ini kembali mengingatkan kita kepada inisiatif Bandungnya Bung Karno, disesuaikan pada realita-realitas baru, dimana USSR yang dahulu dan Cina yang baru yang telah mempunyai bentuk politik baru malah lebih sesuai dengan Indonesia pada masa 1945-1955.

Bahwa Washington sangat khawatir mengenai strategic triangle(segitiga strategis), di mana Indonesia di bawah Megawati dan Wiranto sebaiknya harus secepat mungkin bergabung, terbukti dari suatu artikel tulisan Tyler Marshall di Los Angeles Times tanggal 28 September 1999. Washington menyadari bahwa 2,5 milyar manusia di dunia ini, yang malah dilengkapi dengan persediaan persenjataan nuklir yang sangat besar, bisa merupakan suatu kekuatan dahsyat dimana CIA dan Pentagon tidak bisa lagi melawannya. Think-tank CIA, yakni Rand Corporation dari Kalifornia juga telah mengumumkan tindakan-tindakan Amerika Serikat dan NAVO terhadap Yugoslavia berada di luar pengetahuan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Piagam PBB, justru mempercepat terbentuknya strategic tangle antara kekuatan-kekuatan maha besar yang sebenarnya di dunia ini. Menurut penilaian saya di sanalah di aliansi itu terletak masa depan Indonesia di bawah Megawati Soekarnoputri.



(29 September 1999).

Tidak ada komentar: