Al-Farabi & Fondasi Filsafat Islam

(Foto: Anum Ahmed di Haram Imam Ridho as)

Oleh Muhsin S Mahdi (Penulis dan pengajar filsafat)

Al Farabi adalah seorang pendiri tradisi utama filsafat Islam sebagaimana yang kita kenal saat ini. Penghormatan yang telah diterimanya dari para pelanjutnya tidak selalu diikuti dengan pemahaman yang jelas akan perannya sebagai pendiri atau dengan apresiasi yang lengkap akan pencapaiannya sebagai seorang filosof. Filosof-filosof besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Mulla Shadra terus menerus mengingatkan kita bahwa kita perlu tahu banyak tentang sosok yang sudah mencapai puncak ini. Tetapi, mereka tidak selalu menolong kita untuk mengetahui minat pokoknya atau jalan yang telah dia petakan untuk dirinya sendiri. Sebagai filosof, mereka mempunyai minat dan memetakan jalan mereka sendiri-sendiri. Kita harus kembali kepada tulisan-tulisan Al Farabi sendiri. Hanya dengan cara ini, kita dapat sepenuhnya memahami hubungannya dengan para pendahulunya yang mengikuti jalan Islam dan filsafat Hellenistik, dan bagaimana dia membangun tradisi utama filsafat Islam. Karena tulisan-tulisan al Farabi masih dalam proses penelitian, catatan-catatan berikut tidak lebih hanya merupakan kesan-kesan pertama.

PENDAHULU-PENDAHULU AL FARABI: AL KINDI DAN AL RAZI
Para sejarahwan filsafat Islam, biasanya –pada awalnya- mendekati Al Farabi melalui problem penerjemahan dan literature terjemahan. Mereka menghitung buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Syiria, atau dari keduanya, dan menjelaskan tehnik-tehnik penerjemahan, serta meringkas dan menguraikan bagian penting dari naskah-naskah seperti theology of Aristotle atau yang dikenal dengan Liber de Causis. Apa yang tidak biasa mereka lakukan dan apa yang perlu lebih sering kita lakukan adalah bertanya tentang apa yang telah dikerjakan oleh para filosof muslim terhadap terjemahan literature-literatur tersebut. Buku seperti theology of Aristotle digunakan antara lain oleh Farabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra, diantara para filosof lainnya. Apakah mereka begitu saja menyerapnya, atau apakah mereka mencoba mempelajari, memahami, memodifikasi, melengkapi dan menggunakan buku itu dengan cara yang lain? Lebih umum lagi, apakah sejarah Neo Platonisme di dalam Islam merupakan sejarah ide-ide yang, katakanlah, mau tak mau berjalan melalui jalur yang tersedia dalam Islam?


Diantara banyak filosof muslim, setidaknya, hal ini merupakan sejarah penggunaan secara sadar dan memang ini berguna dalam banyak hal. Dan adalah al Farabi yang menunjukkan kepada mereka bagaimana dan untuk tujuan apa literature Neo-Platonik ini dapat digunakan. Para sejarahwan berikutnya bergerak ke teologi Islam awal (kalam). Sejauh menyangkut filsafat, dapat dikatakan bahwa sumbangan utama teologi Islam adalah untuk menyiapkan landasan bagi tumbuhnya filsafat, untuk melunakkan pikiran dan sikap masyarakat muslim, dan untuk merangsang penggunaan akal sampai pada titik ketika filsafat dapat mengakar dan mulai tumbuh. Dalam satu hal, ini memiliki arti yang amat sederhana. Jika orang melihat awal mula berbagai masyarakat beragama, ia akan mendapatkan bahwa masyarakat itu “dikuasai” oleh wahyu dan pesan Tuhan. Masa ini bukanlah saatnya untuk melakukan perenungan sunyi atau untuk menggarap akibat-akibat dari wahyu tersebut.

Diperlukan beberapa saat sebelum tingkatan berikutnya dapat dicapai dan disinilah teologi memainkan peran pentingnya. Teologi menerima pesan, hukum Tuhan, atau wahyu, dan lambat laun bergerak menjauhi sumber aslinya. (Sejarah teologi Islam, menurut saya, mengandung pelajaran penting mengenai hal ini). Teologi menguraikan banyak masalah yang dimunculkan wahyu. Ia mencoba mengharmoniskan pernyataan-pernyataan yang tampak tidak konsisten dan membuat eksplisit hal-hal yang hanya implisit dalam wahyu, misalnya Mu’tazilah sampai pada kesimpulan bahwa syarat bagi seseorang untuk memperoleh iman sejati adalah bahwa orang itu dengan kemampuannya sendiri (dengan akalnya dan bebas dari iman) harus mengetahui semua hal berikut ini: eksistensi, esensi, dan sifat-sifat Tuhan; mungkinnya kenabian dan wahyu; apa yang benar dan salah dalam tindakan manusia; serta struktur dunia fisik dan hubungannya dengan penciptanya. Semua ini menurut Mu’tazilah, harus diketahui oleh seseorang melalui akalnya sendiri sebelum ia dapat menyebut dirinya sebagai mukmin sejati; jika tidak, demikian mereka berargumen, ia percaya berdasarkan otoritas dan peniruan orang lain –dan ini bukan kepercayaan yang sejati. Kalau kita mau melihat titik permulaannya –wahyu dan kekuatannya atas manusia- saya kira dapat dimengerti bahwa masyarakat memerlukan satu atau dua abad untuk sampai pada kesimpulan yang demikian. Dalam melalui jalan ini, teologi Islam menyiapkan jalan bagi filsafat Islam, meskipun hal itu bukan sebagaimana dimaksudkan pada awalnya. Sejak awal sekali, filosof-filosof muslim sangat memperhatikan teologi.

Mereka menemukan bahwa teologi adalah suatu disiplin keagamaan yang paling dekat dengan disiplin mereka sendiri, dan mereka mendapatkan manfaat dalam merenungkan masalah-masalah, metode-metode, dan kesimpulan-kesimpulan dalam teologi.

Akhirnya, para sejarahwan sampai pada dua pemikir yang tampaknya memberikan permulaan filsafat Islam dan dengan demikian berhak disebut sebagai pendahulu-pendahulu al Farabi, yaitu al Kindi dan al Razi. Dalam kasus al Kindi, tidak ada bukti –paling tidak dalam buku-buku karyanya yang telah diketemukan- bahwa dia adalah seorang teolog atau mu’tazili, meskipun ia hidup ketika kaum Mu’tazilah Baghdad memainkan peran pentingnya di masyarakat dan dia dikaitkan dengan pengadilan yang mendorong pergerakan teologis ini dan, sampai tingkat tertentu, bahkan menyokong dan melindunginya. Lebih jauh, minatnya terhadap apa yang dianggap sebagai persoalan sentral Mu’tazilah –persoalan teologis mengenai pengetahuan manusia maupun Tuhan- tampaknya mengambil bentuk agak berbeda dari Mu’tazilah. Dia agaknya ingin mengatakan bahwa, pada prinsipnya semua pengetahuan dapat diperoleh manusia sebagai manusia, walaupun terdapat jalan lain ke pengetahuan yang sama, yang merupakan jalan pewahyuan Tuhan. Jalan pewahyuan ini merupakan jalan pintas dari jalan yang panjang dan berat yang harus dilalui oleh orang yang mencoba memperoleh pengetahuan tersebut dengan kekuatan dirinya sendiri. Orang dapat mengatakan bahwa semua ini bisa jadi sama sekali tidak bertentangan dengan posisi teologis Mu’tazilah. Tetapi, dengan melihat lebih dekat kepada apa yang ditulis al Kindi, akan tampak bahwa semangat, tujuan dan substansi pemikirannya sama sekali berbeda dari Mu’tazilah.

Perbedaan yang paling penting adalah pengakuannya terhadap apa yang disebutnya sebagai sumbangan kepada kebenaran yang diberikan oleh orang-orang kuno, yang dipandangnya sebagai pendahulu-pendahulunya; demikian pula, dia menerima sumbangan itu dengan sikap terbuka dan rasa terima kasih. Di sini, untuk pertama kali, kita melihat seorang yang jelas-jelas memperhatikan apa yang dipikirkan dan disumbangkan oleh para filosof seperti Plato dan Aristoteles, atau Sabian, kepada pengetahuan. Ini tidak berarti bahwa dia menerima segala yang diberikan kepadanya oleh tradisi-tradisi tersebut. Sebagaimana dikatakannya dalam satu kalimatnya yang terkenal, adalah tugasnya untuk memahami, menyesuaikan, melengkapi, dan memodifikasi apa yang diterimanya dalam bahasanya sendiri.

Lebih jauh lagi, pemikirannya berbeda dengan teolog-teolog itu dalam hal perhatiannya terhadap apa yang kita sebut ilmu “keras” dan ilmu yang membutuhkan keahlian khusus dan latihan praktis, dan ia sendiri mempraktikkan ilmu “keras” tersebut. Sejauh yang kita ketahui, tidak ada teolog periode awal yang pandai dalam ilmu-ilmu seperti matematika, astronomi, fisika, atau musik. Adalah ciri tradisi filsafat bahwa sejak mula sekali filsafat atau kebijaksanaan dipahami sebagai tak lebih dari perdebatan tanpa akhir dimana setiap orang dapat hadir dan semua orang dapat duduk dan berbicara tentang banyak hal dengan cara “penalaran yang benar”. Filsafat dianggap terdiri dari beberapa ilmu yang relatif saling bebas yang dipikirkan secara cukup terinci. Prinsip-prinsipnya telah didiskusikan, dikritik dan dikomentari oleh beberapa generasi penulis klasik yang karya-karyanya dapat dipelajari secara rinci dan akurat, sedangkan perhatiannya adalah pada hubungan antara berbagai ilmu dan masalah organisasi pengetahuan. Pada al Kindi, atmosfir pembicaraannya dan daftar literature klasiknya sudah sangat berbeda dari para teolog lainnya pada periode ini, yang mengartikan filsafat sebagai kumpulan doktrin yang sebagian besar anonim. Misalnya, mereka akan mengatakan: kita tidak percaya X sebagaimana para filosof –semuanya- percaya. Hal ini tidak dilakukan al Kindi. Di lain pihak, mungkin karena al Kindi mengajukan sebuah persoalan tentang kesejajaran antara pengetahuan manusia dengan Tuhan serta melihat pengetahuan Tuhan merupakan jalan yang lebih langsung ke pengetahuan tentang segala sesuatu, dia mewariskan para filosof berikutnya beberapa persoalan yang hidup terus pada filsafat Islam:

[1] Penciptaan alam semesta: apa artinya; bagaimana emanasinya; di satu pihak, berbeda dengan sebab-akibat yang normal, yang alamiah (seperti, empat sebab Aristoteles) di pihak lain.

[2] Keabadian jiwa seseorang: apa artinya; bagaimana membuktikannya.

[3] Pengetahuan ilahiah tentang yang partikular: apakah hal ini ada hubungannya dengan yang disebut astrologi; bagaimana terjadinya, apakah melalui bintang-bintang, atau langsung. (Beralih dari teologi ke filsafat, tampaknya bintang-bintang tiba-tiba mulai memainkan banyak peran yang lebih besar. Para teolog tidak secara khusus memperhatikan bintang-bintang dan benda-benda langit. Tetapi, bagi para filosof –apakah itu berhubungan dengan beberapa jenis penyembahan bintang, pemahaman prinsip-prinsip dunia fisik, atau penisbahan jiwa dan intelek kepada bintang-bintang (alasannya memang dapat bermacam-macam) –persoalan tentang hakikat benda-benda langit yang penting, jika bukan intinya. Tidak boleh dilupakan bahwa filsafat Islam, seperti filsafat Yunani sebelumnya, mempercayai berbagai mitos tentang bintang-bintang).

Mempelajari al Razi, kita lihat bahwa persoalan-persoalan seperti penciptaan dunia atau kekekalan jiwa tidak menjadi perhatian khusus dari para teolog atau dari yang disebut filosof religius. Bahkan seseorang yang kiranya tidak percaya pada pewahyuan dan dikabarkan menganggap kenabian sebagai omong-kosong, masih mempertahankan penciptaan alam dan kekekalan jiwa manusia, dalam caranya sendiri.

Lebih umum lagi, sebagian besar persoalan yang diangkat oleh al Kindi –persoalan-persoalan yang menjadi perhatian khusus filosof Muslim atau filosof religius- sebenarnya dimunculkan (dan pendirian-pendirian yang analog dengannya juga dikemukakan) oleh filosof-filosof pagan sebelum Islam, juga oleh filosof-filosof non-religius pada masa Islam. Apakah seorang filosof menerima atau menolak pendirian yang sama-sama dipercayai oleh Bible dan Al Qur’an tentang, misalnya, penciptaan, tampaknya tidak terkait erat dengan apakah ia percaya ataukah tidak terhadap wahyu. (Pertanyaan ini disajikan dalam bentuk yang kompleks tetapi amat jenih dalam guide-nya Maimonides).

Namun, tidak seperti al Kindi, al Razi, memiliki pendirian yang baru dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan dan filsafat. Seperti al Kindi, dia amat meminati pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan para penulis kuno utama. Tetapi ia melihat hubungannya dengan pemikiran-pemikiran lebih awal sebagai penerus dalam satu kontinuitas kemajuan, tanpa memandang para penulis kuno –seperti Aristoteles, Plato, atau Galen- sebagai manusia yang telah menemukan kebenaran (mutlak), sehingga filsafat atau ilmu akan selalu berisi dengan komentar atas manusia-manusia tersebut, atau usaha memahami, menjelaskan, dan mempertahankan ide-ide mereka. (Dogmatisme semacam ini hampir tidak pernah dijumpai pada filsafat Islam. Satu-satunya pengecualian mungkin adalah Ibnu Rusyd; tetapi bahkan di sini saya sangat meragukan perihal apa yang biasa dikatakan orang tentang hubungannya dengan Aristoteles, sebetulnya itu merupakan hasil studi cermat atas karya-karya Aristoteles).

Dengan demikian, al Razi menghasilkan beberapa doktrin penting (berkenaan dengan waktu, ruang dan seterusnya) yang bertentangan dengan Aristoteles. Kritik-kritiknya terhadap Aristoteles diabaikan untuk sementara waktu, tetapi dimunculkan kembali sebagai bagian dari tradisi non-Aristotelian dan Anti-Aristotelian dalam filsafat Islam. Tampaknya, dia telah membuat doktrin teologi menjadi radikal, dengan mengatakan bahwa “semua” pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia sebagai manusia. Dia dilaporkan telah mengatakan bahwa akal manusia adalah satu-satunya cara untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang yang baik dan yang buruk; dan bahwa setiap sumber pengetahuan lainnya hanyalah kebohongan dan dugaan belaka.

Namun, yang harus diingat adalah bahwa kita hanya memiliki sebagian kecil dari karya-karya filsafat kedua filosof tersebut, dan kita diharuskan untuk merekonstruksi pemikiran mereka di atas dasar fakta-fakta yang saling terpisah. Tentunya tidak pasti apakah karya-karya mereka sama lengkap atau dalamnya dengan karya-karya yang ditulis oleh filosof-filosof lain dengan judul serupa –paling tidak beberapa karya yang ada kini tampak seperti lembaran-lembaran yang ditulis tergesa-gesa. Kita tidak dapat mengatakan tentang apa yang termuat atau tak termuat dalam buku yang tidak berada di tangan kita. Al Farabi adalah seorang Muslim pertama yang buku-buku filsafatnya yang secara lengkap kita punyai dalam jumlah cukup besar. Kita tidak memiliki semuanya. Jika kita perkirakan saja, kita tidak mempunyai bahkan separuh dari karya-karyanya. Tetapi dibandingkan dengan al Kindi dan al Razi, buku-buku al Farabi lebih banyak yang kita miliki, terutama di bidang politik dan logika.

Sebagaimana tidak mungkin menerangkan pemikiran al Kindi dan al Razi sebagai perluasan dari teologi Islam atau pergerakan Mu’tazilah, demikian juga tidak mungkinlah menerangkan pemikiran al Farabi, sebagai perluasan atau pengembangan pemikiran al Kindi dan al Razi saja.

Al Farabi menulis buku yang menyangkal metafisika al Razi. Biasanya ia mengabaikan al Kindi sama sekali. Hal ini terlihat dengan tidak banyak disebutnya nama al Kindi dalam karya-karya al Farabi. Pengabaian ini kemudian diikuti oleh al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan banyak filosof lainnya.

Dalam buku tentang musik, yang di buku itu nama al Kindi disebut, al Farabi menuduhnya berbicara tentang teori dan praktik musik tanpa mengetahui apa yang dibicarakannya. Secara umum, sejarahwan filsafat Islam berikutnya mengikuti al Farabi dan Ibnu Sina dalam mengkritik al Kindi dan al Razi. Kritik-kritik mereka sebagian besar diturunkan dari penilaian-penilaian yang diberikan oleh al Farabi dan Ibnu Sina atau murid-muridnya.

Dalam kasus al Razi, para ahli sejarah di atas mengatakan bahwa dia lebih merupakan seorang naturalis daripada seorang ahli metafisika atau ahli filsafat umum. Dalam kasus al Kindi, para sejarahwan itu mengatakan bahwa pengetahuan al Kindi tentang logika tidak lengkap. Kritik-kritik tersebut dan yang serupa menjadi bagian pengetahuan yang diteruskan kepada para sejarahwan filsafat Islam pada waktu selanjutnya. Tetapi, yang penting bukan hanya bahwa al Farabi menambahkan metafisika atau logika ke dalam silabus filsafat, atau bahwa dia adalah murid yang lebih baik dalam metafisika dan logika.

Keseluruhan corak pemikiran dan kualitas pengetahuannya tentang Plato dan Aristoteles berbeda sekali tingkatannya. Mereka semua mempunyai literature terjemahan dan akses ke sumber-sumber utama yang sama. Al Farabi dan al Razi adalah sezaman (al Farabi wafat lebih dulu daripada al Razi kira-kira 20 tahunan), sehingga al Farabi tidak mempunyai akses pada terjemahan yang lebih baik atau penyelidikan ilmiah yang lebih maju. Karena itu, kita harus mencari keterangan di tempat lain.

AKSES AL FARABI KEPADA FILSAFAT YUNANI KLASIK
Ada beberapa rincian historis yang tampaknya penting sekali dipelajari untuk memahami awal-mula tradisi baru filsafat Islam. Bagian-bagian yang masih tersisa dari buku al Farabi, “On the Rise of Philosophy” merupakan sumber utama kita untuk merekonstruksi babakan penting dalam sejarah filsafat Islam, meskipun demikian tak ada cukup alas an untuk meragukan gagasan-gagasan utamanya. Al Farabi menerangkan bahwa ia termasuk ke dalam suatu mazhab filsafat khusus. Mazhab ini, menurutnya, adalah suatu kelanjutan langsung dari tradisi pengajaran filsafat yang telah ada di Iskandariyah pada abad 5 dan 6 M. Dalam buku itu, dia membahas perpindahan mazhab yang dianutnya dari Iskandariah ke Antioch, kemudian ke Carrah (Harran), dan selanjutnya –lebih jauh lagi- ke timur Iran dan Baghdad. Dia juga memberikan beberapa informasi tentang guru-guru, murid-murid, dan buku-buku yang mewakili jalur tradisi mazhab tersebut. Kecuali dua atau tiga murid yang masih memelihara tradisi itu, mazhab ini hampir punah. Al Farabi menyebutkan nama guru-gurunya sendiri, yaitu Yuhanna ibnu Haylan, seorang pendeta Kristen yang tidak jelas profesinya sebagai guru, pelajar ataukah penulis.


Tampaknya jelas bahwa baik al Kindi, al Razi, atau filosof Islam lebih awal tak mempunyai akses pada tradisi mazhab ini –bukan hanya dalam arti akses kepada buku-bukunya, tetapi juga kepada manusia-manusianya; dan bukan hanya akses kepada manusia-manusianya, tetapi juga akses kepada buku-bukunya: inilah suatu tradisi ganda, baik lisan maupun tulisan. Salah satu bagian penting dari tradisi tersebut adalah buku “Posterior Analytics”, sebuah karya logika Aristoteles yang berhubungan dengan persoalan ilmu dan metode ilmu. Al Farabi menyatakan bahwa otoritas gereja telah melarang untuk melakukan studi berbagai buku, khususnya karya Aristoteles tersebut, karena dianggap berbahaya. Gereja membatasi studi logika hanya pada bagian-bagian tertentu (yaitu logika formal, sampai pada beberapa bab dari “Posterior Analytics”) dan melarang studi bagian-bagian lainnya untuk umum. Ini dapat berarti bahwa bagian-bagian yang dilarang tersebut boleh dikaji sendiri, dengan izin gereja, sehingga beberapa studi bagian-bagian tersebut dapat berlanjut. Kemudian, al Farabi menyatakan bahwa dia adalah muslim pertama yang memiliki akses kepada naskah “Posterior Analytics”, karena dia dapat membacanya dalam bahasa Syiria dan Yunani. (Kita tidak tahu apakah gurunya, Yuhanna ibnu Haylan, mengerti bahasa Arab. Kita tidak mengetahui apakah sebuah versi Arab, oleh seorang bernama Maraya, telah ada pada masa muda al Farabi atau apakah al Farabi atau gurunya memiliki akses pada karya itu. Kita tidak tahu pasti apakah al Farabi dapat berbahasa Syiria. Karena kita tidak tahu pasti tanggal lahirnya al Farabi, atau saat ia mengkaji buku itu dengan berguru kepada Yuhanna ibnu Haylan, atau saat penerjemahan “Posterior Analytics” olehIshaq ibnu Hunain dari bahasa Yunani ke Syria, kita mesti mengakui bahwa kita bahkan tidak tahu apakah versi Syria secara utuh ada pada saat itu –dan dalam kasus ini, harus dipertimbangkan kemungkinan bahwa baik murid maupun gurunya membaca naskah itu dalam bahasa Yunani!).

Meskipun demikian, buku itu, dalam terjemahan Arabnya, mungkin telah ada pada masa itu. Tetapi apa yang dimaksud al Farabi di sini adalah bahwa dia adalah orang pertama yang membaca buku tersebut bersama seseorang yang telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun (mungkin seluruh hidupnya) untuk mempelajari dan mencoba memahaminya dengan seorang guru yang telah mengerjakan hal yang sama dengan guru sebelumnya, dan seterusnya. Dengan demikian, di sinilah terjadi hubungan dengan mazhab itu di Iskandariah. Hubungan ini jelas sangat penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah apa yang dipelajari al Farabi dari tradisi Iskandariah ini dan bagaimana ia memahami dan menafsirkannya.

Hubungan dengan mazhab Iskandariah mulai tampak pada al Farabi dan kolega-koleganya yang termasuk pada tradisi baru ini, dalam banyak cara. Misalnya ini dapat dilihat dalam penulisan yang kemudian disebut sebagai komentar besar (ada dua di antaranya yang bersumber dari al Farabi) yang menganalisis dan menafsirkan naskan Aristoteles; hal ini juga dapat dilihat dalam berlanjurnya tradisi kesarjanaan tersebut.

Aristoteles jelas menulis buku. Dan pemikir-pemikir berikutnya mengekspresikan ide-idenya tentang masalah dalam buku itu; semuanya didiskusikan. Banyak terdapat ketidaksepakatan diantara mereka. Semuanya pun dijelaskan. Komentator-komentator yang lebih awal disebut dan penjelasan mereka disetujui, dikritik, dan dikembangkan secara terperinci. Komentar-komentar tersebut menjadi wadah bagi ribuan tahun pemikiran dan refleksi atas persoalan-persoalan yang dibahas dalam karya-karya Aristoteles. (Tradisi baru ini sangat memperhatikan bukan hanya naskah, tetapi juga terjemahan terakhir dari komentator-komentator yang lebih awal). Sekali lagi, perhatian kepada komentator-komentator di sini bukan berarti pandangan-pandangannya yang diterima atau dicoba untuk mensinkronkan pandangan-pandangan ini. Dapat saja pandangan komentator yang satu diterima, tetapi pandangan kedua ditolak, sementara yang ketiga didiskusikan, dan ditunjukkan bahwa yang satu ini dibahas secara dangkal atau yang lainnya mendalam. Ini adalah lapangan terbuka tempat para pemikir menyelidiki semua pilihan dan mempertimbangkan peluang untuk menanamkannya dalam sebuah tradisi. Pada akhirnya, pemikir itu harus mengembangkan pemikirannya sendiri. Paling tidak, demikianlah beberapa ciri eksternal dari tradisi baru Iskandariah itu.

Sebaliknya, ada pendapat yang mengatakan (dan saya kira pendapat ini mendekati kebenaran) bahwa al Kindi dapat dihubungkan dengan apa yang disebut Mazhab Athenian (Hellenistik) sebagai lawan Mazhab Iskandariah. Nama besar yang biasanya dihubungkan dengan mazhab Athenian adalah Proclus. Orang-orang yang berbicara tentang Neo Platonisme kadang-kadang tidak tahu bahwa mereka sedang berbicara tentang sebuah tradisi yang kompleks dan memiliki banyak sisi. Tak seorang pun mengetahui tentang apa yang dikatakannya ketika ia berbicara Neoplatonisme secara umum; meskipun kita tetap saja berbicara tentang Neoplatonisme karena kita tidak mempunyai nama yang lebih baik untuk dipakai. Ada seseorang yang bernama Plato. Seorang pengajar filsafat dan matematikawan terkenal di Harvard menyatakan bahwa semua filsafat sejak itu merupakan serangkaian catatan kaki untuk Plato. Dalam satu hal, semua filsafat sejak Plato adalah Neoplatonik, tetapi juga terdapat Neoplatonist dan Neoplatonist. Kemudian, ada juga Middle-Platonist, yang memperhatikan pengajaran politik Plato. Sayangnya kita tidak mempunyai banyak tulisan mereka.

Kemudian ada Neoplatonisme dari Plotinus yang mencoba –pada hampir setiap halamannya- untuk memecahkan persoalan yang diajukan oleh Plato danAristoteles. Ketika berbicara tentang Neoplatonisme, kita tak perlu menganggapnya sebagai singkretik, atau anti-Aristotelian atau anti-Platonik. Kemudian ada Neoplatonisme dari pelanjut-pelanjut Plotinus, khususnya para sarjana-sarjana yang menguasai sekolah-sekolah filsafat di Athena dan Iskandariah. Sebagai pimpinan sekolah-sekolah tersebut, mereka terutama mengajarkan karya-karya Plato dan Aristoteles. Catatan-catatan yang mereka tulis, atau catatan-catatan yang diperoleh murid-murid mereka dari kuliah-kuliah berbentuk komentar-komentar besar atau menengah atas karya-karya Plato dan Aristoteles. Sebagian besar dari gagasan-gagasan mereka sendiri, berbeda dengan dua tokoh besar di atas, termuat dalam komentar-komentar ini dan mengambil bentuk perkembangan gagasan-gagasan tertentu dalam naskah Platonik dan Aristotelian. Kini, mazhab Athena, paling tidak dalam beberapa periode hidupnya yang panjang, dicirikan oleh ajaran Proclus dan lainnya yang kelihatannya secara tak terkendali mengembangkan kosmologi yang terdiri dari banyak lapisan-lapisan malaikat atau ruh, yang tak ada dalam Plotinus.

Orang-orang tersebut memperhatikan penafsiran-penafsiran hal-hal seperti sihir, ramalan-ramalan, dan alkemi, yang tak diperhatikan oleh kelompok Neoplatonis lain. Mazhab Iskandariah nampaknya lebih bijaksana dan moderat dalam hal ini. Ia berusaha menjawab tantangan zaman, yaitu Kristen, dan mencoba menghasilkan solusi-solusi yang dapat mengharmoniskan beberapa perbedaan dasar antara filsafat dan agama Kristen. Mazhab Athenian, di lain pihak, tampak ekstrem dalam mendukung kebangkitan agama-agama kuno, dan para anggotanya menulis karya-karya pseudo-filsafat, pseudo-ilmu tentang masalah-masalah seperti praktik-praktik sihir dan agama-agama kuno. Maka, secara luas, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan cara pandang di antara dua mazhab di atas dalam persoalan yang berhubungan dengan filsafat dan agama, paling tidak selama masa dari abad ke 4 sampai ke 6 M. Saya katakan “secara luas” karena ada banyak sekali pergerakan di antara dua mazhab ini. Seorang anak muda cerdas dari Iskandariah akan pergi ke Athena, belajar pada Proclus, kemudian kembali menjadi pemimpin sekolah filsafat, atau pengganti pemimpin filsafat di Iskandariah, dan sebaliknya; dua mazhab itu tidak mewakili dua tradisi yang saling tertutup rapat satu dengan yang lainnya.

Tradisi Iskandariah secara historis menjadi penting di kemudian hari dalam bidang filsafat dan ilmu di dunia Islam dan Bizantium, juga di Barat Latin. Para filosof, komentator, dan pemikir ini –meskipun dalam beberapa hal mereka sama dengan mazhab Iskandariah- adalah orang-orang yang mewariskan kepada orang-orang Islam buku-buku beserta pembacaan-pembacaan dan penafsiran-penafsiran tradisional terhadapnya; ini mengambil bentuk tradisi kesarjanaan yang terbatasi secara jelas, hubungan yang cukup jelas dengan pemikiran sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pula pada tahap-tahap awal teologi Islam. Tetapi, meskipun tradisi Iskandariah yang menghubungkan orang-orang Islam dengan pemikiran Yunani klasik ini teramat penting, kita mesti menyadari bahwa tradisi Iskandariah (dan Athena) sampai kepada Bizantium dan kemudian Barat Latin, sejak Renaisans abad kesebelas-duabelas. Meskipun demikian, ketiga ahli waris Iskandariah dan, lewat Iskandariah, tradisi Yunani klasik ini tak memahami atau mengembangkan filsafat dengan cara yang sama. Al Farabi, yaitu filosof pertama yang mewakili tradisi Iskandariah dalam Islam, bukanlah seorang penerjemah atau sejarahwan filsafat; bukan sekedar penerus sebuah tradisi filsafat, tetapi ia sendiri adalah seorang filosof; dan jika seseorang percaya kepada orang-orang seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra, maka Al Farabi adalah filosof yang harus ditempatkan setelah Aristoteles sendiri. Karena itu, penting bagi kita untuk mulai memahami bagaimana al Farabi sendiri memahami, menafsirkan, dan mengajarkan tradisi filsafat kepada para pembaca muslimnya.


POLITIK DALAM FILSAFAT ISLAM AL FARABI
Belakangan ini dikatakan bahwa substansi pemikiran Al Farabi terdiri dari dua bagian utama: metafisika dan politik. Ilmu politik atau filsafat politik tidak hadir dalam karya-karya al Kindi dan al Razi, sejauh yang kita ketahui. Keduanya membahas masalah etika, bukan ilmu politik. Sebenarnya, ketika al Kindi menyebut ilmu politik, tampaknya ia berpikir tentang karya etika dari Aristoteles. Dengan demikian, dalam pemikiran Islam awal, tidak ada persiapan bagi kemunculan ilmu politik sebagai disiplin penting filsafat. Tetapi anehnya, pada tradisi awal Iskandariah dan Athena, juga tidak ada persiapan bagi bagi kemunculan ilmu politik sebagai disiplin penting filsafat, atau pengenalan Plato sebagai, terutama, pemikir politik. Karena sebagian besar kaum Neoplatonis awal melihat “Timaeus-nya” Plato sebagai karya mistik dan sama sekali tak menunjukkan minat pada tulisan-tulisan politik Plato –misalnya “Republic” dan “Laws”- sebagai tulisan politik; minat mereka pada karya-karya tersebut terutama bertumpu pada mitos, doktrin metafisika, dan gagasan-gagasan mistik. Tiba-tiba al Farabi menyajikan kepada kita seorang Plato yang tidak mistis maupun yang metafisis, tetapi terutama, dan berulang-ulang, sebagai seorang ahli politik.

Inilah seorang Plato yang mempunyai “Timaeus-nya” bukan sebagai karya kosmologi, tetapi sebagai karya politik yang dimaksudkan untuk mengajarkan warga Negara agar memiliki pendapat yang benar. Dan kemudian pembahasan tentang Plato ini, yang disajikan dalam sebuah buku berjudul “Philosophy of Plato”, diikuti oleh pembahasan tentang karya Aristoteles, dalam buku berjudul “Philosophy of Aristoteles”, di mana metafisika lagi-lagi tak tampak. Dan kedua pembahasan ini didahului oleh sebuah buku karya al Farabi sendiri, yang berjudul “Attainment of Happiness” (Pencapaian Kebahagiaan), dengan tema utamanya adalah tentang dilemma atau ketegangan dan bahkan konflik antara pengetahuan teoritis dan realisasinya –karya ini tidak hanya menggambarkan pengetahuan praktis atau pengetahuan tentang hal-hal praktis seperti kebajikan dan kebahagiaan. Mengetahui adalah satu hal, sementara merealisasi apa yang diketahui –yaitu apa yang diketahui sebagai berkemungkinan atau dapat direalisasikan- menjadikannya benar-benar maujud di antara manusia-manusia, kota-kota (masyarakat) dan bangsa-bangsa, adalah hal lain. Atau, mengetahui adalah merealisasi suatu hal dengan suatu cara tertentu, yaitu merealisasikannya dalam pikiran; tetapi, realisasi masih mempunyai satu dimensi lain, yaitu melihat hal tersebut maujud di antara manusia-manusia lain, serta dalam kota-kota (masyarakat) dan bangsa-bangsa. Ini tidak dicapai dengan pengetahuan saja.

Bagaimana seseorang merealisasikan sesuatu diluar pikirannya sendiri? Dan jenis pengetahuan dan aksi apa yang disyaratkannya? “Apakah anda kira,”Tanya al Farabi kepada para pembacanya, “ilmu-ilmu teoritis ini juga telah membahas cara-cara untuk merealisasikan keempat hal tersebut dalam bangsa-bangsa atau kota-kota, atau tidak?”

Bagaimana anda mengusahakan agar hal-hal yang anda ketahui dapat maujud dalam kota-kota dan bangsa-bangsa? Dapatkah anda mengusahakan agar hal-hal yang anda ketahui dapat maujud di luar pikiran –persis sebagaimana hal-hal tersebut diketahui atau apakah pengetahuan tersebut harus dimodifikasi menurut kondisi-kondisi tertentu? Syarat-syarat apakah yang memungkinkan realisasinya? Dalam satu saat, pengetahuan teoritis dan pengetahuan secara umum menjadi pengantar bagi aksi, etika dan politik. Dalam buku berjudul”Enumeration of the Sciences”, orang dapat menemukan kerangka yang sama. Kita bergerak dari bahasa ke logika, matematika serta fisika dan metafisika, dan kemudian ada sesuatu yang terputus dalam metafisika. Metafisika tidak sekedar menjadi mahkota bagi ilmu. Metafisika juga menjadi pengantar ke ilmu politik, dan ilmu politik mempelajari segala sesuatu yang penting untuk realisasi, pemeliharaan dan reformasi. Dalam makna inilah ilmu politik mencakup yurisprudensi dan teologi, dan berurusan dengan persoalan-persoalan seperti kenabian, hukum Tuhan, dan wahyu, karena ini semua dipandang lebih dalam kerangka realisasi daripada sebagai sekedar masalah-masalah teoritis. Meski diakui bahwa hal-hal di atas merupakan perspektif yang sama sekali baru dan radikal dalam memandang metafisika, di satu pihak, dan pewahyuan, hukum Tuhan, dan kenabian di lain pihak.Tampaknya al Farabi mendesak para pembacanya untuk membuat persoalan realisasi menjadi persoalan sentral dalam filsafat dan mencoba memecahkan persoalan-persoalan “apa itu filsafat?” dan “mengapa filsafat?” dalam perspektif realisasi daripada dalam perspektif pengetahuan belaka, meskipun perspektif pengetahuan tidak pernah benar-benar tak digunakan.

Cara sederhana yang digunakan orang dalam mengajukan persoalan ini saat ini adalah hubungan antara apa yang diwahyukan dengan apa yang diketahui akal. Al Farabi juga memperhatikan masalah hubungan ini. Tetapi persoalan yang diajukannya tidak sesederhana itu: dalam melihat hubungan itu ia juga mendesak kita untuk memahami konteksnya. Sebab, jika kenabian, wahyu dan hukum Tuhan nyatanya menjadi hubungan utama antara pengetahuan dan realisasi, maka itu semua harus dipahami tidak sebagai sebuah cara lain untuk mencapai jenis pengetahuan yang sama yang dapat dicapai dengan akal atau bahkan jenis pengetahuan yang lebih tinggi daripada yang dapat dicapai dengan akal (seperti al Kindi, misalnya, memahami hal ini), tetapi sebagai satu jenis pengetahuan khusus yang telah memiliki syarat-syarat yang perlu untuk realisasi, agar apa yang diketahui maujud di antara manusia, kota-kota, dan bangsa-bangsa. Dengan cara ini, orang dapat memahami dengan lebih utuh keluarbiasaan hukum Tuhan, cara komunikasinya, kekonkretannya, dan perhatiannya terhadap berbagai jenis pendapat dan aksi. Karena inilah orang dapat mengatakan bahwa pada al Farabi, untuk pertama kalinya kita mempunyai pendekatan filsafat yang memadai atau lebih memadai terhadap hukum-hukum Tuhan, yang mungkin menjadi persoalan sentra dalam filsafat Islam.

Ada berbagai cara bagi seseorang untuk meneruskan studi filsafat politik dalam konteks agama wahyu. Orang dapat berpikir bahwa cara yang tepat adalah memulainya dengan pembahasan mendalam tentang ilmu politik, melihat kondisi manusia, dan mencoba memahami dan menjelaskan apa yang diperlukan untuk perbaikan nasib manusia di bumi dan mengapa perbaikan tersebut harus mengambil bentuk khusus ini. Atau orang dapat memulai dengan psikologi dan bertanya bagaimana caranya seorang manusia, yaitu nabi, mempunyai kekuatan khusus yang membuatnya dapat menerima wahyu dan diberi hukum Tuhan. Atau orang dapat memulai dengan kosmologi dan bertanya bagaimana alam semesta tersusun, dari prinsip paling tinggi turun sampai ke manusia, dan bagaimana susunan ini memungkinkan terjadinya fenomena seperti kenabian, pewahyuan, dan hukum Tuhan. Tetapi, ketiga pendekatan tersebut berkaitan satu sama lain. Ilmu politik, psikologi dan kosmologi tampaknya saling berhubungan dalam suatu cara; orang perlu menyususn struktur kota, struktur jiwa, dan struktur alam semesta, dan melihat bagaimana itu semua saling dihubungkan. Ini membawa kepada apa yang dapat disebut sebagai studi perbandingan tentang struktur kota, di satu pihak, dengan jiwa dan kosmos di lain pihak. Studi tersebut merupakan sebuah studi yang mesti mempersoalkan apakah ketiganya adalah sesuatu yang identik, sama, atau dapat dibandingkan dalam hal strukturnya. Studi semacam ini pada waktu yang sama dapat merupakan studi politik, psikologi dan kosmologi.

Sesungguhnya, dari ketiga struktur tersebut, hanya satu yang benar-benar kita ketahui, yaitu struktur kota, struktur politik. Anda tidak dapat membelah hati manusia dan melihat bagaimana strukturnya. Anda dapat melihat melalui perilakunya, dan karena perilaku manusia itu terjadinya di dalam kota, maka orang dapat mengatakan bahwa struktur jiwa itu diproyeksikan ke struktur sebagai gambarannya yang lebih besar; dan oleh karena itu, cara terbaik mempelajari jiwa adalah lewat pengamatan terhadap gambaran yang lebih besar tersebut. Sedangkan untuk yang ketiga, yaitu struktur alam semesta, sebagian besar tidak dapat diamati langsung; alam semesta terlalu besar dan terlalu jauh untuk dapat dilihat atau dialami sebagai keseluruhan. Sekarang, jika kita mengikuti nasihat Aristoteles bahwa kita lebih baik bergerak dari apa yang kita ketahui ke yang tidak kita ketahui, atau dari apa yang kita ketahui dengan lebih baik ke apa yang kurang kita ketahui, maka kita mesti bergerak dari struktur kota –sesuatu yang kita alami secara langsung dan tempat kita hidup- ke struktur jiwa –yang juga kita alami secara langsung dalam jarak tertentu dan secara tak langsung dalam kota (yaitu, apa yang tidak kita lihat tetapi kita alami)- dan dari situ ke struktur ketiga, yaitu seluruh alam semesta –yang sebagian besarnya tidak kita lihat dan alami, atau kita lihat dan alami hanya sampai tingkat tertentu yang terbatas saja. Pendekatan itu mungkin tidak membimbing kita cukup jauh, tetapi paling tidak keuntungannya adalah ia didasarkan pada landasan yang kuat; kita tidak melompat ke sesuatu yang tidak diketahui tetapi bergerak dengan hati-hati, langkah demi langkah, dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui.

Namun, pendekatan ini tidak menarik bagi orang awam, yang lebih menyukai urutan cara yang berlawanan –yaitu pertama kali ia lebih suka diberitahu bagaimana jiwanya sendiri tersusun dan apa yang akan terjadi di kemudian hari terhadapnya jika ia berbuat baik dan menghindarkan diri dari yang jelek, dan akhirnya diberitahu mengapa ia harus menjadi anggota suatu komunitas tertentu dan dinasihati bagaimana ia dapat menjadi anggota di dalamnya. Ini adalah arah yang lebih diinginkan dan lebih meyakinkan bagi orang awam, sehingga tulisan politik al Farabi bergerak dengan cara ini. Dimulai dengan kosmologi, dengan struktur alam semesta, sifat-sifat dari masing-masing bagian utamanya, dan bagaimana bagian-bagian berfungsi bersama-sama; ini diberikan kepada pembaca seperti pengkhutbah yang menerangkan alam semesta kepada para pendengarnya –beginilah caranya! Kemudian, dia membahas struktur jiwa dan struktur tubuh manusia, bagian-bagiannya, dan bagaimana bagian-bagian tersebut berfungsi bersama-sama. Akhirnya, dia menganalisis struktur kota, bagaimana bagian-bagiannya harus diorganisasikan dan berbagai cara pengorganisasian bagian-bagian tersebut yang memang digunakan oleh beberapa kota, dan dia menjelaskan pendapat-pendapat dan aksi-aksi dari setiap kota tersebut.

Sejak al Farabi menulis karya-karya politik tersebut (termasuk 100 tahun terakhir ini, di mana ada usaha untuk membangkitkan karya-karya tersebut dan mempelajarinya), karya-karya tersebut telah mengherankan dan memesonakan para pembacanya. Tak seorang pun dapat menggambarkannya dengan mudah. Inilah karya yang diawali dengan metafisika atau kosmologi, lalu bergerak ke psikologi dan fisiologi, dan menyimpulkan semua itu dengan dengan masalah politik. Selama 10 abad sebelumnya, para filosof dan sarjana pasti melihat buku semacam “Principles of the Opinions of the Inhibitants of the Firtuous City” dan “Political Regime” dan bertanya, buku-buku macam apa ini? Struktur penulisan dari karya-karya al Farabi itu unik. Karena, tidak ada seorang pun, sebelum atau sesudah al Farabi, yang menulis buku filsafat dengan struktur demikian. Buku-buku tersebut tidak berisi pembahasan tentang logika, fisika, matematika, psikologi, metafisika, atau bahkan politik, dan juga bukan merupakan buku dialog, serta tidak berbicara secara ketat tentang penyelidikan filsafat.

Para penerus al Farabi mestinya telah menduga bahwa orang tidak dapat menganggap apa yang dikatakan dalam buku-buku tersebut sebagai doktrin atau penyelidikan filsafat –misalnya, orang tidak dapat mengatakan bahwa buku-buku tersebut adalah doktrin al Farabi mengenai psikologi dan metafisika. Dan karena mereka tidak dapat memahami sifat dan tujuan tulisan-tulisan tersebut, para filosof muslim merujuk kepada karya-karya itu dengan amat penuh perhatian. Sampai sekarang pun orang tak dapat mengutip bagian mana pun dari buku-buku tersebut untuk mewakili doktrin filsafat al Farabi tanpa memulai menerangkan mengapa buku-buku tersebut disajikan dengan cara yang aneh seperti ini. Untungnya, al Farabi sendiri yang menulis penjelasannya di dalam buku berjudul “Book of Religion”, sebagai petunjuk sistematis tentang bagaimana dan mengapa buku-buku tersebut harus ditulis. Mungkin, cara terbaik untuk menyifati buku-buku politiknya adalah dengan mengatakan bahwa karya-karya tersebut adalah “surat” yang ditujukan untuk warga Negara yang tercerahkan dalam masyarakat Muslim, untuk para filosof yang potensial dan para ahli hukum yang potensial. Sepanjang lika-liku panjang kehidupannya, al Farabi pergi ke berbagai wilayah yang indah dan asing, yang tak dikunjungi rekanan muslimnya. Dia banyak membuka pintu gerbang yang tertutup mereka dan memasuki banyak tempat yang menakjubkan yang belum pernah mereka masuki. Karya-karya politiknya adalah semacam surat-surat kepada rakyat di kampung halamannya – pembahasannya sederhana dan langsung, dan tidak menyebut perjalanan jauhnya (apalagi resiko perjalanan itu); penjelasan itu ringkas dan ditulis dalam bahasa orang-orang yang tak pernah meninggalkan kampung halamannya tetapi mempunyai telinga yang tak terkunci dan masih mempunyai rasa takjub akan sesuatu.

Sekarang, saya akan menyimpulkan dengan beberapa catatan tentang pentingnya inti perhatian al Farabi terhadap pemikiran Islam kontemporer, yaitu persoalan realisasi.

Perhatian al Farabi terhadap realisasi tak terbatas pada keselamatan (pembebasan) individual, tetapi ditujukan kepada keselamatan masyarakat luas, kepada keselamatan sosial dan politik. Bahkan di sini perhatian al Farabi tidak hanya kepada satu kota, satu bangsa, atau satu masyarakat tertentu, tetapi kepada kemanusiaan secara umum, kepada manusia di mana saja. Fakta sesungguhnya tentang mengapa al Farabi membuat filsafat politik yang berkenaan dengan kehidupan publik manusia di kota-kota, bangsa-bangsa dan masyarakat beragama sebagai pusat perhatian atau bahkan salah satu dari pusat perhatian dari filsafatnya menunjukkan bahwa dia tidak puas dengan pendekatan yang lazim digunakan oleh para filosof Muslim awal dan pendahulu Neoplatonik mereka pada masa Hellenistik. Pendekatan ini memusatkan pada keselamatan perorangan sebagai lawan keselamatan umum, pada kebajikan pribadi sebagai lawan kebajikan umum, dan hanya itulah yang akan membawa keselamatan dan kebajikan orang per orang.

Filosof yang memperhatikan dirinya sendiri atau mengutamakan keselamatan pribadinya adalah manusia yang telah berputus asa terhadap politik, terhadap masyarakat kebanyakan. Ia mungkin berpikir bahwa ia memahaminya, tetapi ia tidak berpikir bahwa ia tak dapat menyumbang bagi perbaikan atau peningkatan masyarakatnya. Tetapi, kehidupan masyarakat tidak kehilangan arti pentingnya karena filosof mengabaikan dan meninggalkannya. Kehidupan masyarakat selalu penting. Ia menentukan kehidupan setiap orang, termasuk kehidupan pribadi setiap orang –bahkan kehidupan pribadi filosof itu. Lebih jauh lagi, keinginan untuk hidup dalam kota dan masyarakat yang mulai, sopan, terhormat dan manusiawi, dan keinginan untuk menyumbang bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat bukanlah keinginan yang tak wajar dan tak lazim. Sebaliknya, inilah ekspressi perhatian manusia, semangat kecintaan kepada sesamanya, dan kesenangannya untuk hidup dalam masyarakat yang baik. Maka, persoalannya adalah apakah filosof harus lebih atau kurang semangat-kemasyarakatannya dibanding setiap warga yang baik. Bisa jadi sumbangan utama filosof terhadap kualitas kehidupan rakyat memang mengambil bentuk peningkatan pemahaman rakyat tentang hakikat dan tujuan kehidupan masyarakat. Ini berarti bahwa ia pertama kali memahaminya sebagai filosof dan kemudian dan mengkomunikasikan pemahamannya ini kepada sebagian besar penduduk dengan cara yang efektif. Tetapi, inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh filsafat politik al Farabi. Dan adalah suatu misteri bahwa pengikut-pengikutnya tidak meneruskan permulaan yang brilian ini yang telah diciptakan oleh al Farabi, tetapi malah mengembalikan filsafat kepada perhatian terhadap keselamatan pribadi, keselamatan individual. Para ahli teologi dan ahli hukum tetap memperjuangkan masalah kepemimpinan masyarakat dan persoalan hukum rakyat lainnya, tetapi teologi dan hukum, sebagaimana telah dijernihkan oleh al Farabi, bukanlah pengganti filsafat politik. Mereka tak memiliki keluasan visi, kebebasan ruhani, dan kemampuan berkonfrontasi dan memahami secara radikal situasi-situasi baru yang amat dibutuhkan.

Pengabaian filsafat politik menghancurkan kualitas filsafat sebagaimana pula kualitas kehidupan masyarakat. Ini membawa kepada kesempitan wawasan masyarakat, pemiskinan diskusi-diskusi umum tentang tujuan dan bentuk-bentuk alternatif kehidupan masyarakat, kepada kepasrahan, kepada tak adanya percakapan-percakapan rasional mengenai isu-isu kemasyarakatan, dan pada puncaknya menyempitkan pilihan bagi warga Negara terbatas pada konservativisme yang keras atau keimanan buta pada tradisi di satu pihak, dan di lain pihak pencarian perubahan demi perubahan itu sendiri yang destruktif. Masyarakat menjadi kehilangan pencerahan mengenai berbagai bentuk pemerintahan, bagaimana bentuk itu berubah ke bentuk yang lainnya, dan bagaimana cara memperbaikinya. Inilah harga yang harus dibayar masyarakat ketika filsafat berpaling dari kehidupan umum.

Selalu ada para filosof yang berpikir bahwa mereka dapat mencari kebijaksanaan sebagai manusia pribadi, terlepas dari kualitas kehidupan masyarakat, bahwa mereka hanya ingin mengurusi kebun-kebunnya sendiri, dan bahwa tugas mereka sebagai filosof adalah untuk mengeksploitasi kedalaman jiwa, imajinasi, dan intelek mereka sendiri. Mungkin ada waktu dan tempat yang membutuhkan pandangan-pandangan tersebut. Tetapi orang tidak perlu membuat kebijaksanaan hanya karena adanya kebutuhan. Al Farabi sadar akan ketegangan mendasar atas pencarian keselamatan pribadi dan umum. Tetapi, hampir-hampir dia hanya satu-satunya filosof Muslim yang memilih mengeksplorasi ketegangan ini dan dalam prosesnya mengajukan semangat kecintaan kepada sesama yang lahir dari filsafat, serta pemikiran tinggi dan kesetiaan filosof bagi kesejahteraan sejati masyarakatnya. Di sini, dia berjasa besar sekali kepada masyarakat Islam.


Sayangnya, banyak juga yang lainnya –orang-orang besar dan terkenal yang karena ketidaktahuan dan keputusasaannya- mengabaikan kehidupan umum dan masyarakat mereka. Bahkan kini ada pemikir-premikir terpandang di antara kita yang tidak dapat memahami apa makna ungkapan “filsafat politik” dan karenanya tidak dapat menuliskannya tanpa menempatkannya di antara tanda kutip, seolah-olah ingin mengatakan bahwa ungkapan itu merupakan kata-kata tanpa makna atau bahwa itu mewakili pencarian tak karuan dari orang-orang yang belum menemukan filsafat yang benar. Orang-orang ini mungkin dapat mengajar banyak hal kepada kita, tetapi mereka tidak akan pernah mengajar kita bagaimana cara berpikir yang benar terhadap isu-isu kemasyarakatan, bagaimana menigkatkan nasib kebanyakan manusia sesama kita, atau bagaimana membangun dan mempertahankan suatu masyarakat dimana filsafat dan ilmu dapat dicapai tanpa resiko besar bagi pencari pengetahuan atau anggota masyarakat lainnya.

Tidak ada komentar: