Oleh Rahmat Hidayatullah (Litbang Dewan Kesenian Banten)
Studi tentang Taman Budaya (Cultural Park) melibatkan
pelbagai disiplin keilmuan yang beragam. Menurut González (2013: 1-2), Taman
Budaya adalah contoh terbaik dari apa yang disebut Law dan Mol (2002) sebagai
“benda licin” (slippery objects). Dalam sebuah Taman Budaya, mustahil untuk
memisahkan antara satu aspek dengan aspek lain atau menganalisis setiap elemen
secara terpisah. Perencanaan tata ruang (spatial planning), pariwisata
(tourism), organisasi kelembagaan (institutional organization), pengelolaan museum
dan cagar budaya (heritage and museum management), antara lain, berinteraksi
sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk menentukan area aktivitas yang
tepat bagi setiap disiplin. Jadi, Taman Budaya dapat mengambil makna yang
berbeda tergantung pada akar disiplin dari penulis yang mengkajinya. Ia dapat
menjadi instrumen perencanaan tata ruang, pelayanan cagar budaya atau vektor
untuk daya tarik pariwisata. Secara paralel, Taman Budaya dapat diartikulasikan
secara berbeda di tingkat lokal tergantung pada siapa yang merencanakan dan
mendukungnya, untuk tujuan apa dan dalam konteks apa.
Karakteristik interdisipliner kajian Taman Budaya
tersebut pada gilirannya turut mempengaruhi cara para penulis mendefinisikan
Taman Budaya.
Berikut ini beberapa definisi yang dikemukakan oleh para
penulis sebagaimana dicatat oleh González (2013: 31). Bagi arkeolog Almudena
Orejas (2001: 6), Taman Budaya merupakan “instrumen koordinasi warisan budaya”,
sedangkan bagi geografer Rubio Terrado (2008: 26), Taman Budaya adalah “sebuah
usulan perencanaan tata ruang di daerah pedesaan.” Menurut Daly (2003: 2),
seorang promotor National Heritage Areas (NHA) dari Amerika Serikat, Taman
Budaya adalah “inisiatif daerah yang dinamis, yang membangun hubungan antara
orang, tempat, dan sejarah mereka.” Bagi perencana tata kota seperti Bustamante
dan Ponce (2004: 10), Taman Budaya merupakan “proyek yang berusaha membangun
citra identitas daerah.” Akhirnya, arsitektur seperti Sabaté (2009: 21-22)
menganggap Taman Budaya sebagai “instrumen untuk memproyeksikan dan mengelola
Lanskap Budaya (Cultural Landscape), yang cakupannya tidak hanya pelestarian
warisan budaya atau promosi pendidikan, tetapi juga untuk mendukung pembangunan
ekonomi lokal.”
Perbedaan definisi di atas memperlihatkan ketegangan
antara gagasan “ideal-transenden” tentang Taman Budaya dan persepsi empiris
tentang kompleksitas Taman Budaya.
Dalam kenyataannya, ambivalensi yang terkandung dalam
konsep “landscape” direproduksi dalam konsep Taman Budaya. Di satu sisi,
terdapat kontradiksi antara isu-isu eksistensial yang berkaitan dengan
identitas dengan visi utilitarian tentang ruang. Di sisi lain, ketegangan
muncul antara mereka yang menganggap Taman Budaya sebagai proyek berorientasi
masa depan dan mereka yang melihat Taman Budaya sebagai instrumen pelestarian
masa silam. Kendati demikian, ada beberapa elemen inti yang berulang kali
disorot dalam setiap definisi, yaitu pentingnya partisipasi lokal, pembentukan
manajemen kemitraan yang heterogen dan “visi daerah” (regional vision) tentang
lanskap dan warisan budaya. Dalam konteks ini, beberapa definisi lebih
menekankan pelestarian warisan budaya sebagai tujuan utama, sementara definisi
lain lebih menempatkan pembangunan ekonomi sebagia pusat perhatian.
Dengan demikian, bagi Bustamante dan Ponce, maksud Taman
Budaya adalah membangun “citra daerah yang kuat” (strong regional image) untuk
mencapai tujuan ekonomi. Sebaliknya, bagi Sabaté, premis utama Taman Budaya
adalah untuk meningkatkan harga diri masyarakat lokal (self-esteem of local
communities), “pariwisata akan datang kemudian.” Daly berpendapat bahwa tujuan
utama Taman Budaya adalah pemanfaatan warisan budaya sebagai dasar untuk
pengembangan proyek bersama demi masa depan yang direncanakan oleh kelompok
sosial dalam skala daerah (González, 2013: 32).
Genealogi Taman Budaya pada dasarnya dapat ditelusuri
kembali ke abad ke-19 di Eropa dan Amerika. Eropa menyajikan praktik
pembangunan Taman Budaya yang sangat heterogen tergantung pada masing-masing
negara. Namun demikian, terdapat beberapa kecenderungan umum yang mendasari
pengembangan Taman Budaya di Eropa. Salah satu faktor penting adalah
konseptualisasi museum—khususnya museum Prado atau Louvre—sebagai landasan
kultural penting legitimasi negara bangsa (nation-state) yang lahir pada abad
ke-19 (Sherman, 1989). Ide ini masih sangat berpengaruh dan telah menyebabkan
pemisahan yang jelas antara museum dan kawasan lindung (protected areas)
seperti taman nasional atau taman alami, yang lebih berhubungan dengan ide
pelestarian alam.
Menurut González dan Vázquez (2014: 36), selama abad
ke-20, beberapa proses dan bentuk pengelolaan tertentu telah memfasilitasi
kemunculan Taman Budaya, antara lain:
[1] Tradisi museum terbuka (open-air
museums) di Skandinavia, di mana koleksi folkloric menjalin kontak dengan alam,
seperti museum Nordiska Museet pada tahun 1880 atau museum Skansen pada tahun
1891. Tradisi ini sangat mempengaruhi Ecomuseum Skandinavia kontemporer dan Taman
Budaya seperti Bergslagen.
[2] Kemunculan New Museology dan Ecomuseum.
Perkembangan ini mempengaruhi fokus Taman Budaya menjadi instrumen pertumbuhan
sosial-ekonomi dan representasi komunitas sosial-ekonomi tersebut.
[3] Tradisi pengelolaan kawasan lindung
(protected area) di Italia tidak mengkonsepikan taman sebagai ruang tertutup,
margasatwa atau cagar alam, tetapi sebagai bagian dari jalinan ekologi dan
budaya yang kompleks. Selain itu, ia memiliki karakter budaya yang kuat,
berbeda dari konstruksi mazhab naturalis-fungsionalis Amerika, yang dipakai
sebagai dasar untuk pembentukan Taman Budaya dan jaringan Taman Budaya seperti
yang terdapat di Tuscany, Italia.
[4] Skema taman daerah Perancis (French
regional park) diciptakan selama tahun 1960-an. Sementara taman nasional
dimiliki dan dikelola oleh negara, taman daerah merupakan inisiatif lokal yang
melibatkan pelbagai jenis kepemilikan dan aktor sosial. Konservasi cagar alam
dan budaya bukanlah lingkup dalam dirinya sendiri, melainkan suatu cara untuk
memberikan citra kualitas (image of quality) kepada daerah dalam rangka
mendukung pembangunan sosial-ekonomi, menarik pariwisata dan meningkatkan
kemampuan lokal.
[5] Perkembangan Arkeologi Industri
merupakan faktor penentu di kedua sisi kawasan Atlantik sejak 1960-an. Ia telah
mempromosikan konsepsi spasial tentang situs warisan budaya industri dan
pendekatan demokratis dalam pengelolaannya, yang biasanya dihubungkan dengan
pembangunan sosial-ekonomi.
Di Amerika, skema taman nasional dimulai dari pembangunan
Yellowstone National Park pada tahun 1872 dan dilembagakan melalui pembentukan
National Park Service (NPS) pada tahun 1916. Sejak awal kemunculannya,
Yellowstone National Park berfungsi sebagai “mitos pastoral” (pastoral myth)
dan repositori identitas nasional (Bray, 1994: 3). Yellowstone National Park
berusaha untuk mencapai keseimbangan antara pelestarian padang gurun alam dan
narasi penaklukan alam berikut peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengannya.
Pembentukan Yellowstone National Park telah menjadi proses yang sulit dan
kontroversial di Amerika Serikat akibat adanya ide yang telah berakar mendalam
tentang taman sebagai ruang konservasi tertutup dengan gerbang khusus yang
dimiliki dan dikelola secara publik.
Penciptaan National Trust for Historic Preservation pada
tahun 1949 dan pemberlakuan National Historic Preservation Act pada tahun 1966
membuka jalan bagi kemunculan National Heritage Area (NHA) (Eugster, 2003: 50).
Selanjutnya, sejak tahun 1960 dan seterusnya, terjadi pergeseran dalam
pengelolaan taman nasional sehubungan dengan environmentalist turn yang
diwakili oleh mazhab perencanaan ekologi di Amerika Serikat (Steinitz, 1968)
dan mazhab ekologi lanskap di Eropa (Forman dan Gordon, 1986). Paradigma baru
ini melampaui ide taman sebagai ruang terbatas dan merangkul ide menyeluruh
tentang ekosistem besar yang meliputi unsur-unsur sosial-budaya.
Fondasi tradisional taman nasional, taman alam atau cagar
biosfer dalam pelbagai bentuknya merespon paradigma yang didasarkan pada
pasangan konseptual alam dan konservasi. Tujuannya adalah untuk membatasi ruang
dan melucutinya dari konteks sosial dalam rangka melestarikan margasatwa dan
panorama spektakuler. Ia dianggap sebagai entitas yang menjadi perhatian publik
dan nasional yang harus didanai secara publik. Kepemilikan tanah oleh
pemerintah melibatkan pendekatan teknis-ilmiah dan birokratis dan
pengelolaannya cenderung steril dari keterlibatan warganegara, yang pendapat
dan bentuk-bentuk kehidupannya hampir tidak diperhitungkan (Phillips, 2002).
Taman Budaya berusaha untuk membedakan diri dari paradigma pengelolaan semacam
ini.
Tujuan pembentukan Taman Budaya bukanlah pelestarian,
tetapi pengelolaan aktif atas sumber daya warisan budaya dalam rangka
mempromosikan identitas lokal suatu wilayah dan pembangunan ekonomi (Bray,
1994: 3-4). Tidak seperti kebanyakan model perencanaan tata ruang, Taman Budaya
seringkali diselenggarakan secara bottom-up oleh kelompok-kelompok akar rumput
(grassroots). Biasanya, komunitas lokal menciptakan kemitraan, di mana
aktor-aktor sosial yang berbeda berpartisipasi dalam kerjasama dengan
lembaga-lembaga publik. Baik di Eropa dan Amerika, pembentukan Taman Budaya
pada umumnya mensyaratkan bahwa pelestarian sumber daya alam dan budaya
dilakukan oleh kemitraan tanpa lembaga tertentu yang mengklaim kepemilikan
tanah (Frenchman, 2004).
Entitas manajemen biasanya diciptakan untuk memandu
pelaksanaan taman, mengembangkan rencana jangka panjang yang mengidentifikasi
tujuan pengelolaan wilayah dan menetapkan tanggung jawab kepada para pemangku
kepentingan (Daly, 2003). Mereka juga secara aktif campur tangan dalam desain
wilayah, menciptakan hubungan antara koridor budaya dan alam, jasa pariwisata
dan aset kebudayaan seperti museum atau pusat pengkajian. Taman Budaya
didasarkan pada sumber daya wilayah di kawasan tertentu dalam rangka menghasilkan
citra taman dan struktur administratif yang menyediakan kohesi dan makna ruang.
Proyek ini berfokus pada “interaksi antara manusia dan
lingkungannya. Kawasan cagar budaya berusaha menceritakan kisah orang-orang
dari waktu ke waktu dan bagaimana lanskap membentuk tradisi rakyat” (Vincent
dan Whiteman, 2008: 1). Dengan demikian, wilayah ini pada umumnya dikembangkan
dari Lanskap Budaya atau perjalanan budaya, yang dikelola di sekitar tema
sentral seperti masa lalu industri, episode militer, situs arkeologi dan
sebagainya. Dalam keseluruhannya, cagar budaya biasanya berfungsi sebagai
prinsip pengorganisasian, yang melaluinya komunitas lokal merencanakan masa
depan ekonomi, lingkungan dan budaya mereka. Menurut Eugster (2003: 51), Taman
Budaya memberikan kohesi bagi masyarakat, “karena semua orang memiliki warisan
dan warisan itu memiliki makna bagi mereka…Kawasan cagar budaya memiliki hati,
jiwa, dan roh manusia yang kurang dimengerti oleh kebanyakan rencana induk
tradisional, rencana penggunaan lahan, dan peraturan zonasi. Kawasan cagar
budaya memungkinkan rakyat untuk mengklaim tempat-tempat ini dan membuat
komunitas, lanskap dan daerah menjadi relevan dan spesial bagi penduduk yang
dilayaninya.”
Dengan demikian, penekanan bergeser dari tingkat nasional
ke tingkat lokal, dan tanggung jawab manajemen bergerak dari para ilmuwan dan
ahli ke agen-agen lokal dan perantara yang menggabungkan pengetahuan lokal dan
teknis dan melakukan tugas-tugas yang berbeda (Phillips, 2003). Dalam banyak
kasus, cakupan geografis Taman Budaya bervariasi sesuai kondisi-kondisi lokal,
ruang lingkup teritorial, jenis warisan yang digunakan, tujuan utama dan bentuk
topologi mereka. Mengingat Taman Budaya didukung oleh gagasan konstruksi sosial
tentang “Lanskap Budaya”, bukan oleh gagasan objektif tentang reifikasi ‘alam’
yang harus dilestarikan, konsepsi dan perencanaan Taman Budaya harus bergeser
dari perspektif teknis-birokratis ke perspektif interpretatif berbasis warisan
budaya. Pengembangan sebuah lanskap dianggap menjadi cara untuk menyediakan
kepada pengunjung sebuah “kode” untuk memahami wilayah itu, dalam rangka:
“Meningkatkan signifikansi budaya wilayah melalui
pembacaan, yang memberikan nilai bagi memori, mentransfer maknanya ke situasi
hari ini. Identitas dan energi budaya, sosial dan ekonomi dapat mentransformasi
memori menjadi faktor inovatif, dalam bentuk-bentuk baru pembangunan dan
pelestarian. Ini adalah inisiatif, yang memungkinkan jumlah transformasi tak
terhitung dalam arti metamorfosis produktif suatu tempat di mana identitas
budaya (cultural identity) dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap
wilayah diraih kembali” (Barilaro, 2006: 101).
Kehendak untuk memulihkan jiwa suatu tempat (soul of
places), identitas lokal dan rasa memiliki adalah sebuah strategi yang
memungkinkan daerah tertentu untuk membedakan diri dari daerah lain dalam
kancah persaingan global. Taman Budaya berupaya memperkuat sinergi teritorial
“dengan menangkap dan menceritakan kisah orang-orang dan tempat mereka. Kisah
ini, ketika dihubungkan bersama, mencerminkan identitas daerah dan mendukung
kesadaran kolektif tentang kebutuhan untuk melindungi dan meningkatkan apa yang
membuat tempat kita unik” (Daly, 2003: 2). Taman Budaya adalah tempat rekreasi
dan hiburan (places of leisure and entertainment) bagi masyarakat lokal dan
pengunjung luar dalam lingkungan manusiawi (humanized environments) yang tidak
lagi tertutup sebagaimana “kawasan hijau” (green areas) dalam ruang terbatas.
Pada akhirnya, tujuan Taman Budaya adalah transformasi kawasan-kawasan yang
dilanda depresi ekonomi dan demografis menjadi wilayah yang dinamis. Dalam
merealisasikan tujuan tersebut, Taman Budaya menggunakan strategi pemasaran
yang mendukung pengembangan citra merek (brand images) yang memungkinkan bagi
proses identifikasi wilayah, berikut nilai-nilai dan aset budaya yang
dimilikinya, sebagai komoditas. Taman Budaya biasanya berwatak intervensionis
dalam hal perencanaan tata ruang dan memiliki tujuan komersial. Namun, fakta
ini tidak harus menjadikan Taman Budaya sebagai taman tematik karena ia
mengelola identitas dan warisan nyata demi pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) dan bukan untuk intensifikasi laba (González dan
Vázquez,2014: 39-40).
Di Eropa, definisi Taman Budaya cenderung lebih heterogen.
Eropa pada dasarnya mengambil ide dari UNESCO dan European Landscape
Convention. Berbeda dengan Amerika, Eropa tidak mengenal sistem Taman Budaya
yang menyeluruh. Sabaté (2009: 630, dalam González dan Vázquez, 2014: 40),
misalnya, memahami Taman Budaya sebagai “instrumen manajemen proyek, yang
mengakui dan meningkatkan nilai Lanskap Budaya tertentu, tidak hanya mengejar
pelestarian cagar budaya atau promosi pendidikan, tetapi juga pembangunan
ekonomi lokal.” Menurut Bergdahl (2005: 71, dalam González dan Vázquez, 2014:
40), “konsep Taman Budaya telah memperluas jangkauannya [...] tujuannya tidak
sekedar untuk melestarikan sejarah suatu daerah. Taman Budaya berusaha untuk
memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi yang positif dari suatu daerah,
tujuan yang agak jarang bagi sebuah museum, yang berarti bahwa Taman Budaya
lebih diproyeksikan menuju masa depan wilayah ketimbang masa lalunya.”
Sementara Bustamante dan Ponce (2004: 14, dalam González
dan Vázquez, 2014: 40) menganggap Taman Budaya sebagai proyek “yang
mengistimewakan produksi citra yang memberikan identitas bagi suatu wilayah, di
mana cagar budaya bersama dengan sumber daya alam dan budaya lainnya
digabungkan, disajikan, dan dipromosikan secara sengaja dalam rangka membentuk
lanskap berpola yang bercerita tentang sejarah wilayah tersebut dan
penghuninya.”
Sebaliknya, di Amerika, pengembangan sintesis publikasi
yang berdiri di antara bidang literatur ilmiah dan pemasaran merupakan gejala
umum bagi kawasan cagar budaya (heritage areas). Kerangka kerja mereka lebih
dekat dengan isu pariwisata, rekreasi dan komunitas lokal, berbeda dengan fokus
Eropa pada manajemen lanskap. National Park System mendefiniskan Taman Budaya
sebagai taman “yang ditetapkan oleh Kongres Amerika Serikat, di mana sumber daya
alam, budaya, sejarah, dan rekreasi bergabung membentuk lanskap yang khas dan
kohesif secara nasional, yang timbul dari pola-pola aktivitas manusia yang
dibentuk oleh geografi. Kawasan ini menceritakan kisah penting tentang bangsa
kita dan merupakan representasi pengalaman nasional baik melalui ciri-ciri
fisik yang masih bertahan dan tradisi-tradisi yang berkembang bersamanya”
(National Park System Advisory Board, 2006: 2).
Meskipun akar disiplin dan geografisnya berbeda, pelbagai
definisi, konsep dan praktik Taman Budaya secara bersamaan memberikan gambaran
tentang bagaimana Taman Budaya bekerja dan dikonsepsikan oleh aktor-aktor yang
berbeda. Taman Budaya dipandang sebagai instrumen, proyek, lanskap, inisiatif
daerah atau museum, yang didasarkan pada kombinasi “wilayah – warisan”
(territory – heritage) untuk mempromosikan transisi menuju model sosio-ekonomi
baru berdasarkan rekreasi dan pariwisata. Artinya, unsur utama untuk
meningkatkan Taman Budaya adalah identitas suatu wilayah dan kelompok-kelompok
sosial yang hidup di dalamnya sebagai warisan berwujud (tangible) dan tak
berwujud (intangible). Jadi, Taman Budaya tidak hanya berorientasi pada
pelestarian alam atau masa silam, melainkan untuk perencanaan masa depan
melalui reorganisasi ruang oleh kelompok sosial yang berakar di dalamnya.
Namun demikian, terdapat perbedaan asumsi yang mendasari
Taman Budaya di Eropa dan Amerika Serikat. Di Eropa, proyek ini biasanya
dibingkai dalam kaitannya dengan istilah-istilah seperti ‘museum’ dan
‘lanskap’, sebagai pengelolaan beberapa aset cagar budaya yang terletak di
kawasan tertentu yang ditingkatkan dalam rangka mempromosikan pembangunan
ekonomi. Di lain pihak, definisi Amerika lebih menekankan peran komunitas lokal
dan manfaat potensial kawasan cagar budaya untuk kohesi mereka, rasa memiliki
dan pelestarian identitas. Di samping itu, mereka juga lebih menekankan
pentingnya “menceritakan kisah” (telling the stories) masyarakat lokal atau
bangsa Amerika. Bahkan, kebanyakan kawasan cagar budaya di Amerika Serikat
benar-benar mengartikulasikan narasi tersebut, sebuah ciri yang kurang umum di
Eropa.
Pada akhirnya, Taman Budaya bergerak melampaui konsepsi
sebuah “taman” (park) sebagai milik publik (publicly-owned) dan ruang tertutup
(enclosed space) yang ditujukan untuk kepentingan konservasi. Taman Budaya
berusaha secara aktif melestarikan lanskap berpenduduk luas dan sumber daya
warisan budaya mereka, menghubungkan mereka dengan kegiatan wisata melalui
pengembangan struktur pengelolaan. Dengan demikian, Taman Budaya melampaui
gagasan tentang “situs cagar budaya” (heritage site) sebagai sebuah titik dalam
ruang, merangkul gagasan tentang “warisan teritorial” (territorial heritage)
atau Lanskap Budaya (Cultural Landscape). Perubahan fokus ini memungkinkan Taman
Budaya untuk mengatasi dikotomi “alam/budaya” (nature/culture) dan
“berwujud/tak berwujud” (tangible/intangible) berkat konsepsi holistik tentang
relasi manusia (man) dan ruang (space).