oleh Andre Vltchek* (Diterjemahkan oleh
Rossie Indira)
Beberapa tahun lalu, seorang pengusaha Indonesia yang sekarang tinggal di
Kanada, menemui saya di salah satu restoran mewah di Jakarta. Sebagai salah
satu pembaca setia saya, dia ‘punya sesuatu yang mendesak untuk diceritakannya
kepada saya’, setelah tahu bahwa kami sedang sama-sama berada di ibukota
Indonesia yang amburadul dan polusinya sangat tinggi ini.
Apa yang dia katakan benar-benar langsung ke pokok permasalahan dan pastinya
layak untuk kena dua jam macet yang parah untuk bertemu dengannya:
“Tidak akan ada yang diizinkan untuk membangun transportasi umum yang
komprehensif di Jakarta atau di kota-kota lain di Indonesia. Jika ada seorang
walikota atau gubernur mencobanya dengan menentang keinginan komunitas bisnis
yang kejam yang sebenarnya mengendalikan sebagian besar pemerintahan di
Indonesia, maka dia akan diturunkan dari jabatannya, atau bahkan akan
dihancurkan secara total.”
Kata-kata 'prophetic' ini masih terdengar nyaring di telinga
saya, beberapa bulan setelah penghancuran total gubernur Jakarta yang
progresif, yang dikenal dengan nama Ahok (nama asli: Basuki Tjahaja Purnama),
yang dengan sangat keras berusaha untuk memperbaiki kota yang tampaknya sudah
tidak dapat dikendalikan dan benar-benar hancur, dengan membangun jalur
transportasi massal yang baru (LRT), merestorasi stasiun-stasiun kereta api
lama, membersihkan kanal-kanal, setidaknya mencoba membangun trotoar di
berbagai tempat walau masih sangat sederhana, serta menanam pohon-pohon dan
menciptakan taman-taman kota.
Setelah masa jabatan pertama Ahok yang sangat sukses, pihak oposisi langsung
mengkonsolidasikan kekuatannya. Mereka ini terutama terdiri dari kaum Islamis,
konglomerat bisnis besar, dan kader militer serta kader revolusionis lainnya
(hampir secara eksklusif mereka ini adalah individu-individu yang pro-bisnis
dan pro-Barat) yang masih mengendalikan Indonesia.
'Ahok', sebagai orang di luar kalangan di atas dan dari etnis Tionghoa,
benar-benar kalah.
Alih-alih datang untuk menyelamatkannya, beberapa perencana dan arsitek ‘terkenal’
tapi korup, kebanyakan mendapatkan dana/bantuan dari luar negeri, tanpa
malu-malu bergabung dengan kalangan yang 'mencerca Ahok'.
Bagi mereka, mengalahkan Ahok pun tidaklah cukup. Dia harus dihukum dan
dipermalukan untuk mencegah orang lain mencoba meniru kebijakan-kebijakan dan
tindakan-tindakannya yang berorientasi sosial. Selama kampanye pemilihan
gubernur, dia dituduh telah ‘menghina Islam’ dalam salah satu pidatonya. Tentu
saja tuduhan itu benar-benar omong kosong, bahkan sudah dibela oleh beberapa
ahli bahasa terkemuka di Indonesia, namun di dalam masyarakat yang benar-benar
korup (baik secara legal maupun moral), tuduhan itu dianggap benar.
Pada tanggal 9 Mei 2017, 'Ahok' dijatuhi hukuman dua tahun penjara, dan
langsung dimasukkan ke dalam tahanan.
Sejak saat itu, banyak proyeknya yang berhenti, atau setidaknya secara
signifikan diperlambat. Sekali lagi kita lihat sampah-sampah ada lagi di
kanal-kanal dan sungai-sungai di Jakarta.
Bagi mereka yang masih percaya akan datangnya keajaiban, semua harapan sudah
mati, tidak ada lagi.
Para ‘perencana kota’ yang masih percaya bahwa mereka dapat 'bekerja dengan'
rezim yang sekarang (mereka menyebutnya 'pemerintah'), sudah benar
mengasumsikan bahwa sekarang ini kembali 'bisnis seperti biasa'.
Saat 'Ahok' dilempar ke balik jeruji besi, desahan lega hampir bisa dideteksi
di seluruh negara kepulauan yang malang ini! Semuanya telah kembali ke
'normal', setidaknya bagi mereka yang telah mendapat manfaat dari hancurnya
negeri Indonesia dan kota-kotanya.
Sejarah Indonesia berulang kembali. Sekarang ini, setidaknya untuk beberapa
dekade mendatang, hampir pasti bahwa semua kota di Indonesia akan tetap seperti
sekarang - neraka bagi yang tinggal, mimpi yang paling buruk, dan tidak dapat
disangkal sebuah daerah perkotaan yang paling mengerikan di muka Bumi.
Tapi para pembaca di luar negeri tidak seharusnya tahu mengenai hal ini. Orang
Indonesia tidak seharusnya mengerti situasi yang dihadapinya. Semua ini biasa –
normal-normal saja. Semua baik-baik saja. Kalau kita baca makalah-makalah dari
ANU (Australian National University), anda akan diberitahu bahwa ‘Indonesia
sekarang ini adalah negara yang normal, seperti Brasil atau Meksiko’. Tidak ada
yang luar biasa yang sedang terjadi di sana.
Namun, pada kenyataannya semua sudah hancur. Kota-kotanya sudah hancur. Bukan
secara metafor, bukan pula secara hiperbolik, tapi benar-benar kongkrit.
Seorang seniman Australia terkenal, George Burchett, yang sekarang tinggal di
Hanoi, Vietnam, pernah berkunjung ke Jakarta. Selama beberapa minggu kami
berkeliling Indonesia. Dia merasa kaget dan tertekan. Sebelum meninggalkan
Indonesia, dia berkata:
“Saya sudah mengunjungi banyak kota di seluruh dunia. Kota-kota yang dibangun
untuk rakyat. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, di Indonesia, saya
melihat kota-kota yang benar-benar tidak dibangun untuk rakyat, tapi juga untuk
melawan rakyat.”
Hal ini terjadi karena kota-kota di Indonesia fasis. Mereka tidak melayani
kebutuhan warganya. Sebaliknya, mereka dirancang untuk menjarah sedikit
sumberdaya yang masih dimiliki oleh rakyat biasa; menjarah dan memberikannya
kepada penguasa-penguasa lokal, juga kepada perusahaan-perusahaan multi-nasional.
Kutipan dari Encyclopedia Britannica tentang definisi ‘negara gagal’ dapat
menerangkan secara sempurna negara Indonesia pada umumnya dan kota-kotanya
secara khusus:
“Kapasitas pemerintahan dari sebuah negara yang gagal dikurangi sedemikian rupa
sehingga tidak dapat menjalankan tugas administratif dan organisasi yang
diperlukan untuk mengendalikan rakyat dan sumber daya yang dimiliki, serta
hanya dapat menyediakan layanan publik yang minimal...Negara gagal ditunjukkan
dengan infrastruktur yang amat buruk, pasokan listrik yang tidak stabil dan
fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai, dan memburuknya
indikator-indikator pembangunan-manusia yang mendasar...”
Gubernur Ahok telah mencoba untuk mengubah situasi di atas. Rakyat (Jakarta) mendukungnya.
Jutaan orang menyaksikan di semua kota besar di Indonesia. Timbul harapan yang
awalnya rapuh tapi segera mekar.
Tapi tiba-tiba: ada kejadian yang luar biasa, semua berhenti, dan semua rencana
hancur! Orang yang berani menyuntikkan beberapa elemen sosialis ke dalam sistem
yang brutal, akhirnya berakhir di balik jeruji besi.
Dan sekarang semua kembali ke skenario ‘negara gagal’ sebelumnya. Hidup di
Indonesia kembali kosong dan mudah ditebak.
Hampir tidak ada perbedaan mencolok di antara kota-kota di Indonesia. Jika Anda
menempatkan seseorang di pusat atau pinggiran kota Jakarta, Surabaya, Bandung,
Semarang, Medan, Makassar atau Pontianak, dia tidak akan tahu berada di kota
yang mana.
Semua jalan utama dalam kondisi macet yang parah. Hampir tidak ada trotoar, dan
kalaupun ada trotoarnya sempit dan kondisinya menyedihkan, dan trotoarnya dikuasai
oleh sepeda motor yang agresif dan knalpotnya mengeluarkan asap kotor, dan
trotoar juga penuh dengan pedagang kaki lima yang tidak diatur dan tidak
higienis. Preman ada dimana-mana, mengendalikan jalanan. Hampir semua jalan
raya sekunder punya sistem pembuangan limbah yang terbuka. Saat hujan turun,
lingkungan perumahan terendam air kotor. Gerobak sampah yang kecil, ditarik
oleh orang-orang dengan pakaian kotor dan honor/gaji yang tidak memadai,
mengumpulkan sampah-sampah rumah tangga. Semua kota-kota di Indonesia
menghadapi masalah yang sama, dan kota-kota itu terlihat persis sama.
Sanitasi, kualitas air dan fasilitas daur ulang sampah berada pada tingkat yang
sama dengan negara-negara di Afrika sub-Sahara yang paling miskin.
Slums (permukiman kumuh) terlihat di mana-mana - luas dan brutal.
Kenyataannya, sebagian besar lingkungan di kota-kota di Indonesia yang disebut
kampung, sesuai dengan definisi internasional tentang permukiman kumuh.
Beberapa tahun yang lalu saya diundang untuk berbicara di Universitas Indonesia
(UI). Beberapa mahasiswa bertanya kepada saya: “Mengapa? Mengapa semua ini
terjadi di negara kami? Apakah ada solusinya?”
Saya menjawab bahwa tentu saja ada solusinya: “Sosialisme dan perencanaan di
pusat pemerintahan. Tapi tentu harus dilaksanakan dengan tekad yang kuat dan
nyata, dan harus mencakup perlawanan anti-korupsi yang sepenuh hati, juga
larangan menjual semua sumber daya alam dan utilitas kepada orang asing.” Saya
menambahkan: “Dan katakan kepada dosen-dosenmu untuk berhenti menerima
pendanaan dari Barat, dan pergi ke Eropa untuk belajar tentang ‘pemerintahan’,
‘pemerintahan yang baik’ dan perencanaan kota dari negara-negara yang telah
merampok negaramu selama beberapa abad.”
Saya yakin para mahasiswa itu suka dengan apa yang saya katakan (tapi tidak
yakin juga apakah mereka masih bisa memahami artinya). Namun, sudah bisa
diduga, saya tidak pernah diundang bicara di UI lagi.
Kota-kota di Indonesia seperti luka yang terbuka. Semua sumber daya alamnya
telah dirampok dari mereka dan akibatnya, hilanglah sudah apa yang membuat
hidup masih tertahankan. Hanya yang tidak diinginkan oleh para kaum ‘elit’ yang
diberikan kepada rakyat.
Hampir tidak ada taman untuk publik di Indonesia, setidaknya bukan taman yang
baik. Kota-kotanya tidak punya pelataran atau taman-taman di pinggir sungai
atau pantai, hal yang sangat kontras dengan daerah perkotaan di Amerika
Selatan, di Timur Tengah dan bahkan di Afrika (tidak usahlah kita bicara
tentang ruang publik, taman, promenade dan tempat olahraga
terbuka yang indah dan baik sekali di China).
Jalanan yang kotor, tersumbat dan tercemar disebut 'jalan' dan 'jalan besar'.
Tidak ada trotoar, atau jika ada, hanyalah selebar satu meter, dengan
keramik-keramik yang pecah atau banyak lubang yang cukup dalam. Di tempat
trotoar tidak benar-benar dibutuhkan, malah mungkin ada trotoar di sana – di
satu atau dua jalan di tengah kota dan di depan beberapa bangunan pemerintah,
dan trotoar di sana pun tidak menghubungkan apa-apa. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa tidak ada apapun yang benar-benar dirancang untuk rakyat.
PENTING UNTUK DIPAHAMI bahwa pemerintah Indonesia, di semua lapisan, sebenarnya
bukan institusi yang terdiri dari pria dan wanita yang benar-benar bertekad
memperbaiki negara dan melayani rakyatnya. Sebaliknya!
Di Indonesia, sejumlah besar politisi adalah anggota atau berafiliasi dengan
militer, yang telah memerintah negara ini secara brutal sejak kudeta militer
yang didukung pihak Barat (Amerika) di tahun 1965. Kudeta tersebut
menghancurkan segala sesuatu yang bersifat sosialis dan komunis, melarang
gagasan komunis, dan membunuh 1 - 3 juta orang, termasuk hampir semua
intelektual progresif. Selain itu, sebagian besar politisi adalah pengusaha,
taipan dan oligarki, dan sebagian besar dari mereka punya reputasi yang buruk.
Mereka telah merampok bangsa dan rakyatnya selama lebih dari setengah abad, dan
sama sekali tidak ada alasan mengapa mereka harus berhenti melakukannya
sekarang, atau dalam waktu dekat. Bagi individu-individu ini, meraih posisi
politik teratas tidak lain hanyalah untuk memaksimalkan keuntungan.
Pihak Barat (Amerika dkk) senang memuji ‘Demokrasi Indonesia’ (tidak heran
karena secara de facto Indonesia berfungsi sebagai sebuah koloni
yang patuh, yang menjarah warganya dan sumber dayanya sendiri atas nama pihak
Barat), yang punya banyak partai politik, namun tidak satu pun mempunyai
ideologi kiri atau yang membela kepentingan orang awam. Selain itu, sebagian
besar ‘masyarakat sipil’, LSM, tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik
Barat. Banyak sekali organisasi, bahkan mungkin sekali semua organisasi, ini
didanai langsung dari Washington, Berlin, London atau Canberra. (Saya
menggambarkan situasi seperti ini dalam novel terbaru saya “Aurora”).
Perusahaan-perusahaan Indonesia dan pemerintahnya merupakan satu kesatuan. Dan
mereka dengan tegas dan serempak menjarah sumber daya alam di seluruh
nusantara. Negara terpadat ke-4 di bumi ini hampir tidak menghasilkan apa-apa.
(Baca buku saya Archipelago
of Fear dalam bahasa Inggris atau Indonesia:
Untaian Ketakutan di Nusantara).
'Filosofi' penjarahan tak terkendali ini kemudian diterapkan pada 'urbanisme';
ke bagaimana kota-kota di Indonesia diperintah dan pada dasarnya diserahkan
sepenuhnya ke pasar. Bahkan di Afrika tempat saya tinggal dan bekerja selama
beberapa tahun, tidak ada pencurian tanah perkotaan yang tak tahu malu oleh
para elit (sebagian diantaranya adalah pegawai pemerintah).
Setelah semua hal di atas dipaparkan, jauh lebih mudah untuk memahami realitas
Indonesia dan kota-kotanya.
Setelah hal di atas didefinisikan, apa yang terjadi di kota-kota di Indonesia ‘mulai
masuk akal’.
Kenyataannya, tidak banyak yang bisa disebut 'urban' di kota-kota di Indonesia.
Baik itu kota seperti Pontianak dengan 600.000 penduduk, atau Jakarta dengan 12
juta (28 juta termasuk kota-kota di sekitarnya).
Ke mana pun kita pergi, kita lihat contoh ekstrim bagaimana keuntungan lebih
diprioritaskan dibanding orang/rakyat (profit over people).
Seperti pulau-pulau yang sudah dijarah habis, habis-habisan ditambang dan dicemari,
kota-kota di Indonesia dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan
penghasilan maksimal bagi sekelompok kecil individu dan bisnis. Namun akibatnya
harus ditanggung oleh orang-orang miskin, yang sering sakit, berpendidikan
rendah, dan mayoritas penduduk yang benar-benar sudah tersudut.
Jaringan media, pendidikan, hiburan pop yang berkualitas rendah, serta pengaruh
agama yang masuk dan struktur keluarga yang bersifat feodal, disebarkan dan
dijunjung tinggi, sehingga rakyat tidak berpikir, tidak mempunyai keraguan dan
tidak memberontak.
Hasil yang diperoleh amat mengejutkan.
Kota-kota di Indonesia menjadi seperti perkebunan kelapa sawit atau
tambang-tambang terbuka, dengan beberapa elemen koloni barak militer (tentu
saja ada beberapa tempat khusus untuk para pengawas, dengan rumah-rumah yang
besar tapi kitsch, seperti yang banyak terlihat di Jakarta
Selatan).
Di sini, tidak ada yang dibangun untuk membuat hidup menjadi nyaman, penuh
warna, gembira, bermakna dan bahagia. Tidak ada gedung konser permanen, tidak
ada teater, dan tidak ada museum yang besar untuk umum (salah satu museum yang
baru dibuka adalah milik pribadi, dan berfungsi untuk mengindoktrinasi
masyarakat lebih dalam lagi, kali ini menargetkan ‘kelas menengah di
perkotaan’). Tidak ada lingkungan perumahan yang punya tempat pejalan kaki yang
lebar dan nyaman, dan tidak ada promenade di pinggir laut yang
gratis untuk umum.
Tidak satu pun struktur yang bernilai arsitektural tinggi yang dibangun di kota
manapun di Indonesia setelah kudeta militer/agama di tahun 1965/66.
Di Indonesia, ‘area publik’ identik dengan mal, tak terhitung jumlah mal-mal
dengan berbagai ukuran dan kualitas. Di dalam mal, ada restoran-restoran dan
toko-toko, dan kafe-kafe yang punya banyak cabang di mal-mal lainnya. Ada juga
beberapa bioskop yang kebanyakan menampilkan film Hollywood atau film horor
lokal. Pada akhir pekan, ada band-band yang memainkan lagu-lagu pop Barat dan
Indonesia yang sudah kuno, tidak ada variasi sama sekali. Sebanyak sekitar 50
lagu didaur ulang lagi dan lagi. Bisa diduga, yang paling favorit adalah: “I
did it my way”.
Tidak ada yang ‘ekstra’ di kota-kota di Indonesia. Semuanya cukup yang mendasar
saja: entah bagaimana Anda bertahan dengan gaji yang kecil (dengan harga
makanan dan barang-barang konsumsi setinggi atau lebih tinggi daripada di Tokyo
atau Paris), entah bagaimana Anda berangkat ke tempat kerja dan pulang, setiap
hari duduk berjam-jam dalam kemacetan lalu lintas yang mengerikan karena
kurangnya angkutan umum yang baik bahkan di kota-kota yang punya 2-3 juta
penduduk, seperti Surabaya atau Bandung. Anda memasak dan mencuci piring dan
pakaian Anda dengan air yang tercemar, dan mencoba menghemat tagihan listrik
yang sangat tinggi. Sama sekali tidak ada yang bisa dikerjakan di lingkungan perumahan
Anda. Tentu saja selalu ada masjid di dekatnya atau kadang-kadang ada juga
gereja, kalau memang itu yang Anda sukai. Tidak ada taman, tidak ada taman
bermain untuk anak-anak. Tidak ada trotoar untuk dipakai berjalan ke kafe, jadi
jika Anda ingin benar-benar pergi ke kafe atau ke toko buku (semua toko buku di
Indonesia semakin kurang lengkap dan sangat disensor), Anda harus naik motor
atau mobil, itupun kalau Anda masih punya sisa stamina.
Kemungkinan terbesarnya adalah - Anda tidak punya waktu untuk melakukan apa
pun. Perjalanan sehari-hari 3-4 jam, pekerjaan yang melelahkan, dan yang bisa
Anda lakukan hanyalah ambruk di depan pesawat televisi dan siap untuk
diindoktrinasi, dinetralisasi dan dibodoh-bodohi lebih jauh lagi.
Anda belajar untuk tersenyum saat Anda benar-benar ingin mati, atau setidaknya
ingin berteriak keras-keras. Anda merasakan bahwa tidak akan ada yang bisa
berubah menjadi lebih baik, dan bahwa hidup Anda telah selesai, mungkin pada
saat Anda berumur 25, atau bahkan lebih muda lagi.
Pada akhirnya, beberapa orang melakukannya lebih cepat daripada yang lain: Anda
menjadi lebih relijius, dan Anda menjadi orang yang tradisional, konservatif
dan 'berorientasi keluarga'. Memang sungguh-sungguh tidak ada alternatif yang
lain. Kota-kota di Indonesia memastikan bahwa tidak akan ada alternatif tujuan
yang lain. Kota-kota ini adalah mesin-mesin yang sempurna, menciptakan
ketaatan, menjarah segala sesuatunya dari manusia, dan tidak memberi imbalan
apa pun.
SAYA sering menggambarkan kudeta di tahun 1965 sebagai “Hiroshima Budaya”.
Sementara di Jepang, Amerika Serikat secara terbuka melakukan eksperimen pada
kesehatan jutaan manusia, di Indonesia eksperimen itu sifatnya sangat berbeda.
Hal yang menarik bagi Kekaisaran adalah: “Apa yang akan terjadi pada sebuah
negara anti-imperialis progresif yang mengandalkan budaya yang kompleks dan
beragam, jika terjadi pertumpahan darah, jika bioskop dan studio-studio filmnya
ditutup, 40% guru dibunuh, perempuan-perempuan dari organisasi sayap kiri
diamputasi payudaranya, para penulis dibuang ke kamp konsentrasi di Pulau Buru,
dan para perencana kota diajarkan untuk merancang kota seperti Houston, Dallas
atau LA, namun di negara dengan gaji hanya 10% atau kurang daripada di Amerika
Serikat?”
Jawabannya sederhana: “Negara itu akan berubah menjadi seperti Indonesia.
Akan menjadi seperti Jakarta sekarang ini”. Bagi para demagog dan perencana
imperialis Barat, “Indonesia” dan “Jakarta” bukan hanya nama negara dan kota
tapi merupakan nama-nama dari sebuah konsep, sebuah model.
Model ini, yang dipaksakan di koloni-koloni Barat, sangat cocok untuk pihak
Barat dan kepentingannya.
Model ini juga cocok untuk para ‘elit’ Indonesia, yang sering bermain kotor di
negaranya sendiri, menjarah semua yang mereka bisa jarah, tapi kemudian
bersantai, bermain dan sering mengevakuasi seluruh keluarga mereka ke
Singapura, California, Australia, Hong Kong dan banyak tempat lainnya ‘yang
aman dan bersih’.
Model ini adalah yang termurah; konsep yang paling efisien yang dirancang untuk
menjarah, dan untuk benar-benar menipu sebuah bangsa secara telak. Tidak
mengherankan, pihak Barat telah mencoba untuk meniru penggunaan ‘model
Indonesia yang sukses’ ini di berbagai bagian dunia.
Mereka bahkan sempat mencoba menyuntikkannya ke Rusia, setelah Uni Soviet
dilukai dan kemudian dihancurkan. Mereka juga mencobanya di Chile...Teman-teman
saya yang berusia jauh lebih tua di Santiago mengatakan kepada saya bahwa
sebelum kudeta 9-11-1973 yang dilakukan oleh Jenderal Pinochet atas nama Barat
dan perusahaannya, beberapa orang di sekitar Presiden Allende diancam oleh
orang-orang dari sayap kanan: “Hati-hati, Jakarta akan datang!”
Jakarta benar-benar datang! Di sini, di seluruh Indonesia, di semua kota, dan
dengan tingkatan berbeda di sebagian besar negara ini yang sudah jatuh di bawah
sepatu neo-kolonialis Barat.
Tapi apa sebenarnya artinya ‘Jakarta’? Apakah itu hanya sebuah nama atau juga
kata kerja, kata kerja infinitif?
“Ke Jakarta...” adalah ‘mengambil segala sesuatu dari rakyat dan tidak
memberikan apapun kembali kepada mereka’. “Ke Jakarta” adalah berbohong dan
menjarah dan meyakinkan umat manusia, melalui indoktrinasi yang panjang, bahwa
semuanya baik-baik saja, dan seperti seharusnya terjadi. ‘Men-Jakarta-kan”
bangsa ini adalah membuat hampir seluruh penduduk tidak relevan lagi,
memberikan seluruh hasil jarahan di atas nampan perak kepada penguasa lokal dan
asing, dan hanya menyisakan sungai dan kanal yang kotor dan tercemar, juga
kemacetan yang luar biasa, kabut asap, tempat penyeberangan jalan tanpa
eskalator, dan keramik-keramik yang rusak di sepanjang jalan kompleks.
‘PENDUDUK YANG DI-JAKARTA-KAN’ adalah penduduk yang taat, suka kekerasan,
tegang, tapi bukan terhadap rezim, turbo-kapitalisme, para elit yang korup dan
tuan-tuan mereka dari pihak Barat, namun terhadap satu sama lain, dan juga
terhadap kelompok minoritas.
Jakarta hanya mendapat sedikit kritik dari media arus utama Barat dan lokal,
dan hampir tidak ada analisis yang asli dari kalangan akademisi. Tidak
mengherankan: menyerang realitas kota-kota di Indonesia ibarat menyerang
seluruh sistem neo-kolonialis Barat yang diberlakukan di berbagai belahan
dunia. Untuk mengatakan hal yang sebenarnya pasti akan menghancurkan karier
jurnalistik siapapun, seperti juga akan men-torpedo semua kesempatan untuk
mendapatkan jabatan yang berpenghasilan baik di universitas!
Seringkali, yang bisa diharapkan tentang penggambaran situasi yang realistis di
Indonesia, adalah keluhan-keluhan yang secara acak terdengar di pesawat terbang
yang meninggalkan Indonesia, atau beberapa ‘bukti anekdot’ dari halaman
majalah-majalah dan blog-blog perjalanan. Tampak sekali bahwa apa yang dilihat
dengan mata kepala sendiri oleh orang-orang biasa bertentangan langsung dengan
‘fakta’ yang ditulis oleh media arus utama dan akademisi.
Pada tanggal 17 September 2017, sebuah surat kabar Malaysia The Star menulis:
“Berdasarkan indeks kualitas udara yang secara real-time diunggah
ke aplikasi Airvisual pada tengah hari Jumat, 15 September, Jakarta berada di
peringkat ketiga sebagai kota paling tercemar di dunia...Pada pertengahan
Agustus, aplikasi tersebut menunjukkan bahwa Jakarta berada di peringkat paling
atas, diikuti oleh Ankara, Turki dan Lahore, Pakistan.”
Majalah ‘Escape Here’ menempatkan Jakarta sebagai kota No.1
dalam laporannya “10 Kota Dengan Lalu Lintas Terburuk di Dunia”:
“Terjadi di ibu
kota negara ini, dan salah satu kota dengan perancangan paling buruk di Dunia,
sebuah kombinasi yang membuat bepergian di kota ini seperti sebuah bencana.
Jumlah pemilik mobil yang terus meningkat dari perluasan pinggiran kota yang
mengelilingi mega-kota ini menjadi penyebab warganya menghabiskan waktu selama
400 jam setahun di kemacetan. Kota ini sudah dinyatakan sebagai kota dengan
lalu lintas terburuk di dunia. Sepertinya tidak ada solusi untuk mega-kota ini
karena infrastruktur ditangani oleh pemerintah daerah dan kontrak-kontraknya
dinegosiasi ulang setiap tahun; yang berarti proyek jangka panjang hampir tidak
mungkin. Perjalanan rata-rata di kota ini memakan waktu sekitar 2 jam...”
Pada tanggal 2 September 2015, bahkan surat kabar resmi Indonesia berbahasa
Inggris, The Jakarta Post, menerbitkan kembali peringkat survei yang
menempatkan ibukota Indonesia ini sebagai nomor 9 ‘kota paling tidak ramah di
bumi’:
"Jakarta, ibu kota Indonesia yang terkenal karena macet dan polusi udara
yang buruk, berada di posisi 9 diantara kota-kota paling tidak bersahabat di
dunia tahun ini, yang ditunjukkan oleh sebuah survei yang baru-baru ini
dilakukan oleh sebuah majalah perjalanan internasional. Pembaca majalah travel
mewah Conde Nast Traveler untuk pertama kalinya memasukkan
Jakarta ke dalam daftar ‘10 kota yang tidak bersahabat di dunia’ tahun ini.
Dalam survei tersebut, salah satu pembacanya mengatakan bahwa Jakarta adalah
‘tempat paling menakutkan yang pernah saya kunjungi’ dengan kemacetan dan
penduduk lokal yang agresif.”
'Tempat paling menakutkan': tentu saja! Apa yang bisa kita harapkan dari ibu
kota negara yang dalam setengah abad terakhir ini telah melakukan 3 genosida
yang mengerikan (terhadap penduduknya sendiri pada tahun 1965/66, melawan
rakyat Timor Leste dan genosida yang sedang berjalan melawan rakyat Papua)?
Apa yang bisa diharapkan dari kota-kota yang ruang hijaunya sudah dirampok habis?
Kenyataannya, semua hal yang bersifat ‘publik’ di kota-kota ini sudah dirampok,
tidak ada lagi karya-karya seni dan segala sesuatunya telah dikomersialkan;
Semua hal dan semua orang diharapkan sama - berperilaku dengan cara yang sama,
penampilan yang sama, terdengar sama, dan merasakan dengan cara yang sama.
Cobalah tampil berbeda, dan jika Anda orang Papua, Cina, Afrika, atau kulit
putih, cobalah berjalan di trotoar-trotoar sempit dan rusak di Surabaya,
Jakarta, Pontianak, atau Medan. Anda akan dikata-katai; anda akan segera
menjadi sasaran rasisme. Orang-orang akan berhenti dan mengejek, atau lebih
buruk lagi.
Beberapa hari yang lalu saya syuting dari atas sebuah perahu di sebuah sungai
yang tercemar yang melewati kota Pontianak, Kalimantan. Dua orang anak di
pinggir sungai langsung mengangkat jari tengah mereka dan berteriak: “Fuck
you!” Langsung terjadi begitu saja: tanpa peringatan dan tanpa alasan. Tentu
saja hal ini bukan hal terburuk yang bisa terjadi. Kalau saja saya orang
Cina...atau orang Afrika...Semua orang juga tahu apa yang akan terjadi. Hal ini
tidak pernah dibicarakan, tidak pernah ditulis…
Menurut para ‘analis’ dan akademisi Barat, Indonesia adalah negara yang
‘demokratis’ dan ‘toleran’. Semakin memburuk kondisi negara ini, semakin menindas
dan tidak toleran, semakin hancur, maka mereka akan semakin memujinya.
Kebohongan demi kebohongan menumpuk. “Kaisar memakai pakaian yang indah”, kata
semua orang, seperti cerita anak-anak jaman dulu. Tapi pada kenyataannya,
Kaisar itu telanjang!
Semua ini termasuk ‘political correctness’. Kita diharapkan ‘sensitif’
terhadap ‘budaya’, agama, dan cara hidup setempat. Satu-satunya kelemahan dari
pendekatan ini adalah bahwa di negara-negara seperti Indonesia, budaya lokal,
cara hidup dan bahkan agama yang sangat agresif, semua itu hasil dari rezim
fasis yang secara langsung dipaksakan kepada bangsa ini oleh Barat (Amerika dan
sekutunya) setelah pembantaian di tahun 1965/66. Seandainya jalan sosialis
sebelum tahun 1965 diizinkan mengalir secara alami, Indonesia sekarang akan menjadi
bangsa yang benar-benar normal, imbang secara sosial, sekuler dan toleran, dan
kota-kotanya akan melayani rakyat, bukan sebaliknya.
Sekali lagi, di
sini ‘political correctness’ dipakai untuk melindungi kejahatan terhadap
kemanusiaan yang telah dilakukan oleh Barat, oleh para elit lokal dan militer,
serta oleh para pemimpin agama. ‘Budaya’ lokal tidak dilindungi sama sekali,
karena budaya itu sudah mati, sudah dibunuh.
Kota-kota juga mati. Bangkainya berbau busuk, mengerikan, mengerikan, sudah
tidak ada harapan sama sekali. Penduduknya sudah tidak bisa bernafas dengan
baik lagi, terhina, terpinggirkan, sakit, dan terus-menerus dirampok secara
sistematik.
Anehnya, perlu majalah elitis seperti Conde Nast untuk memperhatikan
hal-hal di atas...Dibutuhkan keluhan dari pelancong yang secara acak ditanya...Orang
tidak akan pernah membaca komentar semacam itu dalam laporan yang keluar
dari Australian National University atau di halaman media
seperti The New York Times.
Tepat di luar kota Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, di Pulau Madura,
beberapa kapal besar dilucuti/dibongkar untuk dijual besi tuanya. Secara
berkala terjadi ledakan, runtuh menimpa pekerja, dan ada korban yang kehilangan
wajah atau anggota badan mereka. Pemandangan di sana amat mengerikan: angker
dan cukup membuat gelisah. Sama seperti yang terlihat di Bangladesh, walau di
Madura ini semua berjalan tidak terlalu diperhatikan.
Dalam banyak hal, saya berpendapat bahwa kota-kota di Indonesia menyerupai
kapal-kapal tersebut dan daerah-daerah pesisirnya yang tercemar tempat
kapal-kapal itu dilucuti menjadi ribuan besi tua dan kemudian dijual. Walau
dulu dibanggakan, mereka sekarang dipermalukan, dalam kesakitan, dan
dipotong-potong sementara mereka masih hidup.
Hanya fasisme sejati yang bisa memperlakukan warganya dengan cara ini; hanya
sebuah rezim yang sakit jiwa dan benar-benar gila.
Kota-kota di Indonesia...apa saja yang ada di dalamnya? Yang ada di dalam
kota-kota di Indonesia adalah rumah-rumah kecil dan padat, kanal yang kotor,
jalanan berlubang, polusi yang tak terbayangkan, masjid dan gereja. Kemudian
ada beberapa menara perkantoran di pusat kotanya, pusat-pusat perbelanjaan yang
tak terhitung jumlahnya dan beberapa hotel mewah tempat para elit melarikan
diri dan beristirahat sejenak dari mimpi buruk yang dialaminya sehari-hari,
itulah ‘kehidupan normal’ di sini. Lapangan golf di mana-mana, tapi tidak ada
taman publik yang layak, karena bahkan beberapa area hijau sudah diprivatisasi.
Sekarang ini mantan gubernur Jakarta, ‘Ahok’, dipenjara karena berani mengubah
keadaan; membangun transportasi umum, membersihkan sungai dan membangun
beberapa taman kecil. Dia dipenjara karena merelokasi penghuni liar ke
perumnas, dan juga karena berusaha melayani mayoritas penduduk yang miskin dan
dihina-hina.
Tindakan-tindakan sosialisnya segera dicemarkan dan didiskreditkan oleh para
elit, oleh LSM yang didanai Barat (Amerika dkk) dan oleh perencana kota yang
korup. Bahkan ketika hal-hal itu tidak bisa menghentikan tekad dan semangatnya,
maka diluncurkanlah isu agama. Bagaimanapun, sebagian besar agama bersifat
regresif, berorientasi pada bisnis, dan siap mendukung rezim fasis manapun.
Sampai seberapa burukkah kota-kota di Indonesia? Kapan kota-kota ini tidak akan
bisa dihuni lagi?
Rakyat sudah banyak yang sekarat; mungkin ribuan yang sudah sakit karena
kanker, karena stres, dan karena penyakit pernapasan.
Jutaan manusia menyia-nyiakan hidup mereka. Mereka hidup, tapi hanya wujudnya
saja, tidak benar-benar hidup: mereka bergerak secara mekanis, melintasi kota
yang parah polusinya dengan sepeda motor, makan junk food (makanan
cepat saji), dan selalu dikelilingi hal-hal yang buruk dan jelek.
Mengapa?
Untuk berapa lama lagi?
Hutan-hutan di Kalimantan, Sumatra dan Papua sudah habis terbakar. Di seluruh Kepulauan
Nusantara ini, semuanya sudah habis dijarah, ditambang, dan hancur karena
polusi yang mengerikan. Ekstraksi dan penjarahan sumber daya alam adalah
satu-satunya ‘mesin’ ekonomi riil di Indonesia saat ini.
Kota-kotanya tidak jauh lebih baik. Benar-benar tidak lebih baik.
Sudah waktunya bangsa Indonesia bangun, atau nanti akan terlambat. Tapi
nampaknya bangsa ini benar-benar tidur pulas. Mereka benar-benar tidak
memperhatikan bahwa negaranya sedang jatuh bebas. Mereka dikondisikan untuk
tidak memperhatikan. Mereka dibuat untuk menerima, bahkan untuk merayakan
keruntuhannya sendiri.
Mereka yang memaksa Indonesia ke dalam kondisi ini tentu tidak akan
membocorkannya. Setidaknya selama masih ada yang tersisa, sesuatu yang bisa
diekstraksi, dimanfaatkan, dijarah, maka mereka akan tetap memuji ‘kesuksesan’
dan ‘kemajuan’ Indonesia.
Saya mengajak semua orang dari seluruh dunia yang ingin melihat wajah sejati
neo-kolonialisme, kapitalisme brutal dan bencana yang ditimbulkan oleh sayap
kanan, untuk datang ke kota-kota di Indonesia! Datang dan lihatlah dengan
matamu sendiri. Datang dan jalan-jalan di sana; Jangan bersembunyi di
kota-kotamu sendiri yang nyaman, yang penuh dengan taman-taman rimbun, gedung
konser, bioskop seni, transportasi umum dan teater.
Ini hal yang nyata. Ini adalah peringatan bagi dunia!
Datang dan lihatlah bagaimana kondisi kota-kota di negara di mana komunisme dan
sosialisme dilarang, di mana sebuah koloni bahkan tidak menyadari bahwa mereka
sedang dijajah, dan di mana segala sesuatu disajikan di piring perak yang besar
langsung ke hadapan monster yang disebut fasisme.
14 Desember 2017, Ketapang, Kalimantan Barat, Indonesia
*Andre
Vltchek adalah seorang
filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang
dan konflik di berbagai negara. Tiga buku terbarunya adalah tribute-nya
kepada “The Great October Socialist Revolution”, novel revolusionernya Aurora,
dan buku bestselling-nya yang non-fiksi dan politis: “Exposing Lies Of The Empire”. Silahkan lihat buku-buku lainnya disini. Silahkan lihat Rwanda
Gambit, film dokumenternya
tentang Rwanda dan DRCongo, serta film/dialognya dengan Noam Chomsky “On Western Terrorism”. Sekarang ini Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur
Tengah, dan terus bekerja di berbagai belahan dunia. Dia dapat dihubungi
melalui website-nya atau Twitter-nya. Tautan ke esai aslinya: http://21stcenturywire.com/2017/12/17/indonesia-capitalism-reduced-cities-dehumanized-polluted-environments-ordinary-people/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar