Dilema Politik Kritik Sastra


(Sumber tulisan: Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten Edisi III Desember 2016)

oleh Sulaiman Djaya (Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten)
  
Abstrak

Beberapa tahun belakangan ini banyak yang menilai ‘kritik sastra’ tidak menunjukkan perkembangan dan kemajuan yang diharapkan. Sementara itu, pada saat yang sama, banyak orang pula menilai telah terjadi ‘politisasi kritik sastra’ yang motifnya beragam pula, mulai dari kepentingan ideologi, komunitas, atau pemilihan sepihak para ‘kritikus’ (atau katakanlah pengulas sastra dan redaktur) dengan sejumlah penulis (penyair atau sastrawan) tertentu yang memiliki ‘hubungan personal’. Berdasarkan kondisi dan alasan tersebut, tulisan ini mencoba memaparkan opini atau pendapat sejauh menyangkut persoalan-persolan tersebut, dengan mengambil contoh kasus Denny JA dan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diterbitkan Gramedia tahun 2014 itu.

Politik Sastra  

Sebagaimana telah dirasakan dan diketahui bersama, utamanya oleh para penulis, sastrawan, pengamat, dan mereka yang bergelut dan memiliki konsen terhadap sastra, dunia kepenulisan, dan kebudayaan pada umumnya, salah-satu hal yang cukup memprihatinkan dunia kesusastraan dan intelektual di Indonesia adalah seputar tingkah-polah “kritikus” atau para penulis-pengulas karya yang lebih memerankan diri sebagai “makelar pemasaran” atau pun “promotor”, hingga mereka hanya mampu mengutarakan pujian-pujian gombal sebagai upaya pembelaan kelompok atau dalam rangka memunculkan seseorang, dan sebaliknya, tanpa diiringi dengan semangat untuk mengetahui lebih intim dan membaca lebih peka karya yang ditulis itu sendiri. Barangkali kita akan menyebut perilaku dan fenomena tersebut sebagai “politisasi kritik sastra”, yang tentu saja hanya akan menyuburkan perilaku tidak adil untuk melihat karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini, banyak pihak menyoroti komunitas tertentu yang menurut sejumlah pihak itu telah melakukan ‘monopolisasi’ kritik sastra, dinilai dan diduga tidak objektif dan lebih cenderung ‘mempromosikan’ para penulis dari komunitas mereka saja, dan akhirnya lebih sering melakukan ‘politik’ atau ‘politisasi sastra’.

Dalam hal inilah, sekedar untuk bercermin dan melihat secara jernih hubungan antara sastra dan ideologi (dan kekuasaan), konflik dan pertarungan antar komunitas yang berpegang pada ideologi masing-masing yang berbeda dan berseberangan, yang bahkan seputar ‘politik sastra’ atau ‘politisasi sastra’ itu, telah cukup bagus juga diulas oleh Wijaya Herlambang melalui bukunya yang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965[1] yang secara jujur memaparkan bagaimana ‘politik sastra’ dalam konteks situasi politik nasional Indonesia yang menjadi medan pertarungan antara ideologi komunisme (sosialisme) dan liberalisme kala itu, yang pada akhirnya turut menentukan pula arena kompetisi dan dinamisme dalam dunia kebudayaan secara umum dan kesusastraan secara khusus, utamanya antara kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang sosialis dengan Pramoedya Ananta Toer sebagai ikon-nya dan kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang liberal dengan Goenawan Mohamad sebagai juru bicaranya. Sehingga dapat dikatakan bahwa politik sastra di Indonesia memang sudah lama terjadi dan berlangsung, yang memang terus berlangsung hingga saat ini.

Politik Kritik Sastra

Dan memang, masalah atau pun isu politik sastra itu pada akhirnya terkait juga dengan, atau lebih tepatnya, pada akhirnya menciptakan, suatu praktek ‘politik kritik sastra’, sebagaimana hal ini tersirat dalam buku yang ditulis oleh Wijaya Herlambang yang telah disebutkan itu. Sementara itu, kritik sastra sendiri, sebagaimana diidealkan T.S. Eliot (sekedar meminjam opini dan pandangan salah seorang penyair dan kritikus yang cukup ternama dan bernas), kerja kritik sastra ‘semestinya’ bukanlah ‘kerja amatiran’, dimana para kritikus harus mendisiplinkan prasangkanya. Baiklah, kita simak saja opini T.S. Eliot tentang kritik sastra:

“Yang saya maksud kritik di sini adalah komentar dan jabaran karya seni dalam bentuk kata-kata tertulis, karena penggunaan secara umum kata kritik selalu mengacu pada tulisan. Kritik, di sisi lainnya, harus selalu menyatakan suatu akhir dalam pandangan, yang dengan kata lain bisa dikatakan, bahwa kritik kelihatan seperti uraian, penjelasan suatu karya seni dan pembetulan suatu selera. Maka, tugas kritikus kelihatan lebih jelas, dan relatif mudah memutuskan apakah ia menghasilkan kritik yang baik atau tidak. Kalau dipelajari lebih dalam lagi, kritik adalah kegiatan bermanfaat yang tidak sederhana dan teratur, tidak seperti amatiran yang bisa dengan mudah didepak, yang tidak lebih baik daripada ahli pidato di taman tiap hari Minggu, yang belum sampai pada tahap seseorang yang punya perbedaan. Kritik, bisa dikatakan, suatu tempat sepi yang di dalamnya terdapat usaha kooperatif. Kritikus, kalau orang itu ingin menampilkan keberadaannya, seharusnya selalu berusaha mendisiplinkan prasangka dan keanehannya (sifat yang biasanya dilekatkan pada kritikus) dan mengubah perbedaannya sebanyaknya sesama koleganya, dalam mencapai penilaian benar yang sama. Kebanyakan kritikus terjebak dalam suasana yang tidak mendukung: baik itu dalam usaha saling akur, saling hasut, menjatuhkan, menekan, menyombongkan, saling menenangkan, berpura-pura bahwa mereka orang yang santun dan yang lainnya sangat diragukan reputasinya.”[2]

Pengandaian dan pandangan lainnya tentang kritik sastra diutarakan kritikus sastra Katrin Bandel ketika ia menyatakan bahwa: “Kritik sastra diharapkan membongkar asumsi-asumsi yang melatarbelakangi sebuah karya, serta memperlihatkan apa yang tersembunyi atau hanya disampaikan secara tersirat. Dengan demikian, kritik sastra dapat menjadi alat bantu yang sangat penting bagi pembaca kritis yang tidak ingin terbuai oleh tipuan ideologi penguasa.”[3] Pandangan Katrin Bandel tersebut, yang terdengar bernada Marxist, secara jelas mengandaikan bahwa seorang kritikus mestinya juga ‘membedah’ unsur-unsur ideologi dan juga hal-hal lain, semisal asumsi-asumsi budaya, sosial, ekonomi, bahkan unsur-unsur politis yang ‘ikut masuk’ atau yang terkandung dalam karya sastra atau yang melatar-belakangi ‘sebuah karya sastra’ hadir dan ditulis bagi kita para pembaca, di mana pendekatan ini digunakan juga oleh Wijaya Herlambang dalam bukunya yang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 itu.

Kasus Denny JA

Sealur dengan ideal kritik sastra yang diandaikan T.S. Eliot dan yang dipahami oleh Katrin Bandel itu, beberapa waktu yang lalu, dan hingga saat ini, ada suatu keprihatinan yang sangat mendalam dan memang sangat beralasan menyangkut ‘politik kritik sastra’ yang dilakukan secara sengaja dan sadar yang ditundukkan pada motif dan niat politis untuk menokohkan seseorang sebagai ‘tokoh sastrawan’, jika bukan Denny JA itu sendiri yang ‘menokohkan dirinya sendiri’ dengan menggunakan tangan sejumlah ‘sastrawan’, meski banyak pihak yang menentang dan menolak dengan alasan ketidakpantasan klaim penokohan itu sendiri dalam dunia kesusastraan berdasarkan pertimbangan karya dan kiprah, apalagi pemosisian tersebut harus menggusur sejumlah tokoh dan figur sastrawan dan penulis yang lebih pantas. Inilah, misalnya, yang disesalkan Katrin Bandel, yaitu ketika kritik sastra, dengan meminjam langsung tuturannya Katrin Bandel, “tidak terbebas dari risiko yang sama yang berlaku untuk sastra sendiri. Kritik sastra pun dapat menghamba pada kekuasaan, ketimbang speaking truth to power seperti yang diharapkan.”[4]

Kritik pedas Katrin Bandel itu seakan ingin menyindir dengan tajam dan blak-blakan sejumlah sastrawan dan penulis yang takluk di hadapan Denny JA hanya karena ia dapat memberikan honor yang lumayan besar bagi siapa saja yang mau mendukung ‘selera’-nya dengan tulisan, ulasan, bahkan dengan kritik sastra, yang memang banyak para sastrawan yang menulis demi mengangkat Denny JA yang sebenarnya bukan sastrawan dan mereka mendapuknya sebagai ‘sastrawan’, meski Denny JA lebih pas disebut politisi. Lalu ramai-lah aneka ulasan dan kritik sastra yang ditulis demi ‘mempromosikan’ selera Denny JA, yang dalam hal ini dapatlah dikatakan sebagai praktik ‘politik kritik sastra’.

Terkait dengan masalah tersebut, ada seorang teman berkata, “Tidakkah dengan demikian Denny JA telah berhasil merendahkan para sastrawan?’ Karena secara tidak langsung, otoritas Denny JA justru telah ‘merendahkan’ otoritas sastrawan. Karena praktik kritik sastra yang lebih bersifat politis ketimbang intelektual itulah, lahirlah para sastrawan yang pandai mengambil kesempatan alias pragmatis, meski kemudian ada hal-hal prinsip yang 'dikorbankan' menyangkut tanggungjawab intelektual dan sejarah yang harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan generasi selanjutnya, dan utamanya dalam ranah pendidikan dan sejarah sastra Indonesia itu sendiri.

Kasus Denny JA dalam hiruk-pikuk politik sastra dan politik kritik sastra, tak ragu lagi, adalah contoh yang paling vulgar, paling kasat mata, dan paling gamblang sejauh menyangkut bagaimana sang pemilik modal sanggup ‘mengarahkan’ dan melakukan imperatif (entah langsung atau tak langsung, entah blak-blakkan atau terselubung) untuk ‘menetapkan’ selera pribadi sang pemilik modal. Barangkali dapat juga dikatakan bahwa ‘sang pemilik modal’ telah berhasil dan sukses untuk menunjukkan ‘arogansi’ terselubungnya untuk menempatkan otoritas dirinya sendiri yang ‘tunggal’ di atas otoritas para sastrawan dan para penulis sastra. Dan celakanya, jika hal itu benar dan terbukti, maka ia secara langsung atau tak langsung, sesungguhnya telah ‘merendahkan’ para sastrawan.

Namun soalnya ternyata tak hanya itu saja, sebab jika benar secara objektif bahwa Denny JA sangat tidak pantas didapuk sebagai ‘tokoh sastrawan’, maka para sastrawan yang telah meluluskan hasrat narsis dan ambisi egoistik Denny JA yang haus popularitas itu, telah ikut melakukan upaya penokohan secara politis tentang Denny JA, juga telah melakukan pengkhianatan sejarah sastra sekaligus melakukan pencederaan dan pelecehan estetik dan intelektual.

Tentu saja, sekedar untuk ‘mengingatkan’ kita kembali, kasus Denny JA yang kita bicarakan ini adalah terkait ‘didapuknya’ Denny JA sebagai 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) itu, di mana sematan ‘berpengaruh’ itu menjadi persoalan terkait dengan Denny JA dalam dunia dan kiprah sastra. Sehingga sejumlah kalangan mempertanyakan apakah pengaruh dalam arti influence, “efek/akibat” (effect) atau “dampak” (impact), yang mana secara istilah dan kebahasaan, ketiga istilah ini memiliki makna dan konotasi yang berbeda. Dalam hal ini, jika yang kita maksud atau katakanlah yang kita sepakata adalah “pengaruh” (influence), maka hal itu tetap terdapat sejumlah persoalan konseptual sebagaimana diajukan dan atau diprotest oleh Katrin Bandel, yang dalam hal ini tidak dijabarkan oleh Tim 8 (yang menyusun buku dan menetapkan 33 tokoh tersebut) sebagai berikut (dengan meminjam langsung bahasan dan tuturannya Katrin Bandel): Pertama, “pengaruh” adalah hal yang sangat abstrak dan tidak mudah diukur. Kedua, secara sekilas “pengaruh” mungkin berhubungkan dengan “mutu”. Namun pada dasarnya, kedua hal itu terpisah satu sama lain. Ketiga, pantas dipertanyakan mengapa persoalan “pengaruh” dibicarakan dengan fokus pada “tokoh”. Bukankah di dunia sastra yang memiliki pengaruh itu terutama sekali adalah tulisan? Keempat, kata “berpengaruh” tanpa ada lanjutannya, dalam arti tanpa ada keterangan tentang apa atau siapa yang dipengaruhi, terkesan sangat umum dan tanpa fokus yang jelas.[5]

Tak diragukan lagi, kasus Denny JA (dan tentu saja buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh) itu adalah contoh yang paling vulgar tentang bagaimana ‘sang pemilik modal’ dengan ‘kekuasaan’ dan kekuatan kapital atau modalnya sanggup membeli legitimasi dan predikat dalam disiplin sains dan kebudayaan, tak ubahnya ‘tokoh preman’ yang membeli ijazah (palsu) dari institusi atau lembaga pendidikan, sehingga mirip dengan sindirannya Frederic Jameson (dengan mengutip langsung pernyataannya dalam pengantar untuk buku The Postmodern Condition-nya Jean-Francois Lyotard): bahwa saat ini sains, pengetahuan, penelitian tekhnologi tidak lain adalah produksi industri dan pengkapsulan nilai surplus[6] di mana dalam era pasar dan kapitalisme mutakhir jaman kita saat ini, kekuatan modal dan kapital acapkali menjadi tirani baru. Tirani yang telah dikritik Katrin Bandel dalam sejumlah tulisannya yang menolak buku 33 Tokoh Sastra Indonesia paling berpengaruh itu.

Dalam era pasar atau jaman kapitalisme mutakhir kita saat ini, yang bila mengutip bahasanya Jean-Francois Lyotard adalah sebuah jaman atau suatu kondisi di mana hubungan antara penyedia dan pengguna pengetahuan dengan pengetahuan yang disuplai dan digunakan cenderung mirip hubungan komoditas[6] yang membuat analisis Marxist masih tetap relevan untuk membongkar hubungan antara kebudayaan (dan atau kesenian) dengan kekuasaan dan atau dengan kepentingan para korporat, sebagaimana analisis Marxist dalam ranah kebudayaan ini juga digunakan oleh Wijaya Herlambang dan Katrin Bandel, sebagaimana telah disinggung. 

Asas Kritik Sastra

Landasan utama kritik sastra adalah kejujuran dan sikap mengesampingkan terlebih dahulu siapa seorang penulis ketika membaca sebuah karya –bukan sebaliknya, di mana simpulan-simpulan dan argumentasi-argumentasi tulisan kritik sastra akan disemangati oleh kehendak dan upaya untuk membaca karya itu sendiri, bukan untuk memunculkan atau pun menyerang “figur” atau pun “nama diri” seorang penulis atau pun pengarang. Yang juga penting adalah untuk menjaga agar sebuah esei atau ulasan kritik-sastra tidak berubah menjadi gosip yang sifatnya ad hominem, dalam artian lebih banyak membicarakan penulisnya ketimbang karyanya.

Semangat politis yang berlebihan seperti yang dirasakan dan dialami banyak penulis atau seniman, pada akhirnya hanya akan mengalahkan dan meniadakan kejujuran estetik itu sendiri –membuat mata tak lagi bisa melihat, dan telinga jadi tersumbat dari semangat estetika untuk mengafirmasi dan membela kepekaan hidup dan dari upaya sungguh-sungguh untuk menyelami karya yang ditulis oleh siapa saja.

Kritik sastra yang baik adalah kritik sastra yang imbang –dalam arti membicarakan atau pun mengulas kelebihan, sumbangan, keunikan sebuah karya yang dibahas dan dibicarakan, sekaligus tidak menutup-nutupi aspek-aspek kelemahan, kekurangan, warisan, dan jejak-jejak karya-karya lain yang ditulis sebelumnya dalam sebuah karya yang tengah dibicarakan dan dibahas oleh sebuah tulisan atau ulasan kritik sastra.

Jikalau pun ada upaya untuk memenangkan atau mengalahkan satu atas lainnya, tetap saja dalam posisi dan kadar pembicaraan karyanya, bukan penulisnya atau penyairnya –hingga nama diri pengarang dan penulis disebut pun bukan dalam rangka mengatasnamakan mereka, tetapi lebih merupakan rujukan sementara saja dalam tulisan atau pun ulasan sebuah esai atau pun ulasan kritik sastra.

Dengan ini barangkali kita perlu juga berandai-andai, misalnya, ada sebuah karya prosa atau puisi yang membuat sebuah kerangka analitik dan teoritik tafsir atau pun metode pembedahan tiba-tiba kehilangan relevansinya untuk selaras dan cocok sebagai alat untuk menafsir dan membaca karya tersebut –sebab adakalanya sebuah analisa dan tafsir justru lahir setelah karya, bukannya sebelum karya, di mana ada suatu waktu Heidegger membaca sajak-sajaknya Friedrich Holderlin yang malah membantunya untuk menuliskan tesis dan argumentasinya untuk buku Being and Time-nya –dan di suatu waktu Mikhail Bakhtin terpesona dengan novel-novelnya Dostoievsky, lalu menulis tentang apa itu prosa, seperti juga istilah surplus meaning-nya Paul Ricoeur dan ma’na bathin-nya Al-Ghazali adalah istilah-istilah yang ditetapkan dengan mantap ketika dan setelah membaca bentuk-bentuk dan metode-metode penuturan dan metafora kitab suci.

Adakalanya ketidaktepatan penggunaan wawasan atau metode analisa dan tafsir malah hanya akan membuat sebuah karya lepas dari pembacaan yang intim. Begitulah ketika seorang yang hendak mengulas sebuah karya sastra membaca sebuah puisi atau pun novel, tentu ia akan melupakan dan menunda untuk sementara wawasan teoritiknya tentang seni atau pun sastra yang telah ia pahami dan telah menyusun presuposisi alias praduga-praduga epistemik dalam benaknya, sebab ia mestilah mengetahui terlebih dahulu apa yang tengah dituturkan dan digambarkan sebuah teks sastra yang sedang ia baca –mungkin ada sesuatu yang lain, yang unik, dan yang sama sekali datang sebagai sesuatu yang masih asing dan belum dikenali atau pun belum diulas oleh wawasan dan kerangka teoritik tafsir dan analisa yang ada dan ditulis saat ini.

Refleksi Penutup

Berdasarkan sejumlah fenomena dan praktik ‘politik kritik sastra’ dan atau ‘politik sastra’ yang dilakukan sejumlah pihak dan kalangan beberapa tahun belakangan ini, nampak sekali bahwa yang paling disayangkan sering terjadi adalah upaya dan praktik-praktik ‘penokohan’ penulis atau pun pengarang itu sendiri serta ‘dominasi sepihak’ sejumlah komunitas atas sejumlah media dan forum sastra, sehingga kecendrungannya adalah acapkali ‘seseorang’ atau pun seorang penulis dan atau sejumlah penulis yang ‘ditokohkan’ atau ‘berusaha dipromosikan’ adalah mereka yang mewakili ‘komunitas tertentu’, meski secara karya (sebagaimana yang dikeluhkan Katrin Bandel) itu, bukan hanya karya-karya mereka yang ‘ditokohkan’ atau ‘dipromosikan’ oleh komunitas yang ‘menguasai sejumlah media sastra’ atau pun ‘forum sastra’ tersebut yang memiliki kualitas yang baik dan bahkan bagus bila dilihat dari sisi dan segi karya.

Seperti yang dikeluhkan sejumlah pihak itu, ada komunitas dan atau geng tertentu yang memang menguasai media-media besar dan forum-forum sastra, entah yang berskala nasional atau pun internasional, yang seringkali, sebagaimana dikritik dan dilawan sejumlah pihak itu, lebih gandrung melakukan upaya ‘penokohan’ dan atau ‘mempromosikan’ para penulis yang merupakan bagian dari komunitas mereka. Hal ini juga termasuk dalam praktik-praktik pemberian atau penganugerahan ‘literary award’ atau ‘anugerah sastra’, yang kalau meminjam bahasanya Arif Bagus Prasetyo dalam tulisannya di Harian Kompas edisi Minggu, 9 Januari 2011, acapkali juri-juri yang menyeleksi sejumlah karya sastra dan sejumlah penulis atau sastrawan yang berhak atau layak mendapat sejumlah literary award atau anugerah sastra itu, bukanlah para ‘kritikus sastra’ yang dirasa akan objektif dalam melakukan penilaian dan seleksi dalam artiannya yang jujur dan ideal, hingga ajang-ajang literary award atau anugerah sastra itu sendiri seringkali dianggap sebagai skandal dan kontroversi bagi sejumlah pihak.

Selain itu, lagi-lagi sebagaimana dikeluhkan dan disinyalir sejumlah pihak, seperti Katrin Bandel misalnya, mereka yang didapuk sebagai ‘kritikus sastra’ pun merupakan bagian dari strategi dan politik ‘komunitas tertentu’ dalam rangka menjadi perpanjangan ‘kepentingan politik sastra’ komunitas yang mendapuk sejumlah orang sebagai ‘kritikus sastra’ itu. Tentu saja, pada akhirnya, hanya argumentasi intelektual yang dapat menilai apakah tuduhan sejumlah pihak itu benar atau tidak. Hanya saja, dalam ranah dan domain konflik dan perdebatan intelektual itu sendiri acapkali dilandasi oleh pilihan ideologi dan paradigma intelektual yang berbeda dan saling bertolak-belakang antara yang mengkritik dan yang dikritik, yang dalam contoh masa lalu dinamika kesusastraan Indonesia, seperti telah disinggung, misalnya, antara kubu Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang sosialis-komunis dan kubu Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang liberal.

Dalam hal ini, barangkali kita perlu juga bertanya, ‘apakah masih relevan bagi kita untuk mempertahankan dikotomi antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang sosialis-komunis dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang liberal sebagai ideologi dan khazanah estetik serta intelektual dalam konteks saat ini? Tidak adakah pilihan lain selain mempertahankan pertentangan antara Lekra dan Manikebu tersebut bagi kita yang ‘menjadi’ para penulis atau sastrawan setelah mereka yang masing-masing menempatkan diri mereka dalam barisan Lekra dan Manikebu tersebut? Tidakkah hal itu hanya akan mengukuhkan atau hanya akan ‘mengkanonisasi’ secara historis sepanjang sejarah sastra Indonesia bahwa dalam sejarah sastra Indonesia hanya pernah ada kubu Lekra dan Manikebu ketika kita terus-menerus menghidupkan debat mereka di masa silam dalam konteks saat ini?’

Singkatnya, barangkali kita sendiri harus ‘keluar’ dari dikotomi Lekra dan Manikebu tersebut dan menciptakan arah dan gelombang baru yang diharapkan akan bisa melepaskan diri kita dari penjara dikotomis antara ideologi Lekra dan ideologi Manikebu itu, yang salah-satunya adalah lewat institusi akademik yang diharapkan dapat menjadi ‘lembaga’ atau ‘institusi’ kritik sastra yang kompeten, netral, dan berwibawa. Sebab, sebagaimana sama-sama kita tahu, acapkali mereka yang menyerang dan mengkritik praktik dan atau perilaku ‘komunitas’ tertentu beberapa tahun belakangan ini yang kebetulan dinahkodai oleh penulis dan sastrawan eksponen Manifes Kebudayaan, memposisikan diri di barisan ideologis Lekra, sehingga mereka baik secara sadar atau pun tanpa sadar memposisikan diri di posisi barisan Lekra dan hanya menjadi pemain peganti untuk melawan apa yang mereka pandang sebagai ‘praktik politik sastra’ yang kebetulan kubu dan komunitas yang mereka lawan itu dinahkodai oleh eksponen Manifes Kebudayaan.

Dan akhirnya, sebelum menutup dan mengakhiri tulisan ini, penulis perlu menegaskan bahwa tulisan ini memang sengaja memilih posisi atau sengaja memposisikan dirinya hanya sebagai penanya dan sekedar menawarkan diskusi atau refleksi-refleksi subjektif penulisnya sendiri terkait dengan keluhan sejumlah pihak dan kalangan perihal krisis atau tidak adanya kemajuan dalam ‘kritik sastra’ bersamaan dengan meruaknya dan lahirnya banyak karya sastra dan para penulis di jagat sastra Indonesia kita beberapa tahun belakangan ini. Namun tentu saja, bukan berarti kita tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk memajukan kritik sastra itu sendiri dan membangun ‘lembaga’ atau ‘institusi’ kritik sastra yang kompeten, netral, dan berwibawa. Wassalam dan terimakasih!

Catatan:
[1] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, MarjinKiri, November 2013
[2] Silahkan rujuk http://archiple.blogspot.com/search?q=fungsi+kritik+sastra diunduh pada 21 Juli 2015.
[3] Silahkan rujuk https://boemipoetra.wordpress.com/2014/03/19/kritik-sastra-yang-menghamba-pada-kekuasaan/ diunduh pada 21 Juli 2015.
[4] Ibid.
[5] Silahkan rujuk https://boemipoetra.wordpress.com/2014/01/06/beberapa-catatan-atas-judul-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/ diunduh pada 22 Juli 2015.
[6] Jean-Francois Lyotard, Krisis dan Masa Depan Pengetahuan (diterjemahkan dari buku The Postmodern Condition: Report On Knowledge, Manchester University Press, 1984), Penerj. Kamaludin, Teraju, 2004, hal. 10.

[7] Ibid, hal. 27. 

Tidak ada komentar: