Saran dan Kerangka Teoritik Kebudayaan Banten



Paper untuk Rakor OPD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten 22 Februari 2018

oleh Sulaiman Djaya (Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Banten)

Manusia Sebagai Poros Utama Kebudayaan

Berbicara tentang kebudayaan pertama-tama tentulah berbicara tentang manusia sebagai penghasil dan pencipta kebudayaan. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam konteks semesta, di mana Al-Quran menegaskannya sebagai ‘sebaik-baik makhluk’ (akhsan at-taqwin). Keistimewaan tersebut telah dijabarkan pula dalam banyak risalah para filsuf dan kaum ‘urafa, yang salah-satunya adalah karena kapasitasnya dalam berbahasa, sehingga manusia juga disebut sebagai Al-Hayawan Al-Nathiq (binatang yang memiliki kapasitas berbahasa) yang dengan bahasa itu manusia bisa mengembangkan, mendokumentasikan, dan menyebarkan pengetahuannya, yang dengan itu pula manusia sanggup mencipta kebudayaan. Atas dasar ini, menurut saya ada dua hal yang penting dan utama ketika kita ingin berbicara ‘Kebudayaan dalam Perspektif Pembangunan Banten’, selain saya juga akan memaparkan kerangka teoritik apa itu kebudayaan.

Bila saya umpamakan secara sederhana, hubungan antara manusia dan budaya, adalah tak ubahnya hubungan antara produsen dan produknya, antara pabrik dan pabrikannya. Tanpa adanya produsen, yaitu manusia, takkan ada yang namanya budaya dan kebudayaan, karena budaya dan kebudayaan adalah produk dan karya, yang mana keberadaan produk karena mengadanya sang produsen kebudayaan itu sendiri, yaitu manusia. Nah, posisi manusia, kita, sebagai produsen kebudayaan ini tentu saja memerlukan infrastruktur penunjang dalam rangka mengayomi dan menaungi kerja-kerja kebudayaan kita. Singkat kata, sudah saatnya Banten memiliki sentra khusus atau kawasan terpadu yang didalamnya terdapat infrastruktur seperti Gedung Kesenian Banten (GKB) dan Institut Kesenian Banten (IKB) sebagai syarat bagi keberlangsungan kerja-kerja kebudayaan sekaligus dalam rangka melahirkan sumber daya manusia-sumber daya manusia kebudayaan yang handal.

KITA hanya akan berwacana terus tanpa kesudahan jika syarat yang telah saya sebutkan itu tidak segera diwujudkan. Bagaimana mungkin kita menanam padi bila tidak ada huma atau sawahnya? Jika tidak ada tempat untuk menanamnya? Entah apa pun tempat dan media untuk menanam yang dimaksud. Yang pertama, sebagai contohnya, yaitu Institut Kesenian Banten (IKB) berfungsi sebagai pencetak sumber daya manusia-sumber daya manusia kebudayaan, sedangkan yang kedua, yaitu kawasan khusus yang didalamnya ada gedung-gedung kesenian akan menjadi tempat penyelenggaraan, kerja-kerja, dan pentas-pentas hasil dari kreasi kebudayaan itu, yaitu karya kebudayaan, yang nantinya juga akan menjadi destinasi tempat bagi kunjungan wisata budaya bagi para pengunjung domestik atau yang datang dari mancanegara.  

Bagaimana mungkin, contohnya, kita mengembangkan ekonomi kreatif berbasis kebudayaan, jika kita tidak mempersiapkan sumber daya manusia-sumber daya manusia kreatif, SDM kebudayaan, yang handal dan produktif? Dan bagaimana mungkin pula kita mencetak dan melahirkan SDM-SDM kreatif jika tidak ada infrastruktur untuk menyiapkannya? Karena itu kita hanya akan terus mengulang pembicaraan yang hanya sekedar menguap di udara jika tak ada upaya konkrit untuk membangun infrastruktur-infrastruktur kebudayaan bagi terciptanya ekonomi kreatif. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang ‘Kebudayaan dalam Perspektif Pembangunan Banten’ bila anggaran untuk menyiapkan terciptanya daya cipta dan kreativitas di masyarakat selalu dalam kemasan minimal? Hanya menggugurkan kewajiban birokratis dan pelaporan?

Tentu, dalam kerangka cita-cita dan keinginan kita menyelaraskan kerja-kerja ‘kebudayaan’ yang sejalan dengan visi ekonomi dan pendapatan daerah, yang sejalan dengan kerangka ‘Kebudayaan dalam Perspektif Pembangunan Banten’ demi terciptanya ekonomi kreatif tersebut, para pengambil kebijakan, terutama pucuk pimpinan di Banten yang paling atas, mestilah berani mengambil keputusan untuk membangun infrastruktur-infrastruktur kebudayaan yang dengan demikian akan tercipta dan lahir-lahir sumber daya manusia-sumber daya manusia kebudayaan yang inovatif dan kreatif, bagi terciptanya ekonomi kreatif dan produktivitas dalam masyarakat. Dalam hal ini, Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten, beserta para jajarannya, kita tunggu untuk merealisasikan visi tersebut jika kita memang sungguh-sungguh ingin menciptakan ekonomi kreatif berbasis kebudayaan.

Apa Kebudayaan Itu?

Secara teoritik dan konseptual, ada banyak definisi dan pengertian kebudayaan, yang dengan beberapa definisi dan pengertian tersebut, setidak-tidaknya kita akan dapat mengidentifikasi segala produk dan jenis kebudayaan itu sendiri. Contoh definisi dan pengertian kebudayaan itu, misalnya, mengatakan kebudayaan merupakan suatu “proses” perkembangan yang sifatnya intelektual, estetis, dan bahkan spiritual. Sementara itu, secara etnografis dan antropologis, kebudayaan dapat dipahami sebagai pandangan hidup dari suatu masyarakat tertentu. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa kebudayaan adalah juga karya dan praktik-praktik intelektual yang sifatnya literer dan artistik.

Meskipun demikian, kebudayaan itu sendiri bila kita memahaminya sebagai sebuah proses dan kreativitas, bisa menjadi berkembang, bertahan, atau hilang ketika berhadapan dengan situasi baru atau perkembangan jaman, semisal di jaman merebaknya budaya pop kita saat ini, di mana kemajuan tekhnologi dan percepatan ekonomi kapitalisme saat ini, sebagai contohnya, telah menggantikan dan menggusur praktik-praktik dan bahkan norma-norma yang pernah dianut dan dipercayai oleh masyarakat. Jika demikian, maka apa yang akan kita sebut kebudayaan sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan sebagai medan atau arena pertarungan kreativitas dan perkembangan intelektual itu sendiri.

Banyak sekali bentuk-bentuk dan jenis-jenis kebudayaan masyarakat yang pernah ada, saat ini telah hilang, atau tak lagi dipercayai dan dipraktikkan oleh masyarakat yang pernah mempercayainya, mempraktikkannya, dan memproduksinya karena faktor pergesekan dan pertarungan dengan perkembangan politis, ekonomis, dan sosiologis masyarakat sekarang yang harus diakui mengalami gempuran setiap hari, yang seakan tanpa jeda, dari hiruk-pikuk apa yang lazim disebut sebagai jaman kapitalisme mutakhir saat ini. Akan tetapi, beberapa waktu belakangan ini, yang oleh beberapa pemikir dan pemerhati kebudayaan mengganggapnya merupakan bentuk encounter dan arah-balik pencaharian dahaga spiritual akibat kejenuhan, untuk tidak mengatakan sebagai kekeringan spiritual, masyarakat modern, yang bersama-sama gerakan ekologis, berusaha menggali dan menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal, yang sebagiannya masih ada di saat kebanyakannya sebenarnya telah menghilang alias tak lagi dipercaya, dipraktikkan atau pun diproduksi. Tak terkecuali untuk kasus Banten, yang secara historis merupakan tempat hidupnya sejumlah kebudayaan kuno yang pernah ada.

Sebagai kompleks wawasan, praktik, dan produk intelektual, E.B. Taylor, misalnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai kesuluruhan pengetahuan, seni, hukum, adat-istiadat, norma keyakinan, dan juga kebiasaan atau custom yang hidup, ada, dianut, dan dipraktikan oleh suatu masyarakat atau komunitas kebudayaan.

Tidak jauh berbeda dengan artian kebudayaan yang dikemukakan E.B. Taylor tersebut, para pemikir dan penulis Cultural Studies, semisal Raymond Williams dan Chris Barker, untuk menyebut dua contoh lainnya, memandang dan memahami kebudayaan sebagai sesuatu atau hal-hal yang dihidupi, sejenis living culture, dalam kehidupan sehari-hari alias keseharian masyarakat itu sendiri. Meskipun Raymond Williams dan Chris Barker dikenal sebagai pemikir dan penulis Cultural Studies, namun definisi kebudayaan yang mereka ajukan tersebut masih tergolong arti kebudayaan dalam ranah dan pengertian antropologis seperti yang dikemukakan E.B. Taylor. Di mana kebudayaan merupakan kompleks wawasan dan praktik yang di dalamnya juga mencakup produk-produk benda atau materi, norma, dan simbol-simbol yang ada dan dihidupi oleh sebuah atau suatu masyarakat.

Secara historis dan antropologis, bentuk-bentuk kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari sifat ruang dan waktu dalam pengalaman manusiawi –di mana yang demikian itu disebut oleh Cassirer sebagai ruang dan waktu organis. Pengalaman (manusiawi) menggunakan sistem reaksi-reaksi, diferensiasi rangsang fisik dan respons yang akan menemukan bentuk spasial dalam menggunakan proses ideasional dan ruang perseptual.

Tilikan Historis dan Arkeologis

Selain definisi dan identifikasi kebudayaan seperti yang telah dikemukakan E.B. Taylor, Raymond Williams, dan Chris Barker yang berwawasan sosiologis dan antropologis itu, hal lain yang juga penting untuk mengidentifikasi kebudayaan Banten adalah sejarah, dan juga arkeologi budaya, Banten itu sendiri. Dari sudut pandang dan pendekatan historis yang sifatnya kronik ini, contohnya, kita dapat melacak lahir, tumbuh, dan keberadaan kebudayaan Banten dalam perjalanan sejarah masyarakat Banten, seperti kebudayaan yang berkaitan dengan aspek sejarah keagamaan yang di dalamnya mencakup ritual, peninggalan benda-benda keagamaan dan arsitektur, sebagai contohnya, dari mulai pra-sejarah Banten, era Hindu-Budha, hingga datangnya Islam.

Secara historis, dan ini sekedar sebagai sekilas ilustrasi sejarah, ada sejumlah kesenian yang dihidupi dan dipraktikkan masyarakat Banten masa silam ketika itu, alias sebagai living culture, sebagai ragam kepercayaan, semisal perayaan ketika masyarakat Banten melakukan festival penyambutan Maulana Hasanuddin sekembalinya dari Cirebon dan Demak ke Banten sebagaimana yang dikisahkan dalam Hikayat Maulana Hasanudin. Atau ketika mereka merayakan telah dibangunnya kotaraja atau ibukota Kerajaan Islam Banten yang baru di Banten Pesisir, setelah sebelumnya beribukota di Banten Girang ketika Islam yang dibawa Maulana Hasanuddin dan Ki Santri telah diterima oleh sejumlah lapisan masyarakat Banten Girang.

Dalam hikayat itu diceritakan bagaimana rakyat mementaskan kendang pencak silat, calung rengkong, tetabuhan lesung, hingga menabuh rebana oleh sekelompok penabuh sembari diiringi dendang sholawat ketika mereka mengadakan perayaan, seperti ketika mereka menyambut kepulangan dan kembalinya Maulana Hasanuddin ke Banten, setelah Maulana Hasanuddin menjadi salah-seorang senopati Kesultanan Demak demi menghadapi serangan ribuan pasukan Majapahit yang belum masuk Islam ketika itu.

Kebudayaan Banten Sebagai Khazanah Keagamaan

Jika kebudayaan memang sekompleks wawasan dan kepercayaan yang koheren seperti yang dikemukakan E.B. Taylor itu, maka dapatlah dikatakan beberapa kesenian masyarakat Banten lahir dan berkembang bersama-sama dengan wawasan religius dan atau praktik-praktik dan kepercayaan keagamaan yang dianut masyarakat Banten, dari semenjak era pra-Islam hingga ketika Banten menganut agama Islam. Di masa-masa era Islam, alias di jaman panjang Kesultanan Banten, beberapa kesenian Banten tersebut bahkan khusus dipentaskan hanya untuk kalangan istana atau bagi keluarga sultan Banten, seperti ketika mereka menyambut dan menjamu tamu-tamu asing dari Eropa dan dari Negara-negara lainnya, semisal gamelan dan tayuban.

Rupa-rupanya, bila kita mencermati kebudayaan dari segi tilikan historis dan yang sifatnya kronik ini, kebudayaan Banten sedikit-banyaknya memang lahir, berkembang, dipraktikkan, dan “didasarkan” pada wawasan keagamaan, selain karena memang lahir dan bersumber dari kearifan-kearifan lokal-asli masyarakat Banten. Di sinilah, jika kebudayaan juga dipahami sebagai kreativitas, kebudayaan masyarakat Banten dapat dikatakan sebagai bertemu dan berpadunya “kebudayaan lokal” masyarakat Banten itu sendiri dengan pengaruh-pengaruh wawasan keagamaan yang kemudian datang dan memperkaya alias melengkapinya, jika tidak dibilang turut juga merubah bentuk dan makna kebudayaan masyarakat Banten itu sendiri.

Secara historis pula, Banten bahkan bisa dikatakan sebagai “Negeri Terminal Sejarah Interaksi” sejumlah jenis, bentuk atau ragam kebudayaan dan keagamaan, bila kita meminjam istilahnya Denys Lombard dan Henri Chambert-Loir. Di mana dalam sejarahnya yang panjang, Banten memang telah menjadi semacam “jalur persinggahan” alias Carrefour beragam pengaruh keagamaan dan kebudayaan dalam skala sejarah Nusantara, ketika pengaruh kebudayaan India, Cina, dan kemudian Islam kemudian hadir dan bertemu, entah kemudian saling-melengkapi atau mengalami “kontestasi”. Dalam hal ini, bukti yang paling nyata adalah sejumlah peninggalan benda dan arsitektur Kesultanan Banten, yang mencerminkan bentuk dan ekspressi simbolik yang sifatnya multikultur alias “ragam jejak kebudayaan”, semisal era pra-Islam, Cina, dan Eropa.

Tak hanya dalam arsitektur dan benda-benda, sejumlah kesenian tradisional dan kesenian keagamaan masyarakat Banten juga menunjukkan jejak-pengaruh ragam-budaya tersebut, entah kemudian saling-melengkapi atau mengalami “kontestasi”, yang pastilah mencerminkan kreativitas kebudayaan masyarakat Banten itu sendiri. Secara historis, sebagaimana yang dikemukakan banyak sejarawan dan arkeolog, Banten adalah “negeri” dan “masyarakat” yang tua, yang memiliki sejarah yang panjang, yang pastilah juga menyangkut kebudayaannya, bila kebudayaan lahir, ada, dan berkembangnya sebuah kebudayaan juga dipahami sebagai “interaksi historis-kultural” seperti yang dikatakan Denys Lombard dan Henri Chambert-Loir itu.

Di Banten, sebagaimana dikemukakan para sejarawan dan arkeolog, “yang Sunda”, “yang Jawa”, dan “yang Melayu” bertemu dan berpadu, yang kemudian membentuk sejarah, identitas, dan budaya Banten itu sendiri. Hingga apa yang kita sebut Banten, demikian ujar Claude Guillot, adalah ketiganya sekaligus. Meskipun tentu saja, secara historis pula, tentulah masih dapat dilacak dan dikaji unsur-unsur lokal Banten sebelum Islam menjadi wawasan dan lanskap dominan kepercayaan dan juga “wawasan kebudayaan” masyarakat Banten, yang dalam sejarahnya memang telah mengalami pembauran alias akulturasi yang saling melengkapi dan memperkaya antara warisan “lokal pra-Islam” dengan unsur-unsur Islam, semisal dalam seni tradisi, adat, kesusastraan, arsitektur, dan yang lainnya yang banyak jumlahnya.

Salam dan terimakasih!


Sulaiman Djaya lahir di Kragilan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten dari keluarga petani bersahaja. Sewaktu mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktif di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), Indonesian Studies and Advocacy Center (ISAC), Ketua Bidang Kajian dan Intelektual HMI Cabang Ciputat, dan Jurnal Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tulisan-tulisannya dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, diantaranya: Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Saat ini aktif sebagai Ketua Program Bengkel Seni Budaya (BSB) Dewan Kesenian Banten, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten, dan Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Banten.

Tidak ada komentar: