Belajar dari Perang Israel Versus Hizbullah


oleh Ninok Leksono dan Dody Aviantara

“Perang antara Israel dan Hizbullah di tahun 2006 silam telah menunjukkan kehebatan senjata dan perangkat militer buatan Rusia dan Iran yang digunakan Hizbullah untuk bertarung dengan senjata dan perangkat militer buatan Amerika dan Israel yang digunakan tentara Israel”

Perang terakhir di Libanon yang diakhiri dengan gencatan senjata 14 Agustus (2006) silam masih menyisakan analisis panjang lebar. Dari analisa tersebut, tidak sedikit yang menyatakan pujiannya terhadap perlawanan yang diperlihatkan pejuang Hizbullah. Membatasi pembicaraan dari sisi militer, di sini ingin dikatakan, bahwa meski harus menghadapi kekuatan militer Israel yang sangat modern, Hizbullah sanggup menimbulkan kerugian tak kecil di pihak musuh. Hal ini bahkan diakui tentara Israel yang sempat bertempur di medan Libanon, Juli dan Agustus (2006) silam itu.

Padahal secara umum, berdasar yang tampak dan terberitakan, orang harus mengatakan bahwa Perang Libanon 2006 jelas perang yang tidak seimbang. Bagaimana tidak, Israel memiliki angkatan perang termasuk paling maju di dunia, hal yang dimungkinkan karena dukungan Amerika Serika yang tanpa reserve kepada negara ini, dengan menggelontorkan bantuan militer termasuk perlengkapan amat massif.

Sebagai hasilnya, Israel bisa mengerahkan pesawat tempur canggih F-16I (I dari Israel) dan heli serang AH-64 Apache. Mungkin saja kedua jenis alat utama sistem senjata (alutsista) ini bukan sesuatu yang asing di telinga. Tetapi tunggu dulu, karena meski generiknya sama-sama F-16 dan AH-64, tetapi varian yang dimiliki Israel sungguh varian yang termasuk paling maju. Misalkan saja F-16I, dengan tambahan tanki bahan bakar, termasuk yang di sisi badannya (disebut tanki konformal), jelajah jet tempur ini praktis bisa menjangkau seluruh ibukota negara-negara Timur Tengah. Belum lagi sistem persenjataannya, yang sebagian dikembangkan sendiri oleh Israel, seperti rudal udara-udara Python.

Sementara dari pihak Hizbullah, senjata yang paling sering disebut adalah roket Katyusha (buatan Rusia). Secara historis, memang ini nama yang mengingatkan orang pada desain lama, bahkan dari sejak era Perang Dunia II. Hanya saja memang terlalu naif untuk mengatakan semua roket yang digunakan Hizbullah adalah dari jenis Katyusha. Bahkan Katyusha sendiri masih cukup merepotkan Israel.

Hizbullah juga sudah semakin tahu cara mengoperasikan roket ini. Antara lain dengan cara menembakkannya secara serentak dari sejumlah posisi dan berpindah cepat sehingga Israel tidak mudah untuk menetapkan lokasi peluncuran untuk dihancurkan. Amerika Serikat sebagai patron mesin perang Israel sampai harus menciptakan THEL (Tactical High-Energy Laser) guna menembak Katyusha yang sedang meluncur.

Berangkat dari desain sukses Katyusha yang berkode BM (BM-13 adalah yang umum), lalu juga Grad BM-21 yang sukses di tahun 1960-an dan dimutakhirkan lagi tahun 1990-an, Hizbullah kini bahkan diberitakan sudah punya roket balistik nirkendali. Selain dari Rusia, Hizbullah sering disebut mendapatkan roket dari Iran, termasuk untuk tipe Fajr, yakni Fajr-3 dan Fajr-5. Adapun roket balistik nirkendali yang disebut sudah dimiliki Hizbullah adalah Zelzal-2.

Dengan berbagai kemampuan di bidang roket, Hizbullah lalu bisa mengeluarkan ancaman untuk menyerang ibukota Israel Tel Aviv, tidak hanya kota-kota Israel di bagian utara seperti Haifa, bila pemboman terhadap Libanon tak kunjung dihentikan.

MENGHANCURKAN TANK
Baik pemboman membabi buta yang dilakukan Israel dengan F-16I Sufa, maupun tembakan roket Katyusha, sebagai wujud perang dengan kemampuan militer asimetri, konsekuensi yang paling menonjol dari Perang Libanon terakhir adalah jatuhnya korban warga sipil. Di akhir perang, pemerintah Libanon mengumumkan jumlah korban sudah melebihi 1.000 jiwa.

Pada sisi lain, pihak Hizbullah juga memperlihatkan prestasi lain. Disamping Katyusha yang lebih berfungsi sebagai penebar ketakutan bagi warga Israel, mereka juga memiliki senjata yang amat efektif untuk menghancurkan alutsista yang sangat dibanggakan Israel, yakni tank.

Pihak Hizbullah tidak saja telah memiliki senjata anti-tank canggih, tetapi juga berhasil menggunakannya secara efektif, membuat Israel kehilangan banyak tank di Libanon Selatan. Seperti dilaporkan harian Yediot Aharonot, dari 25 rudal anti-tank yang ditembakkan Hizbullah, sekitar seperempatnya – berarti sekitar enam – berhasil menembus lapisan baja tank Israel.

Mengutip pejabat senior Israel, harian itu memberitakan bahwa Hizbullah berhasil mengetahui titik lemah tank dan menghantamnya dengan telak. Padahal Israel amat membanggakan tank Merkava yang ia buat dengan sistem perlindungan dan lapisan baja amat kuat (AFP/Jakarta Post, 12/8/06).

Bagi Israel yang dianggap sebagai negara punya pengalaman perang dengan menggunakan kendaraan lapis baja lebih banyak dibanding bangsa-bangsa lain di dunia semenjak Perang Dunia II, pengalaman di Libanon Selatan amat memukul. Di masa lalu, 1982, ketika harus menghadapi tank-tank Suriah – T-62 dan T-72 – Merkava (yang berarti kereta tempur), memperlihatkan keunggulan.

Rupanya Israel juga tidak menduga, bahwa senjata anti-tank Hizbullah akan demikian efektif. Pengamat militer Yiftah Shapir dari Pusat Kajian Strategis Jaffee menyebutkan, kemungkinan besar Merkava dihancurkan oleh rudal anti-tank buatan Rusia, yaitu dari tipe Metis-M dan Kornet. Senjata anti-tank Rusia lain, Sagger, juga telah diproduksi di Iran dan diyakini telah dimiliki Hizbullah.

Senjata-senjata tersebut mampu menembus lapisan baja setebal sampai satu meter dan memiliki jangkauan 1,5 sampai 5 km. Israel sudah mengetahui, Hizbullah punya beraneka-ragam rudal tetapi mungkin mereka tidak mengira para pejuang itu memiliki Metis-M dan Kornet.

Kemajuan teknologi yang masuk ke tangan kelompok seperti Hizbullah secara perlahan rupanya telah menggerogoti kehebatan militer Israel. Jadi meskipun secara menyeluruh Israel masih memiliki arsenal amat menggentarkan, tetapi efektivitasnya di medan tempur tampak susut. Kalau misalnya saja kelak Hizbullah juga bisa memiliki rudal antipesawat yang sama hebatnya seperti Metis-M dan Kornet untuk antitank, bukan tidak mungkin F-16I pun akan kehilangan kedahsyatannya. Apalagi bila selain unsur alutsista juga dimasukkan pula unsur kedisiplinan dan semangat berani mati Hizbullah, yang tampak tidak takut sedikit pun menghadapi Israel, bahkan terkesan malah bisa mengimbangi militer Israel.

HITECH VERSUS MOBILITAS
Israel mengandalkan mesin perang berteknologi canggih. Sementara Hizbullah lebih menekankan pada tingkat mobilitas bagi satuan-satuan dibawahnya. Begitulah gambaran umum taktik perang yang jadi panutan kedua pihak bertikai. Sekarang masalahnya, sampai perjanjian gencatan senjata disepakati, Israel tampaknya belum berhasil mencukur habis kekuatan Hizbullah. Front pertempuran yang terjadi di sebuah bukit di Lebanon Selatan barangkali bisa jadi rujukan. Kabarnya hampir selama sebulan para prajurit non-reguler Hizbullah mampu menahan gerak maju infanteri Israel.

Kenyataan itu terasa pas dengan pendapat seorang ahli masalah Timur-Tengah yang dilansir Harian Washington Post (14/8). Menurutnya, pejuang-pejuang Hizbullah merupakan gerilyawan paling hebat sedunia. Kehebatan ini diraih melalui proses perekrutan yang begitu ketat, pembangunan jaringan bawah tanah dengan rapi, serta sokongan dari sejumlah negara simpatisan.

Bicara tentang dukungan, urusan yang satu ini tak bisa dipandang sebelah mata saja. Data intelejen yang berhasil dikumpulkan, setidaknya Hizbullah mampu meraup beragam bantuan hingga senilai 25 juta dollar AS tiap bulan. Sokongan datang dari seluruh penjuru dunia dan sebagian besar mengalir melalui Iran.

PASOKAN RUDAL PERORANGAN
Tentu saja yang namanya bantuan tak hanya berupa uang. Melainkan juga senjata. Tipenya tak hanya sebatas senjata perorangan, tapi juga yang berkategori canggih. Sebut saja salah satunya adalah arsenal pelahap tank. Bukti di lapangan menunjukkan senjata ini jadi momok paling menakutkan bagi pasukan darat Israel. Uniknya lagi tipe rudal antitank yang dioperasikan tak hanya terpatok pada satu jenis saja. Alhasil, strategi macam ini membuat Tel-Aviv benar-benar pusing membuat obat penangkalnya, lantaran tiap rudal punya karakter berbeda-beda.

Lagi-lagi berpegang pada sumber intelejen, Hizbullah dikabarkan memiliki rudal anti-tank berpemandu kawat (wire-guided) serta laser (laser guided). Untuk tipe berpengendali tercatat mulai dari rudal bersistem MCLOS, AT-3 Sagger (9M14 Malyutka), AT-13 Saxhorn (9K115-2 Metis-M), hingga tiruan Milan, AT-14 (9M133 Kornet-E). Rata-rata rudal buatan Rusia tersebut punya jarak jangkau antara 100 meter hingga 5,5 kilometer. Dari ketiga tipe tadi, bisa dibilang Metis dan Kornet merupakan ancaman paling serius. Pasalnya, keduanya sudah dilengkapi hulu ledak ganda yang sangat ampuh menjebol lapisan aktif tahan peluru.

Selain rudal, pejuang Hizbullah juga dibekali dengan arsenal antitank tanpa pemandu (unguided). Tipe yang jadi momok adalah pelontar geranat roket generasi penerus RPG-7, yaitu RPG-29 Vampir. Mirip dengan Metis dan Kornet, senjata seharga 800 dollar perpaketnya ini juga dibekali hulu ledak ganda. Kabar yang beredar, Hizbullah mendapat pasokan RPG-29 lewat Suriah.

Maut yang bakal ditebarkan pejuang Hizbullah tak hanya sebatas mengancam arsenal darat Israel saja, melainkan juga udara. Sumber Janes Defence Weekly (7/8), misalnya, menyebutkan kalau Iran nyata-nyata telah bersedia memasok Hizbullah dengan beragam tipe rudal anti-pesawat portabel. Tipenya mulai dari SA-7 Grail (Strela-2/2M), SA-14 Gremlin (Strela-3), dan SA-16 Gimlet (Igla-1E). Teheran pun berjanji pula untuk menyertakan rudal-rudal anti-pesawat buatannya Mithaq-1 yang tak lain merupakan jiplakan rudal QW-1 Vanguard lansiran Cina.

LEGENDA KATYUSHA
Selain senjata yang gampang ditenteng kemana-mana, Hizbullah juga memiliki senjata berdaya hancur masal yang dikalangan umum lebih dikenal dengan nama Katyusha. Ibarat film layar lebar, Katyusha merupakan lakon utama dalam konflik Israel di Libanon tahun 2006. Merujuk istilah militer, arsenal ini sebenarnya masuk dalam golongan roket artileri konvensional asal Rusia. Ini artinya senjata baru bisa menimbulkan efek kehancuran total bila diluncurkan dalam jumlah banyak dengan target terkonsentrasi.

Sejumlah sumber menyebutkan, saat konflik pecah Hizbullah diyakini punya lebih dari 13.000 unit Katyusha. Dari jumlah itu sedikitnya sudah 4.000-an yang dilontarkan ke target-target di Israel dari Selatan Libanon. Hingga 14 Agustus lalu diperkirakan korbannya mencapai 42 orang sipil dan 12 tentara Israel.

Bila dilihat dari cara pelontaran, kekuatan roket Hizbullah terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama merupakan roket-roket yang dilontarkan dari peluncur multi. Masuk dalam klasifikasi ini adalah BM-21, BM-27, Fadjr-3, dan Fadjr-5. Kategori ini punya jarak jangkau antara 20 sampai 75 kilometer. Sekadar tambahan, Fadjr tak lain merupakan sistem peluncur roket multi hasil rekayasa Iran.

Kategori kedua merupakan roket berpeluncur tunggal. Ra’ad-1 (Shahin-1) merupakan salah satu contohnya. Jarak tembaknya memang hanya mencapai angka 13 kilometer saja. Tapi bobot hulu ledak yang bisa diusung mencapai 190 kilogram. Sekarang bandingkan dengan peluncur multi berat asal Rusia macam BM-27 yang setiap pucuk roketnya cuma dibekali hulu ledak berbobot 100 kilogram.

Namun dari sekian banyak roket milik Hizbullah, ada satu yang benar-benar membuat Israel kelabakan. Zelzal-2, begitulah nama arsenal tanpa penuntun (unguided) itu biasa disebut. Ditengok dari segi teknis, kekhawatiran Tel-Aviv memang cukup beralasan. Berbekal hulu ledak seberat 600 kilogram, Zelzal bisa dipakai menghantam target pada jarak lebih dari 200 kilometer. Ini artinya bila diluncurkan dari Lebanon roket yang dibuat Iran dengan basis roket balistik eks Soviet, Frog-7 itu mampu mengobrak-abrik pemukiman padat di bagian Utara Tel-Aviv. Sumber intelejen Israel memperkirakan Hizbullah baru memiliki Zelzal-2 sejak awal Agustus lalu.

TAMENG LASER
Menghadapi gempuran Katyusha, Israel menggelar kekuatan militer berskala besar. Ratusan ribu pasukan darat dengan dukungan satuan MBT Merkava dikerahkan. Operasi juga disokong armada pesawat dan heli tempur. Sebut saja mulai dari F-16C/D, F-16I Sufa, F-15I, hingga heli AH-64D Longbow. Sejak konflik pecah, tercatat Angkata Udara Israel ini telah menggelar lebih dari 15.500 sorti penerbangan tempur. Sementara target yang dituju ada lebih dari 7.000 titik.

Menarik untuk disimak, dalam konflik ini Angkatan Udara Israel menampilkan sejumlah arsenal yang tergolong baru. Untuk mengetahui posisi titik luncur Katyusha misalnya, Tel-Aviv perangkat sensor khusus berteknologi laser. Bicara tentang sinar laser bisa dibilang teknologi ini bukanlah barang baru di Israel. Beberapa tahun yang lalu negeri ini pernah menggandeng Amerika Serikat untuk menciptakan perangkat laser perontok rudal balistik berlabel THEL (Tactical High Energy Laser).

Pada awalnya, di atas kertas, THEL dianggap mumpuni. Sinar laser yang dipancarkannya ditanggung mampu menyulut hulu ledak rudal saat masih melesat di udara. Namun urusan tembakan yang begitu akurat ternyata tak disokong oleh ringkasnya pengoperasian THEL di lapangan. Bahkan saat Amerika Serikat-Israel berusaha mendongkrak mobilitas perangkat dengan menciptakan Mobile THEL, tetap saja senjata tersebut dianggap kurang layak operasional.

Lepas dari urusan senjata ala perang bintang, dalam konflik tahun ini Angkatan Udara Israel menurunkan bom jenis baru bernama Carpet.

Secara umum senjata hasil rekayasa pabrikan RAFAEL ini merupakan arsenal anti-ranjau. Berujud seperti proyektil berukuran mini, setiap unit Carpet berisi campuran bahan bakar-udara berdaya ledak tinggi. Saat dioperasikan pada wilayah yang dicurigai banyak tertanam ranjau, arsenal ini akan meledak menghasilkan tekanan tinggi. Efek dari tekanan tadi selanjutnya akan memicu setiap detonator. Dalam pengoperasiannya lewat udara, Carpet bisa dilepaskan dari jarak yang aman (stand-off capability).

Bisa dibilang hampir sebagian besar kekuatan Angkatan Bersenjata Israel dikerahkan dalam konflik yang terjadi antara 12 Juli hingga gencatan senjata efektif diberlakukan 14 Agustus (2006) lalu itu. Bahkan selama konflik terjadi, Tel-Aviv secara terang-terangan meminta bantuan suplai senjata dari Amerika Serikat. Termasuk didalamnya bom-bom pintar penghancur bunker serta roket-roket M26 bagi armada MLRS (Multi Launched Rocket System) milik AD Israel. Toh sampai akhir konflik tujuan operasi militer Israel untuk memberangus semua roket Katyusha milik Hizbullah kurang membuahkan hasil. Sebaliknya para pejuang militan itu nyata-nyata berhasil membuat gentar hati para petinggi Israel dengan serangan roket yang bertubi-tubi.

ANTARA HIZBULLAH, ISRAEL, DAN LIBANON
Hizbullah, Israel, dan Lebanon, itulah tiga elemen yang terlibat dalam konflik di Timur-Tengah tersebut. Diatas kertas, tentu saja kekuatan militer Israel adalah yang terbaik. Sumber Jane’s Defence Weekly (Agustus 2005) menyebutkan, Tel-Aviv sedikitnya punya 186 ribu serdadu plus lebih dari 630 ribu pasukan cadangan. Kekuatan segede ini masih didukung lebih dari 2.300 unit tank, 7.800 pucuk artileri, 732 pesawat dan 202 heli militer, serta 59 kapal perang. Agar semua kekuatan tadi bisa operasional, Israel masih mendapat suntikan dana militer dari Amerika Serikat sebesar 2,16 miliar dollar AS. Sumbangan dana itu langsung membuat belanja pertahanan jadi melonjak hingga 9,99 miliar dollar.

Beda dengan Israel, pihak Barat nyata-nyata tak pernah bisa memprediksi secara tepat komposisi kekuatan Hizbullah. Tapi jangan salah, justru disinilah letak kehebatannya. Dengan demikian, lawan tak bakal bisa menerka takaran serangan yang bakal dilancarkan. Masih dari sumber yang sama, hitungan kasarnya Hizbullah diperkirakan punya sekitar 300 hingga 1.200 pasukan aktif. Ini belum terhitung jumlah pasukan cadangan atau simpatisan yang sewaktu-waktu bisa digerakkan.

Soal senjata, mereka punya andalan yang cukup membuat Tel-Aviv ketar-ketir. Masuk dalam kategori artileri, kalangan umum biasa menyebut arsenal ini sebagai roket Katyusha. Jumlah yang dikabarkan mencapai ribuan. Bila disimak lebih teliti, sesuai dengan jarak jangkau, sebenarnya ada beragam tipe yang dimiliki. Sebut saja mulai dari roket Zelzal-2, Fajr-3, Fajr-5 buatan Iran, serta pelontar multi Grad asal Rusia. Uniknya, sebutan sejenis juga dilontarkan pada rudal jelajah permukaan-permukaan (antikapal), C-802.

Bila saja kekuatan militer Libanon bisa mengimbangi Israel, barangkali Tel-Aviv akan berpikir seribu kali buat melancarkan serangan ke negeri itu. Sayang, semua hanyalah mimpi. Total kekuatan Beirut hanya bisa mengandalkan 72.000 serdadu, 115 tank, 455 artileri, 49 heli militer, plus 34 kapal perang. Jumlah anggaran perang juga tergolong payah. Tercatat pada tahun 2003, militer Libanon hanya kebagian jatah anggaran belanja sebesar 512 juta dolar.

MENGGEBUK SAMPAI LAUT
Soal senjata, Hizbullah memang penuh dengan kejutan. Paling tidak ini bisa dibuktikan pada 14 Juli (2006) lalu, ketika sebuah kapal perang Angkatan Laut Israel tersengat rudal jelajah anti-kapal berpemandu radar yang diluncurkan Hizbullah dari Beirut. Jane’s Defence Weekly menyebutkan, rudal yang dipakai adalah tipe C-802 Noor (Tondar) buatan Iran.

Bila ditengok lebih teliti, Noor tak lain merupakan kembaran rudal C-802 (YJ-82/CSS-N-8) Saccade racikan Cina. Di negeri asalnya, rudal ini pertama kali muncul pada tahun 1989. Jarak jangkaunya mencapai angka 120 kilometer. Ini artinya rudal memang bisa menjangkau target kapal-kapal perang Israel, bila dilepaskan dari Beirut. Kemampuan lain yang tak kalah penting terletak pada mobilitas. Bermodalkan kendaraan pengangkut, maka posisi Noor bisa dipindah-pindah.

Bagi Tel-Aviv, serangan tadi cukup mengejutkan. Betapa tidak? Dari sisi teknologi, kapal yang jadi korban masuk dalam kategori canggih. INS Hanit (503) yang saat itu sedang berada 16 kilometer dari pantai Libanon merupakan kapal korvet kelas Eilat (Saar 5) berdesain siluman. Sentuhan teknologi tinggi juga melekat pada sistem pertahanan berlapis yang diusungnya. Lihat saja, di atas dek kapal bertebaran hardware anti-rudal macam kanon multilaras Phalanx dan rudal Barak.

Menanggapi tertembaknya korvet Hanit, para petinggi militer Angkatan Laut Israel berkilah bukan sepenuhnya akibat kegagalan sistem anti-rudal pada kapal. Kasus ini terjadi lantaran data intelejen yang diterima tak menekankan adanya ancaman rudal anti-kapal di sekitar pantai Libanon. Alhasil saat kejadian, kapal tak sepenuhnya mengaktifkan semua sensor maupun sistem pertahanan rudalnya.

Analisa sodoran defense-update (17/7) bisa jadi rujukan fakta yang terjadi di lapangan. Menurut situs pertahanan itu, Hizbullah sebenarnya meluncurkan dua rudal C-802 secara simultan. Masing-masing dengan acuan penerbangan yang berbeda. Sebuah rudal dipakai menyerang dari ketinggian (high-attack) dan lebih berfungsi untuk menipu sensor lawan. Memang pada kenyataannya rudal ini tak berhasil menemukan sasarannya. Dan terus melesat mengenai kapal sipil milik Mesir yang berada pada jarak 44 kilometer dari Hanit.

Pada waktu yang bersamaan rudal kedua menerapkan taktik terbang rendah (low-attack). Nah, Rudal terakhir inilah yang berhasil menemui targetnya, menjebol bagian belakang kapal (helipad), sekaligus membuat sistem kemudi lumpuh. Walau pihak Israel menyatakan warhead rudal tak meledak, namun tetap saja hantamannya mengakibatkan empat orang pelaut Angkatan Laut Israel mesti rela kehilangan nyawa.

UAV-PUN MEREKA PUNYA
Selama ini predikat sebagai biangnya pesawat mata-mata tanpa awak (UAV) berada di tangan Israel. Lihat saja apa yang berhasil dilakukan Tel-Aviv saat membungkam situs-situs rudal anti-pesawat Suriah di Lembah Bekaa pada era 80-an. Mereka mengerahkan armada UAV untuk mengelabui lawan.

Nah, dalam konflik dengan Hizbullah tahun 2006 ini tampaknya Israel mesti rela taktik temuannya dicontek oleh lawan. Sejumlah wahana nir-awak berlogo Hizbullah kerap mereka pergoki nyelonong ke wilayah udara Israel. Dari sekian banyak kasus yang ada tercatat kejadian pada 13 Agustus lalu boleh jadi membuat was-was hati para petinggi militer Israel. Pasalnya pada dua UAV Hizbullah yang berhasil ditembak jatuh hari itu dipergoki bahan peledak seberat 30 kilogram.

Bila ditarik kebelakang, sebenarnya taktik serangan UAV bukanlah barang baru bagi Israel. Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah pernah mengumumkan pada Bulan April tahun sebelumnya rencana mengerahkan UAV pengusung bahan peledak. Setiap UAV bisa dipasang bahan peledak berbobot antara 40 sampai 50 kilogram dan dijamin mampu mencapai wilayah terdalam Israel. Namun Tel Aviv menganggap pernyataan Nasrallah tadi tak lebih sebagai gertak sambal belaka.


Sampai sekarang diperkirakan Hizbulah memiliki dua jenis UAV buatan Iran. Masing-masing adalah UAV berekor ganda bersayap delta Mersed-1 dan Ababil. Secara teknis, Ababil memang mampu mengangkut beban hingga 45 kilogram dengan jarak jangkau sampai 150 kilometer. UAV ini mampu terbang dengan kecepatan 300 kilometer per-jam.

Tidak ada komentar: