Demokrasi Konstitusional Habermas


Radar Banten, 15 Mei 2013

Sampai saat ini, pemikiran dan prasaran Jurgen Habermas tentang demokrasi konstitusional masih terasa pas dan relevan ketika berbicara bagaimana menyelenggarakan kehidupan dalam ruang publik tempat semua orang memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan dan merasa aman. Terutama sekali bila kita bercermin pada peristiwa-peristiwa kekerasan di negeri ini yang marak seiring merosotnya wibawa hukum dan wibawa para pemegang otoritasnya di mata publik warga negara. Tepat dalam kadar itulah menurut Jurgen Habermas salah satu cara untuk meminimalisir konflik-konflik dan kekerasan yang tidak produktif dalam ruang publik adalah dengan jalan memulihkan dan menegakkan hukum itu sendiri. Yang bila mengalur pada teori tindakan komunikatif yang digagas dan ditawarkannya, kita mesti mengintensifkan dialog dan komunikasi yang dibangun di atas kejujuran dan kesetaraan sesama warga negara tanpa harus mempersoalkan latar belakang keagamaan dan identitas setiap warga negara, yang dengan itu kita menyadari bahwa kita dapat belajar untuk mengenali diri kita sebagai pelaku-pelaku atau subjek-subjek yang otonom justru hanya dimungkinkan oleh relasi dasar kita dengan orang lain. Dan relasi paling dasar tersebut tak lain adalah tindakan komunikasi melalui bahasa dalam konteks ruang publik yang tidak memberi tempat bagi kebohongan, manipulasi, dan rekayasa yang dapat merugikan.

Dengan pengandaian itulah menurut Habermas praktek komunikasi rasional memberi kemungkinan terbentuknya konsensus bebas dan setara antar warga negara. Keberhasilan komunikasi rasional justru meniscayakan kebenaran dengan memaksudkan secara tepat apa yang ingin kita katakan dalam konteks ruang publik.

Dan tentu saja, menurut Habermas, itu semua hanya dimungkinkan ketika ruang publik dibangun atas dasar kebebasan dan kesetaraan antar semua warga negara di hadapan hukum tanpa mesti mempersoalkan latar belakang keagamaan dan identitas warga negara. Semua warga negara dengan identitas apa pun memiliki hak yang sama untuk merasa bebas dan aman dalam konteks ruang publik politis yang tidak membenarkan kekerasan. Sebagaimana dipaparkan Habermas, penciptaan ruang publik dalam konteks komunitas politis republikan konstitusional hanya dimungkinkan ketika ruang publik menjadi arena pertukaran yang sungguh-sungguh demokratis dan tanpa intimidasi oleh siapa pun atau kelompok mana pun.

Pada tataran filosofis yang lebih jauh, pemikiran dan prasaran Jurgen Habermas itu sesungguhnya hendak mengoreksi dan melampaui elitisisme Kant yang dalam pandangan Habermas masih mengandaikan dinamika lingkungan publik sebagai ungkapan ideologi dan hak prerogatif kaum borjuis yang berpendidikan dan kaya. Meskipun demikian, Habermas memaklumi kesalahan Kant tersebut sebagai produk anak jamannya yang belum berhadapan dengan percepatan kapitalisme lanjut yang mendesakkan komunikasi massa oleh industri kehumasan yang telah menggiring masyarakat kepada konsumerisme yang sedikit-banyaknya turut juga membungkan daya-kritis kognitif warga negara seperti saat ini, pada sisi negatif, dan turut juga menyebarkan wawasan kebebasan dan demokrasi pada sisi positifnya.

Ruang publik dalam arti Kantian yang dikoreksinya tersebut menurutnya harus dimengerti dalam konteks kondisi material masyarakat Barat yang belum terglobalisasikan dan terkondisikan oleh kekuasaan media massa dan masih dicirikan oleh perbedaan yang distingtif antara tataran politik dan ekonomi dalam batas dan demarkasinya, yang pada akhirnya turut juga membatasi konsepsi Kant tentang lingkungan publik yang masih dibayangkan dalam perbatasan monologis, bukannya dialogis. Dan seperti kita ketahui, monologisme Kant tersebut mengacu kepada ide yang mengandaikan partisipasi individu dalam konteks ruang publik yang masih terbatas pada definisi berbagi yang sederhana dalam kerangka opini-opini dan keputusan-keputusan moral yang sudah mapan.

Lebih lanjut, penalaran moral Kant itu sendiri masih didefinsikan sebagai percakapan hipotetis yang terlampau terpusat pada diri sendiri. Hasilnya, menurut Habermas, ada dua elemen yang meniscayakan ikhtiar kritis sejauh tilikan etis dan politis moralitas Kantian. Pertama, alam soliter imperatif di mana eksperimen mental seseorang diarahkan pada sebuah pertanyaan yang berpusat pada dirinya sendiri tentang apakah tindakan seseorang itu mengandaikan dan mendasarkan suatu prinsip yang mungkin setiap manusia yang lain akan bertindak sama dalam konteks budaya mana pun pada setiap kurun waktu dalam sejarah. Akan tetapi, dan inilah tilikan kritis yang Kedua, prioritas Kantian tersebut masih mendalilkan otonomi individu sebagai sesuatu yang secara alamiah seakan-akan dianugerahkan begitu saja kepada manusia tanpa latar belakang sejarah dan budaya sebagaimana yang kemudian dikoreksi Hegel, yang menurut Habermas sendiri prioritas Kantian tersebut belum mengandaikan pertukaran dalam kerangka komunikasi-rasional.

Berangkat dari alur demikian, menjadi jelaslah bahwa ikhtiar Habermas untuk menangkap komunikasi terletak pada sebuah tataran di mana opini dan keputusan dibentuk dan disepakati melalui dialog intersubjektif yang tentu saja meniscayakan suatu pergeseran radikal untuk menjauh dari paradigma monologisme Kantian yang masih terpusat pada subjek. Komunikasi intersubjektif ini merupakan tawaran prasaran Habermas bagi suatu mekanisme dan prosedur untuk menghasilkan keputusan-keputusan politik dari partisipasi warga negara dalam konteks lingkungan publik politis yang tanpa tekanan, bebas, dan setara.

Dalam kerangka itu pula, Habermas menegaskan bahwa satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas politis sebuah bangsa adalah patriotisme konstitusional, di mana kesetiaan kepada konstitusi merupakan bukti untuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Dan kesetiaan ini pada akhirnya mengungkapkan loyalitas kepada ide hak-hak universal yang menurutnya merupakan kondisi bagi koeksistensi manusia terutama dalam masyarakat yang kompleks dan plural, atau yang disebutnya sebagai situasi epistemik masyarakat modern.

Dengan dasar dan kerangka yang sama seperti yang digagas dan ditawarkannya itu, ia pun mengkritik wawasan Carl Schmitt, yang dalam pandangannya telah melihat wilayah-wilayah politik sebagai sesuatu yang terlampau ditentukan oleh pernyataan diri satu identitas kolektif untuk melawan yang lainnya. Premis Carl Scmitt tersebut menurut Habermas terlampau mendasarkan politik pada nilai-nilai dan asumsi-asumsi manusia yang masih pra-politis dan belum menemukan konsep dan definisi masyarakat seperti saat ini.

Sementara itu, ketika memandang agama, fundamentalisme, dan terorisme, Habermas menyarankan untuk tidak mencampuradukkan antara fundamentalisme dan ortodoksi. Karena menurutnya memang harus diakui bahwa setiap doktrin keagamaan didasarkan pada inti kepercayaan yang dogmatis. Hanya saja ortodoksi dan dogmatisme menjelma fundamentalisme ketika para penjaga iman yang benar menjadi abai dan mengingkari situasi epistemik masyarakat modern yang kompleks dan plural. Fundamentalisme dalam pandangannya merupakan reaksi defensif melawan ketakutan akan tercerabutnya cara-cara hidup tradisional dengan jalan kekerasan. Sedangkan terorisme menurutnya mestilah dipahami sebagai sikap dan gerakan yang memiliki dan meniatkan fungsi realisme tujuan-tujuan politis ketika melegitimasikan dirinya pada klaim-klaim keagamaan. Sebab menurut Habermas, tanpa-tanpa tujuan-tujuan politis tersebut, terorisme hanya akan berarti sebagai laku kriminal biasa.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar: