Oleh Ayatullah Sayid
Ali Khamenei (Pemimpin Tertinggi
Republik Islam Iran). Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah
Situs Sadeqin)
URGENSI PEMERINTAHAN
Persoalan selanjutnya adalah urgensi pemerintahan. Di
dalam Nahjul Balaghah, pembahasan ini diutarakan terkait dengan gelombang
khusus yang muncul pada masa pemerintahan beliau (pemerintahan Imam Ali bin Abi
Thalib as), dan gelombang seperti itu senantiasa ada pada setiap periode
kehidupan manusia. Yakni gelombang adikuasa di tengah masyarakat. Selalu saja
ada orang yang berambisi merebut kekuasaan dan keistimewaan untuk diri sendiri,
dan tidak sudi menerima tata cara yang berlaku di tengah masyarakatnya.
Orang-orang seperti itu ingin menghindari
keharusan-keharusan yang dibebankan oleh sebuah kehidupan bersama ke atas
pundak setiap orang, mereka tidak peduli dengan kesepakatan-kesepakatan sosial
dan bersama. Kelompok seperti itu selalu ada di masyarakat terdahulu, dan sekarang
juga ada, dan pada masa yang akan datang pun akan ada selama akhlak insani yang
sempurna belum terealisasi. Mereka ibarat sekelompok orang yang berada di kapal
dan ingin melubangi bagian kapal yang mereka duduki. Ibarat di kereta yang
sedang berjalan dan ingin melepaskan gerbong atau kamar yang mereka huni dari
gerbong dan kamar yang lain dan berhenti sesuka hati mereka di tempat yang
nyaman, bahkan bila perlu semua gerbong dan lokomotif kereta itu harus berhenti
bersama mereka.
Mereka tidak sudi menerima keharusan-keharusan yang
dibebankan oleh sebuah kehidupan bersama atas setiap orang berdasarkan tuntutan
dari kehidupan sosial itu sendiri. Apabila gelombang adidaya dan adikuasa ini
menemukan ruang bercokol di tengah masyarakat, maka akan terjadi hiruk pikuk
dan kekecau-balauan. Sayidina Ali bin Abi Thalib as berkata tentang gelombang
seperti ini, “lâbudda linnâsi min amîrin.”[3] ; harus ada
pemimpin di antara sekelompok orang. Beliau menyampaikan sabdanya ini untuk
menentang gelombang tertentu pada saat itu. Yaitu gelombang yang berusaha
menolak urgensi pemerintahan, dan jika pada batinnya adalah kecenderungan
adidaya dan adikuasa akan tetapi pada lahirnya telah disolek dengan gincu
filsafat, dan inilah yang terjadi pada masa pemerintahan beliau alayhis-salam.
Memang Khawarij adalah kelompok yang jujur tapi
keliru, tapi sudah barang tentu ada juga sekelompok yang besekongkol untuk
berslogan, “lâ hukma illâ lillâh” [4] ; tiada hukum
kecuali untuk Allah. Maksud mereka yang sebenarnya adalah di tengah masyarakat,
kita sama sekali tidak butuh pada pemerintahan. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
as menerangkan makna yang sesungguhnya dari kalimat “lâ hukma illâ lillâh” dan
menerangkan pula titik kekeliruan mereka. Sudah jelas kita tidak bisa menerima
kemungkinan bahwa Asy’ats bin Qais, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin
kelompok Khawarij, salah memahami kalimat itu. Tidak mungkin kita menerima
kemungkinan bahwa komplotan-komplotan politik anti Imam Ali bin Abi Thalib as
tidak berperan dalam melahirkan gelombang yang sekilas tampak Ilahi ini.
Mereka mengatakan, “Pemerintahan hanya milik Tuhan.”
Dan kami tidak menginginkan pemerintah. Tapi maksud mereka yang sesungguhnya
adalah kami tidak menginginkan pemerintahan Ali bin Abi Thalib as. Seandainya
beliau menyerah terhadap pemutarbalikan yang jelas ini, atau terhadap
pergolakan sosial orang-orang yang dengan polosnya menerima ucapan batil itu,
dan mengundurkan diri dari kancah politik, maka pada saat itu pula mereka yang
tadinya mengatakan kami tidak butuh pada pemerintahan mengklaim diri sebagai
orang yang berhak atas pemerintahan dan langsung merebutnya.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as mengatakan, “Tidak demikian, pemerintahan
adalah sebuah keharusan dalam sebuah masyarakat.”; “kalimatu haqqin yurôdu
bihâl bâthil.”[5] ; ini adalah tutur kata yang haq dan
pernyataan Al-Qur’an, “inil hukmu illâ lillâh.” [6] ;
hukum dan pemerintahan hanyalah untuk Allah, akan tetapi tutur kata dan
keterangan ini bukan berarti masyarakat tidak membutuhkan pemimpin, “na‘m,
innahû lâ hukma illâ lillâh wa lâkin hâ’ulâ’u yaqûlûna lâ imrota illâ lillâh.” [7] ;
mereka ingin mengatakan bahwa pengaturan masyarakat juga harus ditanggung oleh
Allah sendiri dan tidak ada satu pun selain Dia yang berhak menjadi pemimpin
masyarakat, artinya masyarakat harus dibiarkan tanpa pemimpin. Beliau berkata,
“wa innahû lâbudda linnâsi min amîrin barrin aw fâjir.” [8] ;
ini adalah sebuah keniscayaan sosial, keniscayaan natural dan manusiawi bahwa
masyarakat membutuhkan pengurus dan pemimpin, entah itu pemimpin yang baik atau
pemimpin yang jahat.
Kehidupan kelompok manusia mengharuskan adanya
pemimpin yang mengatur urusan mereka. “lâ hukma illâ lillâh” yang mereka
katakan, tapi yang sebetulnya mereka inginkan adalah menolak pemerintahan Ali
bin Abi Thalib as yang tidak memuaskan mereka. Padahal kalimat “lâ hukma illâ
lillâh” maksudnya adalah menolak ‘andâdullôh’ atau sekutu-sekutu Allah, menolak
pemerintahan yang sejajar dengan pemerintahan Allah dan menandinginya,
sedangkan pemerintahan Ali bin Abi Thalib as tidak sejajar dengan pemerintahan
Allah, sebaliknya hanyut dalam pemerintahan Allah dan segaris vertikal
dengannya serta bersumber darinya. Beliau mengupas persoalan ini.
Di dalam sebuah masyarakat, apabila terdapat
pemerintahan yang mempunyai ciri-ciri itu, yakni bersumber dari pemerintahan
Allah, maka segala bentuk gerakan menyimpang yang memutarbalikkan makna “lâ
hukma illâ lillâh” adalah gerakan anti Allah dan anti Ali. Ketika itu, Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as menentang keras gerakan menyimpang itu dan
menghajar kelompok khawarij yang tidak mau kembali ke jalan yang benar.
SUMBER PEMERINTAHAN
Persoalan yang berikutnya adalah sumber pemerintahan.
Dalam peradaban manusia yang populer dari dulu sampai sekarang, sumber
pemerintahan adalah kekuatan dan kekuasaan. Semua penaklukan dan serangan
militer terjadi dalam rangka itu. Dinasti-dinasti yang menggantikan dinasti
sebelumnya juga menempuh jalan ini. Iskandar yang menaklukkan Iran, Mongol yang
menyerang berbagai kawasan dunia, semua itu dengan perhitungan yang sama.
Logika mereka semua adalah karena kita mampu maka kita menyerbu, karena kita
kuasa maka kita merampas dan membunuh.
Di sepanjang sejarah, semua gerakan yang membangun
sejarah pemerintahan menunjukkan budaya semacam ini. Baik menurut pihak
pemimpin maupun pihak yang dipimpin, tolok ukur pemerintahan dan sumbernya
adalah kekuatan dan kekuasaan. Tentunya, raja yang hendak menduduki tampuk
kepemimpinan atau sudah mendudukinya tidak menyatakan secara terus terang bahwa
sumber dan landasan pemerintahannya adalah kekuatan. Bahkan Genghis Khan
menyerang Iran dengan alasan yang sekilas menurut sahabat dan para pendukungnya
adalah alasan yang masuk akal.
Dewasa ini, permainan para adidaya berarti pasrah di
hadapan budaya hegemoni. Mereka yang menduduki negara-negara secara paksa,
mereka yang memasuki rumah-rumah rakyat yang terletak ribuan kilometer dari
tanah air mereka sendiri, mereka yang mencengkram nasib bangsa-bangsa tanpa
kehendaknya, meskipun secara lisan mereka tidak menyatakan bahwa kekuatan dan
kekuasaan adalah sumber kepemimpinan, akan tetapi dengan perilaku mereka
menyatakan hal itu. Meskipun ini merupakan budaya yang dominan, namun ada juga
pandangan lain. Plato menyebut ilmu dan keutamaan sebagai tolok ukur
pemerintahan, dia meyakini pemerintahan orang-orang yang utama. Tapi pandangan
ini tidak lebih dari lukisan di atas kertas dan pembahasan di ruang kelas.
Di dunia sekarang, demokrasi, yakni keinginan dan
suara terbanyak rakyat adalah tolok ukur dan sumber pemerintahan. Tapi siapa
sih yang tidak tahu bahwa puluhan cara curang yang digunakan untuk menggiring
suara rakyat ke arah adidaya dan adikuasa. Kesimpulannya, di dalam
peradaban manusia yang populer dari dahulu kala sampai sekarang, dan dari masa
kini sampai kapan saja sebelum peradaban Alawi –yakni, peradaban yang diajarkan
oleh Ali bin Abi Thalib as– memerintah kehidupan umat manusia, sumber
pemerintahan atau kepemimpinan adalah kekuatan dan kekuasaan serta tidak ada
yang lain.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as di dalam Nahjul
Balaghah tidak menyebutkan hal-hal itu sebagai sumber pemerintahan, bahkan
lebih penting dari itu bahwa beliau sendiri telah memberikan contoh yang
konkrit dalam kancah politik. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib as, sumber utama
pemerintahan adalah serangkaian nilai-nilai spiritual. Hanya orang-orang yang
punya ciri-ciri tertentu yang berhak memerintah rakyat dan mengemban tanggung
jawab wilayah atas urusan mereka.
Cermatilah surat-surat Sayyidina Ali as kepada
Muawiyah, Thalhah dan Zubair, begitu pula surat-surat beliau kepada
petugas-petugasnya sendiri, kepada penduduk Kufah dan penduduk Mesir. Beliau
memandang pemerintahan dan wilayah atas rakyat muncul dari nilai spiritual.
Tapi nilai spiritual ini sendiri tidak cukup bagi seseorang untuk menjadi
pemimpin dan wali yang nyata, melainkan rakyat dalam hal ini juga memiliki
saham tersendiri yang terjewantahkan dalam bai’at. Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as menyatakan pandangan-pandangannya di dua bidang tersebut, baik
itu di surat beliau kepada pihak-pihak oposisi pemerintahnya yang telah kami
singgung sebelumnya, maupun dalam keterangan-keterangan beliau tentang Ahlibait
as. Beliau menyatakan bahwa nilai-nilai spiritual adalah tolok ukur
pemerintahan.
Tapi sebagaimana kami sebutkan di atas, nilai-nilai
itu dengan sendirinya tidak cukup menjadi modal untuk membangun sebuah
pemeritahan, dan bai’at dari pihak rakyat adalah syarat pembangunan itu.
“Innahu bâya‘anil qoumul ladzî bâya‘û Abâ Bakrin wa Umaro wa Utsmâna ‘alâ mâ
bâya‘ûhum ‘alaihi, falam yakun lis syâhidi an yakhtâro wa la lil ghô’ibi an
yarudda, wa innamâs syûrô lil muhâjirîna wal anshôri, fa’in ijtama‘û ‘alâ
rojulin wa sammûhu imâman kâna dzâlika lillâhi ridho.” [9]
Beliau mengatakan, “Jika Muhajirin dan Anshar
berkumpul dan menyepakati seseorang tertentu sebagai pemimpin mereka dan pasrah
terhadap kepemimpinannya maka Allah rela akan itu.” Bai’at tangan lain yang
menyambut tepuk tangan hak kekhalifahan. Nilai-nilai spiritual itu dapat
mengantarkan seseorang kepada kekuasaan dan kedudukan wilayah amri secara nyata
dan praktis ketika rakyat juga menerimanya.
PEMERINTAHAN, HAK ATAU TUGAS
Persoalan lain yang sangat penting di dalam Nahjul
Balaghah adalah, apakah pemerintahan sebuah hak atau tugas? Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib as di salah satu penjelasannya yang singkat dan padat menyatakan
bahwa pemerintahan disamping hak juga merupakan tugas atau kewajiban. Bukan
demikian caranya; setiap orang yang mendapatkan peluang dan kesempatan untuk
memerintah dan dengan metode tertentu –seperti propaganda atau metode lain yang
biasanya para pencari kekuasaan mengetahuinya dengan baik- mampu meraup suara
rakyat maka dia berhak memerintah. Ketika pemerintahan adalah pemerintahan yang
haq, maka hak itu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, dan kekhususan itu
bukan berarti ada kasta yang lebih istimewa daripada kasta yang lain. Karena,
di dalam masyarakat Islam, semua orang berhak merias dirinya dengan gemerlap
kehidupan. Semua orang berhak menciptakan peluang dan kesempatan itu. Meskipun
periode pasca wafatnya Nabi Muhammad saw merupakan periode yang terkecuali,
tapi Nahjul Balaghah mengungkapkan pernyataannya secara umum dan menyinggung
hak pemerintahan itu secara berulang-ulang.
Imam Ali bin Abi Thalib as di dalam pidato (Khutbah)
as-Syiqsyiqiyahnya yang terkenal mengatakan, “Wa innahû laya‘lamu anna mahallî
minhâ mahallul quthbi minar rohâ, yanhadiru ‘annîs sailu wa lâ yarqô ilayyat
thoir.” [10] ; posisi saya terhadap kekhalifahan
seperti posisi poros terhadap penggilingan batu (kekhalifahan aslinya
adalah milik Imam Ali sesuai wahyu yang disampaikan pada khutbah Haji Wada’
Rasulullah di Ghadir Khum, ed). Dan tentang hari ketika melalui dewan syura
yang terdiri dari enam orang mereka berbaiat kepada Utsman bin Affan, beliau
berkata, “laqod ‘alimtum annî ahqqun nâsi bihâ min ghoirî.” [11] ;
hai manusia sekalian! Kalian sendiri tahu bahwa aku lebih berhak memerintah
daripada siapa pun selainku. Ini adalah persoalan yang tampak jelas di dalam
Nahjul Balaghah, tapi setelah itu beliau langsung menambahkan catatan, “Wa
wallôhi la’aslamanna mâ salimat umûrul muslimîn wa lam yakun fîhâ jaurun illâ
‘alayya khossotan.” [12] ; selama diri saya sendiri yang
teraniaya maka saya akan tetap sabar dan pasrah, selama urusan-urusan berkisar
pada diri saya maka saya senantiasa memberikan pelayanan. Perkataan ini mirip
dengan perkataan beliau pada masa awal kekhalifahan Abu Bakar, beliau
mengatakan, “Fa’amsaktu yadî hattâ ro’aitu rôji‘atan nâsi qod roja‘at ‘anil
islâm.” [13] ; mulanya aku mencuci tangan dari bai’at, aku
pantang menyerah, aku tak sudi berbai’at, tapi kemudian aku menyaksikan
berbagai fenomena akan terjadi yang mana akibatnya untuk Islam, muslimin, serta
pribadi Ali bin Abi Thalib as jauh lebih sulit dan tak tertahankan daripada
musibah kehilangan hak wilayah atau pemerintahan.
Dengan demikian, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as
memandang wilayah dan pemerintahan sebagai hak. Dan ini bukan persoalan yang
bisa diingkari. Sebaiknya semua orang muslim memandang persoalan ini dengan
kaca mata terbuka dan realistis. Persoalan ini tidak ada urusannya dengan
pembahasan yang terkadang menimbulkan perdebatan antara Syi’ah dan Sunni.
Kini, kami yakin bahwa di cakrawala dunia Islam,
saudara-saudara Syi’ah dan Sunni harus hidup bersatu, untuk bersama dan mengakui
persaudaraan Islami lebih penting daripada hal yang lain. Ini adalah sebuah
hakikat yang sebenarnya. Sikap pengertian dua belah pihak dan cinta persatuan,
pada masa kini merupakan tugas setiap orang muslim, dan selamanya juga
merupakan tugas. Namun demikian, pembahasan ilmiah dan ideologis di dalam
Nahjul Balaghah menunjukkan hakikat tersebut kepada kita, dan kita tidak bisa
menutup mata begitu saja dari hakikat yang disampaikan oleh Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib as secara terang-terangan.
Beliau memandang wilayah dan pemerintahan sebagai hak
sebagaimana beliau memandangnya juga sebagai tugas. Ketika rakyat mengerumuni
Ali bin Abi Thalib as sehingga, “Famâ rô‘anî illâ wan nâsu ka‘urfid dhob‘i
ilayya, yantsâlûna ‘alayya min kulli jânibin hattâ laqod wuthi’al Hasanâni wa
syuqqo ‘athfâya.” [14] ; banyak sekali orang yang
mengerumuni saya sehingga putra-putra saya terinjak-injak dan selendang saya
terkoyak. Semestinya kita sadar bahwa selama seribu tahun berlalu, kitab yang
berharga ini tersingkirkan minimal selama sembilan ratus lima puluh tahun.
Selain para ulama dan kalangan tertentu tidak ada yang tahu kitab itu kecuali
sekedar nama.
Setelah diterjemahkan, alhamdulillah lambat laun kitab ini memasuki
relung-relung kehidupan masyarakat. Mereka sebelumnya tidak tahu bahwa ada
kitab berharga yang berjudul Nahjul Balaghah. Hanya kalimat-kalimat singkat
yang mereka dengar darinya, itu pun lebih sering berkenaan dengan pelecehan
dunia dan sedikit tentang akhlak, adapun sisanya belum tersentuh oleh mereka.
Secara bertahap kitab ini berpindah dari tangan ke tangan yang lain. Ada
beberapa yang menulis keterangan atas kitab itu dan ada pula yang menyebut
kesimpulan-kesimpulannya sendiri sebagai keterangan. Semua jerih payah itu
patut untuk dihargai. Akan tetapi, jika semua itu dibandingkan dengan keagungan
Nahjul Balaghah dan hal-hal yang semestinya dilakukan terkait dengan kitab ini,
maka masih belum terhitung apa-apa.
Pada masa kini kita harus kembali kepada Nahjul
Balaghah. Para ulama seyogyanya melakukan tugas mereka dalam bidang ini, dan
kalangan muda jangan menunggu guru, ulama dan ahli sastra mereka. Nahjul
Balaghah seyogyanya diperhatikan secara seksama dari berbagai dimensinya yang
berbeda-beda, untuk itu diperlukan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi.
Tentunya, lembaga Bunyode Nahjul Balaghah bisa menjadi poros dalam proyek besar
ini. Semoga Allah swt menyukseskan kita semua dalam hal ini.
CATATAN:
Referensi: Bozgasyt Beh Nahjul
Balaghoh; Bunyode Nahjul Balaghoh (Pidato Ayatullah Sayid Ali Khameneh’i di
kongres milenium Nahjul Balaghah. Kongres pertama, di Teheran, Sekolah Tinggi
Syahid Mutahari, Bulan Ordibehesyt, tahun 1360 Hs.- Bulan Rajab, tahun 1401 Hq.)
1. Buku kumpulan puisi Kumait bin Zaid Asadi yang
berjudul “Al-Hâsyemîyyât”, hal. 26.
2. Nahj Al-Balâghoh, surat ke-53.
3. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-40.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. QS. Al-An‘âm: 57.
7. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-40.
8. Ibid.
9. Nahj Al-Balâghoh, surat ke-6.
10. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-3.
11. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-73.
12. Ibid.
13. Nahj Al-Balâghoh, surat ke-62.
14. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-3.
15. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-3.
16. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-91.