Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw (Bag. 3)




Oleh Dr. Ali Syari’ati

Perjuangan dimulai.  Abu Dzar berada dalam posisi sebagai seorang sahabat Nabi yang dekat dan akrab, dengan lisensi yang diberikan sendiri oleh Nabi kepadanya: “Seorang yang mempelajari pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dadanya berlimpah-limpah dengan itu.” “Langit yang biru tidak pernah memberikan tambahan warna lain atas ― dan bumi yang gelap tidak pernah melihat ― seorang laki-laki yang lebih jujur dari Abu Dzar.” “Kesederhanaan dan kesalehan Abu Dzar menyerupai kesederhanaan dan kesalehan Isa putra Maryam.” “Abu Dzar lebih terkenal di langit daripada di bumi.” “Abu Dzar, di muka bumi ini, dalam masyarakat ini, berjalan sendirian, mati sendirian; di padang mahsyar di Hari Kiamat, ketika kubur-kubur dibangkitkan, dan kelompok demi kelompok mayat bangkit, Abu Dzar akan dibangkitkan di suatu sudut padang mahsyar, sendirian, dan akan bergabung bersama-sama!”

Ia biasa duduk di masjid dan, satu demi satu, ia membacakan kepada orang-orang ayat-ayat Al-Qur’an yang dalam prakteknya telah ditinggalkan, hal-hal dari Al-Qur’an atau sunnah Nabi yang tidak lagi relevan dan yang relevansinya menimbulkan kesulitan dan sakit kepala. Pembicaraan sekarang ― di zaman Utsman bin Affan ― ialah pengumpulan Al-Qur’an, pengaturan Al-Qur’an, pengoreksian salinan-salinan tulisan tangan ayat-ayat Al-Qur’an, persiapan satu salinan utama al-Qur’an dan pembicaraan-pembicaraan serta pembacaan yang tidak putus-putusnya, ortografi, penempatan harakat dan titik-titik tanda baca; pembacaan dan qiraah, dan konflik-konflik, gangguan-gangguan, kepekaan, keberatan-keberatan dan penerimaan-penerimaan..., Abu Dzar membawa pembicaraan tentang ‘penimbunan’ (kinz) dari al-Qur’an. Satu demi satu, ia membacakan ayat-ayat tentang kinz dan bagian pertama dari ayat itu:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah...” [23]

Mengambil front ini menyebabkan kekacauan-kekacauan. Khalifah sendiri sedang sibuk dengan pengumpulan dan penyusunan Al-Qur’an; orang-orang yang komited kepada Al-Qur’an berterima kasih kepadanya. Peringatan tentang Al-Qur’an, akan membawa suatu ketenangan yang menyenangkan bagi kekhalifahan. Dan Al-Qur’an yang dibawa Abu Dzar, yang mengakibatkan pesimisme, kekerasan, kecaman, dorongan, serangan dan kutukan kepada khilafat, menyebabkan timbulnya suara keberatan dari sistem kekhalifahan.

“Abu Dzar! Apakah Al-Qur’an hanya mengandung ayat tentang ‘orang-orang alim yang memakan harta orang’ serta ayat ‘penimbunan’!?” Dan Abu Dzar mengetahui bahwa setiap zaman mempunyai penderitaannya dan setiap generasi mempunyai suatu slogan. Siapa pun yang mengetahui dan mengakui bahwa Al-Qur’an bukan hanya sekedar ‘barang suci’, tetapi bahwa Kitab itu merupakan suatu cahaya dan petunjuk, harus mengandalkan pada ayat-ayat pada masanya (ayat-ayat yang relevan dengan manusia pada suatu masa tertentu).

Abu Dzar menjawab, “Alangkah anehnya! Apakah Khalifah melarang saya membaca Al-Qur’an?” Sekarang, wahyu, keimanan tauhid, pemujaan berhala, kebangkitan, kelanjutan hidup roh serta kenabian Muhammad Saw tidak lagi relevan, karena hal-hal ini semuanya telah diselesaikan; persoalan sekarang ialah kontradiksi dan diskriminasi golongan ― jadi, sesuai dengan ayat ini, yang merupakan suatu ayat jamannya, ia mulai mengingatkan akan sunnah Nabi, berbicara tentang kata-kata Nabi, dan ini, sekali lagi, berdasarkan pada apa yang relevan dengan masyarakat.

Bulan-bulan berlalu tanpa asap mengepul dari rumah Nabi Islam itu.” “Makanan yang paling sering di rumah Nabi Allah ialah air dan kurma.” “Separuh dari lantai rumah Nabi bertikarkan pasir.” “Beliau melepaskan diri dari rasa lapar dengan sering mengebatkan batu pada perut, supaya beliau dapat menanggung sengatan rasa lapar.”

“Pakaiannya, makanannya serta rumahnya memberikan penawar kepada kami para sahabat Ahlu Shuffah di masjid. Kami tidak mempunyai keluarga atau rumah, dan paling sering merasa lapar; setiap malam sekelompok dari kami makan bersama beliau. Apabila beliau mempunyai makanan masak di rumahnya, beliau mengundang kami untuk makan bersamanya; makanan itu adalah sabus, adonan yang dimasak dari gandum murahan dan kurma.”

“Beliau sering mengatakan, ‘Tiada uang ditimbun, melainkan uang itu menjadi api bagi pemiliknya.’ Para istri Nabi Allah itu sering mengeluh dan mengadu tentang kesukaran dan lapar. Beliau membuat perjanjian dengan mereka ― ‘Menginginkan dunia ini dan perpisahan, atau lara dan kemiskinan.’”

“Putri yang tercinta dari Rasulullah, bekerja dan menderita lapar, namun tidak pernah beliau menerima permintaan Ali dan putri beliau, yang adalah makhluk-makhluk Allah yang paling tercinta dalam pandangan beliau, untuk memberikan seorang pelayan kepada mereka. Beliau menangis karena kemiskinan (Fathimah) Zahra, namun beliau tidak memberikan bantuan kepadanya, sekalipun satu dinar.”

Jelaslah bahwa dengan cepat, pertanyaan demi pertanyaan, bermunculan dalam pikiran-pikiran: Maka mengapakah Khalifah Utsman bin Affan berbusana jas bulu? Mengapa jamuan makan begitu mencolok dalam istana khalifah, dengan makanan-makanan yang paling lezat? Lalu, mengapa warisan dari Abdurrahman bin Auf, yang menjadi ketua dewan yang memilih Utsman menjadi khalifah, ketika ditumpuk bersusun membentuk bukit yang menyembunyikan khalifah di atas mimbar, dari orang-orang yang duduk di lantai?

Balok-balok emasnya dipecahkan dengan kapak untuk membagi-bagikan warisannya. Lalu, mengapa Zubair, yang adalah anggota dewan khalifah, mempunyai seribu orang budak, yang bekerja untuknya dan yang setiap hari memberikan gaji mereka kepadanya? Lalu, mengapa Mu’awiyah, keluarga (dan khalifah Utsman) dan gubemur dari khilafat itu di Damaskus, membangun Istana Hijau? Mengapa orang-orang yang di sekelilingnya ― para pemuji, penyair, ulama dan Sahabat ― diberi hadiah-hadiah yang seakan-akan hanya ada dalam dongengan? Dan mengapa maka Utsman, yang telah berjanji akan mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul, serta metoda kedua pendahulunya (Abu Bakar dan Umar), hanya mengikuti tradisi para Kaisar dan Raja-raja? Lalu, mengapa? Mengapa?

Hari demi hari, aristokrasi, eksploitasi, kemubaziran, kemiskinan, jarak serta perpecahan masyarakat dan golongan, keretakan, menjadi semakin besar, dan propaganda Abu Dzar tumbuh makin lama makin luas, yang menyebabkan rakyat jelata dan golongan yang tertimpa eksploitasi menjadi lebih tergoncang. Orang-orang yang lapar, mendengar dari Abu Dzar bahwa kemiskinan mereka bukanlah takdir Tuhan yang tertera di dahi dan merupakan ketetapan nasib serta takdir dari langit; penyebabnya hanyalah kinz, penimbunan modal.

Apa yang harus dilakukan? Pada Abu Dzar yang cermat dan saleh, tidak ada apa-apa! Tidak pula ia mempunyai sesuatu yang bisa mendorong orang untuk mengancam dia: ‘Kami akan mengambilnya!’ tidak juga ia ‘menghendaki’ sehingga orang tak dapat menggodanya: ‘Kami akan memberi!’ Dan istrinya adalah Ummu Dzar; ia juga salah satu dari sahabat Nabi suci. Ia menolong suaminya menanggung kesukaran, kehidupan seperti pertapa, dalam kemiskinan yang harus diderita oleh manusia yang berjuang dan bertanggung jawab, karena selama masa itu, ketika ada Islam, wanita belum termasuk ‘kaum lemah’.

Bahaya menajamkan gigi-gigi di kedalaman Madinah. Rakyat jelata, yang menyerahkan diri kepada wajah-wajah suci kaum Muhajirin dan para sahabat senior Nabi ― yang sekarang berkuasa ― dan menanggung kepedihan mereka sendiri dan penyelewengan orang lain, telah menjadi berani. Utsman bin Affan mencium bahaya itu. Apa yang akan dilakukan? Madinah masih mengingat Nabi ― dan rakyatnya mengenal Abu Dzar.

Utsman mengasingkan Abu Dzar ke Damaskus, kepada Mu’awiyah. Sejak semula, penduduk Damaskus mempelajari Islam dari Bani Umayyah. Mu’awiyah mempunyai kebebasan lebih besar menghadapi Abu Dzar. Di Damaskus, Mu’awiyah, dengan meniru-niru Roma, telah membentuk suatu kehidupan yang lebih aristokratis dari Utsman. Diskriminasi, ketidaksucian, penindasan dan pelanggaran sistem Islam, lebih jelas dan lebih menyolok.

Pada masa inilah, dengan pertolongan arsitek Romawi dan Persia, Mu’awiyah sedang membangun ‘Istana Hijau’. Inilah istana kerajaan yang pertama, megah dan indah, ke mana Mu’awiyah membulatkan hati mengawasi para pekerja dan tukang-tukang, dan Abu Dzar pun muncul di sana setiap hari, dan meneriakkan: “Hai, Mu’awiyah, apabila kau membangun istana ini dengan uangmu sendiri, maka hal itu adalah mubazir, dan apabila dengan uang rakyat, maka hal itu adalah pengkhianatan!” Dan dia, seorang politikus yang matang dan sabar, menanggungnya, sementara ia berpikir untuk mencari jalan penyelesaian. (Bersambung ke Bag. 4)

Tidak ada komentar: