Tafsir Tentang Tubuh atau Ihwal Teater dan Manusia


Keberadaan dan kehadiran kita di dunia berbarengan secara jasadi dan rohani. Kita adalah jiwa sekaligus raga: kita adalah tubuh, tubuh jasmaniah dan rohaniah. Dengan tubuh jasmaniah dan rohaniah kita itu pula kita bergembira atau merasakan kesepian dan keterasingan. Kita mengada di dunia ini dengan tubuh jasmaniah dan rohaniah tersebut secara berbarengan dan beriringan, bahkan acapkali berkonflik. Demikian tafsir saya atas pentas teater bertajuk Tebah, Tabuh, Tabah oleh Komunitas Kembali di kawasan Taman Budaya Banten 3 Februari 2018 lalu.

Ada satu komentar singkat salah-seorang penonton pentas tersebut yang ia publikasikan melalui akun medsosnya: facebook dan instagram, yang kebetulan penonton tersebut seorang mahasiswi bernama Siti Nuraisyah yang aktif di komunitas menulis sastra di kampusnya di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa:

Kemana seharusnya saya bawa sisa dari kemurnian hati yang telah diberikan Tuhan jika mata saya telah lama buta? Telinga saya telah lama tuli? Tubuh saya yang ringkih tak sanggup lagi menyimpannya hingga saya begitu tertatih meraba tempat untuk berpijak. Rela dipermainkan agar tetap berdiri tegak. Saya akhirnya ingat telah menjadi begitu lupa dan papa”.

Narasi yang sebenarnya merupakan caption untuk foto yang ia unggah itu, entah ia sadar atau tidak, sesungguhnya memiliki nada tanya filosofis yang puitis. Kebetulan lainnya adalah mahasiswi yang bernama Siti Nuraisyah itu adalah juga satu-satunya mahasiswi yang lolos kurasi menjadi peserta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X yang diselenggarakan di Kota Serang, Banten 15-17 Desember 2017 silam.

Caption yang filosofis dan puitik tersebut hanya bisa diungkapkan secara naratif dalam media tulisan oleh seseorang yang memiliki kepekaan estetik sekaligus memiliki kapasitas meditatif yang sifatnya literer dan puitik ketika ia mempertanyakan tubuh jasmaniah dan rohaniahnya sebagai seorang pribadi dan individu, yang acapkali dilanda moment-moment sentimentil.

Yah, teater pertama-tama memang berbicara tentang manusia: tentang kita yang hadir dan berada dengan tubuh jasmaniah dan rohaniah dalam dunia dan kehidupan. Dalam hal demikian, secara artistiik, puitik, dan estetik kita acapkali menciptakan metafora-metafora dalam bahasa dan panggung pertunjukkan ketika ingin menggambarkan dan menafsir keberadaan kita dalam dunia dan kehidupan ini.

Apa yang dipertontonkan kepada kita oleh anak-anak muda yang tergabung dalam Komunitas Kembali dengan pentas Tebah, Tabuh, Tabah mereka itu merupakan ikhtiar dan kerja yang sesungguhnya filosofis dan meditatif ketika hendak menafsir dan menggambarkan keberadaan manusia dalam dunia dan semesta, yang acapkali hadir sebagai wujud jasmaniah dan rohaniah dalam lanskap tegangan antara yang profan dan yang sakral.

Saya kira, dalam hal ini, saya perlu juga menghadirkan pandangan para pelakunya, yaitu sang sutradara, Imaf M. Liwa, terkait garapan mereka yang bertajuk Tebah, Tabuh, Tabah itu.

Terkait garapan pertunjukkan itu, sutradara Tebah, Tabuh, Tabah, Imaf M. Liwa mengatakan, gagasan pertunjukan tersebut bermula dari sebuah pertanyaan dan pembacaan ulang terhadap diri (penggarap) yang terjebak pada arus kehidupan yang serba profan. Kehilangan sisi sakral dalam diri dan perlahan mengubur spiritualitasnya, menjadi manusia yang mengotak-ngotakkan segala hal dan merasa menjadi subjek yang paling agung. Tetapi, dalam keagungan tersebut, dia merasa ada sesuatu yang hilang.

Sesuatu yang kian lama semakin tidak berdaya menuju kematiannya, yaitu kedalaman rasa yang bersumber dari kemurnian jiwa dan hati. Sehingga, merasa guncang, kehilangan arah, berjalan, namun tertidur. Terperangkap pada keinginan dan pikiran yang khoyal, memiliki perasaan yang beku, menjadi buta, melakukan perusakan alam yang dipijaknya. Memiliki tubuh yang rubuh, menjadi terpisah dan tidak utuh, dari keguncangan dan ketidakutuhan tersebut, maka lahirlah proses pertunjukan ini dengan konsep menubuhkan tubuh: Tebah, Tabuh, Tabah.

“Tebah, Tabuh, Tabah merupakan istilah atau bahasa lokal yang masing-masing kata memiliki makna. Tebah berasal dari kata ‘tetebah’ yang memiliki arti penyucian atau membersihkan. Terbang Gembrug sebagai media zikir juga menjadi prosesi pembersihan atau penyucian (tebah) untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta,” katanya saat latihan pementasan, di Taman Budaya Banten.

Ia menjelaskan, tabuh memiliki arti memukul pada alat musik pukul. Tabuh sangat erat kaitannya dengan waktu, karena secara historis alat pukul yang dibunyikan (tabuh) menjadi penanda waktu untuk menjalani atau memulai sesuatu yang dianggap sakral dan penuh spirit. Hal tersebut diwakili Terbang Gembrung sebagai alat musik pukul yang menghasilkan bunyi-bunyian ritmis yang selaras menjadi pengiring zikir.

Sedangkan, tabah, yaitu sebuah sikap kerelaan atau penyerahan diri kepada Tuhan atau penguasa alam, hal demikian tertuang dalam esensi kesenian terbang gembrung sebagai bentuk penghambaan kepada Sang Pencipta. Pertunjukan tersebut diwujudkan dalam bentuk pemanggungan arena dan outdoor yang terpusat pada stage yang didesain oleh Fahmi Ulhaq sebagai visual artist dalam keproduksian pertunjukan ini. Pola permainan dalam pertunjukan ini didominasi oleh gerak tubuh aktor yang dimainkan Saduri Dagul, Acu Samsudin, dan Arif Sodakoh,” ujarnya.

Pertunjukkan Teater Inovatif yang dilakukan oleh ‘Komunitas Kembali’ ini tentu saja patut mendapatkan apresiasi ketika mereka memberanikan diri untuk menggarap Teater Inovasi yang memadukan seni pertunjukkan modern dan seni tradisional religius. Dengan melakukan upaya metaforis, Komunitas Kembali seakan hendak mengajak kita untuk membaca ulang posisi tubuh sebagai muasal dan muara keberadaan kita di dunia.

Salam dan terimakasih,
Sulaiman Djaya (Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten dan Penasehat Kubah Budaya). Foto pentas Tebah, Tabuh, Tabah oleh Siti Nuraisyah

(Foto oleh Ade Wahyu)

Tidak ada komentar: