Ateis yang ‘Alim


oleh Richard Dawkins

“Saya tidak membayangkan tuhan yang memiliki kepribadian; Cukuplah untuk berdiri dan mengagumi struktur dunia, sejauh panca indera kita yang tak sempurna ini bisa mengapresiasinya” (Albert Einstein)

KEHORMATAN YANG PANTAS
Anak itu tiarap di atas rerumputan, dagunya bertumpu di tangannya. Dia tiba-tiba menemukan dirinya kewalahan oleh kesadaran yang tinggi akan batang-batang dan akar-akar pohon yang kusut, dia menemukan sebuah hutan di dalam dunia mikro, dunia semut dan kumbang yang berbeda dan bahkan dunia miliaran bakteri di dalam tanah, dimana secara diam-diam bakteri tersebut menopang perekonomian dunia mikro, walaupun anak itu belum mengetahui detail bakteri pada saat itu. Tiba-tiba dunia mikro tersebut tampak membesar dan menjadi satu dengan alam semesta, pikirannya terpesona merenungkan hal itu. Dia menafsirkan pengalaman tersebut secara religius dan akhirnya menuntunnya ke dunia kependetaan. Dia akhirnya menjadi seorang pendeta. Dia ditahbiskan sebagai pendeta Anglikan dan menjadi pendeta imam di sekolah saya, dia adalah salah seorang guru saya yang saya sayangi. Berkat pendeta yang liberal dan jujur seperti dialah orang tidak bisa mengklaim saya mengalami indoktrinasi agama pada masa kecil.


Di waktu dan tempat yang lain, anak itu bisa saja adalah saya di bawah bintang-bintang, terpesona oleh rasi bintang Orion, Cassiopeia dan Ursa Major, menangis karena musik sunyi dari Galaksi Bima Sakti, mabuk oleh aroma kamboja malam dan bunga terompet di taman Afrika. Mengapa emosi yang sama menuntun guru saya itu ke suatu arah dan saya ke arah yang lain bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Respon kuasi-mistis terhadap fenomena kehidupan dan alam semesta merupakan hal yang biasa di antara para ilmuwan dan rasionalis. Ini tidak ada hubungannya dengan kepercayaan supranatural. Di masa kanak-kanaknya setidaknya, pendeta saya mungkin tidak menyadari (begitu juga saya) tentang kalimat penutup buku The Origin of Species – di bagian akhir yang terkenal itu, “dengan burung-burung yang bernyanyi di semak-semak, dengan berbagai serangga yang melayang-layang di sekitar, dan dengan cacing-cacing yang merayap melalui bumi yang lembab”. Seandainya dia tahu akan hal itu, dia pasti akan memahaminya sebagaimana pandangan Darwin yang melihat bahwa semua itu “diproduksi oleh hukum alam yang bertindak di sekitar kita”:

“Dengan demikian, dari peperangan di alam, dari kelaparan dan kematian, makhluk yang paling mulia yang mampu berpikir tercipta, khususnya, produksi hewan yang lebih tinggi, tercipta secara langsung. Ada keagungan dalam pandangan hidup ini, dengan beberapa kekuatannya, yang pada awalnya membentuk beberapa atau satu bentuk, dan sementara planet ini berputar hukum tetap gravitasi, dari awal yang begitu sederhana, bentuk tak berujung yang paling indah dan paling mengagumkan telah, dan sedang, BEREVOLUSI.”

Carl Sagan di dalam buku Pale Blue Dot menulis: “Mengapa hampir tidak ada agama-agama utama yang melihat ke sains dan menyimpulkan, ‘Ini lebih baik daripada yang kita pikirkan! Alam semesta jauh lebih besar daripada yang dikatakan nabi-nabi kita, lebih megah, lebih rumit, lebih elegan?’ Bukannya demikian, justru mereka berkata, ‘tidak, tidak, tidak! Tuhan saya adalah tuhan yang kecil, dan saya ingin dia tetap seperti itu.’ Sebuah agama, yang tua maupun yang baru, yang menekankan kebesaran alam semesta sebagaimana digambarkan sains modern mungkin dapat menarik simpati dan rasa takjub yang tidak pernah disentuh agama pada umumnya.”

Buku Carl Sagan menyentuh ujung saraf dari rasa ingin tahu yang dimonopoli agama pada abad-abad lalu. Buku saya memiliki aspirasi yang sama. Akibatnya saya sering mendengar diri saya di gambarkan sebagai orang yang sangat religius. Seorang pelajar Amerika menulis surat kepada saya bahwa dia pernah menanyakan dosennya perihal apakah si dosen memiliki pandangan tentang saya. ‘Tentu,’ Jawabnya. ‘Sains positifnya tidak sesuai dengan agama, tetapi dia berpikir mendalam dan tinggi tentang alam dan jagat raya. Bagi saya, itu adalah agama!’ Tapi apakah agama adalah kata yang tepat? Saya pikir tidak. Pemenang Nobel dalam Fisika (dan atheis) Steven Weinberg mengutarakan point yang sangat baik, dalam buku Dreams of a Final Theory: “Beberapa orang memiliki pandangan tentang tuhan yang sangat luas dan fleksibel sehingga tidak terelakkan mereka menemukan tuhan dimana pun mereka mencarinya. Seseorang mendengar perkataan, ‘tuhan adalah absolut’ atau ‘tuhan adalah karakter kita yang lebih baik’ atau ‘tuhan adalah alam semesta.’ Tentu saja, seperti kata-kata yang lain, kata ‘tuhan’ dapat kita maknai sesuka hati kita. Jika Anda ingin mengatakan ‘tuhan adalah energi,’ maka Anda dapat menemukan tuhan di dalam gumpalan batu bara”

Weinberg tentu saja benar bahwa, jika kata tuhan tidak akan menjadi tak berguna, itu harus digunakan sebagaimana orang memahaminya secara umum: untuk menunjuk kepada Pencipta Supernatural yang ‘pantas untuk kita sembah’.

Banyak kesalahpahaman yang disayangkan disebabkan oleh kegagalan membedakan apa yang disebut agama Einsteinian dengan agama supernatural. Einstein terkadang menyebut kata tuhan (dan dia bukanlah satu-satunya ilmuwan atheis yang sering melakukan hal itu), mengundang kesalahpahaman dari kalangan supernaturalis yang sangat ingin mencari tahu dan mengklaim si pemikir sebagai bagian dari mereka. Yang dramatis (atau mungkin bermasalah) adalah bagian akhir dari buku Stephen Hawking A Brief History of Time, “Oleh karena itu kita harus mengetahui pikiran tuhan”, yang benar-benar disalahgunakan. Itu telah menuntun orang untuk salah paham bahwa Stephen Hawking adalah orang yang religius. Ahli biologi sel Ursula Goodenough, dalam buku The Sacred Depths of Nature, terdengar lebih religius daripada Hawking ataupun Einstein. Dia mencintai gereja, masjid dan biara/pura, dan banyak kalimat di dalam bukunya menggugah untuk disalahgunakan oleh kalangan agama supernatural. Dia melanjutkan dengan menyebut dirinya sebagai ‘Naturalis yang Religius’. Akan tetapi, pembacaan yang teliti terhadap bukunya menunjukkan bahwa dia sebenarnya sangat ateis seperti saya.

Naturalis adalah kata yang ambigu. Bagi saya itu menampakkan pahlawan masa kecil saya, Doctor Dolittle karya Hugh Lofting (yang ngomong-ngomong memiliki lebih dari sentuhan filsuf naturalis HMS Beagle tentangnya). Pada abad ke-18, naturalis memiliki makna yang sama dengan maknanya yang sekarang: seorang yang mempelajari tentang fenomena alam. Naturalis dalam pandangan ini, dari Gilbert White, sering merupakan seorang pendeta. Darwin sendiri pada awalnya diarahkan untuk gereja sebagai anak muda, berharap bahwa waktu luangnya di gereja kependetaan akan mengizinkannya untuk mengejar ketertarikannya akan Kumbang. Tetapi pada filsuf menggunakan kata naturalis dalam makna yang berbeda, sebagai lawan dari kata supernaturalis. Julian Baggini menjelaskan dalam buku Atheism: A Very Short Introduction tentang makna dari komitmen seorang atheis terhadap naturalisme: “Apa yang dipercaya kebanyakan atheis adalah walaupun hanya ada satu macam zat di alam semesta ini dan itu adalah zat yang fisik, dari zat inilah muncul akal, keindahan, nilai moral – singkatnya, segala macam fenomena yang memberikan kesempurnaan dalam hidup manusia”

Pikiran dan emosi manusia muncul dari interkoneksi yang sangat kompleks antar entitas-entitas fisikal di dalam otak manusia. Seorang atheis dalam hal filosofi naturalis ini adalah seseorang yang percaya bahwa tidak ada apapun di luar dunia fisik alami, tidak ada kecerdasan supernatural yang bekerja di balik alam semesta yang terobservasi, tidak ada jiwa yang hidup lebih lama dari badannya dan tidak ada keajaiban – kecuali dalam hal fenomena alam yang belum kita pahami. Jika ada sesuatu yang tampak berada di luar dunia alami karena kurangnya pemahaman kita akan hal itu saat ini, kita berharap suatu saat akan dapat memahami dan merangkulnya di dalam kaidah alamiah. Sebagaimana ketika kita memahami proses fisika di balik pelangi, itu tidak membuat keindahannya berkurang.

Para ilmuwan besar di zaman kita yang terdengar religius sebenarnya tidak religius ketika Anda telaah kepercayaannya lebih mendalam. Ini tentunya benar terhadap Einstein dan Hawking. Astronomer Royal dan Presiden The Royal Society saat ini, Martin Rees, memberitahu saya bahwa dia pergi ke gereja sebagai seorang ‘Anglikan yang tak beriman...atas kesetiaan terhadap sukunya’. Dia tidak memiliki kepercayaan agamis, tapi sama-sama merasakan naturalisme puitis yang ditimbulkan alam semesta seperti terhadap ilmuwan-ilmuwan yang telah saya sebutkan. Dalam kesempatan wawancara telivisi beberapa waktu yang lalu, saya menantang teman saya seorang ahli operasi ibu melahirkan, Robert Winston, seorang Yahudi yang terhormat di Inggris, untuk mengakui bahwa karakter keyahudian dia adalah seperti yang di atas dan dia tidak benar-benar mempercayai hal-hal yang gaib. Dia hampir saja mengakuinya tetapi tidak jadi (sebenarnya dia yang seharusnya menginterview saya, bukan sebaliknya). Ketika saya menekan dia, dia berkata bahwa agama Yahudi menyediakan disiplin yang bagus untuk membantunya menyusun kehidupan yang baik. Mungkin itu benar; tapi tentu saja, itu sama sekali tidak memiliki sedikitpun hubungan dengan kebenaran klaim-klaim supernatural agama itu. Ada banyak intelektual atheis yang bangga menyebut diri mereka Yahudi dan menjalankan tradisi ibadah Yahudi, mungkin karena kesetiaan mereka terhadap tradisi kuno atau anggota keluarga yang terbunuh, tapi juga karena kebingungan dan keinginan melabel faham Pantheistic yang dirasakan banyak di antara kita dengan nama ‘agama’ dengan pemukanya yang sangat ternama, Einstein. Mereka mungkin tidak percaya tetapi, meminjam ungkapan Dan Dennet, mereka ‘percaya kepada kepercayaan mereka’.

Salah satu ungkapan Einstein yang paling sering muncul adalah “Sains tanpa agama itu lumpuh, agama tanpa sains itu buta.” Tapi Einstein juga mengatakan, Itu tentu saja sebuah kebohongan, apa yang Anda baca tentang keyakinan agama saya, sebuah kebohongan yang di ulang-ulang secara sistematis. Saya tidak percaya kepada tuhan yang berkepribadian dan saya tidak pernah menyangkal ini tetapi saya telah mengungkapkannya secara jelas. Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat dikatakan religius maka itu adalah rasa takjub yang tak terbatas akan struktur dunia sejauh yang dapat diungkapkan ilmu pengetahuan kita. Apakah ini artinya Einstein membantah dirinya sendiri? Karena perkataannya dapat dicomot dan digunakan untuk mendukung argumen kedua belah pihak? Tidak. ‘Agama’ yang di maksud Einstein sangat berbeda dengan agama pada umumnya. Sebagaimana saya terus menjelaskan perbedaan antara agama supernatural di satu sisi dan agama Einsteinian di lain sisi, camkan baik-baik bahwa saya hanya menyebut tuhan yang seupernatural (gaib) sebagai sebuah ilusi.

Ini adalah beberapa ungkapan dari Einstein, untuk memberikan nilai tambah terhadap agama Einsteinian. “Saya adalah orang alim yang tidak beriman. Ini adalah semacam agama baru”. “Saya tidak pernah memaksakan sebuah tujuan atau goal atas alam, atau apapun yang dapat dipahami sebagai antropomorphic. Apa yang saya lihat di alam adalah struktur luar biasa yang dapat kita pahami dengan sangat tidak sempurna, dan itu harus memberikan perasaan rendah hati pada orang-orang yang berpikir. Ini adalah perasaan religius murni yang tidak ada hubungannya dengan mistisisme.” “Konsep Tuhan yang berkepribadian sangat aneh bagi saya dan bahkan terlihat naif” Sejak kematian Einstein, lebih banyak lagi agamawan yang mengklaim Einstein sebagai bagian dari mereka. Beberapa agamawan yang hidup sezaman dengan Einstein melihatnya dengan sangat berbeda. Pada tahun 1940 Einstein menulis surat yang terkenal, menbenarkan pendapatnya “Saya tidak percaya kepada tuhan yang berkepribadian.” Ini dan pendapat-pendapat serupa menimbulkan badai surat-surat dari kalangan ortodoks agama, banyak dari mereka menyebut-nyebut tentang latar belakang Yahudi Einstein. Contoh-contoh berikutnya di ambil dari buku karya Max Jammer, Einstein and Religion (yang juga merupakan sumber utama saya untuk pendapat-pendapat Einstein dalam hal agama). Imam Katolik Roma di kota Kansas mengatakan: “Sedih untuk melihat orang yang datang dari tradisi Kitab Injil Perjanjian Lama dan ajarannya, manolak tradisi besar ras itu.” Imam Katolik yang lain mengklaim: “Tidak ada tuhan lain selain tuhan yang berkepribadian...Einstein tidak tahu apa yang dia bicarakan. Dia sangat salah. Beberapa orang berpikir bahwa jika mereka mencapai derajat tinggi di dalam suatu disiplin ilmu, mereka bisa mengutarakan pendapat dalam segala hal.” Konsep bahwa agama adalah sebuah disiplin ilmu yang pantas, dimana orang boleh mengklaim sebagai seorang ahli, adalah salah satu hal yang tidak boleh diabaikan. Imam tersebut mungkin tidak akan menolak seseorang yang mengklaim dirinya sebagai ahli ilmu peri dalam hal kepastian bentuk dan warna sayap peri. Mereka berdua berpikir bahwa karena Einstein tidak terdidik di bidang agama sehingga dia salah memahami tentang tuhan. Justru sebaliknya, Einstein sangat memahami apa yang dia bantah.

Seorang pengacara dari Katolik Roma, yang bekerja atas nama koalisi Ecumenical (Kristen universal/non-denominational), menulis kepada Einstein: “Kami sangat menyayangkan Anda membuat statemen...dimana Anda menghina ide tentang tuhan yang berkepribadian. Dalam 10 tahun terahir tidak ada sesuatupun yang dapat dipikirkan orang sebagai alasan Hitler mengusir Yahudi dari Jerman kecuali statement Anda. Memanfaatkan hak Anda atas kebebasan berbicara, saya tetap mengatakan bahwa statemen Anda membuat Anda sebagai salah satu sumber terbesar perpecahan di Amerika”

Seorang Rabbi di New York berkata: “Einstein adalah ilmuwan hebat, tapi pandangan agamanya sangat berlawanan dengan agama Yahudi” ‘Tapi’? ‘Tapi?’ Mengapa tidak menggunakan kata ‘dan’ saja? Presiden dari Komunitas Sejarah di New Jersey menulis surat yang menunjukkan dengan jelas betapa salah dan lemahnya pola pikir orang yang religius, ini pantas dibaca dua kali: “Kami menghormati pelajaran Anda, Dr. Einstein; tapi tampaknya ada satu hal yang tidak pernah Anda pelajari: bahwa tuhan itu gaib dan tidak bisa ditemukan dengan teleskop atau mikroskop, tidak lebih dari pikiran dan emosi manusia yang bisa ditemukan dengan menganalisa otak. Sebagaimana diketahui semua orang, agama didasari dari iman, bukan pengetahuan. Semua orang yang berpikir pasti pernah dihinggapi rasa ragu tentang agama. Keimanan saya pun sering mengalaminya. Tapi saya tidak pernah mengungkapkan keraguan agama saya kepada orang lain karena dua alasan: (1) Saya takut jika saya akan mengganggu dan merusak kehidupan dan harapan sesama manusia; (2) Karena saya setuju dengan seorang penulis yang berkata, ‘Ada sifat kikir dari setiap orang yang ingin menghancurkan iman orang lain.’...Saya harap, Dr. Einstein, bahwa pendapat Anda itu disalahgunakan dan Anda akan mengatakan pendapat-pendapat yang lebih menyenangkan kepada banyak rakyat Amerika yang akan senang melakukan penghormatan untuk Anda.”

Sungguh surat yang sangat memprihatinkan! Setiap huruf menunjukkan kepengecutan intelektual dan moral. Yang tidak begitu buruk tetapi lebih mengejutkan adalah surat dari Pendiri Asosiasi Calvary Tbernacle. Professor Einstein, saya percaya bahwa setiap orang Kristen di Amerika akan menjawab Anda, ‘Kami tidak akan meninggalkan kepercayaan kami kepada tuhan dan putranya Yesus Kristus, tapi kami akan mempersilahkan Anda, jika Anda tidak percaya kepada tuhan dari negara ini, untuk pergi kembali ke negara asal Anda.’ Saya telah melakukan segala kemampuan saya untuk kebaikan Israel, dan Anda datang dengan statemen dari lidah kotor Anda, berbuat lebih banyak untuk menyakiti nilai orang-orang Anda daripada semua upaya orang-orang Kristen yang mencintai Israel bisa lakukan untuk membasmi anti-Semitisme di tanah kami. Professor Einstein, semua aorang Kristen di Amerika akan menjawab Anda, “Ambil teori Evolusi Anda yang gila dan salah dan pergi ke Jerman dimana Anda berasal, atau berhenti mencoba merusak keimanan orang-orang yang menyambut Anda ketika Anda diusir dari negara Anda.”

Satu hal yang semua theis pahami dengan benar bahwa Einstein bukanlah salah satu dari mereka. Dia sering marah karena gosip bahwa dia adalah seorang theis. Jadi, apakah dia seorang Deist (bertuhan tapi tidak beragama?), seperti Voltaire dan Diderot? Atau seorang Pantheis seperti Spinoza yang filosofinya dia kagumi: “Saya percaya kepada tuhannya Spinoza yang menunjukkan dirinya dalam keteraturan dan harmoni semua yang ada, bukan tuhan yang memperhatikan dirinya sendiri dengan takdir dan perbuatan manusia”?

Mari kita ingatkan diri kita tentang istilah. Seorang theis percaya kepada kecerdasan gaib yang disamping pekerjaan utamanya menciptakan alam semesta, juga tetap hadir untuk mengawasi dan memperngaruhi nasib/takdir berikutnya dari ciptaannya tersebut. Dalam banyak sistem kepercayaan agama, tuhan terlibat secara intim dengan urusan manusia. Dia menjawab doa, memaafkan atau menghukum pendosa, ikut campur di dunia dengan menunjukkan keajaiban-keajaiban, rewel akan perbuatan baik dan jahat, dan mengetahui kapan kita akan melakukannya (atau berpikir untuk melakukannya). Seorang deist, juga percaya kepada kecerdasan gaib, tapi yang aktivitasnya terbatas pada membangun alam semesta dan hukum yang mengaturnya saja. Tuhan seorang Deis tidak pernah ikut campur setelahnya, dan tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap urusan manusia. Pantheis tidak percaya kepada tuhan yang gaib sama sekali, tapi menggunakan kata Tuhan sebagai sinonim dari Alam, atau Alam Semesta, atau hukum yang mengaturnya. Deis berbeda dengan Theis bahwa tuhannya tidak menjawab doa, tidak tertarik kepada dosa dan pertaubatan, tidak membaca pikiran dan tidak ikut campur dengan mukjizat-mukjizatnya. Deis berbeda dengan Pantheis bahwa tuhan Deis adalah semacam kecerdasan kosmik, daripada sinonim metafora puitis Pantheis akan hukum alam semesta. Pantheisme adalah Ateisme yang dipercantik. Deism adalah Teisme yang diperhalus.

Ada banyak alasan untuk berpikir tentang ungkapan-ungkapan Einstein seperti “Tuhan itu halus tapi tidak jahat”, “Tuhan tidak bermain dadu”, “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” sebagai ungkapan Pantheistik, bukan Deistik, apalagi Theistik. “Tuhan tidak bermain dadu” dimaknai sebagai “Keacakan tidak terdapat pada semua hal.” “Apakah tuhan memiliki pilihan untuk menciptakan alam semesta?” artinya “Apakah alam semesta dapat muncul dengan cara yang berbeda?” Einstein menggunakan kata Tuhan murni untuk metafor dan makna puitis. Begitu juga Stephen Hawking, dan begitu juga banyak fisikawan-fisikawan lain yang sering secara tidak disengaja menggunakan metafora agama. The Mind of God karya Paul Davies tampaknya berada di antara Pantheisme khas Einstein dan bentuk samar-samar dari Deisme – yang oleh karenanya dia memperoleh hadiah Templeton (Uang dalam jumlah yang sangat besar yang diberikan setiap tahun oleh Yayasan Templeton, biasanya untuk ilmuwan-ilmuwan yang siap mengatakan hal-hal yang bagus tentang agama).

Izinkan saya meringkas agama khas Einstein dalam satu ungkapan dari Einstein sendiri: “Pandangan bahwa pada setiap hal yang kita alami ada sesuatu yang pikiran kita tidak dapat mencapainya dan yang keindahan dan kebesarannya mencapai kita hanya secara tidak langsung dan sebagai refleksi kelemahan kita, dalam pandangan ini, saya juga religius.” Dalam pemahaman seperti ini saya juga religius, dengan tambahan bagian ‘tak dapat kita capai’ bukan berarti ‘selamanya tak akan pernah tercapai.’ Tapi saya lebih memilih tidak mengatakan diri saya religius karena itu sering salah dipahami. Ini sangat merusak dan menyesatkan karena, untuk sebagian besar orang, agama mengimplikasikan keajaiban. Carl Sagan menyampaikannya dengan sangat baik: “... Jika tuhan di artikan sebagai keseluruhan hukum fisika yang mengatur alam semesta, maka jelas tuhan seperti itu ada, tapi tuhan ini tidak memuaskan secara emosional... tidak memberikan makna yang berarti untuk berdoa kepada hukum gravitasi.”

Lucunya, poin terakhir Carl Sagan tersebut ditunjukkan oleh Pendeta Dr. Fulton J. Sheen, seorang professor di Universitas Katolik di Amerika, sebagai bagian dari serangan keras terhadap penolakan Einstein terhadap tuhan yang berkepribadian pada tahun 1940. Sheen secara sarkastik bertanya siapakah yang mau menyerahkan hidupnya kepada Galaksi Bima Sakti. Sepertinya dia berpikir dia sedang membuat poin yang menentang Einstein, bukan sebaliknya, karena dia menambahkan: “Hanya ada satu kesalahan dengan agama kosmiknya: dia menambahkan huruf ekstra di dalam kata tersebut – yaitu kata ‘s’.” Tidak ada yang komikal tentang kepercayaan Einstein. Bagaimanapun juga, saya berharap bahwa fisikawan berhenti menggunakan kata Tuhan untuk tujuan metaforis dan puitis mereka. Tuhan Pantheistik metaforis para Fisikawan itu berbeda jutaan tahun cahaya dari tuhannya para rabi, pendeta, dan kiyai yang ikut campur, membuat keajaiban, membaca pikiran, menghukum pendosa, menjawab doa seperti di dalam Bible (Taurat/Qur’an). Secara sengaja mencampur-adukkan antara keduanya, menurut saya, adalah tindakan penghianatan intelektual yang sangat tinggi.

KEHORMATAN YANG TAK PANTAS
Judul saya, The God Delusion (Ilusi Tuhan), tidak dimaksudkan kepada Tuhan seperti pemahaman Einstein dan ilmuwan-ilmuwan yang tercerahkan di bagian sebelumnya. Itulah mengapa saya perlu menyisihkan agama khas Einstein dulu untuk memulai: karena itu memiliki kapasitas untuk membingungkan orang. Pada bagian yang tersisa dari buku ini saya berbicara mengenai Tuhan yang supernatural, yang paling dikenal oleh mayoritas pembaca saya adalah Yahweh, tuhan di kitab Perjanjian Lama (Yahudi). Saya akan membahas itu beberapa saat lagi. Tapi sebelum meninggalkan bagian pendahuluan ini saya perlu untuk membahas satu hal lagi yang akan sangat salah jika tidak dilakukan. Saat ini adalah tentang etika. Mungkin orang yang religius akan tersingung dengan apa yang harus saya katakan, dan akan menemukan halaman ini tidak cukup menghormati kepercayaan tertentu mereka (jika kepercayaannya tidak dipeluk oleh orang-orang lainnya). Akan sangat memalukan jika kritikan seperti itu menghentikan mereka dari membaca terus isi buku ini, jadi saya ingin menyelesaikannya di sini, pada bagian awal.


Sebuah asumsi yang tersebar luas, yang diterima hampir semua orang dalam masyarakat kita – termasuk yang tidak beragama – adalah, keyakinan beragama itu rentan terhadap kritikan dan harus dilindungi oleh dinding tebal penghormatan yang aneh, pada level yang berbeda dengan kehormatan yang diberikan manusia kepada satu sama lain. Douglas Adam mengutarakannya dengan sangat baik, pada pidato mendadak yang dia sampaikan di Cambridge beberapa waktu sebelum kematiannya, yang saya tidak pernah lelah membagi perkataan dia ini: “Agama...memiliki ide-ide tertentu pada dasarnya yang kita anggap keramat atau suci atau apalah. Artinya adalah, ‘Ini adalah sebuah ide atau konsep yang Anda tidak diperbolehkan untuk mengatakan apapun yang buruk tentangnya; pokoknya Anda tidak boleh. Kenapa tidak boleh? – Karena Anda tidak boleh!’ Jika seseorang memilih partai yang tidak Anda setujui, Anda bebas berdebat dengan dia tentang hal itu sesuka hati Anda; setiap orang akan memiliki argumen dan tidak akan ada yang tersinggung karenanya. Jika seseorang mengatakan pajak harus naik atau turun, Anda bebas berdebat tentang itu. Tapi pada sisi lain, jika seseorang mengatakan ‘Saya tidak boleh menghidupkan lampu pada hari Sabtu’, Anda berkata, ‘Saya menghormati hal itu’.

Mengapa kita boleh saja mendukung partai buruh atau partai konservatif, Republikan atau Demokrat, model ekonomi ini versus yang itu, Macintosh daripada Windows – tapi untuk memiliki sebuah pendapat tentang bagaimana alam semesta lahir, tentang siapa yang menciptakan alam semesta...Tidak, itu suci?...Kita terbiasa untuk tidak mengkritik ide-ide agama tapi sangat menarik melihat betapa besar kehebohan yang Richard timbulkan ketika dia melakukannya! Semua orang gelisah tentang hal itu karena Anda tidak boleh mengatakan hal-hal tersebut. Tetapi ketika Anda melihat ini secara rasional, tidak ada alasan mengapa hal ini tidak boleh didebat seperti hal-hal yang lainnya, kecuali kita sudah menyetujui entah bagaimana di antara kita tidak boleh ada perdebatan.”

Di sini ada beberapa contoh penghormatan berlebihan masyarakat kita terhadap agama, satu yang benar-benar penting. Cara yang paling mudah untuk memperoleh status tidak wajib militer pada masa perang adalah keagamaan. Anda boleh saja seorang filsuf yang baik dengan thesis doktoral yang memperoleh penghargaan, menguraikan kejahatan dalam perang, tapi akan tetap memperoleh kesulitan dari panitia pengurus wajib militer yang mengevalusai klaim Anda untuk tidak ikut wajib militer. Tapi, jika Anda bisa mengatakan bahwa salah satu atau kedua orang tua anda adalah Quaker, Anda bisa lolos dengan cepat seperti angin, tidak penting seberapa tidak lancarnya Anda berbicara atau seberapa buta hurufnya Anda tentang teori Pasifisme ataupun Quakerisme tersebut. (Quaker/Quakerism adalah sebuah perkumpulan aliran agama Kristen yang mengutamakan prinsip perdamaian dan percaya terhadap doktrin Inner Light, atau keterlibatan langsung Yesus Kristus di dalam jiwa mereka. – Oxford Dictionary)

Pada posisi yang berlawanan dengan pasifisme, kita memiliki rasa keengganan untuk menggunakan nama-mana keagamaan untuk kubu perang. Di Irlandia Utara, kubu Katolik dan Protestan masing-masing dinamai kubu Nasionalis dan Loyalists. Kata ‘agama’ diganti dengan nama ‘komunitas’, seperti dalam istilah ‘peperangan antar komunitas’. Di Iraq, akibat dari serangan Anglo-Saxon Amerika pada tahun 2003, berubah menjadi perang sipil antara kaum Muslim Sunni dan Syi’ah (sebagai upaya adu domba yang dilakukan Amerika terhadap Muslim –pen). Ini jelas-jelas konflik agama tetapi di headline halaman depan koran Independence pada 20 Mei 2006 yang tertulis justru adalah ‘Pembantaian Etnis’. ‘Etnis’ dalam konteks ini adalah pelembutan bahasa (contoh kekeliruan fatal Richard Dawkins yang menganggap konflik Irak sebagai perang agama). Apa yang kita saksikan di Ira adalah Pembantaian yang berhubungan dengan agama. Penggunaan awal istilah ‘Pembantaian Etnis’ di negara pendahulu Yugoslavia juga adalah penghalusan bahasa untuk pertikaian agama, yang melibatkan kaum Ortodox Serbia, kaum Katolik Kroasia, dan ummat Islam Bosnia (karena bernafsu untuk mendiskreditkan agama, Richard Dawkins membaca atau memaksaan tafsir tentang konflik sekuler dan politik sebagai konflik agama, sebagaimana ia juga tak mampu secara proporsional mendadarkan fase-fase Einstein).

Saya sudah pernah menarik perhatian tentang melegalkan agama untuk didiskusikan secara publik mengenai etika di media dan pemerintahan. Ketika ada kontroversi yang muncul mengenai etika seks dan reproduksi, Anda bisa bertaruh pasti ada pemuka agama dari beberapa grup agama akan direpresentasikan untuk menarik pengaruh, atau muncul di panel diskusi di radio dan televisi. Saya tidak menyarankan kita untuk keluar menyensor orang-orang ini. Tapi mengapa masyarakat kita memberikan mereka ijin seakan-akan mereka memiliki keahlian layaknya seperti filsuf moral, pengacara keluarga, atau dokter?

Ini adalah salah satu contoh hak khusus agama. Pada 21 Februari 2006 pengadilan tinggi Amerika membebaskan Gereja di New Mexico dari peraturan hukum yang bagi setiap orang lain harus dipatuhi, yaitu dalam hal menggunakan obat halusinogen. Pengikut Centro Espirita Beneficiente Uniao do Vegetal meyakini bahwa mereka bisa memahami Tuhan hanya dengan meminum Teh Hoasca, yang mengandung obat halusinogen ilegal dimethyltryptamine. Catat bahwa alasan mereka cukup hanya karena mereka ‘Percaya’ itu menambah pemahaman mereka. Mereka tidak perlu menunjukkan bukti. Sebaliknya, ada banyak bukti bahwa ganja mengurangi rasa mual dan ketidaknyamanan pasien yang sedang menjalani kemoterapi. Tetapi pengadilan tinggi memutuskan pada tahun 2005 bahwa semua pasien yang menggunakan ganja untuk tujuan medis akan mudah terkena hukuman federal (walaupun di beberapa negara-negara bagian dimana penggunaan spesialis itu dilegalkan). Agama, sebagaimana selalu, adalah kartu truf. Bayangkan jika pengikut perkumpulan pengapresiasi seni memohon di pengadilan bahwa mereka ‘percaya’ mereka memerlukan obat halusinogen untuk dapat menguatkan pemahaman mereka akan lukisan-lukisan surrealist dan impressionist. Tapi, ketika gereja meminta permintaan yang sama mereka didukung oleh pengadilan tertinggi di daerah. Beginitulah kekuatan agama sebagai alat untuk menarik dukungan.

Tujuh belas tahun yang lalu, saya adalah salah satu dari tiga puluh enam penulis dan seniman yang diminta oleh majalah New Stetesman untuk menulis dukungan terhadap penulis terkemuka Salman Rushdie, yang nantinya mendapat vonis hukuman mati karena menulis novel. Marah karena ‘simpati’ terhadap ‘ketersinggungan’ para Muslim dan ‘penghinaan’ dari para pemimpin gereja bahkan oleh beberapa pemuka sekuler, saya menulis pendapat perbandingan sebagai berikut: Jika advokat apartheid memiliki keberanian mereka akan mengklaim – sebagaimana saya ketahui – bahwa membiarkan perkawinan antara suku/ras yang berbeda itu bertentangan dengan peraturan agama mereka. Bagian yang baik dari pihak lawan akan menghormati dan menghindar dari perdebatan. Dan tidak ada gunanya mengklaim ini adalah perbandingan yang tidak adil karena apartheid tidak memiliki dasar rasional. Inti dari iman agama, kekuatannya dan kejayaannya, adalah karena ia tidak bergantung pada penilaian yang rasional. Kita semua diharapkan untuk mempertahankan ketidaksetujuan kita. Tapi tanyakan kepada orang yang beragama untuk membuktikan kepercayaan mereka dan Anda akan dituduh melanggar azas ‘kebebasan beragama’.

Saya tidak tahu jika sesuatu yang sangat mirip akan terjadi di abad ke 21. The New York Times (10 April 2006) memberitakan bahwa banyak kelombok Kristen di kampus di Amerika menuntut Universitas mereka karena mendukung peraturan anti-diskriminasi, termasuk larangan untuk menghina atau menganiaya homoseksual. Contoh yang mirip, pada tahun 2004 James Nixon, anak laki-laki umur 12 tahun diizinkan memakai baju kaos yang bertuliskan “Homoseksual adalah dosa, Islam adalah kebohongan, aborsi adalah pembunuhan. Beberapa edisi (manusia) hanya ada hitam dan putih!” Pihak sekolah menyuruhnya untuk tidak mengenakan baju kaosnya – dan orang tua anak itu menuntut pihak sekolah. Orang tua itu mungkin bisa mendapat kemenangan jika dia mendasarkan kasusnya itu pada Amandemen Pertama tentang jaminan kebebasan berbicara. Tapi mereka tidak melakukan itu, tentu saja, karena kebebasan berbicara tidak tidak boleh melibatkan ‘bicara kebencian’. Tapi mereka hanya perlu membuktikan bahwa pendapat kebencian mereka itu berdasarkan pada agama mereka, lalu itu tidak termasuk pendapat kebencian lagi. Jadi bukannya menggunakan hak kebebasan berbicara, pengacara Nixon menggunakan hak konstitusi tentang kebebasan beragama. Tuntutan hukum mereka yang jaya didukung oleh Alliance Defence Fund of Arizona, yang bisnis utamanya adalah untuk ‘mendorong pertarungan hukum kebebasan beragama’.

Pendeta Rick Scarborough, mendukung gelombang tuntutan hukum umat Kristen yang sejenis untuk membuat agama sebagai dasar hukum untuk pembenaran deskriminasi terhadap kaum homoseksual dan grup-grup lainnya, dia menyebutnya sebagai perjuangan hak rakyat di abad ke 21. ‘Orang Kristen harus berjuang untuk hak mereka sebagai orang Kristen.’ Sekali lagi, jika orang-orang seperti mereka memperjuangkan hak kebebasan berbicara, orang lain mungkin akan mendukungnya. Tapi ini bukan tentang hal itu. Kasus hukum mereka mendukung dskriminasi terhadap homoseksual dan disampaikan sebagai usaha menangkal diskriminasi terhadap agama! Dan hukum tampak menghormati hal ini. Anda tidak bisa lolos dengan mengatakan, ‘Jika kamu mencoba menghentikan saya dari menghina kaum homoseksual itu melanggar kebebasan saya berprasangka’. Tapi Anda bisa lolos dengan mengatakan, ‘itu melanggar kebebasan saya beragama.’ Jika Anda pikir, apakah bedanya? Akan tetapi sekali lagi, agama mengalahkan semuanya.

Saya akan mengakhiri bab ini dengan sebuah studi kasus, yang menunjukkan sangat jelas hormat berlebihan dari masyarakat terhadap agama, jauh di atas rasa hormat manusia biasa. Kasus ini mencuat pada tahun 2006 – sebuah episode gila, yang berada di antara titik ekstrim komedi dan tragedi. Pada september sebelumnya, sebuah koran di Denmark, Jyllands-Posten mempublikasikan dua belas gambar kartun nabi Muhammad. Dalam waktu tiga bulan berikutnya, kebencian disebar-luaskan secara hati-hati di dalam dunia Islam oleh grup kecil Muslim yang tinggal di Denmark, dipimpin oleh dua imam yang telah diberikan suaka di sana. Di akhir tahun 2005 para pendatang keji ini pergi ke Mesir membawa dokumen, yang diperbanyak dari sana ke seluruh dunia Islam, termasuk, yang paling penting, Indonesia. Dokumen itu mengandung informasi tidak benar tentang ketidak-adilan terhadap Muslim di Denmark, dan kebohongan yang disengaja bahwa Jyllands-Posten adalah koran milik negara. Itu juga mengandung dua belas kartun yang asal-usulnya tidak jelas tetapi yang pasti tidak memiliki hubungan apapun dengan negara Denmark. Tidak seperti dua belas gambar yang asli, ada tiga tambahan ini benar-benar ofensif – atau sudah pasti jika itu menggambarkan Muhammad sebagaimana propaganda mereka. Yang paling buruk di antara ketiga foto itu bukanlah karikatur sama sekali melainkan fax foto seseorang yang menggunakan hidung babi palsu yang diikat dengan karet di kepalanya. Ahirnya foto itu diketahui ternyata merupakan foto milik Associated Press yang memotret orang Prancis yang sedang mengikuti kontes peniru suara babi di sebuah festival di pedesaan di Prancis. Foto tersebut tidak memiliki hubungan apapun dengan Muhammad, tidak ada hubungan dengan Islam, dan tidak juga dengan Denmark. Tetapi aktivis muslim, dalam kampanye menyesatkan mereka, menceritakan hubungan ketiga foto tersebut...dengan hasil yang bisa diperkirakan.

Kebencian dan kekerasan yang ditanam dengan hati-hati itu dibawa ke akhir yang meledak lima bulan setelah keduabelas karikatur itu dipublikasikan. Demonstran di Pakistan dan Indonesia membakar bendera Denmark (darimana mereka mendapatkannya?) dan tuntutan histeris diajukan ke pemerintah Denmark untuk meminta maaf. (Meminta maaf atas apa? Mereka tidak menggambar karikatur tersebut atau mempublikasikannya. Orang Denmark hanya hidup di negara dengan media yang bebas, sesuatu yang orang-orang di banyak negara Islami sulit untuk pahami.) Koran-koran di Norwegia, Jerman, Prancis, dan bahkan Amerika Serikat (tetapi tidak Inggris) memprint ulang karikatur itu dengan bahasa tubuh yang menunjukkan solidaritas terhadap Jyllands-Posten, yang akibatnya menambah panas keadaan. Kantor kedutaan besar dan konsulat dirusak, produk Denmark diboikot, warga Denmark dan tentu saja orang Barat pada umumnya diancam secara fisik; Gereja di Pakistan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Denmark ataupun Eropa dibakar, sembilan orang dibunuh ketika demonstran rusuh Libya menyerang dan membakar konsulat Italia di Benghazi. Sebagaimana ditulis oleh Germaine Greer, ‘apa yang benar-benar disukai dan pandai dilakukan orang-orang ini adalah kekacauan’.

Hadiah 1 Juta Dollar ditawarkan untuk kepala kartunis Denmark yang menggambar karikatur tersebut oleh seorang Imam di Pakistan –yang sepertinya tidak sadar bahwa ada dua belas kartunis Denmark yang berbeda, dan hampir pasti tidak tahu bahwa tiga gambar yang paling ofensif sebenarnya tidak pernah muncul di Denmark sama sekali (dan ngomong-ngomong, darimana uang jutaan dolar itu berasal?). Di Nigeria, demonstran muslim yang menentang kartunis Denmark membakar beberapa gereja Kristen, dan menggunakan korek api untuk menyerang dan membunuh (orang Nigeria kulit hitam) yang beragama Kristen di jalanan. Salah satu orang Kristen ditaruh di dalam ban mobil dan disirami bensin lalu dibakar. Para demonstran yang difoto di Inggris memegang banner yang bertuliskan ‘Penggal mereka yang menghina Islam’, ‘Cincang mereka yang mengolok Islam’, ‘Eropa, Anda akan membayarnya: Penghancuran Anda sedang dalam perjalanan’, dan tampaknya tanpa ironi, ‘Penggal mereka yang mengatakan Islam adalah agama yang penuh kekerasan’. (Sepertinya yang digambarkan Dawkins adalah kaum Wahabi yang tidak mewakili mayoritas kaum muslim).

Akibat dari kejadian ini adalah, jurnalis Andrew Muller menginterview pemuka Muslim moderat di Inggris, Sir Iqbal Sacraine. Moderat dalam standar Islam hari ini, tetapi dalam catatan Andrew Muller dia tetap bependapat ketika Salman Rushdie diancam hukuman mati karena menulis novel: ‘Hukuman mati mungkin terlalu ringan bagi dia’ – sebuah pendapat yang menempatkannya dalam posisi yang sangat berlawanan dengan Muslim yang paling berpengaruh di Inggris, almarhum Dr. Zaki Badawi, yang menawarkan Salman Rushdie tempat tinggal di rumah dia sendiri. Sacraine menceritakan kepada Muller tentang betapa prihatinnya dia tentang karikatur Denmark tersebut. Muller juga prihatin, tapi karena alasan yang berbeda: ‘Saya khawatir jika reaksi aneh dan disproporsional terhadap gambar jelek dari koran kecil Skandinavia membenarkan bahwa...Islam dan Barat secara fundamental tidak bisa bersatu.’ Sacraine di lain pihak memuji koran-koran Inggris yang tidak mencetak gambar-gambar tersebut, yang kepadanya Muller mengungkapkan kecurigaan dari kebanyakan negara bahwa ‘Pembatasan diri koran-koran di Inggris bukan karena mereka sensitif terhadap kekecewaan para Muslim, tetapi lebih karena mereka tidak ingin melihat jendela-jendela mereka pecah (karena demonstran)’.

Sacraine menjelaskan bahwa ‘Muhammad SAW sangat penting di dalam dunia Muslim yang baginya kehormatan dan cinta yang tak bisa dijelaskan kata-kata. Melebihi cinta kepada orang tuamu, kekasihmu, dan anak-anakmu. Itu adalah bagian dari iman. Ada juga ajaran Islam untuk tidak boleh menggambar si Nabi.’ Ini menunjukkan, sebagaimana disaksikan Muller: “Bahwa nilai-nilai Islam mengalahkan nilai-nilai semua orang lain, yang mana setiap penganut Islam percayai, sama seperti setiap pengikut agama lain yang percaya bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan cahaya. Jika ada yang mau mencintai pengkhotbah abad ke-7 lebih dari keluarga mereka sendiri, itu terserah mereka, tetapi tidak seorang pun wajib untuk menganggap hal itu serius”.

Tetapi jika Anda tidak menanggapinya dengan serius dan memberikannya kehormatan yang pantas, jiwa Anda akan terancam, pada skala yang tidak ada agama lain pernah melakukannya sejak Abad Pertengahan. Seseorang tidak dapat berhenti memikirkan mengapa kekerasan seperti itu benar-benar diperlukan, bukankah, sebagaimana catatan Muller: “Jika ada di antara Anda para badut memang benar, si kartunis itu juga akan masuk neraka – apakah itu tidak cukup? Di waktu yang sama, jika Anda tertarik mengenai kekerasan di dunia Muslim, silahkan baca laporan Amnesty International tentang Syria dan Arab Saudi.” Banyak orang mencatat perbedaan antara kekecewaan histeris yang dimiliki para Muslim dan kemudahan media Arab untuk mempublikasikan gambar-gambar stereotip anti Yahudi. Pada demonstrasi di Pakistan untuk melawan karikatur dari Denmark tersebut, seorang wanita dalam burka hitam membawa banner yang bertuliskan ‘God Bless Hitler’.

Menanggapi kerusuhan yang memanas ini, sebuah koran liberal yang adil menunjukkan ketidaksetujuannya dengan kekerasan dan menyampaikan pendapat tentang kebebasan berbicara/berpendapat. Tetapi pada saat yang sama mereka menunjukkan hormat dan simpati terhadap kekecewaan dan luka mendalam yang diderita kaum Muslim. Kekecewaan dan luka itu terdiri atas, ingat, bukan karena seseorang menderita akibat penganiayaan atau kesakitan nyata lainnya, itu tidak lebih dari beberapa tetes tinta printer di permukaan sebuah koran yang tidak seorang pun di luar Denmark akan mengetahuinya jika bukan karena kampanye sistematis yang disengaja untuk mengundang kerusuhan.

Saya tidak mendukung tindakan menyerang dan menyakiti orang hanya karena hal sepele di atas. Tetapi saya terpancing dan bingung oleh kekebalan khusus yang disproporsional di dalam masyarakat kita yang sebenarnya sekuler. Semua politisi harus terbiasa dengan karikatur-karikatur wajah mereka yang bertujuan mengejek mereka, dan tidak ada seorang pun yang akan mengamuk karena hal itu. Apa yang begitu spesial dengan agama sehingga kita memberikannya hak dan penghormatan yang begitu berbeda? Sebagaimana H.L. Mencken katakan: “Kita harus menghormati agama orang lain, tapi hanya sampai pada level sebagaimana kita menghormati teorinya bahwa istrinya cantik dan anak-anaknya pintar.”

Atas dasar penerimaan akan penghormatan agama berlebihan yang tak boleh diganggu-gugat ini saya membuat penolakan hal itu di dalam buku ini. Saya tidak akan keluar batas untuk menyinggung, tetapi saya juga tidak akan menangani agama lebih spesial daripada semua hal-hal lainnya.


(Tulisan ini merupakan Bab Pertama dari buku Richard Dawkins yang berjudul God Delusion)

Tidak ada komentar: