Nada-Nada Melayu dalam Irama Kesusastraan Rusia




Waktu saya masih berumur kira-kira enam tahun, nenek saya sering membacakan dongeng-dongeng dari buku ceritera lama. Buku itu berjudul "Dongengan kucing pendengkur" [1] dan ditulis pada tahun tujuhpuluhan abad yang lalu oleh seorang ahli ilmu hewan, mistikus dan sastrawan Rusia, Nikolay Wagner (1829-1907).

Di antara dongeng-dongeng yang mungkin pernah dibacakan kepada nenek Vera waktu beliau masih kecil adalah sebuah cerita tentang seorang kerdil yang riang hati. Namanya Pimperle. Orang yang berbadan kecil itu memiliki sehelai peta ajaib, kalau peta itu dipaparkan segala sesuatu yang tergambar di atasnya menjadi kenyataan dan siapa yang melihat peta itu akan merasa dirinya sebagai burung yang melayang di atas permukaan bumi.

Begitulah, dengan pertolongan peta Pimperle itu, saya dapat melihat Semenanjung Melayu yang memanjang, asap yang naik ke atas dan berkumpul di udara sebagai awan, serta orang-orang Melayu yang sibuk merebus teripang dalam kuali-kuali yang besar. Sampai sekarang saya masih ingat betapa heran saya waktu dibacakan bahwa teripang adalah "seekor binatang laut yang menyerupai gelang-gelang" dan dianggap makanan yang paling enak oleh orang-orang Melayu yang luar biasa itu.

Tentu saja orang Rusia pada abad pertengahan tidak tahu-menahu tentang peta Pimperle itu, lagipula berita-berita tentang Tanah Melayu dan orang-orang Melayu itu masuk ke Rusia dengan lambat sekali dan biasanya melalui buku-buku asing. Begitulah, pada tahun 1826 untuk pertama kalinya pembaca-pembaca Rusia berkenalan dengan sastera Melayu Klasik yang berupa kutipan agak singkat dari "Hikayat Hang Tuah". Kutipan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia melalui terjemahannya dalam bahasa Perancis [2].

Dua tahun kemudian di Rusia diterbitkan sebuah karya sastera yang untuk pertama kalinya pula menggambarkan wilayah Malaysia — agaknya daerah Kalimantan Utara — sebagai latar belakang peristiwa yang dikisahkan di dalam karya tersebut. Buku itu berjudul "Perjalanan dalam kereta" [3] karangan Antony Pogorelski (1787-1836), seorang pengarang yang berbakat (tulisan-tulisannya yang pertama dalam bidang sastera mendapat perhatian dan pujian dari tokoh sastra Rusia Alexander Puskhin).

Walaupun Pogorelski seorang yang berpendidikan tinggi, tetapi pengetahuannya mengenai Malaysia agak kabur dan sebenarnya cerita yang ditulisnya dalam buku itu tentang persahabatan antara seorang pemuda bernama Fritz dan seekor orang hutan betina bernama Tutu yang pernah menjadi ibu angkatnya, hanyalah khayalan belaka.

Keadaan berubah waktu kapal-kapal perang Rusia pada awal abad ke-19 mulai berkeliling dunia yang dengan sendirinya melalui Selat Malaka. Salah seorang pelaut Rusia yang pada waktu itu mengunjungi pelabuhan Melayu adalah Letnan Butakov. Kesan-kesan yang didapatnya dari kunjungan ke Pulau Pinang dan ke Singapura dimuat pada tahun 1843 dalam "Otecestvennye Zapiski", sebuah majalah Rusia yang paling terkenal waktu itu [4].

Butakov sangat terkesan pada segala yang dilihatnya di tempat-tempat yang jarang sekali didatangi orang Rusia. Bukan main gembiranya beliau, waktu mengisahkan wayang Cina di Pulau Pinang atau menceriterakan dongeng tentang Badang dari Saluang ("Sejarah Melayu", ceritera 6) yang dipetiknya dari sebuah buku karangan E. Belcher.

Kunjungan kapal-kapal Rusia ke Asia Tenggara secara tidak langsung mengakibatkan lahirnya sebuah pantun Rusia yang pertama. Sejarahnya sebagai berikut: pada tahun 1815-1818, seorang sarjana dan penyair Jerman Adelbert von Chamisso ikut dalam pelayaran kapal Rusia "Ryurik" yang berkeliling dunia. Dalam pelayaran tersebut perhatiannya tertarik pada puisi Melayu. Beberapa tahun kemudian A. von Chamisso menulis sebuah artikel mengenai puisi rakyat Melayu dan beberapa sajak yang berbentuk pantun berkait.

Bentuk pantun ini untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada orang-orang Eropa. Sajak-sajak Chamisso rupanya ditiru oleh seorang penyair wanita Rusia yang agak terkenal waktu itu, Karolina Pavlova (1807-1893). Karya-karya von Chamisso memang dikenalnya dengan mendalam, malahan beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Akan tetapi Karolina Pavlova sendiri juga menulis pantun berkait yang sangat laris dan menurut anggapannya lebih sesuai untuk dinyanyikan daripada untuk dibaca [5].

Pada tahun 1853 seorang pujangga besar Rusia, Ivan Goncharov (1812-1891) sempat mengunjungi perairan Melayu dan melihat orang-orang Melayu dengan mata kepala sendiri. Satu tahun kemudian, dalam majalah yang telah disebut di atas, "Otecestvennye Zapiski" dimuat kisah kunjungannya ke Singapura, tulisannya sedemikian bagusnya sehingga beberapa angkatan pembaca Rusia mengenal kota Singapura melalui kaca mata Goncharov.

Nada ceriteranya lain dari nada Butakov, terletak pada kepandaiannya memperlihatkan hal-hal yang biasa dalam suasana yang luar biasa. Berkat ketajaman visi dan kekuatan daya kreasinya, penggambaran Singapura dan alam Malaysia pada abad ke-19 yang begitu indah itu meninggalkan kesan yang tak dapat hilang dari ingatan para pembaca "Frigate Palas", buku catatan perjalanannya keliling dunia yang berisi sketsa Goncharov tentang Singapura [6].

Dapat pula ditambahkan bahwa perairan Melayu juga merupakan tempat terjadinya peristiwa yang dikisahkan dalam cerpen "Si Buntung" karya Konstantin Stanyukovick (1843-1903), seorang pengarang dan juga pelaut yang progresif. Pertentangan yang hebat antara kelasi dan perwira sebuah korvet "Moguchy" terjadi di pelabuhan Singapura, "pada waktu pagi yang menggairahkan di bawah matahari katulistiwa" [7]. Pada tahun 1898, cerpen tersebut bertentangan dengan ide-ide yang resmi, sehingga dilarang untuk dibaca rakyat negara Rusia.

Bagaimanapun juga watak orang Melayu yang paling mengesankan dalam sastera Rusia diciptakan oleh seorang pujangga Rusia yang tak pernah mengunjungi Tanah Melayu. Pengarang itu tidak lain dari Ivan Turgenev (1818-1883) yang tidak asing lagi bagi pembaca Melayu, berkat cerpenniya "Cinta pertama" yang telah diterjemahkan dengan tangkas sekali oleh Araf.

Pada waktu Turgenev tinggal di Paris, pada tahun 1881, ditulisnya sebuah cerpen yang berjudul "Lagu cinta berjaya" [8]. Diantara tokoh-tokohnya kita temui seorang Melayu yang bisu. Orang itu menjadi pelayan merangkap guru Muzzio, seorang pemuda Italia yang pulang ke kota kelahirannya Ferrara, sesudah mengadakan perjalanan yang lama sekali ke Timur.

Cerpen itu berakhir dengan kebe-rangkatan Muzzio dan "panakawannya" meninggalkan kota Ferrara, se-telah orang Melayu, "panakawan" Muzzio itu menyelamatkan jiwanya dari luka parah akibat serangan suami kekasihnya.

Cerpen ini telah menarik banyak perhatian para pembaca Rusia, telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Perancis, Inggris dan Denmark yang menimbulkan pelbagai tafsiran yang aneh. Menurut salah satu tafsiran itu, Valeria, kekasih Muzzio, merupakan lambang Rusia, Muzzio yang tewas, tetapi sempat meninggalkan benihnya dalam tubuh Valeria yang hamil adalah lambang nihilisme, sedang orang Melayu yang bisu tersebut melambangkan kaum tani Rusia yang tidak mempunyai hak bersuara, akan tetapi dapat menghidupkan kembali nihilisme Rusia...[9].

Pada permulaan abad ke-20, tiga orang penyair Rusia yang sangat terkenal berusaha untuk meniru bentuk-bentuk puisi rakyat Melayu. Valéry Bryusov (1873-1924) yang pernah disebut (oleh Maxim Gorky) sebagai seorang pengarang Rusia "yang paling berkebudayaan", telah mencoba untuk mencipta "pantun Rusia". Pengarang yang sangat termasyhur pada awal abad ke-20 itu hendak menulis sebuah antologi sajak "Impian Ûmat Manusia", dalam bentuk puisi lirik, yang dapat "membayangkan" hati nurani umat manusia".

Khusus untuk antologi tersebut, Bryusov menciptakan enam buah "lagu Melayu" berbentuk pantun yang telah diterbitkan bersama beberapa sajak lain. Tetapi sayang antologi tersebut tidak sampai terwujud [10].

Pada waktu yang bersamaan, seorang pengarang Rusia lain, yang terkenal, Konstantin Balmont (1867-1942) juga menerbrtkan antologi sajak berjudul "Pembangun putih". Di antara sajak-sajak dalam antologi tersebut, terdapat enam buah mantera Melayu ciptaan Balmont sendiri dan dua buah sajak lain yang bertema Melayu : "Api unggun Melayu" dan "Kain pual" [11]. Balmont pergi sendiri ke daerah Nusantara dan menciptakan sajaknya berdasarkan kesan perjalanannya –beliau pernah menulis bahwa maksudnya untuk "meniru kemerduan suling raja Do-nan dari Hikayat Melayu yang kuno" [12].

Akan tetapi sajak-sajak Bryusov dan Balmont yang berbentuk Melayu itu tidak seindah "Lagu Melayu" [13] ciptaan Ivan Bunin (1870-1953) , penyair dan pengarang prosa Rusia, pemenang hadiah Nobel tahun 1933. Karya Bunin tersebut merupakan saduran dari "Pantouns malais", sebuah sajak panjang, buah tangan pujangga Perancis Leconte de Lisle. Dengan sangat tegas Bunin memotong sajak Perancis itu, merobah dan memadatkan image-imagenya sehingga menjadi sebuah sajak baru tentang cinta, penipuan dan maut yang dapat dianggap setaraf dengan pantun-pantun Melayu yang terbaik.

Sajak Bunin yang diterbitkan pada tahun 1916 dapat disebut sebagai usaha tenakhir untuk memberikan tema Melayu dalam sastra Rusia pada zaman Tsar. Revolusi Oktober mengajukan tuntutan-tuntutan baru di hadapan sastrawan Rusia dan pemerintah kolonial Inggris tidak mau memupuk perhubungan antara Sovyet Rusia dan Tanah Melayu.

Pernyataan hubungan diplomatik antara Uni Sovyet dan Malaysia pada tahun 1967, menghidupkan kembali tema Melayu dalam sastera Rusia. Pada tahun 1967 mingguan "Literaturnaya Rossia" memuat dua buah essei Rudolf Bershadsky, pengarang Rusia yang berpengalaman. Essei itu ditulis berdasarkan kesan kunjungannya ke Malaysia [14].

Beberapa tahun yang lampau, seorang penyair Sovyet ternama, Robert Rozhdestvensky, yang juga telah mengunjungi Malaysia, menterjemahkan sajak penyair Malaysia terkemuka, Usman Awang. Dapat ditambahkan pula bahwa tahun 1972, Vasily Aksyonov, sastrawan Rusia berbakat, dalam buku anak-anak yang ditulisnya dengan judul "Kakekku - Patung peringatan", mengemukakan watak pengail Malaysia bernama Ion yang bersama anak-anaknya menemukan kepulauan Keinderaan Raya yang menjadi latar belakang kejadian yang digambarkan dalam buku yang lucu itu.

Mudah-mudahan usaha tersebut akan diikuti dengan langkah-langkah yang lebih tegas lagi dan lebih berhasil.

Catatan:
(1) Skazki Kota-Murlyki, Sobrannye Nikolayem Wagner, Saint-Petersburg, 1881. cetakan ke-2 yang ditinjau kembali dan diperlengkaipi, hal. 68-95.
(2) "Necto o yavanskoi slovesnosti", Aziatskiy Vestnik, 1826, n" 3, hal. 165-169 (terjemahan dari "Nouvelles annales des voyages et de sciences géographiques", 1825).
(3) A. Pogorelsky, Dvoynik ili moi vecera v. Malorossii, Saint-Petersburg, 1828, jilid II, hal. 128198.
(4) A. Butakov, "Pulo-Penang i Singapur. Iz zapisok russkogo morskogo ofitsera vo vremya putesyestviya vokrug sveta v 1840-1842 gg.", Otecestvennye Zapiski, 1843, n° 27, hal. 47-90.
(5) K. Pavlova, "Serenada", Moskvityanin, n° 22 (November, 1851), hal. 221-222. Saya berterima kasih kepada I.S. Postupalski yang memberitahukan saya me- ngenai ciptaan penyajak wanita tersebut.
(6) I. Goncarov, "Fregat Pallada. Ocerki putesyestviya,, Saint-Petersburg, 1858, jilid I hal. 408-459.
(7) K.M. Stanyukovic, "Kutsiy (rasskaz iz morskoi zhizni)", Mir Boziy, 1894, n° -, hal. 54-75.
(8) I.S. Turgenev, "Pesn' torzhestvuyusycey lyubvi," "Vestnik Yevropy,, 1881, n* 11, hal. 5-24. Lihat juga I. Turgenev, Song of Triumphant Love, ed. by M. Ford, New York, 1882: I. Tourguéneff, "Le chant de l'amour triomphant", dalam : I. Tourguéneff, Oeuvres dernières, Paris, 1885, dan beberapa terjemahan yang lain.
(9) Lihat surat Turgenev kepada P.V. Annenkov tertanggal 5.1.1882, dalam: I.S. Turgenev, Polnoyt Sobraniye Socineniy i Pisem, Leningrad, t. XIII, jilid 1, 1968, hal. 170.
(10) Valeriy Bryusov, "Iz knigi : Sny celovecestva", Sirin, Sbornik vtoroi, Saint- Petersburg, 1913, hal. XV-XVI.
(11) K. Balmont, Belyi Zodzii. Tainstvo cetyryoh svetilnikov, Petrograd, 1914, hal. 71-81.
(12) K. Balmont, Poeziya kak volsyebstvo, Moskva, 1915, hal. 79.
(13) I. Bunin, "Malayskaya pesnya," Sevemiye Zapiski, 1916, hal. 5-6. (14) R. Bersydskii, "V segodnyasynyei Malaye."

(14) Literaturnaya Rossiya, n° 41-42, 1967. (ie) V. Aksyonov, Moi dedusyka- pamyatnik, Moskva, 1972.

Tidak ada komentar: