“Setelah membaca dan meneliti karya-karyanya,
tak diragukan lagi bahwa Heidegger hanya catatan kaki Mulla Sadra” (Henry
Corbin)
oleh Mahmud Latifi.
Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)
Tulisan ini membicarakan riwayat hidup mentari
hikmah dan makrifat yang paling gemilang, keagungannya membuat semua akal
pemikiran jadi terpesona, geloranya menggapai semua puncak, dan keindahan
kata-katanya menguraikan semua kerumitan akidah. Kelugasannya dalam
menyampaikan maksud melucuti tabir warna-warni wajah lawannya, ketahanan hati
dan keinginannya menghancurkan semua tongkat praduga dan tuduhan. Dialah tokoh
hikmah unggulan yang mengendarai cakrawala yakin dan menduduki peringkat
tertinggi irfan, dialah guru pertama hikmah menjulang yang namanya menerangi
mata rantai para hakim, kenang dia berarti pemandangan dari bumi sampai Ilahi,
bersama dia diperlukan kejeniusan tersendiri sehingga dengan modal kompas wahyu
dan layar tekad serta nahkoda hati yang dirundung rindu seorang dapat arungi
keberadaan dalam empat perjalanan dari pangkal sampai kembali dan meraih kunci
alam gaib serta kesaksian.
MENTARI HIKMAH TERBIT
Menurut sebagian riwayat, Mirza Ibrahim bin
Yahya Qiwami Syirazi menerima berita gembira kelahiran anak putranya pada siang
hari kesembilan dari bulan Jumadil Ula tahun 980 Hijriah,[1] bertahun-tahun
lamanya dia menanti kelahiran anak dan telah berulang kali dia bernazar untuknya,
tanpa menyia-nyiakan waktu dan dengan rasa gembira yang tak terungkapkan oleh
kata-kata, dia langsung lari menuju ke dalam rumah dan sesuai dengan janji
sebelumnya, dia beri nama anak putra itu dengan Muhammad, lalu selama dia hidup
dia senantiasa menginfakkan satu logam –perak atau emas- di jalan Allah swt. sebagai
tanda rasa syukur kepada-Nya atas karunia anak tersebut.
Mirza Ibrahim adalah pedagang terkemuka dan
terpercaya di wilayah propinsi Farsi (wilayah Iran), dia undang guru-guru
pilihan dan unggulan untuk mendidik anak tunggal dia dan mengajarinya ilmu-ilmu
yang resmi pada waktu itu, ketika Muhammad berusia 16 tahun Mirza Ibrahim
mengirimnya ke kota Bashrah untuk berdagang, dan selama tiga bulan di kota itu
Muhammad menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Imam Ali Bin Abi
Thalib as di kota Najaf dan Imam Husain as di kota
Karbala, ketika berita kematian sang ayah sampai kepadanya dia langsung
meninggalkan Irak dan kembali ke Syiraz, untuk beberapa waktu dia sibuk
mengurusi harta-milik sang ayah walau keinginan untuk belajar terus bergejolak
di dalam hatinya, akhirnya dia pasrahkan toko dan peninggalan ayah kepada
pamannya yang juga orang baik demi mencari ilmu lagi, dia memilih untuk pergi
ke kota Isfahan untuk tujuan itu. [2]
Sebagaimana tradisi hauzah-hauzah ilmiah pada
zaman itu, besar sekali kemungkinan bahwa Mulla Sadra mulai mempelajari
disiplin-disiplin ilmu Islami seperti fikih, usul fikih dan lain-lain disamping
ilmu-ilmu umum seperti matematika, astronomi, kedokteran, geometri dan
lain-lain; khususnya logika dan filsafat di kota Syiraz, dia telah
menyelesaikan jenjang yang bisa diselesaikan di sana dan untuk menyempurnakan
ilmu-ilmu yang digemarinya dia harus pergi dan berguru pada guru-guru terkemuka
di kota-kota lain.
AWAL PERJALANAN
Umumnya periwayat hidup yang menulis biografi
Mulla Sadra menyebutkan tujuan perjalanan dia dari Syiraz adalah kota Isfahan,
akan tetapi karena Syah Abbas (Sultan Dinasti Safawi Persia) datang ke kota
Syiraz pada tahun 998 –yang sudah barang tentu disertai oleh Syekh Baha’i- maka
besar kemungkinan Sadrul Mutaallihin muda (Mulla Sadra) sudah bertemu dan kenal
dengan Syekh Baha’i di sana, lalu setelah berapa waktu mereka sama-sama pergi
menuju ibu kota Iran yang pada waktu itu adalah Qazwin. Dalam hal ini,
manuskrip Mulla Sadra yang mengcopy naskah asli buku Hadiqoh Hilaliyah karya
Syekh Baha’i –komentar atas doa Shahifah As-Sajjadiyah Imam Ali Zainal
Abidin bin Imam Husain as, yang keempatpuluh tiga- menjadi referensi yang
akurat; karena di akhir naskah manuskrip itu dia menuliskan “Abduhu Al-Roji
Shodru Al-Din Muhammad Syirozi, Mahrusah Qozwin, syahru dzi al-hijjah, sanah
alfu wa khomsu min al-hijrah al-nabawiyah”. Yakni, hamba-Nya yang berharap,
Shadrudin Muhammad Syirazi, ibu kota Qazwin, bulan Dzul Hijjah, tahun 1005
hijriyah. Itu berarti dari tahun 1005 atau bahkan sebelumnya, Mulla Sadra giat
belajar di ibu kota Qazwin dan begitu dekatnya dia dengan sang guru sehingga
dia diijinkan untuk mengcopy karya-karya tulisnya. Oleh karena itu, bisa
ditarik kesimpulan bahwa setahun setelah itu dan berbarengan dengan pindahnya
ibu kota Iran dari Qazwin ke Isfahan, Mulla Sadra pergi menuju Isfahan.
GURU-GURU
Isfahan adalah ibukota sekaligus pusat
keilmuan Iran –sebelum Qazwin- pada zaman Mulla Sadra, mayoritas guru-guru
besar bertinggal di dua kota yang memiliki daya tarik kuat bagi pemburu ilmu.
Pada tahap pertama, Mulla Sadra belajar dari Syaikhul Islam Syahru Baha’il Haq
wad Din Muhammad bin Abdussomad Amili yang dikenal dengan sebutan Syekh Baha’i,
dia adalah guru besar dan paling terkemuka khususnya di bidang ilmu-ilmu
tekstual, dialah yang pertama merintis bangunan dasar kepribadian ilmu dan
akhlak Mulla Sadra, lalu bangunan spiritual itu disempurnakan oleh ulama
terkemuka, guru besar ilmu-ilmu agama, makrifat ilahi dan hakiki serta
pokok-pokok keyakinan, yaitu sayid yang mulia dan berjiwa suci, hakim yang
ilahi, fakih yang rabbani Amir Muhammad Baqir bin Syamsudin yang
dikenal dengan sebutan Mir Damad. Pemuda belia yang berbakat dan
bersemangat ini belajar ilmu hadis, dirayah, rijal, fikih dan usul fikih dari
Syekh Baha’i, dan belajar filsafat, kalam (teologi), ‘irfan dan ilmu-ilmu rasa
lainnya dari Mir Damad, dia juga belajar ilmu alam, matematika, astronomi dan
geometri dari dua guru tersebut di tambah juga dengan Hakim Abu Qasim Mir
Fandaraski; guru besar yang arif, zuhud dan juga spesialis matematika.
TAHAPAN-TAHAPAN SAIR DAN SULUK
Selangkah demi selangkah akhirnya Mulla Sadra
menjadi mahir dan menguasai ilmu-ilmu resmi zamannya secara baik, dan lebih
khusus lagi filsafat Isyraq, filsafat Massya’, teologi, ‘irfan, dan tafsir
Qur’an. Dia kaji dengan teliti metode-metode para pendahulunya dan cermati
titik-titik kelemahan mereka serta kuasai kendala-kendala aliran mereka.
Meskipun Mulla Sadra banyak menyerap pelajaran dari filsafat Isyraq akan tetapi
dia tidak menyerah di hadapan akidah mereka, begitu pula halnya dengan filsafat
Massya’, meskipun dia adalah murid aliran filsafat ini akan tetapi dia tidak
membelenggu diri dengan metode mereka.
Allamah Muhammad Reza Muzaffar menyebut periode kehidupan ini dengan periode
pertama kehidupan intelektual Mulla Sadra dan perjalanan spiritualnya yang
diisi dengan pelajaran, diskusi, kajian atas karya-karya filsuf terdahulu dan
terkini serta penelitian terhadap ide-ide filosofis dan teologis, di dalam
periode ini cita rasa ‘irfan dan inovasi filosofis Mulla Sadra masih belum
tampak. Mulla Sadra sendiri di dalam pengantar kitab Asfar menceritakan, “Dari dulu dan sejak menjelang usia muda saya
kerahkan seluruh daya dan upaya saya untuk menggeluti filsafat ketuhanan, apa
saja yang bisa saya jangkau pasti saya pelajari, jerih payah itu telah memberikan
banyak sekali hasil kepada saya sehingga saya dapat menelaah karya-karya baik
filsuf pra maupun pasca Islam, saya menuai berbagai buah pemikiran mereka dan
menyerap penemuan-penemuan intelektual mereka serta menemukan rahasia-rahasia
yang bersembunyi di sana, saya simpan ringkasan buku dan risalah filsuf-filsuf
Yunani dan guru-guru besar yang lain, saya memilih kesimpulan-kesimpulan yang
penting dari setiap bab...dan selama aktivitas itu, saya telah mengumpulkan
berbagai kerang yang penuh dengan mutiara-mutiara hikmah dan makrifat yang
berharga dari samudera hikmah”.[3]
Akan tetapi, di akhir pengantar yang sama dan juga di pengantar tafsirnya atas
surat Al-Waqi’ah, Mulla Sadra menyebut periode kehidupan dia ini; atau
minimalnya sebagian dari periode kehidupan dia yang ini sebagai stagnasi dan
bukan perjalanan, kelalaian dan bukan keingatan atau kepikiran. Dia
mengelompokkannya dengan kebaikan orang-orang biasa yang terbilang keburukan
bagi orang-orang terdekat dengan Yang Maha Esa, dan periode itu tidak lebih
dari penghambur-hamburan umurnya saja, dia mengatakan, “Sungguh saya senantiasa minta ampun kepada Allah swt. atas bagian umur
saya yang saya hambur-hamburkan di dalam kajian tentang karya-karya timpang
filsuf, dialog dan perdebatan ahli kalam, ketelitian-ketelitian ilmiah,
kepiawaian logika dan metode penyampaian mereka. Karena pada akhirnya, berkat
pancaran cahaya iman dan dukungan serta uluran tangan Allah Yang Maha Pemurah
swt. kepada saya maka menjadilah jelas bagi saya bahwa kaki para ahli
argumentasi adalah terbuat dari kayu dan kiyas-kiyas mantik mereka adalah
mandul serta jalan mereka di dalam makrifat Tuhan adalah menyimpang”. [4] “Sewaktu
saya membuka mata dan menyaksikan diri saya sendiri, meskipun saya telah
mencapai aneka timbunan tentang pengenalan Tuhan swt, penyucian Dia dari
sifat-sifat lemah, kurang, dan jadi, begitu pula tentang pengenalan hari
kebangkitan serta pengumpulan arwah manusia, akan tetapi pada kenyataannya
tangan saya hampa dari makrifat yang sesungguhnya dan dari kesaksian Haq yang
tidak mungkin diperoleh kecuali dengan cita rasa Ilahi dan perolehan hati”. [5]
Tokoh ulama Ayatullah Jawadi Amuli menggambarkan empat periode lagi bagi
pendiri hikmah yang menjulang ini pasca periode yang pertama tersebut di atas,
dan secara keseluruhan periode-periode itu dia sebut dengan tahapan-tahapan
perubahan ruhani dan substantif Mulla Sadra. [6] Dan
sekiranya periode pertama ini kita posisikan sebagai pengantar perjalanan
pertama para pesuluk irfan maka riwayat hidup rasional Mulla Sadra sesuai
sekali dengan empat tahapan suluk dan empat safar para arif.
TUNAWISMA DI BANTARAN KEKASIH
Mulla Sadra adalah termasuk ulama langka yang
enggan untuk sejalan dengan para penguasa atau hidup bersama pemuja-pemuja
dunia dan sama sekali tidak senang dengan sanjungan-sanjungan para raja,
keagungan ruh di dalam dirinya tidak pernah mengijinkan dia untuk tunduk di
hadapan tampuk-tampuk duniawi. Dan sudah barang tentu para pemuja dunia juga
tidak siap untuk menerima kehadiran tipe orang seperti ini yang terhitung
pengganggu bagi mereka, itulah sebabnya Mulla Sadra tidak terhindar dari
sengatan hasut, pelecehan dan fitnah mereka. Setelah menyelesaikan
jenjang-jenjang pendidikan di Isfahan dan besar kemungkinan ketika gelombang
hasut dan perlawanan mulai berusaha untuk menghempaskannya, Mulla Sadra pulang
ke kampung halamannya dengan harapan bisa menemukan ketentraman di bawah
perlindungan keluarga dan sanak familinya.
Tanggal kepulangan Mulla Sadra ke Syiraz juga tidak diketahui sebagaimana
tanggal kepergian dia dari sana juga tidak diketahui. Kita juga tidak menemukan
data yang memberitahukan masa tinggal dan aktivitas keilmuan serta sosial dia
di sana, sangat mungkin jika masa itu berkisar antara tahun 1010 sampai 1020;
yaitu ketika Wardi Khan, gubernur Farsi yang pemberani, peka, dan murah hati
memutuskan agar dibangun sebuah sekolah khusus yang bernama Mulla Sadra untuk
kemudian menjadi pusat ilmu-ilmu akal di kawasan. Tapi sayang, ajal tidak
memberinya kesempatan lebih untuk merampungkan pembangunan sekolah tersebut dan
dia terbunuh pada tahun 1021, bersamaan dengan situasi dan kondisi itu kalangan
ulama Syiraz juga menunjukkan penolakannya terhadap Mulla Sadra bahkan mulai
melancarkan berbagai gangguan dan pelecehan kepada dia, maka terpaksa dia
meninggalkan kota Syiraz dan kembali ke kota Isfahan, dan menurut riwayat yang
disampaikan Ayatullah Sayid Abu Hasan Qazwini dari Syiraz dia bepergian sampai
ke sebuah daerah di sekitar kota Qom, Qazwini mengatakan,
“Ketika Mulla Sadra pulang ke kota
Syiraz, sebagaimana biasa dan merupakan tradisi masa lalu bahkan sekarang, dia
dihasut oleh kelompok orang yang mengaku alim dan ulama, begitu beratnya
gangguan mereka yang harus dirasakan oleh Mulla Sadra sehingga dia terpaksa
keluar dari kota dan pergi sampai ke sebuah daerah di sekitar Qom, dia bermukim
di salah satu rumah di kampung, dan di sana dia mengisi waktunya dengan
pelatihan-pelatihan syariat dengan cara menunaikan shalat-shalat nafilah,
amalan-amalan sunnah, puasa di siang hari, ibadah dan shalat tahajud di jantung
malam”.[7]
Mulla Sadra adalah filsuf tunawisma yang berjiwa dan berpikiran merdeka
sehingga kemerdekaan itu mengharuskannya berpaling dari ibukota dan penduduknya
serta mencukupkan diri dengan kehidupan di desa terpencil yang tidak memiliki
fasilitas-fasilitas kesejahteraan yang diberikan secara khusus oleh istana
Safawi untuk para ulama di ibukota, dia persiapkan dirinya untuk putus total
dari selain Allah swt. Pilihan ini dia terangkan dalam ungkapannya: “Sewaktu saya melihat situasi dan kondisi
saat itu memusuhi saya dan giat membina orang-orang hina dan bodoh, jilatan api
kebodohan dan kesesatan semakin hari semakin berkobar, ketimpangan dan
kepengecutan semakin meluas, maka terpaksa saya berpaling dari anak-anak dunia
dan menarik diri dari medan seperti ini serta berhijrah dari dunia yang gelap
dan beku menuju sudut yang terlindungi, di sana saya tidak dikenal, patah hati
dan tersembunyi. Hati saya terputus dari segala harapan, dan bersama mereka
yang patah hati saya giat menunaikan amalan-amalan wajib”.[8]
Periode kehidupan jawara hikmah dan kesaksian ini adalah permulaan jenjang dia
berpaling dari warna-warni duniawi dan kedudukan serta kemuliaan majazi,
jenjang dia patah hati dari dunia dan seluruh pemuja dunia serta gerak menuju
keindahan dan keagungan Haq yang sesungguhnya, dan sudah barang tentu dia
berjalan dengan kesulitan yang tak terbilang dan kebulatan tekad baja yang
hanya dimiliki oleh segelintir orang. Para pesuluk menyebut perjalanan ini
dengan perjalanan dari ciptaan menuju Haq.
DI SUDUT KETERASINGAN
Periode ketiga kehidupan Mulla Sadra adalah
tahapan kedua revolusi ruh dan gerak dia dari kesatuan menuju kesatuan serta
jalan dia dari Haq menuju Haq dengan bantuan Haq. Ini tahapan yang paling
panjang dari empat perjalanan sair dan suluk. Untuk menempuh jenjang berat
pelatihan raga dan perjuangan jiwa, ibadah dan mendaki tangga-tangga
kesingkapan dan kesaksian, Mulla Sadra memilih sebuah daerah yang bernama Kahak
(berjarak tiga puluh kilo meter dari kota suci Qom), atau bisa juga dikatakan
dia memilih daerah itu karena karunia paksa yang mengharuskannya terasing dari
pusat ilmu dan budaya yang resmi pada waktu itu, yaitu Isfahan. Apapun itu,
yang jelas Mulla Sadra terhindar dari hiruk pikuk pergunjingan dan perdebatan,
kedudukan dan kesejahteraan duniawi serta keibukotaan, sebaliknya dia
berlindung di dekat puteri Ahli Bait as yang mulia dan haramnya, yaitu Siti
Fatimah Maksumah binti Imam Musa bin Ja’far Al-Kazim as, sehingga karena
itu dia mendapatkan karunia yang sangat berlimpah dari lautan ilmu keluarga
suci Nabi Muhammad saw sekaligus terlindungi dari sengatan fitnah. Sebab Imam
Ja’far as Shadiq as pernah bersabda: “Ketika
fitnah menyebar luas maka berlindunglah ke Qom dan sekitarnya”.[9]
Tahun kedatangan Mulla Sadra ke Kahak dan masa tinggal dia di sana sama-sama
sulit sekali untuk dipastikan sebagaimana kedatangan dan masa tinggal dia di
Isfahan. Namun jika sebagian dari catatan-catatan dia disesuaikan maka akan
bisa disimpulkan bahwa dia berada di Kahak pada sekitar tahun 1025 sampai
dengan 1039. Adapun mengenai lika-liku kehidupan di sana, kita juga tidak
memiliki data-data yang akurat untuk itu kecuali apa yang dia tuangkan sendiri
hitam di atas putih. Di pengantar buku Asfar, Mulla Sadra melanjutkan riwayat
kesulitan dia sebagai berikut:
“Aku
merayap ke daerah terpencil dengan keterasingan dan patah hati. Hati terpenggal
dari segala harapan, dan dengan hati yang patah itu aku membulatkan tekad untuk
menunaikan kewajiban-kewajibanku dan menutupi kekurangan-kekurangan masa laluku
di dalam mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Besar. Tanpa mengajar dan tanpa
menulis buku. Karena penyampaian pendapat, pengolahan di dalam
disiplin-disiplin ilmu, pengajaran, pembelaan dengan menepis kritik dan hujatan
serta...adalah membutuhkan penyulingan ruh dan pemikiran, penyucian benak dari
segala macam kerusakan dan ketidakselarasan, kestabilan situasi dan kondisi,
serta ketenangan hati yang terhindar dari keruh dan jenuh. Oleh karena itu,
dengan adanya semua keluh, kesah, duka dan kekesalan yang terdengar atau
terlihat, bagaimana mungkin bisa mendapatkan peluang longgar seperti ini...itulah
sebabnya terpaksa saya memutuskan hati dari pergaulan dan perkumpulan
masyarakat, saya putus asa dari keakraban mereka, sehingga pada akhirnya
perpisahan dengan masa dan anak-anaknya menjadi mudah bagi saya dan saya tidak
lagi mempedulikan ingkar atau ikrar mereka, dan sanjungan atau pelecehan
mereka. Ketika itu, saya palingkan fitrahku ke arah Sebab Yang Hakiki Allah
swt, dengan seluruh keberadaanku saya menunduk dan menangis di hadapan-Nya
dalam waktu yang cukup lama”.[10]
Di dalam suratnya dari Kahak kepada sang guru Mir Damad, Mulla Sadra
menjelaskan kondisi ruhnya sebagai berikut: “Adapun keadaan saya di sini, meskipun tidak sedikit kesulitan dan
himpitan yang harus dipikul sebagai konsekwensi dari kehidupan di sini...tapi
segala puji bagi Allah swt iman saya dalam keadaan selamat dan tidak
mendapatkan kekurangan dalam sinaran-sinaran ilmiah dan karunia-karunia qudsiah
serta siraman-siraman ilahiah...namun saya sungguh menyesal dan bersedih karena
terhindar dari kebersamaan –dengan Anda- yang penuh kebahagiaan. Muka hitam ini
sekitar tujuh sampai delapan tahun sudah tidak bisa bersama guru orang-orang
mulia dan tokoh orang-orang terkemuka, dan tentunya kebersamaan dengan tokoh
kebanggaan ahli ilmu dan pandangan adalah bukan hal yang mudah.....Akibat
tebalnya rasa takut bersama masyarakat yang sezaman, rutin dalam menyendiri
–bersama Tuhan-, kontinyu dalam berpikir dan berzikir maka banyak sekali
makna-makna lembut dan persoalan-persoalan mulia yang tersingkap bagi hati saya
yang cacat dan benak saya yang lemah ini...”.[11]
BERJALAN DI ARSY
Tahapan ketiga perjalanan ruhani Mulla Sadra
Syirazi adalah perjalanan dari Tuhan menuju cipta demi mnyaksikan pengaruh-pengaruh
Allah swt di manifestasi keindahan dan keagungan-Nya serta demi menelaah
tanda-tanda Ilahi di tabiat, insan, afaq dan anfus. Semua itu akan diperoleh
seorang pesuluk setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Di ujung
perjalanan ini, manusia akan mencapai kedudukan Khilafah Ilahi dan terkadang di
dalam istilah filsafat diungkapkan dengan “jahoni mi syawad benesyasteh dar
gusyeh I”; dengan duduk menyendiri di penjuru, pesuluk akan menjadi global.
Keceriaan sekaligus kegembiraan Mulla Sadra di tahapan ini sama dengan
keceriaan dan kegembiraan yang dirasakan oleh semua pesuluk yang mencapai
kedudukan ini; sama-sama tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Setelah sekian
tahun penderitaan, akhirnya Mulla Sadra berhasil membuka pintu ke alam kudus
dan menyaksikan hakikat-hakikat keilmuan –yang sebelumnya dia peroleh melalui
pemikiran dan argumentasi- dengan kesingkapan-kesingkapan cahaya yang terang.
Di pengantar Asfar, setelah menceritakan masa-masa sulit, derita dan musibah
yang berat, Mulla Sadra mengungkapkan masa dan tahapan yang ketiga ini dengan
masa ketenangan dan istirahat, dia mengatakan:
“Akhirnya,
berkat perjuangan yang panjang dan latihan yang berat, cahaya Ilahi mencerahkan
jiwaku dan api kesaksian menerangi hatiku. Cahaya-cahaya malakuti tercurahkan
padanya dan rahasia-rahasia jabarut tersingkap untuknya sehingga saya menemukan
rahasia-rahasia yang sebelumnya tidak saya ketahui dan mengungkap rumus-rumus
yang tidak pernah saya ungkap melalui burhan, dan rahasia-rahasia Ilahi,
hakikat rububi, simpanan arsyi, dan rumusan samadi yang sebelumnya saya raba
dengan akal dan burhan sekarang saya temukan secara lebih jelas melalui
kesaksian. Ketika itulah akalku menjadi tenang, tentram, dan merasakan
lembutnya sepoi cahaya-cahaya Haq di pagi, sore, malam, dan siang hari, begitu
dekatnya dia dengan Haq sehingga dia tidak pernah bosan untuk bermunajat
dengan-Nya”.[12]
MAKRIFAT PARA ARIF
Salah satu pengalaman manis Mulla Sadra di
Kahak yang penuh kenangan, pelajaran, dan layak sekali untuk direnungkan adalah
hal yang disebutkan oleh Marhum Syekh Abbas Qomi [13] dan
didokumentasikan oleh Ustad Hasan Zadeh Amuli sebagai berikut: Di salah satu
naskah manuskrip Asfar yang ditulis tangan oleh Haji Mulla Muhammad Tehrani dan
dilengkapi dengan catatan-catatan kaki Mulla Ali Nuri, Dzul Ainain dan catatan
kaki Mulla Sadra sendiri, tepatnya di pembahasan tentang persatuan aqil dan
ma’qul, tertulis, ‘Karunia pancaran cahaya Haq itu terjadi pada pagi hari
Jum’at, tanggal tujuh bulan Jumadil Ula tahun 1037 Hq, dan ketika itu penulis
–Asfar- berusia lima puluh delapan’. Marhum Mirza Ali Akbar Hakami Yazdi
membubuhkan catatan kaki lagi di bawah catatan kaki atas Asfar ini, dan memuat
pernyataan Mulla Sadra sebagai berikut, ‘Bagian buku yang ini, saya tulis pada
saat saya tinggal di Kahak Qom, di hari Jumat saya berziarah ke makam
puteri Musa bin Ja’far as di Qom dan meminta bantuan dia (baca
tawasul), setelah itu masalah ini jadi tersingkap bagi saya berkat bantuan Allah
swt’.[14]
MENTARI PENERANG DUNIA
Tahapan akhir dari empat perjalanan ruhani
adalah perjalanan dari cipta, menuju cipta, bersama Pencipta (Haq), untuk
menyampaikan pesan Ilahi melalui pengajaran, penulisan, dan pembersihan
jiwa-jiwa sehingga siapa saja yang dahaga hidayah dapat menyegarkan dirinya
dengan tuntunan dia dan meneguk air jernih kehidupan Ilahi sepuas-puasnya.
Periode akhir kehidupan Mulla Sadra ini diwarnai dengan kepulangan dia dari
desa Kahak ke kota Syiraz lalu berkecimpung kembali di bidang kajian,
pendidikan, dan penulisan. Popularitas Mulla Sadra semakin mendunia,
pemburu-pemburu hikmah berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru dunia
untuk menemukan buruan mereka di dalam siramannya yang berharga. Mulla Sadra di
pengantar Asfar mengatakan: “Secara
bertahap, bekal-bekal yang saya simpan melimpah ruah bagaikan air terjun yang
deras dan samudera yang bergelombang besar menimpa para pelajar dan pesuluk.
Airnya yang jernih dan segar merubah pemahaman dan pengertian jadi hijau dan
subur, gelombangnya mengalirkan sungai-sungai besar pemikiran...Rahmat Ilahi
menuntut makna-makna yang tersingkap dari alam rahasia dan cahaya serta
tercurahkan dari tingkat Cahaya Semua Cahaya tidak tersembunyi lebih lama lagi.
Saya diilhami oleh Allah swt untuk mencicipkan seteguk dari curahan-curahan
ruhani kepada pencari yang haus dan menerangi hati-hati yang mencari cahaya
hakikat, agar si peneguk menemukan kehidupan abadi dan pencari hidayah
mendapatkan hati yang bersinar”.[15]
Sebagian periwayat hidup menyebutkan alasan Mulla Sadra pulang ke Syiraz adalah
perintah Syah Safawi, akan tetapi mayoritas mereka meriwayatkan bahwa Imamqali
Khan, gubernur Syiraz pada saat itu, mengundang dia untuk kembali ke tanah air
dan bergiat mendidik pelajar di sekolah yang dibangun oleh bapaknya tidak lain
karena dia –Mulla Sadra-. Kiranya cukup menjadi keistimewaan pusat keilmuan dan
kebudayaan Syiraz berikut para pendirinya bahwa di sana ilmu-ilmu akal
merupakan kurikulum yang juga harus dilewati oleh para pelajar. Terlepas dari
kenyataan yang sesungguhnya dari dua kemungkinan di atas, surat Mulla Sadra di
tahun-tahun awal kepulangannya ke Syiraz untuk sang guru Mir Damad menunjukkan
bahwa dia tidak menyukai hijrah kepulangan ini dan dia sangat merindukan
saat-saat menyepi dan menyendiri. Dia menyatakan penyesalan atas perpisahan
dengan peluang dan kesempatan itu. Di sela-sela suratnya dia menuliskan:
“Sebelum
hari-hari perpisahan, saya tidak disulitkan dengan kesibukan-kesibukan ini dan
tidak juga ditimpa musibah perbincangan dengan orang-orang bodoh dan kurang di
negeri ini. Saya merasa bosan tinggal lama di tempat ini, saya merasa sakit
karena berbincang-bincang dengan orang-orang yang sakit, saya merasa sedih dan
gelisah karena banyak keluarga, sanak famili, dan pihak-pihak yang tidak
diinginkan di sekitar dan di zaman ini, begitu pula karena roda zaman yang
tidak mendukung, tonggak-tonggak pemerintahan yang antipati, dan tokoh-tokoh
zaman yang tidak peduli...sebelumnya saya di posisi terpencil, menyendiri, dan
menginjakkan kaki di kaki bukit kekayaan dan kemuliaan yang tidak membutuhkan
cipta, di sana saya meraih malakah-malakah (semacam karakter) mulia dan merasa
enggan untuk menyaksikan hal-hal yang tidak enak untuk disaksikan”.[16]
MENTARI DATANG, BUKTI MENTARI
Kemampuan yang luar biasa, ruh yang sangat
merasa, zuhud, ibadah dan kedekatan dengan Tuhan membuat Mulla Sadra masyhur,
baik di kalangan umum maupun di kalangan khusus, dia telah menarik perhatian
semua orang. Sejak usia muda, dia tidak mempedulikan hal-hal duniawi dan
material, sekelumit pun dia tidak pernah menyimpan keinginan untuk menarik
perhatian dan sanjungan orang lain. Dia berspiritualitas dalam dan berjiwa
menjulang, tidak ingin mendekatkan dirinya kepada raja atau penguasa dan tidak
suka menjadi penguasa rakyat. Ketika para penulis dan pengarang buku pada zaman
itu biasanya menulis karya atau buku mereka atas nama raja atau bahkan menteri
dan orang terkemuka, bahkan terkadang mereka hadiahkan karya-karya itu kepada
orang-orang tersebut, akan tetapi di dalam karya-karya Mulla Sadra sama sekali
tidak ada tanda-tanda penulisan atau penghadiahan semacam itu, walaupun
buku-bukunya terbilang banyak sekali namun tidak ada satu pun yang memuat nama
orang-orang tersebut. Sungguh dia telah menyatukan ilmu dan amal, dan hikmah
telah menjelma di dalam sepak terjangnya. Muhammad bin Ibrahim Syirazi ini
sejak muda dia sudah diberi julukan oleh sang guru Mir Damad dengan
Sadrudin dan Sadra, bisa dikatakan bahwa sanjungan pertama terhadap dia adalah
julukan yang diberikan oleh sang guru kepadanya di dalam bait-bait puisinya.
Filsuf kontemporer Ayatullah Sayid Abu Hasan Qazwini mengatakan: “Mulla Sadra
adalah orang yang tiada duanya di bidang filsafat Ilahi dan penelitian tentang
masalah-masalah rumit metafisika, daya serap dan keindahan seleranya membuat
dia istimewa daripada yang lain. Menurut saya, di bidang ketuhanan dan makrifat
jiwa, Mulla Sadra lebih unggul daripada Syekh Ra’is –Ibnu Sina-, dan tidak ada
seorang pun yang menandingi kepiawaian dia dalam mengungkapkan maksud dan
keteguhan logika. Dia juga termasuk pakar dan pemilik konsep di bidang ilmu
fikih. Dia pakar yang tiada duanya pada masa itu di bidang ilmu rijal. Dia
mahir di bidang matematika, geometri dan astronomi. Dan salah satu keutamaan
terbesar dia adalah di bidang Irfan”.[17]
Allamah Thabathaba’i, mufassir Qur’an dan filsuf kontemporer terkemuka
mengatakan: “Sadrudin Muhammad bin Ibrahim Syirazi...setelah usai dari masa
belajar...bertahun-tahun dia menyendiri dengan giat berjuang, berlatih, dan
menjernihkan jiwa. Setelah bertahun-tahun usaha dan derita akhirnya dia
berhasil membuka pintu ke alam qudus sehingga dapat menyaksikan hakikat-hakikat
ilmu, yang sebelumnya dia gapai melalui pemikiran dan argumentasi, dengan
ketersingkapan-ketersingkapn dari jenis cahaya”.[18]
“Dia adalah filsuf pertama yang menata masalah-masalah filsafat –setelah
perjalanannya selama berabad-abad di dunia Islam- secara rapih seperti masalah
matematika. Oleh karena itu, pertama-tama dia telah membuka kemampuan baru
filsafat untuk mengutarakan lalu menyelesaikan ratusan masalah filsafat yang
sebelumnya tidak terselesaikan oleh filsafat, kedua dia telah merubah silsilah
persoalan irfan yang sampai pada saat itu dipandang sebagai kerangka di balik
kerangka akal dan maklumat di atas jangkauan pikiran menjadi mudah untuk dikaji
dan didiskusikan, ketiga dia telah merubah timbunan teks-teks agama dan
sabda-sabda filosofis para Imam Ahlul Bait as yang dalam dan selama
berabad-abad hanya disebut sebagai teka-teki yang tidak terjawab atau bahkan
terkadang dikategorikan sebagai mutasyabih –hal yang samar-, menjadi jelas dan
teruraikan dengan baik sehingga teks-teks agama, irfan dan filsafat menemukan
perdamaian yang sempurna dan bergerak di satu jalan”.[19]
Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan:
“Di bidang ilmu tertinggi...atau yang biasa disebut dengan hikmah Ilahi...Mulla
Sadra telah memayungi semua filsuf sebelum dia dengan cahayanya. Dia rubah
dasar-dasar dan pokok-pokok ilmu ini dan membangunnya di atas dasar dan pokok
yang tak tergoyahkan. Dia adalah hakim Ilahi dan filsuf Rabbani yang tiada
duanya yang telah mengantarkan hikmah Ilahi ke tahapan baru”.[20]
Pemimpin revolusi Islam Iran, Imam
Khomeini mengatakan: “Muhammad bin Ibrahim Syirazi...adalah orang pertama
yang membangun mabda’ (titik mula) dan ma’ad (titik kembali) di atas pokok
besar yang tidak mungkin untuk ditembus, dia buktikan ma’ad jismani dengan
burhan akli (rasional) dan menerangi kegelapan Syekh Ra’is –Ibnu Sina- dalam
hal ini, dia padukan antara syariat suci dengan hikmah Ilahi. Dan berdasarkan
kajian yang sempurna tentang dia, siapa saja yang mengucapkan sesuatu tentang
dia maka tidak lain karena ketidakmampuan orang itu sendiri untuk sampai pada
keterangan-keterangan dia yang menjulang...dia adalah filsuf besar Islam dan
hakim agung Ilahi...yang menerangi cakrawala Timur dengan cahaya hikmah Al-Qur’an...”.[21]
KILAUAN HIKMAH MUTA’ALIYAH
Hari ketika bahtera penyelemat, Islam murni
Muhammadi mendarat di tepi kering dan panas jahiliyah yang diwarnai dengan
fanatisme Quraisy dan kerajaan gelap Dinsati Umayyah, filsafat Yunani yang
tertatih-tatih dan bercampur syirik serta hikmah gereja Iskandarani mulai mekar
dan naik daun di kawasan Syam, Mesir dan Baghdad, filsafat Yunani dan hikmah
gereja itu kemudian menjadi bahan pokok bagi mereka yang hendak berperang
melawan Tsaqolain atau dua pusaka agung Rasulullah saw; yaitu Al-Qur’an dan Ahlul
Bait as. Tak lama kemudian, ulama mulia Islam -dan khususnya mereka yang
terdidik di bawah naungan Ahlul Bait as dengan tetap bersandar kepada peradaban
sejati Al-Qur’an dan Ahlul Bait as serta tidak peduli dengan target-target
politis “Kebangkitan Penerjemahan”- mengenal istilah-istilah filsafat dan
menggunakan juga logika Aristoteles serta penyingkapan Neo Plato –Skolastik- di
dalam pergulatan ilmiah, politik dan pemahaman terhadap Al-Qur’an. Bahkan
mereka menjadi guru besar di bidang-bidang itu dan melakukan pembaharuan serta
melancarkan kritikan yang dalam dengan tetap bersandar kepada tolok ukur ajaran
Al-Qur’an.
Al-Farabi dan Ibnu Sina mengemas metode Aristoteles dengan gaya baru; Filsafat
Massya’. Syihabudin Suhrawardi menetapkan unsur suluk dan pencerahan sebagai
asas filsafatnya serta membubuhkan unsur-unsur filosofis lain dengan gaya yang
sangat menawan; Filsafat Isyraq. Bersamaan dengan dua model filsafat itu, ada
aliran ilmu lain yang membela akidah agama dengan metode burhan dan mengimbangi
langkah-langkah filsafat, yaitu aliran ilmu kalam yang senantiasa menciptakan
lahan-lahan baru untuk mengutarakan persoalan-persoalan baru di dalam filsafat
sehingga secara tidak disadari telah membantu perkembangan filsafat itu
sendiri. Selain tiga model tersebut, ‘irfan juga tampil sebagai jalan untuk
menggapai hakikat agama dan merupakan metode yang khas untuk makrifat Ilahi dan
sampai kepada kesempurnaan maknawi, dia berusaha menawarkan sisi sejati dan
inti dari syariat Islam. Sejarah menjadi saksi empat aliran yang berbeda-beda
ini, dan selama itu dia tidak pernah mencatat keberhasilan ulama atau filsuf
untuk menggabungkan empat aliran yang deras ini sehingga mengalir ke satu arah.
Latar belakang peradaban ini dari satu sisi
sangat kaya dengan bahan-bahan pokok, tapi dari sisi yang lain mengalami
kemarau dan kemandulan, hal itu disebabkan oleh dominasi kebangkitan anti akal
yang muncul bersamaan dengan Barat atau mungkin karena hubungan yang terjalin
antara Daulat Safawi dengan Eropa, akibatnya kebangkitan itu juga melebarkan
bayangannya sampai kepada bidang-bidang keilmuan Islam, jika di Barat
kebangkitan itu melahirkan filsafat Positivisme maka di Timur, khususnya di
tengah detak jantung kuat Syi’ah, kelompok Dzohiriyah dan Akhbari yang
membelenggu benak dan pikiran mereka dengan makna-makna lahir yang kaku dan
sederhana dari teks-teks syariat, muncul dan menguat sehingga tiap-tiap aliran
hikmah dan makrifat yang tersebut di atas mengering kerontang dan tidak bebas untuk
berkembang serta berinovasi. Di tengah situasi dan kondisi yang seperti ini
terbitlah mentari penerang dunia, yaitu Hikmah Muta’aliyah, di langit pemikiran
Islam Iran dan menyinari cakrawala timur dengan cahaya hikmahnya.
Hikmah Muta’aliyah bisa dipandang sebagai perempatan yang mempertemukan empat
jalan besar filsafat Massya’ Aristoteles dan atau Ibnu Sina, filsafat Isyraq
Syahrawardi, ‘irfan teori Muhyidin Ibnu Arabi, dan konsep-konsep teologi
Islami. Dari sisi yang lain, Hikmah Muta’aliyah juga bisa dipandang sebagai
bangunan besar yang menggabungkan empat unsur yang berbeda-beda, tentunya
setelah melakukan beberapa perubahan aktif dan reaktif di dalam empat unsur itu
kemudian dia memberikan bentuk dan kenyataan yang baru kepada gabungan empat
unsur tersebut yang sudah barang tentu esensi gabungan ini berbeda dengan
masing-masing dari empat unsur tersebut. [22] Perselisihan
yang ketat dan berkepanjangan antara filsafat Massya’ dan filsafat Isyraq...begitu
pula perselisihan antara filsafat dan ‘irfan diselesaikan oleh Mulla Sadra
sehingga betapa banyak hakikat-hakikat Islam yang menjadi terang dengan
hikmahnya.[23]
Perasaan kalah muslimin di abad-abad terakhir pasca renaisans sangatlah dalam
sehingga tidak membuka jalan kepada suara lantang lagu kehidupan Hikmah
Muta’aliyah yang menggilas tulang-tulang rapuh filsafat Aristoteles dan Neo
Plato (Skolastik) di bawah rodanya yang besar untuk didengar oleh orang-orang
Barat dan juga yang kebarat-kebaratan; baik yang kuno maupun yang modern,
perasaan kalah muslimin itu tidak mengijinkan perubahan besar filsafat yang
diciptakan oleh Mulla Sadra ini sampai kepada mereka. Namun tidak mungkin
diingkari bahwa kemunculan Mulla Sadra telah menyampaikan giat pemikiran di
Iran masa Safawi kepada puncaknya, ide-idenya memenuhi semua relung kehidupan
intelektual dan rasional selama empat abad yang lalu dan sekarang pun hikmah
yang dia cetuskan masih menjulang.
KARYA ABADI
Mulla Sadra adalah penulis handal yang
berjerih payah di bidang filsafat Islam, karya-karya tulisnya sangat lembut dan
fasih, salah satu guru besar mengatakan bahwa di sepanjang sejarah literatur
Syi’ah hanya ada dua ulama yang indah dalam penyampaian dan piawai dalam
penulisan, mereka berdua tidak ada bandingannya dan mungkin di masa depan juga
tidak ada yang menandinginya, mereka adalah Syahid Tsani Zainudin Jabal
Amili di bidang fikih dan Mulla
Sadra di bidang filsafat. Karya-karya Mulla Sadra lebih dari empat puluh
judul buku yang masing-masing dari buku itu tidak ada yang menandingi atau
minimal jarang sekali yang bisa menandinginya. Semua karya tulisnya selain
risalah Seh Ashl dar Ilme Akhloq dan beberapa suratnya, adalah berbahasa Arab –bahasa
resmi di pusat-pusat keilmuan masa itu-, dan semuanya menggunakan prosa yang
jelas, fasih dan bersajak sehingga sangat enak dan mudah untuk dijadikan
kurikulum filsafat dan ‘irfan. Sebagian karya tulis filsafatnya memiliki warna ‘irfan
yang lebih kental, dan sebagiannya lagi memiliki warna burhan yang lebih
kental, walaupun bisa dikatakan dari semua karyanya tercium semerbak bau harum ‘irfan.
Salah satu keistimewaan karya-karya Mulla Sadra yang sangat penting dan tidak
dimiliki oleh ulama sebelum dia adalah penyelarasan antara konsep-konsep dan
keterangan-keterangan agama dengan burhan-burhan filsafat sekiranya tidak
pernah dia menyatakan pendapat secara pasti tentang persoalan filsafat sebelum
merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Ahlul Bait as. Sering dia
mengungkapkan dirinya bangga karena mampu memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an
dan sunnah yang tidak pernah dipahami oleh orang lain sebelum dia. Seluruh
karya-karya filsafat dia penuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, dan
seluruh tafsirnya sarat dengan kesimpulan-kesimpulan ‘irfani dan rasional, dia
adalah satu-satunya yang terkemuka di dalam penyelarasan antara wahyu, ‘irfan
dan akal, tidak ada ulama yang menandinginya di dalam metode ini. Dan setelah
dia, muridnya yang bernama Faidh Kasyani meneruskan metode ini dengan baik.
Secara umum, tulisan-tulisan Mulla Sadra memiliki kesitimewaan-keistimewaan
seperti kecakupan, keputusan yang membenahi sekaligus mendamaikan antara
pendapat-pendapat yang bertikai, penggunaan akal, rasa, dan wahyu untuk
menerangkan hal-hal yang samar, liputan atas pendapat-pendapat ulama yang
terdahulu, dan yang terakhir adalah cara penulisan yang lugas dan mudah.
Menurut pernyataan Allamah Hasan Zadeh Amuli, buku Asfar Arba’ah
adalah buku induk karya-karya Mulla Sadra yang mulai dia tulis di saat-saat
akhir pemukimannya di Kahak, jelas dari sisi jangkauan pandang dan luasnya pembahasan
buku ini lebih unggul daripada buku As-Syifa karya Ibnu Sina dan Futuhat
Makkiyah karya Ibn Arabi. Allamah mengatakan: “Buku Asfar adalah titik sambung
dan lingkaran yang utuh dari ensiklopedia filsafat Massya’ Ibnu Sina dan
samudara rahasia batin Ibn Arabi, dengan kata lain buku ini adalah puncak
ribuan tahun pemikiran dan perenungan para filsuf serta hakim Islam sekaligus
dasar bangunan rasional yang baru dan sejati yang bersumber dari ajaran-ajaran
Islam”.[24]
Mulla Sadra di dalam karya spektakulernya Asfar menerangkan hubungan antara
hikmah, agama, akal, dan wahyu sebagai berikut: “Sungguh jauh dan tidak
mungkin hukum-hukum syariat yang haq, Ilahi dan terang berbenturan dengan
makrifat-makrifat yang bersifat yakin dan pasti. Binasalah filsafat yang
undang-undangnya tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah”. [25] Mulla
Sadra juga memiliki penguasaan yang luar biasa dalam memahami makna-makna lahir
Al-Qur’an dan menyibak rahasia-rahasianya, walaupun dia selalu berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan hadis di mayoritas buku-buku filsafatnya dan bahkan
menerangkan ayat-ayat atau hadis, akan tetapi dia sendiri giat menulis
buku-buku yang secara khusus menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan menerangkan
hadis; dia telah menulis tafsir atas surat As-Sajdah, Yasin, Al-Waqi’ah, Al-Hadid,
Al-Jum’ah, At-Thoriq, Al-A’la, Az-Zilzal, dan surat Al-Baqarah sampai ayat 65
berikut ayat Kursi dan ayat Nur. Karya tafsir filosofis yang sangat berharga
dan sudah berkali-kali dicetak ulang.
Syarah Ushul Kafi Marhum Akhund adalah syarah (komentar dan keterangan) pertama
atas buku Ushul Kafi yang ditulis pada enam abad sebelumnya, dengan itu dia
telah membuka pintu tradisi penulisan syarah atas hadis-hadis akidah yang
dalam, dan sudah pasti buku Syarah ini merupakan salah satu teks akidah Syi’ah
yang paling penting pada masa Kerajaan Safawi dan yang terbaik
dalam penyelarasan antara hikmah, irfan dan wahyu bahkan bisa dinyatakan
sebagai kunci pertama yang membuka tradisi penyelarasan tersebut. Penulis buku
Roudhot Al-Jannat mengomentari buku ini sebagai berikut: “Menurut saya, buku
ini adalah syarah yang paling tinggi atas hadis-hadis Ahlul Bait, paling
bermanfaat, dan paling berharga”.[26] Di giat penulisan,
mulanya Mulla Sadra tergolong penulis yang filsuf dan rasional; dia menulis
komentar atas buku Hidayah dan catatan pinggir untuk buku As-Syifa’ karya Ibnu
Sina. Kemudian setelah melewati jenjang-jenjang sair dan suluk dia tergolong
penulis yang arif dan bertumpu pada wahyu, dengan kuasa Ilahi dan petunjuk
Nabawi dia berhasil melampaui empat perjalanan dan menuliskan Asfar
Arba’ah. Pada akhirnya, semua keinginan dia terfokus kepada pemahaman lalu
penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Ahlul Bait as, dan di akhir
hayatnya di salah satu tangannya dia menulis tafsir surat Al-Baqarah dan di
tangan yang lain dia menulis syarah kitab Al-Hujjah di dalam buku Kafi, dan di
tengah kesibukan itulah dia menemui Kekasihnya.
RUMAH TANGGA MENTARI
Mulla Sadra adalah menantu Dhiya’udin
Muhammad bin Mahmud Razi yang dikenal dengan Dhiya’ul Urofa (cahaya
orang-orang arif); mertua Syah Murtadha bapak Faidh Kasyani. Berarti Faidh
Kasyani sebelum menyambung hubungan keilmuan dengan Mulla Sadra, dia sudah
memiliki hubungan kekeluargaan dengan dia, anak puteri Mulla Sadra adalah anak
bibinya Faidh Kasyani. Masing-masing dari anak Mulla Sadra mewarisi bekal
ilmu-ilmu Islam yang cukup bahkan mereka termasuk orang-orang yang terkenal di
dunia Islam, kenyataan ini merupakan manifestasi lain dari kebesaran ruh Ilahi
filsuf besar Mulla Sadra yang menjelma di dalam rumah tangga.
[1] Anak pertama rumah tangga ini bernama Ummu Kultsum,
lahir pada tahun 1019, dia mempelajari ilmu, pandangan, dan filsafat dari
bapaknya sendiri, kemudian dia menikah dengan Mulla Abdurrazaq Lahiji (Fayyadh)
pada tahun 1034. Dia meneruskan studinya dengan belajar kepada suaminya sendiri
sehingga dia menjadi ahli di berbagai disiplin ilmu yang umum pada waktu itu
dan tidak jarang dia menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah serta turut aktif
berdiskusi dengan yang lain.[27]
[2] Muhammad
Ibrahim Abu Ali Hakimi, ulama yang arif, salik dan muhahdis yang terkemuka.
Dia lahir pada tahun 1021 dan belajar dari bapaknya sendiri. Dia menulis banyak
buku dan salah satu karyanya adalah tafsir Ayat Kursi dalam bahasa Persia.
Namun, berdasarkan sebagian dari buku-bukunya dan juga berdasarkan pernyataan
beberapa ahli biografi, Muhammad Ibrahim di masa akhir kehidupannya berpaling
dari filsafat dan bahkan menghujatnya. [28]
[3] Zubaidah
Khatun adalah anak yang ketiga Mulla Sadra, dia lahir pada tahun 1024.
Dia seorang alim, sastrawan, mulia, dan hafal al-Qur’an. Kemudian dia menjadi
istri seorang ulama besar yang bernama Mirza Mu’inudin Fasa’i sekaligus
menjadi guru sastra Mirza Kamaludin Fasa’i (Mirza Kumala),
menantuAllamah Majlisi Pertama. Dia mempelajari hadis dan tafsir
al-Qur’an dari bapak dan kakak perempuannya serta mengajarkan sastra kepada
anaknya. [29]
[4] Zainab adalah
anak puteri yang ketiga Mulla Sadra, dia orang yang alim, mulia, teolog,
filsuf, arif, rajin beribadah, zuhud dan termasuk bintang gemilang di bidang
retorika dan sastra. Dia mengambil banyak pelajaran dari bapak dan saudaranya,
kemudian setelah menikah dengan Faidh Kasyani dia
menyempurnakan pelajarannya dengan tuntunan suami. Tahun kelahirannya tidak
tercatat di buku-buku riwayat hidup akan tetapi tahun wafatnya disebutkan
1097. [30]
[5] Nidzamudin
Ahmad nama anak putra kedua Mulla Sadra, dia seorang ulama, sastrawan,
hakim, dan pujangga yang arif. Dia lahir di kota Kasyan pada tahun 1031 dan
meninggal di bulan Rajab tahun 1074. Salah satu judul bukunya adalah Midhmar
Donesy dalam bahasa Persia. [31]
[6] Maksumah
Khatun adalah anak Mulla Sadra yang terakhir. Dia menjadi istri Allamah
Mirza Qiwamudin Neirizi, salah satu murid terkenal Mulla Sadra yang juga
menulis catatan pinggir untuk buku Asfar. Dia lahir pada tahun 1033 dan wafat
pada tahun 1093. Dia adalan wanita yang alim, pecinta sastra, ahli hadis, rajin
beribadah, zuhud, dan hafal al-Qur’an. Dia mengambil banyak pelajaran dari
bapak dan kakak-kakaknya; Zubaidah dan Ummu Kultsum.
MENTARI MENYINGSING
Mulla Sadra selama 71 tahun masa hidupnya
telah menunaikan ibadah haji tujuh kali dengan berjalan kaki, dia rajin
mengkristalkan hatinya dengan tawaf di Ka’bah, dan pada akhirnya dia pun
menyambut ajalnya di jalan ini, entah di awal perjalanannya yang ketujuh menuju
Mekkah atau ketika pulang dari sana, tepatnya pada tahun 1050 Hq dan di kota Bashrah
dia berpisah dengan tubuhnya dan melaju ke arah Haq swt. Di sana dia
dimakamkan, dan meskipun sekarang tidak ada jejak kuburannya akan tetapi harum
wangi Hikmah Muta’aliah senantiasa menyegarkan indera penciuman jiwa.[32]
CATATAN:
1. Mulla
Sadro, Henry Corbin, diterjemahkan oleh Dzabihullah Manshuri, hal. 9.
2. Ibid. Hal. 28.
Berdasarkan catatan pinggir yang ditulis oleh Muhammad Qiwami Syirazi sendiri
di salah satu pembahasan penting buku Asfar dan Masya’irnya pada tahun 1037 dan
di sana dia menyebutkan usianya 58 tahun, tanggal kelahiran dia adalah tahun
979 atau tahun-tahun pertama 980an. Adapun mengenai rincian pendidikan, guru,
sekolah dan pertumbuhan masa mudanya bisa dikatakan tidak ada referensi yang
kuat untuk itu, yang ada hanyalah cerita sebagaimana telah disebutkan di atas
secara ringkas. Namun, mengingat ciri-khas kultur dan politik kawasan Farsi
pada zaman itu yang relatif aman, tenang dan tentram di bawah pemerintahan
Mirza Muhammad Khudabandeh (saudara Syah Isma’il dua dan bapaknya Syah Abbas
besar), dan ditambah juga dengan dukungan Khudabandeh yang besar terhadap
orang-orang alim di kawasan, apalagi Khowjeh Ibrahim Qiwami juga memiliki
posisi yang kuat di pemerintahan dan kedudukan mulia di tengah masyarakat, maka
bisa diketahui bahwa Mulla Sadra menjalani masa kecil dan mudanya dengan
pendidikan dan perkembangan ilmu yang baik atau bahkan unggul.
3. Asfar, jilid 1, hal. 4.
4. Ibid. Hal. 11.
5. Tafsir Suroh Waqi’ah, pengantar.
6. Syarhe Asfor, jilid 6, bagian pertama, pengantar, hal. 48-49.
7. Yodnomehe Mullo Sadro, Nasyre Donesygohe Tehron, hal. 2.
8. Asfar, jilid 1, hal. 6.
9. Bihar al-Anwar, Allamah Muhammad Baqir Majlisi, jilid 60, hal. 216.
10. Asfar, jilid 1, hal. 6 dan 7.
11. Majalah Farhangge Iron Zamin, jilid 13, hal. 84-100.
12. Ibid. Hal. 8.
13. Safinah al-Bihar, jilid 2, hal. 17.
14. Ittihode Oqil wa Ma’qul, hal. 107, 109.
15. Asfar, jilid 1, hal. 8.
16. Majalah Farhangge Iron Zamin, jilid 13, hal. 84-100.
17. Yodnomeh Mullo Sadro, hal. 2.
18. Ibid. Hal. 15.
19. Syi’ah Dar Islom, Nasyre Bunyode Ilmi wa Fikrie Allomeh, hal.
62.
20. Khadamote Mutaqobele Islom u Iron, hal. 586.
21. Kasyf al-Asror, hal. 36-53.
22. Khadamote Mutaqobele Islom wa Iron, hal. 587.
23. Majmu’ehe Otsor, Syahid Mutahari, jilid 13, hal. 249-252.
24. Torikhe Falsafeh dar Islom, Intisyorote Semat, jilid 1, hal.
469.
25. Asfar, jilid 8, hal. 303.
26. Rodudhot al-Jannat, jilid 4, hal. 120.
27. Mustadrok A’yan al-Syi’ah, jilid 2, hal. 43.
28. Ma’adin al-Hikmah, Intisyorote Kitobkhonehe Ayatullah Mar’asyi,
hal. 15.
29. A’yan al-Syi’ah, jilid 3, hal. 83 (Mustadrok).
30. A’yan al-Syi’ah, jilid 3, hal. 83 (Mustadrok).
31. Muqoddimah Ma’adin al-Hikmah, hal. 15.
32. Riwayat hidup ini dinukil dan kemudian diterjemahkan dari buku
Gulsyane Abror, karya kelompok penulis, dan diterbitkan oleh Pazuhesykadehye
Boqirul Ulum.