Tiga dari Lima Puisi

Qasim di Karbala 

“Akulah Qasim putra Hasan, cucu nabi terpilih
dan terpercaya”

Pemuda belia itu berada pada barisan tiga ribu tentara, 
berhari-hari kehausan, terkepung sendirian. 

Lalu Ahmad bin Hasan bin Ali menyeruak 
ke dalam barisan:

"Paman, adakah seteguk air bagiku?"

“Anakku, bersabarlah sejenak,
sebentar lagi engkau akan bertemu 

dengan kakekmu
pelepas dahagamu”

Pemuda itu kembali memacu diri, seraya berkata :
“Akulah cucu Al-Mukhtar, putra Haidar” 

Namun ia segera jatuh 
Ribuan panah menghantam tubuh. 

(2017)

Kanak Kanak Matahari

Di masa kecil, di sela-sela udara yang bermain 
Di batang-batang lalang dan rumput-rumput liar, 
Kegembiraan begitu riang berlarian tanpa henti
Dengan kaki-kaki gaib mereka. 

Ibuku, ibuku, memanen kesunyian seorang lelaki 
Dengan kesabaran dua tangannya yang raib. 
Aku seorang bocah, yang belum memahami 
Bahasa puisi, hanya tahu memburu para belalang 

Di keriuhan butir-butir hujan. Kulafal 
Ceracau burung-burung kedinginan 
Di ranting-ranting pohon dan lembab rembang 
Kalbuku. Ibuku, ibuku, mendongeng hikayat 

Rambut merah kemarahan seorang bapak 
Yang suka terlambat pulang bila magrib 
diwartakan. Di masa kecil, bila senja meruncing, 
Kupahami lalang pematang sebagai kematian. 

(2017) 

Akhir Januari

Butir-butir gerimis adalah kanak-kanak sepi:
Usia yang hilang bersama sorehari.
Betapa dekat aku kepada mautku
Bila umurku nanti adalah sunyi
Yang bertamu
Di beranda dua matamu.

Dingin adalah matahati
Pikiran yang letih. Jauh sekali
Mataku menerka rapih
Gerak lembut gugusan rambutmu.
Daun-daun bergetar seperti kekal abadi
Teka-teki takdir

Yang selalu luput kutulis
Dan tak pernah dapat kupahami.
Burung-burung terbang dalam basah
Cakrawala padam
Ketakmengertianku menyelami bahasa.
Dan misalkan hidup tak lebih

Mesin hitung yang rusak
Adakah aku akan jadi mengetahui
Nama-nama Tuhan 
Yang tak termaktub di kitab-kitab suci?
Adakah sujudku
kepada kematianku sendiri

Adalah penebusan ketakpahamanku
Pada kuasa Tuhan?
Butir-butir gerimis adalah rimbun mautku
Menandur umur di kekal waktu
Yang tak dapat kau hitung
Seperti rinduku pada kegembiraanmu.  

(2018) 


Sulaiman Djaya. Sumber: Majalah Sastra Horison Edisi Juli-Agustus-September 2018 halaman 33-37

Tidak ada komentar: