Max Havelaar, Mitos Belanda yang Membuat Kita Terkecoh


oleh DA Peransi*

Pada Kongres Studi Belanda di Indonesia (23-27 November 1987) kontroversi di sekitar Max Havelaar karangan Multatuli, muncul lagi di permukaan. Ditambah lagi dengan pameran Multatuli di Erasmus Huis dan pemutaran filem Max Havelaar yang menghebohkan itu. Kontroversi yang muncul sejak buku Max Havelaar ini terbit pada 1860 berkisar pada nilai kesusasteraannya dan ini yang lebih penting: Benar atau tidaknya kisah yang kita baca dalam Max Havelaar. Sekarang masyarakat umum telah menerima buku itu sebagai hasil karya sastra Belanda abad XIX, yang struktur maupun bahasanya berbeda dengan karya-karya sezamannya. Mitos bahwa ia seorang sastrawan besar telah terbentuk. Mitos itu dikembangkan dan dibesarkan, yang tetap langgeng hingga kini melalui pelajaran-pelajaran di sekolah. Generasi masyarakat Indonesia yang mengenyam pendidikan Belanda (HIS, MULO, HBS, AMS, Lyceum dan Gymnasium) cukup mendalam mempelajari Max Havelaar dari Multatuli ini sehingga berkarat dalam mitos kebesarannya.

Bersamaan dengan penerimaan Max Havelaar sebagai karya sastra yang besar, tertelan pula mitos bahwa apa yang tertulis dalam Max Havelaar sungguh-sungguh terjadi. Di dalam buku-buku pelajaran sejarah SMP dan SMA sekarang satu atau sampai dua halaman kita baca bagaimana Multatuli dengan bukunya itu telah memperjuangkan nasib rakyat Indonesia di zaman kolonial Belanda. Ia nyaris disebut pahlawan Indonesia. Lebih celaka lagi tidak sedikit siswa dan mahasiswa, bahkan sarjana Indonesia yang mengidentikkan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli pengarang Max Havelaar dengan Douwes Dekker alias Dr. Setiabudi. Kerancuan ini kalau tidak dibenahi segera tentu bisa sangat berbahaya.

Sebenarnya Multatuli sendiri dalam bukunya itu berkata bahwa, “Isapan jempol pada umumnya akan dianggap kenyataan” (Max Havelaar, terbitan tahun 1947, hal.158). Pada Halaman 159 ia berkata lagi, “Apakah salah dia atau salah aku apabila kebenaran kalau mau diakui mesti diselubungi dengan dusta?” Melalui mulut tokoh Batavus Droogstopel, Multatuli berkata, “Ya, pertunjukan sandiwara merusak banyak orang, lebih merusak daripada roman. Karena begitu nyata dapat dilihat“ (Max Havelaar, hal.4). Seandainya pada zaman Multatuli medium filem sudah populer, pasti pendapatnya mengenai filem akan lebih keras lagi. Karena medium filem menyajikan “gambar hidup” yang bisa lebih meyakinkan orang.

RIWAYAT FILEM MAX HAVELAAR
Pada musim gugur 1971, Fons Rademakers sutradara filem dari Belanda, mengundang saya ke rumahnya di Keizezrsgracht 840 Amsterdam, untuk membicarakan kemungkinan produksi filem cerita berdasarkan buku Louis Couperus, De Stille Kracht. Kemungkinan kedua adalah Max Havelaar dari Multatuli. Niat pertama diurungkan pembuatannya karena lokasi yang diperlukan di Panarukan dan Banyuwangi telah tiada, gedung-gedung dan alun-alun yang digambarkan dalam buku Couperus telah berubah. Pilihan jatuh pada Max Havelaar karangan Multatuli.

Pada 1974, Fons Rademakers datang lagi ke Indonesia dan di Coffeshop Hotel Kartika Plaza, pembicaraan dilanjutkan. Tetapi kali ini dihadiri pula oleh Hiswara Darmaputra, mantan wartawan Merdeka yang ketika itu baru mendirikan PT. Mondial Motion Pictures. Disepakati untuk mengadakan co-production antara Fons Rademakers BV dan PT. Mondial Motion Picture. Pada pertemuan itu ditekankan aktualitas Multatuli, karena apa yang digambarkan dalam Max Havelaar sekarang pun terjadi. Perlu diingat bahwa di tahun 70-an, angin ‘kekiri-kirian’ meniup agak keras di Negeri Belanda. Suara Wertheim dan kawan-kawan yang mengadakan berbagai aksi anti-Indonesia masih kuat terdengar.

Tampaknya dalam rangka pemikiran itu, filem Max Havelaar mau dibuat. Kepada saya ditawarkan posisi sebagai asisten sutradara yang saya tolak, karena posisi itu hanyalah posisi “kacung” belaka. Karena ini suatu “co-productie” maka pihak Indonesia harus dan berhak mempunyai suara yang sama (inspraak). Apalagi karena Max Havelaar mengambil setting-nya di Indonesia (Lebak) dan distorsi sejarah yang dilakukan oleh buku itu harus diluruskan. Ini hak kami sebagai bangsa merdeka, demikian pendirian saya. Tambahan pula buku Max Havelaar adalah khas romantik Belanda abad XIX yang memakai pola hitam-putih (Protagonisnya Max Havelaar yang putih bersih seratus persen, dan antagonisnya Raden Adipati Karta Natanegara yang hitam dan kotor). Kalau pola itu dengan serta merta diterjemahkan ke dalam filem, maka yang akan muncul di layar adalah sosok-sosok tanpa nuansa. Dan karena medium filem memiliki kemampuan untuk menimbulkan ilusi yang kuat pada penonton bahwa apa yang dilihat di layar sungguh-sungguh kenyataan, maka filem Max Havelaar bisa mengukuhkan tuduhan Multatuli bahwa Raden Adipati Karta Natanegara benar-benar telah meracuni asisten residen sebelumnya dan telah pula merampas kerbau dan milik rakyat, serta menindas rakyat Banten dengan kerja paksa. Semua itu tidak pernah terbukti. Fons Rademakers dan Hiswara menyetujui pendapat saya dan saya diminta untuk membuat studi tentang sejarah Banten dan Multatuli. Menyerahkannya kepada Gerard Soeteman, penulis skenario, agar skenarionya mencerminkan visi Indonesia dan Belanda saat ini sebagai dua bangsa yang sama-sama merdeka.

Penelitian mengenai sejarah Banten dan karya Multatuli saya lakukan, sementara Gerard Soeteman menulis treatment-nya (bentuk dasar dari skenario, sudah dengan gambaran dan urutan adegan-adegan). Treatment yang dikarang oleh Soeteman berpegang teguh pada isi buku Max Havelaar. Bedanya hanyalah bahwa episode Saidjah dan Adinda yang oleh Multatuli diselipkan dalam cerita mengenai Havelaar (bab ke-17 dalam terbitan 1947), dan tiada hubungannya dengan Havelaar, oleh Soeteman dijalin secara integral dengan riwayat tokoh utamanya. Ini memang kesepakatan sejak semula, karena saya mengusulkan struktur cerita yang memiliki dua plot yang saling berkaitan erat. Plot (alur cerita) pertama adalah perjuangan “emansipasi” Havelaar dari birokrasi dan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Plot kedua, adalah alur cerita tentang “emansipasi” rakyat Banten dari kolonialisme Belanda dan feodalisme pribumi yang di personifikasikan oleh Saidjah dan Adinda. Baik Havelaar maupun rakyat Banten (Saidjah dan Adinda) mau membebaskan diri tetapi pada akhir filem keduanya kalah tragis.

Pada treatment Soeteman saya masukkan sekitar 12 urutan (sequence) yang lebih memperjelas situasi sosial-politik Banten. Ini sebagai hasil dari penelitian saya. Usulan saya itu diterima oleh Fons Rademakers dan Hiswara Darmaputra sebagai sintesa visi Indonesia-Belanda terhadap cerita itu. Memang dengan demikian cerita Max Havelaar tidak akan semurni bukunya lagi, tetapi dengan argumen bahwa buku Multatuli itu juga bukan sejarah, tetapi sebuah roman dan bahwa medium sastra berbeda secara hakiki dari medium filem, “berdasarkan Max Havelaar” bisa saja dibuat.

Treatment yang saya tulis berdasarkan treatment Soeteman dengan konsultasi H. Misbach Yusa Biran sebagai orang Banten, rupanya disodorkan ke Departemen Penerangan (Deppen). Di dalam suatu rapat (saya lupa tanggalnya) di Deppen, yang dihadiri oleh H. Djohardin, Hiswara, Soemardjono (Ketua KFT), Dira Suhud, Fred Wetik dan lain-lain, ditekankan lagi bahwa saya ditugaskan untuk mengamankan visi Indonesia di dalam filem tersebut. Maka keluarlah izin produksinya.

Ketika Fons Rademakers, kru, aktor-aktris Belanda, serta peralatan tiba di Jakarta, yang dibawa Gerard Soeteman adalah suatu skenario lengkap dengan breakdown script-nya yang berbeda dengan persetujuan semula. Usulan-usulan saya yang penting sekali dalam menggambarkan perlawanan rakyat Banten terhadap kolonialisme Belanda sebagai latar sosial-politik dan historis dihilangkan sama sekali. Setelah skenario itu saya baca, ceritanya menjadi sederhana sekali: Raden Adipati Karta Natanegara, Bupati Lebak, memeras rakyat, menyalahgunakan kekuasaannya, berpesta pora dan meminjam uang dari Belanda, lalu meracuni asisten residen. Max Havelaar (bukan tokoh sejarah) mengadukan Bupati itu ke atasannya bahkan ke Gubernur Jenderal dan akhirnya kalah karena Gubernur Jenderal memihak Bupati. Saidjah dan Adinda dan sosok-sosok orang banten menjadi pelengkap penderita saja dan mati konyol tanpa perlawanan di ujung bayonet tentara Belanda. Cerita itu yang kita lihat di filem Max Havelaar sekarang.

Saya menolak cerita itu dan mengundurkan diri dari produksi, karena visi Indonesia ditiadakan sama sekali. Filem itu tetap dibuat, dilarang beredar oleh Badan Sensor di bawah pimpinan Bapak Sumarmo, kemudian diloloskan tahun ini oleh Badan Sensor Film sekarang.

Alasannya tidak jelas, dan kalau ada pasti tidak patriotik dan pasti tidak memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. Diplomasi kebudayaan Belanda memang jitu. Kalau Multatuli berkata bahwa, “Kebenaran sering harus tampil dengan selubung dusta”, apa bedanya dengan “dusta yang tampil dengan selubung kebenaran”?

MANA YANG BENAR? MANA YANG DUSTA?
Sejak buku Max Havelaar terbit, pertanyaan ini menggelitik baik orang Belanda maupun orang Indonesia. Apakah benar Max Havelaar merupakan riwayat hidup Eduard Douwes Dekker? Apakah benar bahwa Raden Adipati Karta Natanegara, tokoh sejarah kita betul-betul buruk sebagaimana digambarkan Multatuli dalam Max Havelaar? Apakah benar bahwa rakyat Banten pada waktu itu mudah diperas dan ditindas. Apakah benar bahwa Douwes Dekker betul membela rakyat Banten? Apakah benar ia dalam sosok Max Havelaar mengucapkan pidato di hadapan Bupati? Kepala-kepala Desa dan rakyat sepanjang yang kita lihat dalam filemnya, dengan retorik yang brilian, yang kemudian dikagumi orang (termasuk banyak orang Indonesia)? Serentetan pertanyaan dapat kita susun dan harus kita susun kalau kita tidak mau menjadi Saidjah yang dengan konyol mati di ujung bayonet Belanda.

Kritik atas Max Havelaar-nya Multatuli sudah sangat keras semenjak tahun 1860. Prof. Veth, guru besar di Leiden mengatakan bahwa buku itu bukan roman karena nilai sastranya hanya embel-embel, bukan pula biografi karena tidak memaparkan fakta-fakta sejarah (De Nederlandsche Spectator 1860, hal.182). Multatuli dalam sosok Max Havelaar, ibarat “orang Jawa yang mengamuk” (de amok makende Javaan) berkata Veth lagi. Karya itu tidak memiliki disiplin penulisan, berkata Prof. Buys (J.T. Buys, Wetenschappelijke Bladen, 1860, III 24,32). Buys menandaskan lagi bahwa Multatuli hanya “mengagungkan dirinya” daripada “berkaitan” pada orang Jawa. Memang itu yang kita lihat dalam filem yang kini beredar.

Di dalam “Minnebrieven (1861, hal. 13, 17), Multatuli menulis “De Javaan wordt mishandeld. Ik zal daaran een eind maken”. Orang Jawa dianiaya, aku akan mengakhirinya. Tekanan terletak pada “aku” dan bukan pada “orang Jawa”. J. Saks dalam karangannya, Lebak (Groot Nederlan, 1927, I 285/6) menekankan lagi bahwa “Havelaar bukan sejarah akan tetapi suatu pembelaan, bahkan suatu pembelaan untuk diri sendiri”.

Eduard Douwes Dekker (Multatuli) memang tidak berhasil di Natal, Manado dan Ambon sebagai pegawai kolonial Belanda dan gagal total di pos nya yang terakhir di Lebak (1856) sebagai Asisten-Residen. Mengapa kebenciannya terhadap Raden Adipati Karta Natanegara begitu besar dan mendalam? Swath Abrahamsz kemenakannya sendiri yang seorang dokter, menulis bahwa Douwes Dekker, pamannya itu mengidap “neuruasthenie”, yang pada zaman itu diartikan sebagai gangguan kejiwaan. Ditandai oleh perasaan keakuan yang kuat dan ketidak mampuan mengendalikan emosi. Nah, di suatu daerah di mana seorang seperti Raden Adipati Kartanegara dianggap raja oleh penduduk, keakuan Douwes Dekker (Multatuli) yang begitu besar tidak dapat menerimanya. Karena di Lebak mestinya hanya ada satu “aku”, yaitu Eduard Douwes Dekker (Swarth Abrahamsz; Multatuli als Indo-europeaan, Taal en letteren 1897, VIII 53).

Begitu besar egonya sehingga pada waktu Kern, seorang ahli linguistik dan Quack, seorang ekonom menghimbau agar setelah Max Havelaar terbit, orang Belanda mestinya lebih memperhatikan nasib orang Jawa, Multatuli pun naik pitam. Kern dan Quack dianggapnya musuh karena titik berat mereka jatuh pada “nasib orang Jawa” dan bukan pada “pembela orang Jawa”, yaitu Douwes Dekker (Multatuli) sendiri (idee 1034/5).

Ego yang besar inilah yang menjadi titik pangkal untuk menuliskan roman yang memakai pola hitam-putih. Max Havelaar menjadi raksasa, orang suci dan bersih, Raden Adipati Kartanegara (tokoh yang sungguh-sungguh ada dalam sejarah) digambarkan hitam pekat dan rakyat Banten menjadi pelengkap penderita saja. Perlu memang untuk menjadikan Max Havelaar (tokoh idaman Multatuli) menjadi pembelanya. Di sini nama-nama yang ada dalam sejarah, baik nama orang maupun tempat dan tanggal diramu dengan lamunan seorang pengarang. “Kebenaran diselubungi dengan dusta”.

R.A. Van Sandick dalam bukunya Leed en liefuit Bantam (1893, hal 218) meniliti, “Apakah betul-betul Bupati Lebak yang digambarkan Multatuli begitu bengis?”. Di sekitar Lebak, katanya Bupati yang telah meninggal itu oleh penduduk dianggap orang saleh dan suci. Gambaran yang sama kita peroleh dari korespondensi para istri bupati pada zaman itu yang dikumpulkan oleh H. Mohamad Musa (1880).

Pidato yang termasyhur dan panjang, yang diucapkan di hadapan Bupati dan penguasa lain di daerah itu, dalam kenyataannya hanya berlangsung beberapa menit saja (G.Jockbloet: Multatuli, 1894, hal ii/2.57/8). Apalagi Eduard Douwes Dekker tidak menguasai bahasa Melayu atau bahasa Sunda dan tidak pernah mengadakan inspeksi ke pelosok-pelosok Banten Kidul (G.J.P. de la Valette, De Gids, 1910, II 383/4).

Di dalam buku maupun filem Max Havelaar, daerah Banten digambarkan sangat miskin dan rakyatnya lesu darah. Apakah benar gambaran Multatuli itu? Apakah karena egonya yang besar itu ia tidak sanggup lagi melihat bahwa rakyat Banten sejak 1830 tidak henti-hentinya mengangkat senjata terhadap ekspansi kolonialisme Belanda? Ia juga tidak mau melihat bahwa Kesultanan Banten mempunyai sejarah yang gemilang dan tidak pernah mau tunduk terhadap Belanda.

Di dalam tulisan ini, saya hanya dapat mengutip beberapa catatan kecil dari hasil penelitian saya. Dari catatan-catatan sejarah kita bisa mengetahui bahwa walaupun perang, baik antar daerah maupun dengan Belanda senantiasa berkecamuk, Kesultanan Banten tetap berdiri bahkan memperluas daerahnya. Beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan mengakui kekuasaan kesultanan ini dan setiap tahunnya menyerahkan upeti (Hussein Djajadiningrat; Critische beschouwingen van de sejarah Banten, Proefschrift Leiden 1913).

Hubungan diplomatik dengan Inggris telah ada di abad ke-17. Pada 1682, Sultan Banten mengirim suatu delegasi yang terdiri dari 33 orang ke London. Ketika kapal mereka memasuki Sungai Thames, dentuman meriam menyambut kedatangan mereka. Kapal itu penuh dengan muatan lada, rempah-rempah lain, permata dan burung merak emas yang dihiasi berlian. Ini semua sebagai hadiah kepada Raja Inggris. Pada salah satu hari selama kunjungan mereka di Inggris, mereka menyaksikan pertunjukan Macbeth dari Shakespeare (Daghregisters, gehouden int Casteel Batavia, Arsip Negara, Jakarta). Perhubungan dagang sangat intensif dan berlangsung lama setelah Jan Pieterszoon Coen datang. Dengan didirikannya Batavia perdagangan pindah ke tempat ini dan lambat laun Banten mengalami kemunduran. Kesadaran berabad-abad yang berpangkal pada ide “Banten untuk orang Banten” dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa kolonialisme Belanda melakukan ekspansinya pula ke daerah ini. Ini menyebabkan orang Banten dari generasi ke generasi mengangkat senjatanya (yang oleh Belanda dianggap pemberontakan). Bahkan, tangan besi Daendels yang berusaha dengan kekerasan menguasai Kesultanan Banten tidak berhasil (1808). Keraton kesultanan menjadi pusat dari perlawanan dan perang gerilya. Baru pada 1832 Sultan Banten dikucilkan Belanda, daerah ini setapak demi setapak masuk dalam kekuasaan Belanda tetapi tidak tanpa perlawanan.

Pemerintah Kolonial Belanda membagi Banten dalam daerah kabupaten dan distrik. Penduduk yang tadinya tersebar, dipaksa untuk berkumpul dalam bentuk desa untuk memudahkan pengawasan. Setiap Desa dikepalai oleh seorang Jaro. Rumah-rumah penjagaan dan bivak didirikan sepanjang jalan dengan jarak tertentu, “Heeren diensten” mulai berlaku, Onderneming Belanda yang mengusahakan indigo, gula dan tembakau serta kopi telah membebani rakyat secara luar biasa (W.A. van Rees: Wachia, Taykong en Amir, Rotterdam 1859).

Pemerintah Kolonial Belanda menempatkan bupati-bupati yang dipilihnya dan memberi mereka gelar, seperti gelar Adipati (Staatsblad 1820, no 22). Di dalam Staatblad itu tertulis: “De Regenten zijn, onder de Indlandsche bevolking, de eerste personen in hunne regentschappen; zij staan onder onmiddelijke bevelen van de Resident”. Para bupati adalah orang-orang yang utama di antara orang pribumi di Kabupaten masing-masing dan berada dibawah perintah langsung dari Residen (Lihat juga; A.D.A. de Kat Angelino: Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch-Indie, den Haag 1930, hal 38-39). Membaca ini dapat kita mengerti bagaimana Douwes Dekker dengan egonya yang begitu kuat tidak bisa melihat seorang pribumi (Bupati) langsung berada di bawah Residen.

Raden Adipati Karta Natanegara yang tadinya menjadi demang di Jasinga diangkat oleh Belanda menjadi Bupati Lebak, menggantikan Pangeran Adipati Senajaya yang dicopot Belanda dengan sedikit paksaan. Sebagai Demang di Jasinga, Karta Natanegara memang telah berhasil menangkap seorang wanita Banten yang benama Nyi Gamparan, yang menjadi pemimpin perlawanan terhadap Belanda (1835). Sejak 1832, Nyi Gamparan memimpin perlawanannya yang gigih di daerah pegunungan Balagadang. Sebagai hadiah penangkapan Nyi Gamparan, Demang Jasinga itu menjadi Bupati Lebak (W.A. van Ress, op. cit). Bukan saja Nyi Gamparan menggemparkan daerah Banten, tetapi juga Raden Bagus Jayakarta putra Bupati Serang yang sangat berpengaruh pada para kyai dan ulama. Raden Bagus Jayakarta telah menjadi otak perlawanan terhadap Belanda pada 24 Februari 1850 (jadi pada tahun Douwes Dekker diangkat menjadi Asisten-Residen di Lebak).

Bermula di Desa Kakal penduduk mengangkat kelewang dan tombaknya melawan Belanda. Perlawanan yang dilakukan oleh lebih kurang 200 orang, kemudian dihadapi oleh Letnan Dua Krieger de Back dengan pasukan Jayang Sekar dan 25 anggota kavaleri. Daerah Gudang Batu yang ganas alamnya menjadi pusat perlawanan, karena di situ pula tempat bermukim Haji Wachia yang oleh penduduk dianggap orang suci. Letkol. de Brauw datang dari Batavia dengan dua kapal, tetapi para pejuang makin hari makin bertambah. Penduduk telah membantu para pejuang secara moral dan material. Nama-nama seperti Haji Wachia, Mas Derik, Tubagus Ishak, Penghulu Dempol adalah nama-nama yang sangat ditakuti Belanda.

Anyer, Tegal Papak bahkan Serang akan diserbu para pejuang. Bala bantuan datang lagi dari Batavia untuk menghindari kekalahan makin besar yang diderita Belanda. Patroli yang terdiri dari orang Afrika, Jerman, Belanda dan Prusia pada tempat dan waktu yang tidak diduga diserang dan dikalahkan para pejuang. Di dalam filem Max Havelaar pada adegan-adegan permulaan kita melihat juga patroli itu (di filem yang beredar di Indonesia adegan itu diperpendek, sehingga ekspansi Belanda tidak muncul. Ini tentu merugikan kita). Puluhan desa dibakar oleh 130 infanteri yang datang dari Batavia untuk mematahkan sumber logistik para pejuang. (di dalam filem Max Havelaar kenyataan ini diputarbalikkan, yang membakar desa-desa adalah anak buah Bupati). Multatuli sendiri mesti tahu tentang ini karena mengenai Saidjah ia menulis, “Hij dool.derond in een dorp dat pas veroverd was door hed nederlandsche leger en dus in brand stond” (Ia berjalan di desa yang baru saja dikuasai Belanda dan tentunya sedang dibakar). Pertempuran yang menentukan terjadi di Tegal Papak. 500 pejuang di bawah pimpinan Mas Diah, berpakaian putih terpaksa kalah melawan Belanda yang memiliki bedil. Pertempuran itu berlangsung empat bulan, dan dilanjutkan di Lampung di bawah pimpinan Pangeran Singa Brantas dan Raden Intan.

Petikan singkat dari peristiwa-peristiwa ini dapat kita baca dalam buku R.A. van Ress tersebut dengan sangat mendetil, karena van Ress adalah kapten dari Nederlansch Indisch Leger (Tentara Hindia Belanda) yang juga ditugaskan menumpas para pejuang Banten. Catatan-catatan sejarah ini sudah jelas menjawab pertanyaan: Mana yang benar di buku dan filem Max Havelaar?. Orang Banten bukan pelengkap penderita saja. Mereka juga mempunyai harga diri dan tidak akan muncul di jurang untuk mengadukan nasibnya kepada Max Havelaar. “Itu hanya fantasi belaka”, berkata Wertheim (Genei en Wereld: Multatuli, Hasselt 1970, hal 67).

MENANGNYA DIPLOMASI KEBUDAYAAN BELANDA
Dengan uraian di atas yang merupakan visi orang Indonesia yang sadar akan hakikat Mukadimah UUD 1945 mudah-mudahan publik Indonesia memakai kacamata kritis terhadap pahlawan Belanda yang bukan pahlawan kita. Motif pembuatan filem ini, sebagaimana sudah dikemukakan tadi adalah menekankan aktualitas Max Havelaar. Maksudnya, apa yang digambarkan dalam buku dan filem Max Havelaar sekarangpun masih terjadi. Penguasa di pusat maupun di daerah masih juga memeras rakyat, kata Fons Rademakers dahulu dan masih juga terjadi kolaborasi antara orang Indonesia dan kekuasaan asing, kata Hiswara Darmaputra di media massa. Isma Sawitri (Tempo, 5 Desember 1987) menulis bahwa, “Massa yang diam bisa ditemukan kapan saja, dalam masyarakat terjajah ataupun tidak terjajah. Nah, inilah yang ingin disampaikan oleh “saudara tua” kita Belanda dengan sikap paternalismenya. Dan kita menerimanya. Untung bahwa di media massa masih terdengar suara-suara kritis (Bintang Indonesia, 1 Oktober 1987 dan Editor, 5 Desember 1987).

Badan Sensor Film Indonesia kebobolan gawangnya, tulis Bintang Indonesia. Ternyata diplomasi kebudayaan Belanda berhasil seratus persen. Pasti memuji Max Havelaar, baik orang Belanda maupun orang Indonesia berseru: “Leve de Koningin! (Hidup Ratu!)”. Dan Saidjah serta Adinda tahun 1987 mati konyol di ujung bayonet (kebudayaan) Belanda.


*David Albert Peransi adalah seorang pelukis, penulis dan tokoh film, lahir di Jakarta, 19 Juni 1939, meninggal di Jakarta, 25 November 1993. Mengikuti pendidikan di Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra UI, belajar filsafat pada J. Verkuyl dan D.C. Mulder (1958-1959), kemudian memperdalam pengetahuan di Be1anda (1971-1972) dan di Vniveritas New York, AS (1978). Pernah menjadi dosen bahasa dan kesusastraan di Seko1ah Tinggi Theologia, Jakarta (1960-1970), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), Wakil Ketua Departemen Sinematografi IKJ (1974-1976), dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik VI (1978). Belajar melukis dari Ny. L. Weinberg (1953-1957); pemah berpameran di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Amsterdam. Sebagai penulis, ia memenangkan hadiah kesusastraan tahun 1963 . Mengajukan masalah "Pro dan Kontra Pembaharuan Seni Rupa Indonesia" tahun 1968 di Jakarta. 1963, mulai mengkhususkan di bidang fotografi dan sinematografi. Mempelajari sinematografi dari tahun 1970 sampai dengan 1972 di Amsterdam, dan membuat film yang disiarkan TV Be1anda, Kawanku Asmara dan Boyolalar. Menjadi juri pada festifal-festifal film di Laren (1970,1972), Oberhausen (1971), dan Mannheim (1970,1971). Lukisannya bertolak dari image-image visual yang diresapkan dari bentuk-bentuk alam yang mengalami deformasi da1am karya-karyanya, seperti bentuk tumbuhan, benda, dan tubuh manusia. 

Tidak ada komentar: