Catatan Harian Ahmad Hasan


oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 09 Mei 2010)

Sesekali saya tertawa sendiri bila kembali mengingat apa yang telah saya lakukan, betapa seorang lelaki yang hari-hari dan malam-malamnya akrab dengan buku-buku yang dibacanya tiba-tiba menjadi kikuk dan bodoh ketika hidup dalam dunia yang sebenarnya. Saya hanya bisa tersenyum dalam kesendirian bila mengingat kembali setiap detil tindakan yang saya lakukan. Sempat juga saya ragu apakah saya mesti menuliskannya ataukah tidak? Memang, selama beberapa hari sejak pertanyaan dan keinginan saya muncul, saya sempat merasa tak perlu menuliskannya.

Tapi akhirnya saya menuliskannya juga, entah karena motivasi dan alasan apa? Yang pasti, dan mungkin ini yang paling bisa dijadikan alasan, bahwa saya pernah juga memiliki pengalaman menjadi seorang lelaki bodoh dan gagal dalam hidup keseharian, hingga saya menuliskan cerita ini mungkin saja sebagai sebuah usaha untuk memaafkan diri saya sendiri.

Tentu saja saya tak lagi hapal semua detil pengalaman dan tindakan yang telah saya lakukan ketika berusaha untuk mendekatinya ketika itu. Semuanya saya lakukan begitu saja tanpa strategi dan pertimbangan yang matang, tak lebih tindakan kekanakkan yang tak sabaran, mengikuti begitu saja hasrat yang memerintahkan saya dengan spontan.

Ketika itu saya adalah seorang mahasiswa semester tiga di sebuah perguruan tinggi di Jakarta Selatan. Tentu seperti semua lelaki sebelum akhirnya jatuh cinta, saya mengenalnya tanpa perasaan apa pun. Ia seperti kebanyakan mahasiswi yang saya kenal pada umumnya, seorang perempuan sebagaimana perempuan lainnya yang saya pikir tak memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri. Salah seorang teman saya, sebutlah Z, yang pertama kali memperkenalkannya kepada saya. Ketika itu saya dingin saja memperkenalkan diri kepadanya, menyebutkan nama dan menjabat tangannya.

Seminggu setelah saya mengenalnya dalam situasi yang singkat dan tanpa sengaja itu, tanpa diduga saya pun bertemu kembali dengannya di sebuah acara diskusi para mahasiswa yang diselenggarakan di auditorium kampus. Kebetulan ketika itu saya duduk di barisan kursi yang bersebelahan dengannya, meski agak jauh. Entah alasan apa yang mendorong saya untuk sesekali mencuri pandang dan memperhatikan dirinya.

Pertama-tama saya perhatikan rambutnya yang terurai lurus hingga melewati pundaknya dan terlihat rapih di punggungnya. Saya amati bentuk tubuhnya yang padat dan tampak sedikit ramping, meski ia tak terlalu tinggi alias sedang-sedang saja. Dan setelah diskusi usai, saya segera beranjak dari kursi tempat saya duduk dan berpindah ke barisan sofa yang telah disediakan panitia diskusi di sudut auditorium itu, demi mengamati dirinya saat ia berjalan keluar.

Saya memperhatikan caranya berjalan, dan tentu saja gugusan rambutnya yang terurai di punggungnya yang sesekali bergerak-gerak karena hembusan angin di mendung dan teduh cuaca siang yang membuat saya tertarik. Tak lama kemudian ia telah menghilang setelah melewati pintu auditorium. Saya pun bangkit dari sofa tempat saya duduk dan berjalan menuju pintu auditorium demi mengetahui ke mana ia berjalan dan melangkah. Saya agak kaget ketika saya lihat seorang mahasiswa telah menggandeng tangan kirinya sembari saya dengar samar tawanya.

“Siapakah mahasiswa yang menggandengnya itu?”, gumam saya dalam hati. “Apakah mahasiswa itu pacarnya?”, tanpa sengaja saya telah terobsesi untuk mengetahui dirinya lebih jauh.

Waktu terus berjalan di saat saya hampir melupakan obsesi saya untuk mengetahuinya lebih jauh ketika saya melihatnya untuk yang kedua kalinya di auditorium itu. Tanpa saya ketahui tiga minggu kemudian ketika saya menjadi pemateri diskusi atas permintaan teman-teman mahasiswa kajian, ia hadir di ujung ruangan tempat saya berbicara menjadi pemateri. Saya baru tahu kehadiran dirinya setelah saya selesai berbicara dan menjelajahkan sepasang mata untuk memperhatikan audiens yang hadir.

Saat itu ia mengenakan baju kemeja berwarna hijau. Aneh juga saat itu, ia terlihat lebih cantik dari sebelum-sebelumnya. Saya ingat ketika itu, menurut perasaan saya, saya melihatnya tersenyum satu kali ke arah saya, dengan refleks saya pun membalas senyumannya.

“Saya mesti mendekati dan menyapanya setelah tugas menjadi pembicara ini usai”, bathin saya. “Saya mesti mengajaknya ngobrol barang sebentar saja”. Saat saya tahu ia hadir di diskusi yang salah seorang pembicaranya adalah saya itu, saya berusaha tampil maksimal dan menjawab pertanyaan-pertanyaan audiens yang hadir dengan sekuat pikiran dan pengetahuan yang saya miliki, demi mendapatkan perhatian dan simpatinya.

Demikianlah, pertanyaan demi pertanyaan berhasil saya jawab dan setiap orang yang bertanya saya pikir merasa puas, hingga akhirnya moderator menyatakan acara diskusi telah usai mengingat jam telah menunjukkan pukul 21.35. Betapa gembiranya perasaan saya ketika mendengar pernyataan moderator itu, karena saya ingin menyempatkan waktu untuk mendekati dan menyapanya. Saya pun segera berjalan ke arahnya dan tak mempedulikan mahasiswa-mahasiswi baru yang ingin berkenalan dan bersalaman dengan saya.

“Hai, apa kabarmu?”, tanya saya ketika saya berada persis di depannya. “Yah, seperti yang kamu lihat”, balasnya, “saya baik-baik saja”. “Saya tak menyangka kamu akan hadir di acara ini”, sambung saya, “Sekedar ingin tahu saja”, jawabnya, “siapa tahu saya mendapatkan masukan dan wawasan untuk tugas makalah kuliah” “Memangnya tugas apa?”, tanya saya. “Tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam”, ujarnya. “Ehm, mungkin saya bisa membantumu”, kata saya padanya menawarkan diri, “jika kamu mau”. “Boleh, dan terimakasih”, balasnya.

Perkenalan dan obrolan yang tak begitu lama itu membuat perasaan saya bahagia. Ternyata ia seorang perempuan yang sopan, lembut, dan memiliki suara yang terdengar menenangkan dan berwibawa. Di akhir perbincangan singkat itulah saya berhasil meminta nomor telepon cellular-nya.

Sejak saat itu, saya semakin sering menghubunginya lewat telepon cellular sekedar menanyakan kabar dan mengajaknya ngobrol sebentar. Menanyakan apakah ia sudah mendapatkan buku-buku yang dibutuhkannya untuk mengerjakan paper tugas kuliahnya. Dengan terus-terang ia berkata bahwa jika saya memiliki buku-buku yang dibutuhkannya dan mau meminjamkannya, tentu ia tak perlu membelinya. Dengan tanpa ragu, segera saja saya jawab bahwa saya memiliki buku-buku yang diinginkannya itu, meski saya sebenarnya tak memiliki beberapa buku yang dibutuhkannya ketika itu. “Saya akan mengantarkannya ke tempatmu besok malam”, kata saya. “Saya tunggu yah”, balasnya.

Dalam gerimis itu saya tetap memaksakan diri untuk mendatangi tempat kosnya yang lumayan jauh saat saya tempuh dengan jalan kaki. Malangnya saya, sesampainya di kosnya, ia ternyata sedang tak ada. Saya pun menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya ia datang bersama seorang mahasiswa yang segera berpamitan ketika ia melihat dan memandang saya sejenak.

Saya memang tak memiliki keinginan untuk berkenalan dengan mahasiswa yang mengantarkannya itu. Saya ingat-ingat ternyata mahasiswa itu adalah juga lelaki yang menggandeng tangannya selepas diskusi di auditorium kampus yang telah saya ceritakan sebelumnya. Saya kembali didera penasaran dan rasa ingin tahu meski tak berani saya tanyakan kepadanya, khawatir membuatnya tak nyaman.

Ia mempersilahkan saya duduk di kursi depan kosnya selama ia membersihkan badan dan berganti pakaian. Jam di tangan saya telah menunjukkan pukul 20.15, yang berarti saya telah duduk dan menunggunya selama 15 menit selama ia belum keluar. Saya merasa terpesona saat ia keluar dengan rambut yang masih basah dan kuyup malam itu. Ia terlihat sangat cantik dengan senyumnya yang tipis. Apalagi saat itu ia hanya mengenakan t-shirt dan celana pendek hingga memperlihatkan terang sebagian dadanya dan kelembutan bulu-bulu kakinya yang ramping.

“Gimana, saya cantik kan?”, tanyanya yang bagi saya terasa lebih mirip sedang menggoda. “Yah”, jawab saya yang sedikit malu-malu. Mendengar jawaban saya itu ia pun kembali tersenyum.

Sejak kunjungan saya yang pertama kali ke tempatnya itu, pelan-pelan saya sadar bahwa menjadi seorang mahasiswa tak sekedar membaca buku-buku yang saya sukai, tapi juga memperjuangkan apa yang diinginkan perasaan saya untuk bisa lebih dekat pada seseorang yang membuat saya bahagia dan merasakan kesenangan hidup. “Ini bukan semata masalah seberapa banyak uang yang saya miliki”, dalih saya, “tapi lebih dari itu, ini soal bagaimana saya harus jujur pada apa yang saya rasakan sebagai seorang lelaki”. Maklumlah, dalih itu menjadi alasan dan motivasi saya untuk meyakinkan diri sebagai seorang lelaki yang koceknya pas-pasan dibandingkan teman-teman saya.

Saya pun semakin sering datang ke kosnya, meski kadangkala ia tak ada. Awalnya satu dua kali saya menganggap itu hal biasa, karena menurut prasangka saya mungkin saja ia menjalani kesibukan di luar jadwal kuliah, hingga saya berusaha untuk tak memikirkannya. Saya tidak menyerah, dan kembali mendatangi kosnya di hari Minggu berikutnya, ia kembali tak ada. Perasaan saya mulai bimbang dan merasa curiga ketika ketakhadirannya di setiap hari Minggu semakin sering.

“Apakah ia sengaja menghindari saya?”, tanya saya membathin. Meski saya terus berusaha menenangkan diri, sebenarnya saya mulai berpikir macam-macam dan kehilangan kepercayaan diri seorang lelaki yang sedang jatuh cinta pada seorang perempuan yang mulanya dianggap biasa.

Saya memang hanya bisa tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat semua yang saya lakukan demi mendekatinya ketika itu tanpa pernah menyerah, meski selama tiga tahun saya hanya bermain-main dengan kebodohan dan ketidakdewasaan saya yang melawan kenyataan. Mungkin juga saya terlalu percaya diri hingga lupa untuk mengetahui setiap lelaki yang juga berusaha mendekatinya.

“Semuanya telah siap”, gumam saya ketika itu, “saya akan berkata terus terang kepadanya”. Sebenarnya saya hanya menipu diri untuk berusaha menjadi seorang lelaki yang sangat percaya diri demi menutupi kegugupan saya sendiri yang baru kali itu memberanikan diri untuk mengungkapkan unek-unek yang sudah terlalu lama saya pendam dalam hati. Tentu saja itu juga lebih merupakan kekonyolan seorang lelaki yang hanya mendengarkan suara-suara monolog yang membujuknya hingga menganggap remeh pertimbangan dan cara-cara yang tepat dan wajar seperti yang dilakukan kebanyakan teman-teman mahasiswa saya.

Benar saja. Ia malah menertawakan ketololan saya yang awalnya saya anggap sebagai keberanian seorang lelaki untuk mengungkapkan perasaannya kepada seorang perempuan yang diinginkannya.

“Gimana yah, begini saja”, ucapnya ketika itu, “saya terlanjur menganggapmu hanya sebagai teman dan saya tak mesti menjawab semua yang kamu katakan kepada saya”, lanjutnya. Tentu saja apa yang dikatakannya itu semakin membuat saya terlihat bodoh, kikuk, dan tak lagi sanggup mengucapkan satu kata pun.

“Kamu kan tahu”, sambungnya, “bahwa saya sudah punya pacar”. Saat itu saya hanya membayangkan seorang lelaki yang ia maksud adalah mahasiswa yang saya lihat menggandeng tangannya selepas diskusi itu dan yang mengantarkannya ketika saya berkunjung ke kosnya dua tahun sebelumnya. Dalam keadaan gundah itu saya pun berpamitan dan meninggalkannya yang masih duduk di kursi depan kosnya. “Ah, mungkin saja ia belum siap menjawabnya”, kata saya dalam hati berusaha menghibur diri. “Di waktu yang akan datang, saya akan mencoba mendekatinya dengan cara yang lebih baik lagi”.

Tapi tanpa saya niatkan, ternyata yang terjadi kemudian adalah sebaliknya, saya tak mendekatinya selama dua bulan lebih sejak saya menyatakan perasaan saya kepadanya. Saya malah berusaha melakukan pelarian-pelarian dengan jalan kembali mengurung diri dalam kamar saya dan membaca lagi buku-buku yang saya sukai sembari mendengarkan musik-musik jazz dan klasik yang saya gemari.

Kadang bila saya bosan, keinginan untuk kembali mengunjunginya muncul begitu saja meski dengan sekuat pikiran dan perasaan selalu saya lawan. Sekali dua kali saya memang berhasil untuk menahan diri, hingga dua bulan kemudian keinginan-keinginan tersebut tak lagi sanggup saya lawan dan saya tahan. Malam itu pun saya mengenakan pakaian terbaik saya, menutup pintu dan berjalan keluar menuju kosnya. Hasilnya tidak seperti yang saya harapkan dan yang saya inginkan, ia tak ada di kosnya.

“Mungkin saja ia tengah makan malam”, bathin saya menghibur diri, “karena itu ada baiknya saya menunggu dan duduk di kursi ini”.

Selama satu jam lebih saya menunggu di depan kosnya, tapi ia tak juga datang. “Apakah ia sedang malam mingguan dengan pacarnya?”, tanya saya dalam hati. Saya pun bangkit dari kursi itu dan berjalan meninggalkan kosnya. Ketika itu saya memutuskan untuk mengunjungi kosan teman saya. Alangkah kagetnya saya, sesampainya di kosan teman saya yang saya tuju, ternyata ia ada di kamar teman saya.

Bodohnya saya yang tak mengetuk pintu kamar kosan teman saya dan langsung membukanya, hingga dengan kedua mata saya sendiri melihatnya tengah bermesraan dengan teman saya itu. Saat itu saya hanya terkesima sebentar sebelum saya langsung berjalan dengan tergesa meninggalkan mereka berdua yang saya pikir belum sempat melihat dan mengetahui bahwa yang datang dan membuka pintu kamar barang sekilas itu adalah saya.

Ilustrasi: Keira Knightley sebagai Anna Karenina.

Tidak ada komentar: