Teladan Fatimah Azzahra


oleh Gary Gulaiman (Radar Banten, 26 Maret 2014)

Di suatu ketika, di sebuah tempat yang bernama Uhud, ketika satu legiun mempertahankan diri dari serangan legiun lainnya, Ali bin Abi Thalib pun terkena sabetan pedang. Dan tak lama setelah peristiwa itu usai, Fatimah Az-Zahra pun membasuh luka seorang lelaki yang bernama Ali itu. Persis, pada saat itulah, Ali sunguh-sungguh jatuh cinta kepada Fatimah. Namun, sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali.

Ali-lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Makkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati Fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang Quraisy.

Bagi Fatimah, sosok Rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya.

Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia (Imam Ali) tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.

Maka, saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya (kepada Imam Ali), sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya (bagi Imam Ali). Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah. Begitu istimewa.

Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta Sang Khalifah.

Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang bahkan sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka.

Di suatu hari, Ali yang sabar, pun rela bekerja menimba air di sebuah sudut di Makkah. Setiap timba yang bisa ia angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein, kedua putranya dari pernikahannnya dengan perempuan yang sangat dicintainya, Fatimah, bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah yang bekerja sebagai penimba air bagi siapa saja yang rela membayarnya dengan sebutir kurma bagi satu timbaan air.

Pun, demikian, tak pernah ada keluh-kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah. Rasulullah pun terenyuh ketika mengetahui keadaan rumah tangga yang sederhana dan penyabar itu, hingga Rasulullah tak mampu menahan tangisnya, persis saat mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya.

Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu persatu, terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya, dan Fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.

Dan lihatlah, langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. Hingga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling berhak, yah Fatimah Az-Zahra, perempuan teguh kecintaannya Ali bin Abi Thalib, dan ayahnya: Nabi Muhammad saw.

Namun, waktu terus berjalan, cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat Rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya.

Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri ummat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.

Pada masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah, di tengah isak tangis Fatimah, Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca.

Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini, terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah berkata, “Sepeninggalku, diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku.”

Kini, Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya tercinta, Ali bin Abi Thalib, dan menggenggam erat tangannya, seakan ingin berkata: “Kutunggu dirimu nanti di surga, bersama ayahandaku”, segera, Fatimah Az-Zahra menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sementara itu, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, dalam deraian air mata, Ali menguburkan jasad istrinya tercinta, yang masih terhitung belia itu, sendiri, di tengah malam buta. Rupanya, Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali tepekkur di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras, tenggelam dalam kesunyian dan keheningan. 


Tidak ada komentar: