Surat Ke-45 Imam Ali Bin Abi Thalib As


Kepada 'Utsman ibn Hunaif al-Anshari, Gubernur Amirul Mukminin as di Bashrah, ketika ia mengetahui bahwa penduduk di tempat itu telah mengundangnya ke suatu perjamuan dan ia menghadirinya

Wahai Ibn Hunaif, saya mendengar bahwa seorang lelaki muda dari Bashrah mengundang Anda ke suatu pesta dan Anda meloncat (menyambut)nya. Makanan berbagai ragam dipilihkan untuk Anda dan mangkuk-mangkuk besar diberikan kepada Anda. Tak pernah saya pikirkan bahwa Anda akan menerima pesta dari suatu kaum yang mengusir para pengemis dan mengundang orang-orang kaya. Lihatlah pada suapan (makanan) yang Anda ambil, tinggalkan apa yang tentangnya Anda ragu dan ambillah yang tentangnya Anda yakin bahwa itu diperoleh secara halal.

Ingatlah bahwa setiap pengikut mempunyai pemimpin yang ia ikuti dan dari sinar pengetahuannya ia mengambil cahaya. Sadarilah bahwa imam Anda telah berpuas diri dengan dua kerat pakaian jembel dari (kesenangan) dunia, dan dua potong roti untuk makanannya. Tentulah Anda tak dapat berbuat demikian, tetapi setidak-tidaknya dukunglah saya dalam kesalehan, usaha, kesucian dan kejujuran, karena, demi Allah, saya tidak menyimpan emas apa pun dari dunia Anda dan tidak menumpuk kekayaan yang melimpah, dan tidak pula mengumpulkan selain kedua lembar (pakaian) jembel itu.

Yang kami miliki di kolong langit ini hanyalah Fadak, [1] tetapi sekelompok orang merasa serakah atasnya dan pihak yang lain memakannya.

Alhasil, Allah adalah hakim yang terbaik. Apa yang akan saya lakukan: ada Fadak atau tidak, sedang besok tubuh ini akan masuk ke kubur yang dalam kegelapannya jejak-jejaknya akan dihancurkan dan (bahkan) kabar-kabar darinya akan lenyap. Itu adalah lobang, sekalipun lebarnya diperlebar atau tangan-tangan penggalinya membuatnya luas dan terbuka, batu-batu dan bongkah-bongkah lempung akan menyempitkannya, dan tanah yang berjatuhan akan menutupi celah-celahnya. Saya berusaha untuk menjaga diri saya dalam takwa agar di satu hari ketakutan besar ia akan menjadi damai dan tabah di tempat-tempat yang licin.

Apabila saya mau, saya dapat mengambil jalan yang mengantar kepada (kesenangan dunia seperti) madu murni, gandum yang halus dan pakaian sutra, tetapi tak mungkin hawa nafsu saya memimpin saya dan keserakahan membawa saya untuk memilih makanan yang bagus-bagus sementara di Hijaz atau di Yamamah mungkin ada orang yang tak mempunyai harapan untuk mendapatkan roti, atau tidak mempunyai cukup makanan untuk dimakan sampai kenyang. Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut yang lapar dan haus? Atau, apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,

Cukuplah bagi Anda untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut penuh.
Sementara di sekitar Anda,
orang mungkin sangat merindukan kulit kering.

Apakah saya akan puas dipanggil Amirul Mukminin, walaupun saya tidak turut serta dengan rakyat dalam kesukaran-kesukaran dunia? Ataukah saya harus menjadi suatu teladan bagi mereka dalam kesedihan-kesedihan hidup? Saya tidak diciptakan untuk bersibuk diri dalam memakan makanan yang bagus-bagus seperti hewan tertambat yang satu-satunya kecemasannya ialah makanannya, atau sebagai hewan lepas yang kegiatannya ialah menelan. Ia memenuhi perutnya dan melupakan tujuan yang di baliknya. Apakah saya akan dibiarkan tanpa kendali untuk merumput dengan bebas, atau menyeret tali kesesatan atau mengembara tanpa tujuan di jalan-jalan kebingungan?

Saya melihat seakan-akan seorang dari Anda akan mengatakan bahwa apabila inilah yang dimakan 'Ali ibn Abi Thalib maka kelemahan pastilah membuatnya tak pantas untuk memerangi musuhnya dan bertarung dengan orang perkasa. Ingatlah bahwa pohon dari hutan adalah kayu yang terbaik, sedang ranting-ranting hijau berbunyi lembut, dan belantara liar sangat kuat menyala dan lambat padam. Hubungan saya dengan Rasulullah ialah hubungan cabang dengan (cabang) lain, atau pergelangan dengan lengan. Demi Allah, seandainya orang-orang Arab bergabung untuk memerangi saya, saya tidak akan lari dari mereka, dan apabila saya mendapat kesempatan, saya akan bergegas menangkap leher mereka. Saya pasti akan berjuang untuk membebaskan bumi dari orang yang berpikiran menyeleweng dan bertubuh yang kasar ini, sehingga remah-remah tanah tersingkir dari gabah.

Sebagian dari Surat yang Sama, yang merupakan akhirnya.

Menjauhlah dari saya, wahai dunia. Kendali Anda berada di bahu Anda sendiri, karena saya telah membebaskan diri dari selokan-selokan Anda, menyingkirkan diri saya dari jerat Anda dan mengelak berjalan ke tempat-tempat Anda yang menggelincirkan. Di manakah orang-orang yang telah Anda tipu dengan gurauan-gurauan Anda? Di manakah umat-umat yang telah Anda pikat dengan perhiasan Anda? Mereka semua terkurung di kubur dan tersembunyi di tempat-tempat pekuburan. Demi Allah, apabila Anda merupakan suatu pribadi yang nampak dan tubuh yang dapat merasa, tentulah saya sudah mengganjari Anda dengan suatu hukuman yang ditetapkan oleh Allah, karena dari kaum yang Anda terima melalui hawa nafsu dan umat-umat yang Anda lemparkan ke dalam kehancuran serta para pemimpin yang Anda kirimkan kepada keruntuhan dan Anda giring ke tempat-tempat kesedihan yang sesudahnya tak ada (jalan) pergi dan tak ada (jalan) kembali.

Sesungguhnya barangsiapa melangkah di tempat Anda yang licin, tergelincir; barangsiapa mengendarai gelombang Anda, tenggelam; dan barangsiapa mengelakkan jerat Anda menerima dukungan batin. Orang yang menjaga keselamatan diri dari Anda tidaklah cemas, sekalipun urusannya mungkin tegang dan dunia baginya adalah seperti suatu hari yang hampir habis (kadaluwarsa).

Menjauhlah dari saya, karena, demi Allah, saya tidak menunduk di hadapan Anda agar Anda menghina saya, tidak pula saya melonggarkan kendali untuk Anda supaya Anda boleh melarikan saya. Saya bersumpah demi Allah, kecuali atas kehendak Allah, bahwa saya akan melatih diri saya sedemikian rupa, sehingga ia akan merasa gembira apabila ia mendapatkan sepotong roti untuk dimakan, dan puas dengan hanya garam untuk membumbuinya. Saya akan membiarkan mata saya mengosongkan diri dari air mata seperti sungai yang airnya telah mengalir pergi. Sekiranya 'Ali memakan apa saja yang ia punyai dan seperti ternak yang memenuhi perutnya dari padang rumput, dan berbaring, atau seperti kambing-kambing (yang) merumput, memakan rumput hijau dan masuk ke dalam kandang mereka! Matanya mungkin mati apabila ia, sesudah tahun-tahun panjang, mengikuti temak lepas dan binatang-binatang yang merumput.

Beruntunglah orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah dan mananggung kesukaran-kesukarannya, tidak membiarkan dirinya tidur di malam hari, tetapi bilamana tidur menyergapnya ia berbaring di tanah dengan menggunakan tangannya sebagai bantal, bersama orang-orang yang menjaga matanya agar tetap jaga dalam ketakutan akan Hari Pengadilan, yang tubuhnya selalu jauh dari tempat tidur, yang bibirnya selalu bergumam dalam zikir kepada Allah dan yang dosa-dosanya telah dihapus melalui permohonan ampunnya, mereka itulah golongan Allah, Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS. 58:22). Oleh karena itu, wahai Hunaif, bertawakallah kepada Allah dan puaslah dengan roti Anda sendiri agar Anda luput dari neraka.•



[1] Fadak adalah suatu tempat subur yang hijau dekat Madinah, milik orang Yahudi. Pada tahun 7 H. Fadak jatuh ke tangan Nabi (saw) dalam rangka perjanjian untuk penyelesaian damai. Setelah jatuhnya Khaibar, kaum Yahudi menyadari kekuatan kaum Muslim yang sesungguhnya. Aspirasi militer Yahudi pun merosot. Melihat Nabi membebaskan orang-orang yang datang memohon perlindungan, mereka pun mengirim pesan damai kepada Nabi dan menyatakan kehendak untuk menyerahkan Fadak kepada beliau dan memohon agar area kediaman mereka tidak dijadikan medan pertempuran. Nabi memperkenankan permohonan amnesti mereka, dan tanah itu menjadi milik pribadi Nabi di mana tak ada orang lain ikut mempunyai kepentingan, dan tak ada yang mungkin menggugatnya, karena kaum Muslim hanya mendapat bagian dari harta yang mereka peroleh sebagai rampasan perang setelah berjihad, sedang harta yang diperoleh tanpa jihad disebut fai' dan hanya Nabi yang berhak atasnya. Allah berfirman,

"Dan apa saja harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. 59:6)

Tak ada orang yang pemah membantah fakta bahwa Fadak diperoleh tanpa pertempuran, dan oleh karena itu, menjadi hak pribadi Nabi dan tak seorang pun lainnya ikut memilikinya. Para sejarawan menulis,

"Fadak adalah milik pribadi Nabi karena kaum Muslim tidak menggunakan kuda atau unta mereka untuk itu." (Ath-Thabarî, Târîkh, h. 1582-1583,1589;Ibn Katsir, al-Kâmil, II, h. 224-225; Ibn Hisyam, as-Sîrah, III, h. 368; Ibn Khaldun, at-Târîkh, II, bagian u, h. 40; ad-Diyârbakrî, Târîkh al-Khamîs, II, h. 58; as-Sîrah al-Halabiyyah, III, h. 50)

Sejarawan Ahmad ibn Yahya al-Baladzuri (m. 279 H./892 M.) menulis,

"Fadak adalah milik pribadi Nabi karena kaum Muslim tidak menggunakan kuda atau unta mereka untuk itu." (Futûh al-Buldân, I, h. 37)

'Umar ibn Khaththab sendiri menganggap Fadak sebagai milik pribadi Nabi ketika ia menyatakan,

'Tanah Bani Nadhîr termasuk di antara yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya; terhadapnya tidak digunakan kuda maupun unta, tetapi tanah-tanah itu menjadi milik Allah secara khusus." (al-Bukhari, Shahîh, IV, h. 46; VII, h. 82; DC, h. 121-122; Muslim, Shahih, V, h. 151; Abu Dawud, as-Sunan, m, h. 139-141; an-Nasa'i, as-Sunan, VII, h. 132; Ahmad ibn Hanbal, Musnad, I, h. 25, 48, 60, 208; aI-Baihaqi, as-Sunan al-Kubrâ, VI, h. 296-299)

Juga terbukti secara sepakat bahwa di masa hidup beliau Nabi telah memberikan kebun ini kepada Fathimah sebagai hadiah. Mulla 'Ali Muttaqi menulis tentang itu. "Diriwayatkan melalui al-Bazzar, Abu Ya'la, Ibn Abi Hatim, Ibn Marduwaih, dan lain-lain, dari Abu Sa'id ad-Khudri bahwa ketika ayat,

'Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya...' (QS. 17:26) diwahyukan, Nabi memanggil Fathimah dan memberikan Fadak kepadanya." (as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur, IV, h. 177; al-Haitsami, Majma' az-Zawâ'id, VII, al-Muttaqi, Kanzul 'Ummâl, III, h. 439, al-'Alusî, Ruh al-Ma'ânî, XV, h.62)

Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, maka mengingat beberapa kepentingan Negara, ia melepaskan hak Fathimah atas Fadak dan mengambilnya. Dalam hal ini para sejarawan menulis,

"Sesungguhnya Abu Bakar mengambil Fadak dari Fathimah as." (Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah XVI, h. 219; as-Samhudi, Wafâ' al-Wafâ', III, h. 1000; Ibn Hajar, Ash-Shawâ'iq al-Muhriqah, h. 32)

Fathimah bangkit memprotes terhadapnya. Ketika memprotes kepada Abu Bakar, ia berkata, "Anda telah mengambil alih hak atas Fadak padahal Nabi telah memberikannya kepada saya dalam masa hidup beliau." Atasnya Abu Bakar meminta Fathimah mengajukan saksi tentang pemberian itu. Akibatnya Amirul Mukminin as dan Umm Aiman memberikan kesaksian bagi Fathimah. Tetapi bukti itu dipandang tak dapat diterima oleh Abu Bakar, dan tuntutan Fathimah ditolak. (Umm Aiman adalah budak yang dibebaskan Nabi dan pengasuh Nabi. la adalah ibu dari Usamah ibn Zaid ibn al-Haritsi. Nabi biasa mengatakan, "Umm Aiman adalah ibuku setelah ibuku." (al-Mustadrak, IV, h. 63; ath-Thabari, III, h. 3460; al-Istt'ab, IV, h. 1793; Usd al-Ghabah, V, h. 567; Nabi memberi kesaksian bahwa dia termasuk di antara penghuni surga. (Ibn Sa'd, VIII, h. 192; al-Ishâbah, IV, h. 432)

Tentang hal ini Baladzuri menulis,

"Fathimah berkata kepada Aba Bakar, 'Rasulullah telah memberikan Fadak kepada saya.' Lalu Abu Bakar memintanya mengajukan seorang saksi selain Ummu Aiman seraya berkata, 'Wahai putri Nabi, Anda tahu bahwa saksi tak dapat diterima kecuali oleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua wanita'."

Setelah itu tak ada lagi kemungkinan untuk menyangkali bahwa Fadak adalah milik pribadi Nabi dan bahwa beliau tetah melengkapi pemberiannya dengan jalan menyerahkan pemilikannya di masa hidupnya. Tetapi Abu Bakar mengambil alih kepemilikannya dan melepaskan hak Fathimah atasnya. Sehubungan dengan ini ia menolak kesaksian 'Ali dan Umm Aiman atas dasar bahwa kesaksian tidak lengkap hanya dengan seorang lelaki dan seorang wanita. Di samping mereka, Imam Hasan dan Imam Husain memberikan kesaksian pula mendukung Fathimah, tetapi kesaksian mereka pun ditolak atas dasar bahwa kesaksian keturunan dan anak-anak belum dewasa tak dapat diterima untuk mendukung orang tuanya. Kemudian Rabah, budak Nabi, juga diajukan sebagai saksi mendukung tuntutan Fathimah, tetapi ia pun ditolak. (Baladzuri, Futûh al-Buldân, I, h. 35; al-Ya'qubî, Târîkh, III, h. 195; al-Mas'udi, Murûj adz-Dzahab, III, h. 237; Abu Hilal al-'Askari, al-Awâ'il, h. 209; Wafâ' al-Wafâ', fu, h. 999, 1000-1001; Yaqut al-Hamawi, Mu'jam al-Buldan, IV, h. 239; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, XVI, h. 216, 219-220, 274; Ibn Hazm, al-Muhalla, VI, h. 507; As-Sirah al-Halabiyyah, III, h. 361; al-Fakhr ar-Razi, at-Tafsir, XXIX, h. 284)

Pada tahap ini timbul pertanyaan, bilamana kepemilikan Fathimah atas Fadak diakui sebagaimana juga telah dijelaskan oleh Amirul Mukminin as dalam suratnya ini, dengan mengatakan, "Kami mempunyai Fadak", apa maknanya meminta Fathimah mengajukan saksi atas tuntutannya, karena kewajiban mengajukan bukti tidak terietak pada orang yang memilikinya. Onus bukti itu terletak pada orang yang menggugat tuntutan itu, karena pemilikan itu sendiri merupakan bukti. Karena itu maka Abu Bakar yang seharusnya menunjukkan bukti tentang keabsahannya mengambil alih tanah itu, dan apabila ia tak mampu berbuat demikian maka itu berarti suatu bukti atas absahnya kepemilikannya. Karena itu, maka salah apabila meminta Fathimah mengajukan kesaksian atau bukti yang lebih banyak lagi.

Aneh bahwa ketika tuntutan-tuntutan lain sejenis ini diajukan kepada Abu Bakar, ia memberikannya sesuai pemyataan para pengklaim itu semata-mata atas dasar klaimnya tanpa diminta mengajukan saksi. Sehubungan dengan ini, para pakar hadis menulis,

"Diriwayatkan dari Jabir ibn 'Abdullah al-Anshari bahwa Rasulullah telah berkata bahwa bilamana rampasan perang dari Bahrain telah tiba maka beliau akan memberikan kepadanya ini dan itu dari harta itu. Ketika harta itu tiba, di masa Abu Bakar, ia pergi kepadanya dan Abu Bakar memaklumkan bahwa barangsiapa yang mempunyai klaim atas Rasulullah atau kepada siapa beliau telah menjanjikan sesuatu hendaklah ia datang mengajukan klaimnya. Maka saya pun pergi kepadanya dan mengatakan kepadanya bahwa Nabi telah menjanjikan kepada saya barang anu dan anu dari harta rampasan perang dari Bahrain, yang atasnya ia memberikan kepada saya semua itu." (al-Bukhari, Shahih, 111, h. 119-209, 236; IV, h. 110; V, h. 218; Muslim, Shahih, VII, h. 75-76; at-Tirmdzi, V, 129; Ahmad ibn Hanbal, Musnad, III, h. 307-308; Ibn Sa'd, ath-Thabaqât al-Kabir, 11, bagian II, h. 88-89)

Dalam penjelasan hadis ini, Syihabuddin ibn 'Ali (Ibn Hajar) al-'Asqalani asy-Syafi'i (773-852 H./1372-1449 M.) dan Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-'Aini al-Hanafi (762-855 H./1372-1451 M.) menulis,

"Hadis ini mengantarkan kepada kesimpulan bahwa bukti oleh seorang sahabat Nabi saja pun dapat diterima sebagai bukti yang penuh, walaupun demi keuntungan dirinya sendiri, karena Abu Bakar tidak meminta Jabir mengajukan saksi untuk membuktikan klaimnya." (Fath al-Bâri fi Syarh Shahih al-Bukhari, V, h. 380; 'Umdatal-Qâri fiSyarh Shahih al-Bukhari, XII, 121)

Apabila sah memberikan harta kepada Jabir atas dasar kesan baik tanpa menuntut saksi atau bukti maka apa yang menghalangi untuk memberikan klaim Fathimah atas dasar kesan baik yang sama? Apabila kesan baik ada terdapat dalam kasus Jabir sehingga dianggap mustahil bahwa ia akan memanfaatkan dusta maka mengapa tak boleh ada kepercayaan seperti itu mengenai Fathimah, bahwa ia tak akan berkata dusta tentang Nabi hanya untuk sebidang tanah? Pertama, kejujuran dan kesetiaannya yang diakui cukuplah untuk menerima kebenaran dalam klaimnya serta kesaksian Amirul Mukminin as dan Umm Aiman yang membenarkannya, juga ada di samping bukti-bukti lain. Telah dikatakan bahwa klaim tak dapat diputuskan bagi keuntungan Fathimah atas dasar kedua saksi itu karena Al-Qur'an telah meletakkan prinsip kesaksian bahwa,

"... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan...." (QS. 2:282)

Apabila prinsip ini universal dan umum maka ia harus dianggap beriaku pada setiap kesempatan, tetapi dalam beberapa kesempatan kedapatan bahwa hal itu tidak diikuti. Misalnya, ketika seorang Arab berselisih dengan Nabi tentang seekor unta, Khuzaimah ibn Tsabit al-Anshari memberikan kesaksian bagi Nabi, dan satu kesaksian ini dianggap sama dengan dua kesaksian, karena tak diragukan kejujuran dan kebenaran dari individu yang baginya kesaksian itu terarah. Karena alasan inilah maka Nabi memberikan kepadanya gelar Dzusy-Syahadatain (yang kesaksiannya sama dengan kesaksian dua orang). (Bukhari, IV, h. 24; VI, h. 146; Abu Dawud, III, 308; an-Nasa'i, VII, h. 302; Ahmad ibn Hanbal, V, h. 188, 189, 216; al-Isti'ab, II, 448; Usd al-Ghabah, II, h. 114; al-Ishabah, I, h. 425-426; ash-Shan'ani, al-Mushannaf, VIII, h. 366-368)

Sebagai akibatnya, tidaklah generalitas ayat tentang kesaksian itu dipengaruhi oleh tindakan ini dan tidak pula ia dipandang bertentangan dengan syariat tentang kesaksian. Jadi, apabila di sini, mengingat kejujuran Nabi, seorang saksi bagi beliau dianggap sama dengan dua kesaksian, maka tak dapatkah kesaksian ‘Ali dan Umm Aiman dianggap cukup bagi Fathimah mengingat kebesaran moral dan kejujurannya? Lagi pula, ayat ini tidak menunjukkan bahwa tak mungkin ada cara lain untuk memapankan klaim selain dengan kedua cara itu. Sehubungan dengan ini Qadhi Nurullah al-Mar'asyi at-Tustari (956-1019 H./1549-1610 M.) menulis dalam Ihqâq ul-Haqq, bab "al-Matha'in",

"Pandangan orang yang menaruh keberatan bahwa dengan kesaksian Umm Aiman syarat pembuktian itu tidak lengkap, adalah keliru, atas dasar bahwa dari hadis-hadis tertentu kelihatan bahwa adalah sah memberikan keputusan atas dasar satu saksi dan tak mesti berarti bahwa petunjuk Al-Qur'an itu telah dilanggar, karena ayat ini berarti bahwa suatu keputusan dapat diberikan atas kekuatan kesaksian dua lelaki atau seorang lelaki dan dua orang perempuan, dan bahwa kesaksian mereka itu cukup. Dari sini tidak nampak bahwa apabila ada dasar-dasar lain selain pembuktian saksi yang tak dapat diterima, dan bahwa keputusan hukum tak dapat diberikan atas dasamya, kecuali bila diargumentasikan bahwa hanya itulah satu-satunya pengertian ayat itu. Tetapi, karena setiap makna bukanlah argumentasi yang final, pengertian ini tak dapat dihapus, khususnya karena hadis jelas-jelas menunjuk ke arah pengertian yang sebaliknya. dan mengabaikan pengertian ini tidak mesti berarti pelanggaran terhadap ayat itu. Kedua, ayat itu memungkinkan pilihan antara kesaksian dua orang lelaki serta satu lelaki dan dua perempuan. Apabila dengan adanya hadis itu ditambahkan suatu pilihan ketiga yakni bahwa suatu keputusan dapat dilakukan melalui kesaksian lain pula, maka bagaimana dapat dimestikan bahwa ayat Al-Qur'an itu dianggap dilanggar?"

Bagaimanapun juga, dari jawaban ini jelaslah bahwa si pengklaim tidak wajib mengajukan kesaksian dua lelaki atau seorang lelaki dan dua wanita dalam mendukung klaim itu, karena apabila ada satu orang saksi dan si penuntut menyatakan dengan sumpah, maka ia dapat dianggap mempunyai keabsahan dalam kesaksiannya, dan keputusan yang diberikan dengan jalan kesaksian lain dapat diberikan bagi keuntungannya. Sehubungan dengan ini diriwayatkan oleh lebih dari dua belas sahabat Nabi bahwa,

"Rasulullah biasa memutuskan perkara atas dasar kekuatan satu saksi dan dengan mengambil sumpah."

Telah diterangkan oleh beberapa sahabat Nabi dan beberapa ulama fiqih bahwa keputusan ini berhubungan secara khusus dengan hak-hak, hak milik dan transaksi-transaksi; dan keputusan ini dipraktikkan oleh tiga khalifah, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman. (Muslim, V, h. 128; Abu Dawud, III, h. 308-309; Tirmidzi, fu, h. 627-629; Ibn Majah, 11, h. 793; Ahmad ibn Hanbal, I, 248, 315, 328; 111, h. 305; V, h. 285; Malik ibn Anas, al-Muwaththa', II, h. 721-725; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X, h. 167-176; ad-Daraquthni, as-Sunan, IV, h. 202; Kanzul ‘Ummâl, VII, h. 13)

Bilamana keputusan diambil atas dasar satu saksi dengan sumpah, maka sekiranya pun menurut pandangan Abu Bakar tuntutan kesaksian tidak lengkap, ia mestinya meminta Fathimah bersumpah lalu memberikan keputusan bagi keuntungannya. Tetapi tujuannya adalah untuk menodai kejujuran Fathimah agar di masa depan kesaksiannya tidak menimbulkan masalah.

Namun, ketika tuntutan Fathimah ditolak secara itu dan Fadak tidak diakui sebagai pemberian Nabi kepadanya, ia menuntutnya atas dasar warisan dengan mengatakan,

"Apabila Anda tidak setuju bahwa Nabi telah memberikannya kepada saya, Anda tak dapat menyangkal bahwa Fadak dan pendapatan dari Khaibar maupun dari tanah-tanah sekitar Madinah adalah milik pribadi Nabi, dan saya adalah satu-satunya ahli waris beliau."

Tetapi haknya sebagai ahli waris pun ditolak atas dasar sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar sendiri bahwa Nabi telah bersabda,

"Kami para nabi tidak mempunyai ahli waris dan apa saja yang kami tinggalkan merupakan sedekah." (al-Bukhari, IV, h. 96; V, h. 25, 26; Vfu, h. 185; Muslim, V, h. 153-155; at-Tirmidzi, IV, h. 157-158; Abu Dawud, M, h. 143-144; an-Nasa'i, VII, h. 132; Ahmad ibn Hanbal, I, h. 4, 6, 9, 10; al-Baihaqi, VI, h. 300; Ibn Sa'd, II, h. 86-87; ath-Thabari, I, h. 1825; Târîkh al-Khamis, II, h. 173-174)

Selain Abu Bakar, tak ada seorang pun lainnya yang mengetahui adanya ucapan yang ditunjukkan sebagai hadis Nabi itu, dan tak seorang pun di antara para Sahabat Nabi yang peraah mendengamya. Maka Jalaluddin 'Abdur-Rahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi asy-Syafi'i (849-911 H./1445-1505 M.) dan Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad (Ibn Hajar) al-Haitsami asy-Syafi'i (909-974 H./1504-1567 M.) menulis,

"Setelah wafatnya Nabi, terdapat perselisihan pandangan tentang warisan itu, dan tak seorang pun mempunyai suatu infonnasi dalam hal itu. Lalu Abu Bakar mengatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah mengatakan bahwa 'Kami para nabi tidak mempunyai ahli waris dan apa saja yang kami tinggalkan menipakan sedekah.'" (Târîkh al-Khulafâ', h. 73; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, h. 19)

Akal menolak untuk percaya bahwa Nabi tidak mengatakannya kepada para individu yang dapat dianggap sebagai ahli waris beliau bahwa mereka tidak akan menerima warisan, tetapi memberitahukan kepada pihak ketiga yang sama sekali bukan keluarga bahwa mereka tidak akan menjadi ahli waris beliau. Kemudian, cerita itu baru diumumkan ketika kasus Fadak telah diajukan ke pengadilan dan ia sendiri menjadi pihak lawan. Dalam keadaan demikian bagaimana pengajuannya akan sebuah hadis yang mendukung dirinya, yang tak pemah didengar orang lain, dianggap sah. Apabila diargumentasikan bahwa hadis ini harus diandalkan mengingat besarnya kedudukan Abu Bakar, maka mengapa Fathimah tak dapat diandalkan mengklaim pemberian itu karena kejujuran dan kebenarannya, lebih-lebih lagi bila kesaksian Amirul Mukininin as dan Umm Aiman serta orang-orang lain juga mendukungnya? Apabila dirasakan perlunya untuk memanggil kesaksian lebih banyak lagi dalam kasusnya, maka kesakisan dapat pula diminta tentang hadis ini, khususnya karena hadis ini bertentangan dengan ajaran-ajaran umum dalam Al-Qur'an tentang kewarisan. Bagaimana mungkin sebuah hadis yang lemah dalam hal periwayatannya dan dipertanyakan atas dasar fakta-fakta dianggap mengkhususkan suatu generalitas dalam ajaran Al-Qur'an, karena masalah warisan para nabi jelas disebutkan di dalam Al-Qur'an. Allah berfirman,

"Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.... (QS. 27:6) Di bagian lain dinyatakan dalam kata-kata Nabi Zakariyya, "... maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub...." (QS. 19:5-6)

Pada ayat-ayat di atas warisan itu merujuk warisan dalam harta kekayaan; mengambilnya dalam arti pengetahuan kenabian bukan saja aneh tetapi juga bertentangan dengan fakta, karena pengetahuan dan kenabian bukanlah obyek pewarisan, dan tidak pula hal itu memiliki sifat untuk transmisi melalui warisan, karena apabila demikian halnya maka seluruh keturunan seorang nabi akan menjadi nabi. Tak ada maknanya dalam membuat perbedaan bahwa keturunan sebagian nabi dapat mewarisi kenabian sedang yang lainnya tidak mendapatkannya, Aneh bahwa teori tentang transmisi kenabian melalui warisan disiarkan oleh orang-orang yang selalu menaruh keberatan terhadap Syi'ah bahwa mereka memandang imamah dan kekhalifahan sebagai obyek warisan dan terbatas pada satu famili saja. Tidakkah kenabian menjadi obyek warisan dengan memandang warisan dalam ayat ini sebagai berarti suksesi dalam kenabian?

Apabila dalam pandangan Abu Bakar berdasarkan hadis ini tak mungkin ada ada waris dari Nabi, maka di manakah hadis ini ketika suatu dokumen telah ditulis yang mengakui klaim Fathimah atas warisan? Nuruddin ‘Ali ibn Ibrahmi al-Halabi asy-Syafi'i (975-1044 H./1567-1635 M.) mengutip dari Syamsuddin Yusuf (Sibth ibn al-Jauzi) al-Hanau (581-654 H./H85-1256 M.) meriwayatkan,

"Abu Bakar sedang di mimbar ketika Fathimah datang kepadanya seraya berkata, 'Hai, Abu Bakar, Al-Qur'an mengizinkan anak perempuan Anda mewarisi Anda, tetapi saya tak boleh mewarisi dari ayah saya!' Abu Bakar menangis lalu turun dari mimbar. Kemudian ia menulis untuknya (Fathimah) tentang Fadak. Pada saat itu 'Umar tiba dan menanyakan apa itu. Abu Bakar menjawab, 'Itu dokumen yang telah saya tulis untuk Fathimah tentang warisannya dari ayahnya.' 'Umar berkata, 'Apa yang akan Anda belanjakan pada kaum Muslim sementara orang-orang Arab sedang melancarkan peperangan melawan Anda, sebagaimana Anda lihat?' Lalu 'Umar mengambil dokumen itu dan merobeknya." (as-Sirah al-Halabiyyah, 111, h. 361-362)

Setiap orang yang berpikiran wajar yang melihat perilaku ini dapat dengan mudah menarik kesimpulan bahwa hadis itu diada-adakan dan batil, dibuat-buat hanya untuk mendapatkan pemilikan atas Fadak dan warisan-warisan lainnya. Akibatnya, Fathimah menolak 'hadis' itu serta mengungkapkan kemarahannya dengan mewasiatkan tentang Abu Bakar dan 'Umar bahwa keduanya tak boleh ikut serta dalam salat jenazahnya.

'A'isyah meriwayatkan,

"Fathimah as putri Nabi (saw) meminta Abu Bakar (setelah ia menjadi khalifah sepeninggal Nabi) menuntut darinya warisannya yang ditinggalkan Rasulullah dari apa yang telah dianugerahkan Allah (secara khusus) untuk beliau di Madinah, dan Fadak, dan apa yang tertinggal dari khumus dari (pendapatari tahunan yang diterima) dari Khaibar .... Abu Bakar menolak untuk menyerahkan apa pun darinya kepada Fathimah. Kemudian Fathimah menjadi marah kepada Abu Bakar dan meninggalkannya dan tidak berbicara kepadanya hingga akhimya .... Ketika ia (Fathimah) meninggal, suaminya 'Ali ibn Abi Thalib menguburkannya di waktu malam. la tidak memberitahukan kepada Abu Bakar tentang kematiannya (Fathimah) dan ia mengurus jenazahnya sendirian ...." (al-Bukhari, V, h. 177; VIII, h. 185; Muslim, V, h. 153-155; Al-Baihaqi, IV, h. 29; VI, 300-301; Ibn Sa'd, II, bagian ii, h. 86; Ahmad ibn Hanbal, I, h. 9; ath-Thabari, I, h. 1825; Ibn Katsir, Târîkh, V, h. 285-286; Ibn Abil Hadid, VI, h. 46; dan Wafâ’ al-Wafâ', 111, h. 995)

Sehubungan dengan ini Umm Ja'far, putri Muhammad ibn Ja'far, meriwayatkan tentang permohonan Fathimah as kepada Asma' binti 'Umais dekat sebelum matinya,

"Bilamana saya meninggal, saya menghendaki Anda dan 'Ali memandikan saya, dan jangan mengizinkan siapa pun masuk ke dalam (rumah) saya."

Ketika ia meninggal, 'A'isyah datang hendak masuk. Asma' mengatakan kepadanya, "Janganlah masuk." 'A'isyah mengadu kepada Abu Bakar (ayahnya) seraya mengatakan, "Perempuan dari suku Kats'am (Asma') itu menjadi perantara kita dengan putri Rasulullah ...." Lalu Abu Bakar datang dan berdiri di pintu seraya berkata, "Hai Asma', apa yang membuat Anda menghalangi para istri Nabi memasuki (rumah) putri Rasulullah?" Asma' menjawab, "Dia sendiri yang memerintahkan saya supaya tidak membiarkan siapa pun memasuki (rumah)nya ...." Abu Bakar berkata, "Lakukanlah apa yang diperintahkannya kepada Anda." (Hilyah al-Auliya', II, h. 43; as-Sunan al-Kubra, fu, h. 396; IV, h. 334; Ansâb al-Asyrâf, I, 405; al-lsti'ab, IV, h. 1897-1498; Usd al-Ghâbah, V, h. 524; al-lshabah, IV, h. 378-379)

Fathimah as juga telah mengajukan permohonan kepada Amirul Mukminin as agar ia dimakamkan di malam hari dan agar tak seorang pun datang kepadanya, bahwa Abu Bakar dan 'Umar tak boleh diberitahu tentang kematian dan penguburannya, dan bahwa Abu Bakar tak boleh diizinkan salat atas jenazahnya. Ketika ia meninggal, ‘Ali memandikannya dan menguburkannya dalam kesunyian malam, tanpa diberitahukan kepada Abu Bakar dan 'Umar. Maka kedua orang ini tak mengetahui penguburannya.

Muhammad ibn Umar al-Waqidi (130-207 H./747-823 M.) berkata,

'Telah dibuktikan kepada kami bahwa 'Ali as melaksanakan salat jenazahnya dan menguburkannya di malam hari, disertai oleh 'Abbas (ibn 'Abdul Muththalib), dan (putranya) al-Fadhl, dan tidak memberitahukan kepada siapa pun (lainnya).

Sebab itulah tempat kuburan Fathimah as tersembunyi dan tidak diketahui, dan tak seorang pun yakin tentang hal itu. (al-Mustadrak, III, h. 162-163; al-Mushannaf, IV, h. 141; Ansâb al-Asyrâf, I, h. 402-405; al-Isti'ab, IV, h. 1898; Usd al-Ghabah, V, h. 524-525; al-Ishabah, IV, h. 379-380; ath-Thabari, III, h. 2435-2436; Ibn Sa'd, VIII, h. 19-20; Wafa' al-Wafa', III, h. 901-902, 904, 905;

Ibn Abil Hadid, XVI, h. 279-281)

Untuk mengatributkan ketidaksenangan Fathimah pada sentimen dan dengan itu merendahkan pentingnya, tidaklah tepat, karena apabila ketidaksenangan ini merupakan akibat sentimen, maka Anurul Mukminin as tentu sudah melarangnya sebagai ketidaksenangan yang salah kaprah, tetapi tak ada sejarah yang menunjukkan bahwa Anurul Mukminin as menganggap ketidaksenangan ini sebagai salah kaprah. Di samping itu, bagaimana mungkin ketidaksenangannya merupakan hasil perasaan pribadi atau sentimen karena kesenangan atau ketidaksenangannya selalu sesuai dengan kehendak Allah. Hadis Nabi yang berikut ini merupakan bukti atasnya.

"Hai Fathimah, sesungguhnya Allah berang dalam kemarahan Anda dan rida dalam keridaan Anda." (al-Mustadrak, III, h. 153; Usd al-Ghâbah, al-Ishabah, IV, h. 366; Tahdzîb at-Tahdzîb, XII, h. 441; al-Khasha'ish al-Kubra, II, h. 265; Kanz al-'Ummal, Xin, h. 96; XVI, h. 280; Majma' az-Zawa'id, IX, h. 203)

Sekilas Riwayat Fadak Sepeninggal Fathimah

Motif yang mendorong kita menelusuri sejarah Fadak dan kelanjutan peristiwa sesudahnya selama waktu tiga abad dari teks-teks buku sejarah adalah untuk menjelaskan tiga hal:

a. Perintah untuk menghapus warisan dari para nabi dilakukan oleh Nabi; dengan kata lain, harta Nabi adalah bagian dari perbendaharaan umum dan menjadi milik seluruh kaum Muslim. Ini diklaim oleh khalifah pertama Abu Bakar, dan ditolak oleh para penggantinya, baik oleh kedua khalifah berikutnya ('Umar dan 'Utsman), maupun para khalifah Bani Umayyah dan 'Abbasiah. Kita harus mempertimbangkan keabsahan dan kebenaran kekhalifahan mereka tergantung pada kebenaran dan keabsahan tindakan dari kekhalifahan khalifah yang pertama.

b. Amirul Mukminin ('Ali as) dan keturunan Fathimah tidak pemah ragu-ragu mengenai kebenaran klaim mereka. Mereka mendesak dan mengukuhkan bahwa Fathimah as benar dan bahwa klaim Abu Bakar selalu ditolak, dan mereka tidak menyerah kepada klaim palsu itu.

c. Bilamana saja seorang khalifah membuat keputusan untuk mengefektifkan perintah Allah, mengenai Fadak, untuk melaksanakan keadilan dan kesamaan, dan memulihkan hak kepada yang berhak sesuai dengan aturan Islam, ia mengembalikan Fadak kepada keturunan Fathimah as dan menyerahkannya kepada mereka.

1. 'Umar ibn Khaththab adalah orang yang paling kasar dalam melepaskan hak Fathimah as atas Fadak serta warisannya, dan ia sendiri mengatakan,

"Ketika Rasulullah meninggal, saya datang bersama Abu Bakar kepada 'Ali .ibn Abi Thalib seraya berkata, 'Apa kata Anda tentang apa yang telah ditinggalkan Rasulullah?' la menjawab, 'Kami yang paling mempunyai hak dengan Nabi.' Saya ('Umar) berkata, 'Bahkan harta dari Khaibar?' la berkata, 'Ya, bahkan yang dari Khaibar.' Saya berkata, 'Bahkan yang dari Fadak?' la menjawab, 'Ya, bahkan yang dari Fadak?' Lalu saya berkata, 'Demi Allah, kami katakan tidak, sekalipun Anda memotong leher kami dengan gergaji.'" (Majma' az-Zawâ'id, IX, h. 39-40)

Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, 'Umar kemudian mengambil dokumen tentang Fadak lalu merobeknya. Tetapi, ketika 'Umar menjadi khalifah (13-23 H./634-644 M.) ia mengembalikan Fadak kepada ahli waris Nabi. Sejarawan dan geografis termasyhur, Yaqut al-Hamawi (574-626 H./1178-1229 M.), dalam mengikuti peristiwa Fadak mengatakan,

"Kemudian, ketika 'Umar ibn Khaththab menjadi khalifah dan beroleh kejayaan, dan kaum Muslim telah beroleh kekayaan yang melimpah (yakni, perbendaharaan umum memenuhi kebutuhan kekhalifahan), ia membuat keputusan yang bertentangan dengan pendahulunya, dan (keputusan) itu ialah memberikannya (Fadak) kembali kepada ahli waris Nabi. Pada waktu itu 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abbas ibn 'Abdul Muththalib memperselisihkan Fadak.

'Ali berkata bahwa Nabi (saw) telah memberikannya kepada Fathimah semasa hidup beliau. 'Abbas menolak hal ini dan mengatakan, 'Ini dahulu berada dalam pemilikan Nabi (saw) dan saya ikut serta memiliki dalam warisan beliau.' Mereka sedang memperselisihkan ini di antara sesama mereka dan meminta 'Umar untuk menyelesaikan perkara itu. la menolak mengadili di antara mereka seraya berkata, 'Anda berdua lebih sadar dan mengetahui permasalahan Anda; tetapi saya hanya memberikannya kepada Anda ....'" (Mu'jam al-Buldan, IV, h. 238-239; Wafa' al-Wafa', fu, h. 999; Tahdzîb al-Lughah, X, h. 124; Lisan al-'Arab, X, h. 473; Taj al-'Arus, VII, h. 166)

Penyebab 'Umar dan Abu Bakar berusaha merebut Fadak adalah alasan ekonomi dan politik, bukan hanya urusan keagamaan, karena episode sebelumnya menunjukkan, ketika keadaan ekonomi dan politik kekhalifahan membaik, dan tidak diperlukan lagi pendapatan dari Fadak, keputusan 'Umar pun berubah.

Bagian terakhir dari peristiwa historis ini telah kami selipkan kemudian untuk menunjukkan hal warisan oleh saudara dari yang telah meninggal, atau saudara dari si almarhum bilamana ia tidak mempunyai putra. Problemanya adalah masalah perselisihan di antara berbagai mazhab Islam. Pembahasan hukum dan fiqih menyimpang dari masalah kita. Kami hanya membahas hal itu secara historis.

'Abbas tidak mempunyai klaim dalam kasus ini karena ia tidak menunjukkan bahwa ia mempunyai bagian dalam harta ini dan tidak pula keturunannya memandang (harta) itu sebagai aset mereka ketika menjadi khalifah dan memerintah. Mereka menguasai kebun itu dalam kedudukan mereka sebagai khalifah, atau mereka mengembalikannya kepada keturunan Pathimah ketika mereka memutuskan menjadi pemerintah yang adil.

2. Ketika 'Utsman ibn 'Affan menjadi khalifah (23-35 H./644-656 M.) sepeninggal 'Umar, ia memberikan Fadak kepada Marwan ibn Hakam, sepupunya (as-Sunan al-Kubra, VI, h. 301; Wafa' al-Wafa’, 111, h. 1000; Ibn Abil Hadid, I, h. 198) dan ini merupakan salah satu penyebab rasa permusuhan di kalangan kaum Muslim terhadap 'Utsman (Ibn Qutaibah, al-Ma'arif, h. 195; al-'Iqd al-Fand, IV, h. 283, 435; Abul Fida', at-Târîkh, Ibn al-Wardi, I, h. 204) yang berakhir dengan pemberontakan dan pembunuhannya. "Sedang sebelumnya Fathimah mengklaim-nya, kadang-kadang sebagai warisannya dan kadang-kadang sebagai pemberian (dari ayahnya) ia diusir dari (Fadak) itu," sebagaimana kata Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balaghah. Secara ini Fadak jatuh ke dalam kekuasaan Marwan. la biasa menjual penghasilannya sekurang-kurangnya 10.000 dinar setahun, dan bila dalam beberapa tahun penghasilannya menurun, tidaklah berarti banyak. Ini merupakan keuntungannya yang biasa sampai di masa Khalifah 'Umar ibn 'Abdul Aziz dalam tahun 100 H./718 M. (Ibn Sa'd, V, h. 286, 287; Shubh al-A'sya, IV, h.291)

3. Ketika Mu'awiah ibn Abi Sufyan menjadi khalifah (41-60 H./661-680 M.) ia menjadi mitra Narwan dan lain-lain dalam pemilikan atas Fadak. la memberikan sepertiganya kepada Marwan dan sepertiga kepada 'Amr ibn 'Utsman ibn 'Affan dan sepertiga kepada putranya Yazid. Ini terjadi setelah wafatnya Hasan ibn 'AB as. "Untuk membuat marah keturunan Nabi," kata al-Ya'qubi. (at-Tarikh, II, h. 199)

Fadak dimiliki ketiga orang tersebut di atas sampai Marwan menjadi khalifah (64-65 H./684-685 M.) ketika ia sepenuhnya mengambil alih kepemilikan atas Fadak. Kemudian ia memberikannya kepada dua orang putranya, 'Abdul Malik dan 'Abdul 'Aziz. Kemudian 'Abdul 'Aziz memberikan bagiannya kepada putranya 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz.

4. Ketika 'Umar ibn 'Abdul 'Aztz menjadi khalifah (99-101 H./717-720 M.) ia berkhotbah seraya menyebutkan bahwa "Sesungguhnya Fadak adalah di antara hal-hal yang dianugerahkan Allah kepada RasulNya, dan tak ada kuda, dan tak ada unta yang digunakan terhadapnya ..." dan menyebutkan kasus Fadak di masa para khalifah yang lalu sampai ia berkata, "Kemudian Marwan memberikannya (Fadak) kepada ayah saya dan 'Abduk Malik. la (Fadak) menjadi milik saya dan al-Walid dan Sulaiman (keduanya putra 'Abdul Malik). Ketika al-Walid menjadi khalifah (86-96 H./705-715 M.) saya meminta bagiannya dan ia memberikannya kepada saya. Saya meminta bagian Sulaiman dan ia memberikannya kepada saya. Kemudian saya kumpulkan ketiga bagian itu dan saya tidak mempunyai harta yang lebih saya senangi ketimbang ini. Saksikanlah bahwa saya mengembalikannya kepada keadaannya yang asli." la menuliskan hal ini kepada gubemumya di Madmah (Abu Bakar ibn Muhammad ibn 'Amr ibn Hazm) dan memerintahkannya untuk melaksanakan apa yang telah dinyatakannya dalam khotbahnya. Kemudian Fadak menjadi milik anak-anak Fathimah. "Ini merupakan penyingkiran kelaliman dengan mengembalikannya (Fadak) kepada anak-anak 'Ali." (Abu Hilal al-'Askari, al-Awa'il, h. 209) Mereka memilikinya selama pemerintahan khalifah itu.

5. Ketika Yazld ibn 'Abdul Malik menjadi khalifah (101-105 H./720-724 M.) ia merebut Fadak dan anak-anak ‘Ali kehilangan haknya. Fadak jatuh kepada Bani Marwan sebagaimana sebelumnya. Mereka mengalihkannya dari tangan ke tangan sampai kekhalifahan mereka berakhir dan jatuh kepada Bani 'Abbas.

6. Ketika Abul 'Abbas 'Abdullah al-Saffah menjadi khalifah pertama dinasti 'Abbasiah (132-136 H./749-754 M.) ia mengembalikan Fadak kepada anak cucu Fathimah dan menyerahkannya kepada 'Abdullah ibn Hasan ibn Hasan ibn ‘Ali ibn Abt Thalib.

7. Ketika Abu Ja'far 'Abdullah al-Manshur ad-Dawamqi menjadi khalifah (136-158 H./754-755 M.), ia merebut Fadak dari anak-anak Hasan.

8. Ketika Muhammad al-Mahdi ibn al-Manshur menjadi khalifah (158-169 H./775-785 M.) ia mengembalikan Fadak kepada anak cucu Fathimah.

9. Musa al-Hadi ibn al-Mahdi (169-170 H./785-786 M.) dan saudaranya Harun ar-Rasyid (170-193 H./786-809 M.) merebutnya dari keturunan Fathimah dan Fadak dikuasai Bani 'Abbas sampai al-Ma'mun menjadi khalifah (193-218 H./813-833 M.)

10. Al-Ma'mun al-'Abbasi mengembalikannya kepada keturunan Fathimah (210 H./826 M.). Diriwayatkan melalui al-Mahdi ibn Sabiq bahwa,

"Pada suatu hari al-Ma'mun duduk sambil mendengarkan pengaduan rakyat dan mengadili perkara. Ucapan pengaduan yang pertama yang diterimanya menyebabkan ia menangis ketika ia melihatnya. la menanyakan di mana pengacara Fathimah putri Nabi. Seorang lelaki tua usia berdiri lalu menghadap, berargumentasi dengan dia tentang Fadak, dan al-Ma'munjuga mengajukan argumentasinya sehingga lelaki tua itu mengalahkan al-Ma'mun (al-Awa'il, h. 209)

Al-Ma'mun memanggil para faqih dan menanyakan kepada mereka tentang klaim Bani Fathimah. Mereka meriwayatkan kepada al-Ma'mun bahwa Nabi memberikan Fadak kepada Fathimah dan bahwa setelah wafatnya Nabi Fathimah menuntut kepada Abu Bakar untuk mengembalikan Fadak kepadanya. Abu Bakar memintanya untuk mengajukan saksi mengenai klaim tentang pemberian itu. Fathimah membawa 'Ali, Hasan dan Husain dan Umm Aiman sebagai saksinya. Mereka memberikan kesaksian yang membenarkan Fathimah. Abu Bakar menolak kesaksian mereka." Lalu al-Ma'mun bertanya kepada para faqih itu, "Bagaimana pendapat Anda tentang Umm Aiman?" Mereka menjawab, "la wanita yang mengenainya Nabi memberikan kesaksian bahwa ia penghuni surga." Al-Ma'mun berdebat panjang lebar dengan mereka dan memaksa mereka untuk menerima argumen dengan bukti-bukti, sampai mereka mengaku bahwa ‘Ali, Hasan dan Husain serta Umm Aiman hanya memberikan kesaksian yang sebenaraya. Ketika mereka sepakat menerima hal ini, ia memulihkan Fadak kepada keturunan Fathimah. (al-Ya'qubi, at-Tarikh, 111, h. 195-196)

Kemudian al-Ma'mun memerintahkan agar kebun Fadak itu didaftarkan di antara milik para keturunan Fathimah, dan al-Ma'mun menandatanganinya.

Kemudian ia menulis surat kepada gubemurnya di Madmah yang bernama Qutsam ibn Ja'far sebagai berikut:

"Ketahuilah bahwa Amirul Mukminin, dalam melaksanakan wewenang yang diletakkan padanya oleh agama Ilahi sebagai Khalifah, pengganti dan kerabat Nabi, telah memandang dirinya lebih patut mengikuti sunah Nabi dan melaksanakan perintah-perintah beliau. Dan (pemimpin lebih berhak) untuk memulihkan kepada orang-orang yang berhak hadiah yang telah diberikan Nabi atau barang yang telah diberikan oleh Nabi kepada seseorang. Keberhasilan dan keselamatan Amirul Mukminin adalah karena Allah dan dia secara khusus merasa amat cemas untuk bertindak dalam suatu cara yang akan mendapatkan keridaan Allah Yang Mahakuasa baginya.

"Sesungguhnya Nabi telah menghadiahkan kebun Fadak kepada putri beliau Fathimah as. Beliau telah mengalihkan kepemilikannya kepadanya. Hal itu adalah suatu fakta yang jelas dan mapan. Tak seorang pun di antara kerabat Nabi yang berselisih pendapat. Fathimah selalu mengakuinya, yang lebih patut (untuk dibenarkanj ketimbang orang (Abu Bakar) yang perkataannya diterima. Amirul Mukminin memandang benar dan pantas untuk memulihkan Fadak kepada para ahli waris Fathimah. Dengan ini ia akan beroleh kedekatan kepada Allah Ta'ala dengan menegakkan keadilan dan kebenaran-Nya. Akan beroleh penghargaan dari Nabi bila melaksanakan perintah-perintah beliau. Amirul Mukminin telah memerintahkan bahwa pemulihan hak atas Fadak ini harus didaftarkan secara mestinya. Perintah-perintah itu harus diteruskan kepada semua pejabat.

"Kemudian, apabila, sebagaimana biasanya, dimaklumkan kepada setiap jamaah haji setiap tahun, menyusul wafatnya Nabi, bahwa kepada barangsiapa yang kepadanya Nabi telah menjanjikan suatu pemberian, hendaklah ia maju ke depan, pemyataannya akan diterima danjanji itu akan dipenuhi. Pastilah Fathimah as mempunyai hak yang lebih unggul untuk diterima perayataannya dalam hal pemberian Fadak oleh Nabi (saw) kepadanya.

"Sesungguhnya Amirul Mukminm telah memerintahkaft kepada hambanya Mubarak ath-Thabari untuk memulihkan Fadak kepada keturunan Pathimah putri Nabi dengan segala perbatasannya, hak-haknya dan semua budak yang terpaut padanya, tanaman musiman dan lain-lain.

"Semua ini telah dipulihkan kepada Muhanunad ibn Yahya ibn 'Abdullah ibn Hasan ibn 'Ali ibn Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib.

"Amirul Mukminin telah menunjuk keduanya sebagai pelaksana yang mewakili para pemilik tanah itu, keturunan Fathimah. Maka ketahuilah bahwa ini pandangan Amirul Muknunin dan bahwa Allah telah mengilhaminya untuk menaati perintah Allah dan mendapatkan keridaan-Nya dan keridaan Nabi. Hendaklah pula bawahan Anda mengetahui hal ini. Berlakulah terhadap Muhammad ibn Yahya dan Muhammad ibn 'Abdillah secara yang sama sebagaimana Anda memperlakukan Mubarak ath-Thabari. Bantulah keduanya dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kesuburan dan kemakmurannya serta perbaikannya dalam kelimpahan panen dengan kehendak Allah. Wasalam."

SURAT itu ditulis pada hari Rabu tanggal dua malam setelah Zulkaidah tahun 210 (15 Pebruari 826 M).

11. Selama masa kekhalifahan al-Ma'mdn Fadak dikuasai keturunan Fathimah, dan ini berlanjut sampai dengan kekhalifahan al-Mu'tashim (218-227 H./833-842 M.) dan al-Watsiq (227-232 H./842-847 M.).

12. Ketika Ja'far al-Mutawakkil menjadi khalifah (232-247 H./847-861 M.), salah seorang di antara mereka yang ditandai sebagai musuh bebuyutan keturunan Nabi yang masih hidup maupun yang sudah mati, memberikan perintah untuk merebut kembali Fadak dari keturunan Fathimah. (la merebutnya dan memberikannya kepada Harmalah al-Hajjam) dan setelah matinya al-Hajjam ia memberikannya kepada al-Bazyar, penduduk Thabanstan. (Kasyfal-Ghummah, 11, h. 121-122; al-Bihar, edisi pertama, Vfu, h. 108; Safinah al-Bihar, II, h. 351. Abu Hilal al-'Askari menyebut bahwa namanya ialah 'Abdullah ibn 'Umar al-Bazyar seraya menambahkan, "Dan di dalamnya (Fadak) ada sebelas batang pohon kurma yang ditanam oleh Nabi dengan tangan beliau sendiri. Keturunan Abu Thalib dahulu biasa mengumpulkan buah-buah kurma ini. Ketikajamaah haji memasuki Madinah mereka menghadiahkan buah-buah kurma itu kepada para jamaah itu. Melalui ini mereka mendapatkan imbalan yang banyak. Berita ini sampai kepada Mutawakkil. la memerintahkan kepada 'Abdullah ibn 'Umar untuk memotong buah-buah itu dan memerah sarinya. Dilaporkan bahwa ia menjadikannya khamar. Sari buah kurma itu tak sampai ke Bashrah (dalam perjalanannya kepada khalifah itu) ketika membusuk dan al-Muwakkil telah tewas terbunuh." (al-Awa'il, h. 209)

13. Ketika al-Mutawakkil tewas dan putranya al-Muntashir menggantikannya (247-248 H./861-862 M.), ia mengeluarkan perintah untuk memulihkan lagi Fadak kepada keturunan Hasan dan Husain dan memberikan sumbangan-sumbangan Abu Thalib kepada mereka, dan ini terjadi tahun 248 H./862 M. (Rujukan untuk No. 3-13: Futuh al-Buldan, I, h. 33-38; Mu'jam al-Buldan, IV, h. 238-240; al-Ya'qubi, at-Tarikh, II, h. 199; III, h. 45, 195-196; Ibn Atsir, al-Kamil, II, h. 224-225; III, h. 457, 497; V, h. 63; VII, h. 116; al-'Iqd al-Farid, IV, h. 216, 283,435; Wafa' al-Wafa; III, 999-1000; ath-Thabagat al-Kabra, V, h. 286-287; Târîkh al-Khulafa', h. 231-232, 356; Muruj adz-Dzahab, IV, h. 82; Ibn al-Jauzi, Slrah 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz, h. 110; Shubh al-A'sya, IV, h. 291; Jamharah Rasa'il al-'Arab, II, h. 331-332; III, h. 509-510; 'A'lam an-Nisa', fu, h. 1211-1212; Ibn Abil Hadid, XVI, h. 277-278; Awa'il, h. 209; Kasyfal-Ghummah, II, h. 120-122; al-Bihar, VIII, h. 107-108)

14. Nampaknya Fadak direbut lagi dari keturunan Fathimah setelah matinya Muntashir (248 H./862 M.), karena Abul Hasan 'Alt ibn 'Isa al-Irbili (m. 692 H./ 1293 M.) menyebutkan bahwa al-Mu'tadhid (279-289 H./892-902 M.) mengembalikan Fadak kepada keturunan Fathimah. Kemudian ia menyebutkan bahwa al-Muqtafi (289-295 H./902-908 M.) merebutnya dari mereka. Dikatakan pula bahwa al-Muqtadir (295-320 H./908-932 M.) mengembalikannya kepada keturunan Fathimah. (Kasyf al-Ghummah, II, h. 122; al-Bihar, Vfu, h. 108; Safinah, II, h. 351)

15. Dan setelah jangka waktu panjang dalam rebutan dan pengembalian, Fadak dikembalikan kepada para pencaplok dan para ahli waris mereka sebagaimana nampaknya, tidak lagi disebut-sebut dalam sejarah dan layar pun turun.

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yaftg lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. 5:50)


Sumber: http://www.al-shia.org/html/id/books/nahjol-balahgee/surat/045.htm

Tidak ada komentar: