Kosmologi Banten dalam Sastra Mutakhir


Radar Banten, 11 November 2015

Beberapa tahun belakangan, setidak-tidaknya sejak tahun 2000-an, banyak penulis dan sastrawan menjadikan “Banten” sebagai isu dan tema dalam karya sastra mereka, seperti ‘orang-orang Banten, watak dan kultur-nya’ yang coba diangkat dan dinarasikan dalam buku kumpulan cerita pendek Sepasang Maut karya (alm) Wan Anwar. Sementara itu, dari sisi kultural dan ‘kosmologis’, salah-satu hal yang paling banyak diangkat dan coba dinarasikan oleh sejumlah penulis adalah aspek-aspek magis dan mistis dalam lanskap sosial-budaya masyarakat Banten.

Setidak-tidaknya, tepatnya pada 15-18 November 2013 lalu, aspek magis & mistis lanskap sosial-budaya masyarakat Banten ini telah pula coba diangkat dan diwacanakan dalam Temu Sastrawan Mitra Praja Utama yang diselenggarakan di Kota Serang dan di kawasan perkampungan Baduy Banten.

Dalam Temu Sastrawan Mitra Praja Utama yang diselenggarakan di Banten pada tahun 2013 itu, tema umum yang dipilih adalah “Mistisisme dalam Kesusastraan”. Tentu saja, dipilihnya tema tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, yang meski tak terhindar dari subjektivitas, namun tidak terlepas dari upaya untuk mengangkat wacana dan khasanah yang paling dekat dengan “kultur” Banten sebagai tuan rumah. Martin van Bruinessen, misalnya, menyebut Banten secara kultural dan mistis dengan julukan “surga-nya khazanah dan praktek magis di Nusantara”. Yang dimaksud Bruinessen dengan pernyataannya tersebut adalah budaya-budaya masyarakat Banten semisal Silat dan Debus atau praktik-praktik kesaktian, kedigdayaan, dan “ngehikmah” ala orang Banten yang memang sudah populer di Nusantara.

Apa yang dikemukakan Bruinessen tersebut hanya sekeping contoh kecil tentang khazanah mistis dan magis di Banten, meski tentu saja Bruinessen belum menyebut keseluruhan secara utuh kultur mistis dan magis masyarakat Banten yang mewujud dalam ragam khazanah dan living culture, semisal kesastraan magis yang hidup di Banten Selatan, seperti tradisi pantun dan mantra magis Sunda-Baduy yang telah banyak dikaji itu, namun masih menyimpan potensi untuk terus dikaji ulang. Dan juga Seni Dodod Banten Selatan di Pandeglang yang merupakan seni ritual pantun Sunda Banten yang telah berakulturasi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam prakteknya. Dalam dua contoh seni tradisi tersebut, yang tentu saja menarik dan tak bisa diabaikan, adalah adanya unsur kesastraan puitik yang dalam hal ini pantun dan mantra yang dibacakan dalam ritual dan upacara adat dan tradisional tersebut.

Hal lain yang menarik adalah, meski secara linguistis dan geografis Banten terbagi menjadi Banten Utara yang didominasi penggunaan bahasa Jawa Banten dalam keseharian dan Banten Selatan yang didominasi penggunaan Bahasa Sunda, namun memiliki kekhasan umum yang sama dalam kecendrungan kulturalnya, baik dari sisi budaya, adat, dan sastra. Khusus di Banten Utara, misalnya, kita bisa mengkaji khazanah penulisan dan kesusastraan yang menggunakan Bahasa Jawa Banten, semisal kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren-pesantren dan sastra lokal pantun dolanan dan sindiran yang menggunakan Bahasa Jawa Banten yang juga akrab dengan khazanah mistis dan magis dalam konteks lanskap umum kultur Banten. Kekayaan itu akan semakin bertambah bila kita mengkajinya secara historis. Di sini kita dapat mencontohkan warisan-warisan penulisan dan kesastraan Banten masa silam di era Kesultanan Banten dan di era Banten pra-Islam.

Begitulah “Mistisisme dalam Kesusastraan” dipilih sebagai tema penyelenggaraan MPU VIII di Banten, yang selain ingin menggali bahan-bahan dan pengkajian baru khazanah sastra yang belum maksimal dieksplorasi, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menimba dan menggali kearifan lokal atau local wisdom yang diharapkan akan memberi wawasan, pintu, dan khazanah baru bagi kreativitas dalam dunia sastra dan penulisan, dan kebudayaan pada umumnya. Dan seperti kita tahu, kearifan lokal ini menyebar di seluruh negeri, etnik, dan provinsi di seluruh Indonesia. Hingga, dapat dikatakan, pemilihan tema ini sebenarnya lebih merupakan “covering” semata dalam rangka menjadi semacam “cermin” dan “contoh” yang ditawarkan dan disajikan Banten sebagai tuan rumah. Berkat kerja semua pihak, termasuk para peserta anggota Mitra Praja Utama itu sendiri, perhelatan ini berhasil dilaksanakan dengan sukses dan baik, di mana perhelatan Temu Sastrawan MPU tersebut diharapkan dapat menjadi cermin bagi komitmen dan kepedulian kita dalam rangka melakukan pembangunan intelektual dan kekuatan kultural bangsa kita.

Di tahun 2015 ini, salah-satu penulis (sastrawan) nasional (yang kebetulan lahir dan besar di Banten), Niduparas Erlang, juga coba mengangkat soal-soal kosmologis masyarakat Banten yang sifatnya magis, mistis, dan bahkan yang fatalis-nya, melalui sejumlah cerita pendeknya yang terkumpul dalam buku Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar yang diterbitkan Berjaya Buku Tahun 2015.

Upaya Niduparas Erlang untuk mencoba menggali, mengkritisi, membaca ulang, dan menarasikan kosmologi Banten, baik menyangkut watak, budaya, dan keadaan sosial masyarakat Banten, baik yang di Utara Banten maupun di Selatan Banten, dapat dibaca di sejumlah cerpen-cerpennya yang ada dalam buku tersebut, seperti Sirubahung (yang coba mengangkat dan ‘mengkritisi’ mitos Gantarawang, sebuah tempat di Banten yang dipercaya sebagai tempat yang angker dan ‘mistis’ oleh beberapa orang itu), Seruncing Hangat Cengkeh dan Oray Tutug Wak Gijir dan sejumlah cerpen lainnya yang ada dalam buku yang telah disebutkan itu.

Ikhtiar Niduparas Erlang yang berusaha dan dapat dikatakan ‘cukup berhasil’ untuk menghadirkan ‘Kosmologi Banten’ dalam sastra-prosa melalui buku kumpulan cerita pendeknya yang terkumpul dalam buku Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar yang diterbitkan Berjaya Buku Tahun 2015 dan memenangkan Siwa Nataraja Award tersebut sesungguhnya harus mendapatkan apresiasi yang setimpal dari kita (serta tentu saja dari pembaca atau audiens sastra) sebagai seorang penulis (yang dalam hal ini sebagai seorang cerpenis) yang berusaha ‘merawat’ lanskap dan kosmologi sosial-kultural Banten melalui dokumentasi kebudayaan, yang dalam hal ini melalui sastra prosa, lebih khususnya melalui prosa cerita-cerita pendek yang ditulisnya. Terlebih, hingga saat ini, belum banyak para penulis di Banten sendiri yang dapat dikatakan cukup berhasil untuk mewacanakan Banten dan mengangkat kosmologi masyarakat Banten dalam sastra prosa seperti yang dilakukan oleh Niduparas Erlang.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar: