Oleh
Mahdi
Hairi Yazdi
Dalam
filsafat linguistik modern, sebuah upaya penting telah dilakukan untuk
membedakan metabahasa (metalanguage) dari bahasa obyek (obyek language).
Misalnya, jika saya menulis sebuah buku dalam bahasa Inggris tentang gramatika
bahasa Jerman, maka bahasa Inggris menjadi metabahasa dan bahasa Jerman menjadi
bahasa obyek yang dibicarakan dalam bahasa Inggris. Dalam hal ini, bahasa
Inggris, yang berfungsi sebagai metabahasa, mengambil bahasa Jerman sebagai
obyek. Metabahasa akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang obyeknya, dan
kemudian berupaya untuk menjawabnya secara sistematis. Dalam kenyataannya,
bahasa Jerman hanya akan menjadi bahasa obyek jika ada suatu metabahasa yang
mengambil bahasa Jerman sebagai obyek perbincangan. Jika saya menulis sebuah
buku tentang tata bahasa Inggris dengan menggunakan bahasa Inggris, maka bahasa
Inggris menjadi metabahasa sekaligus bahasa obyek. Tentu saja, ini bisa hanya
jika bahasa obyek tersebut memiliki sarana ungkapan yang cukup kaya untuk
berbicara tentang dirinya sendiri.
Ringkasnya,
istilah bahasa obyek merujuk kepada bahasa tertentu yang berbicara ‘tentang’
subyek tertentu,[1] sementara “metabahasa” adalah sebuah bahasa
tentang bahasa subyek tersebut, yang berbicara ‘dari’, tapi tidak secara
langsung ‘tentang’, subyek itu sendiri, baik kedua jenis bahasa ini dalam
kenyataannya adalah satu bahasa yang sama ataupun dua bahasa yang berbeda.
Untuk membedakan kedua bahasa ini ketika membahas mistisime, selanjutnya kami
akan menyebut metabahasa sebagai bahasa ‘tentang’ dan bahasa obyek sebagai
bahasa ‘dari’.
Dalam
kaitannya dengan mistisisme, patut dikemukakan satu analogi dari teori etika
untuk membantu kita memahami bagaimana metamistisisme, yang berarti metabahasa
dari mistisisme, mesti memebadakan dari bahasa mistik murni, yang merupakan
bahasa dari mistisisme, tapi bukan bahasa tentang mistisisme. Analogi ini juga
akan membantu kita memahami bagaimana kerancuan antara kedua sistem bahasa ini
telah meyesatkan sebagian filosof maupun sejumlah besar sejarahwan, dan
menyebabkan mereka melakukan kekeliruan-kekeliruan serius.[2]
Dalam
pembukaan dialog Plato, yakni Crito, Socrates diminta oleh teman-temannya agar
lari dari penjara dan hukuman mati dengan cara pergi ke tempat pembuangan
bersama keluarganya. Mula-mula Socrates menggariskan beberapa poin tentang
pendekatan yang bisa diambil: (1) kita tidak boleh membiarkan keputusan kita
dipengaruhi oleh emosi, tetapi kita harus memeriksa masalahnya dengan cermat dan mengikuti penalaran yang terbaik; (2) kita tidak bisa menjawab persoalan-persoalan
seperti itu dengan berpaling pada pemikiran orang pada umumnya; dan (3) kita
tidak boleh melakukan apa yang secara moral salah.[3] Cara berpikir yang digunakan Socrates di
sini, yang boleh jadi digunakan juga oleh siapapun yang bertanya “apa yang
benar, salah, baik atau buruk”, adalah apa yang disebut etika normatif; dan
jenis bahasa yang digunakan dalam persoalan-persoalan normatif seperti itu
adalah bahasa “dari” etika, bukan bahasa “tentang” etika.
Akan
tetapi ada juga pemikiran “analitais”, “kritis”, “semantik”, “epistemologis”,
dan “metafisik” tentang penilaian-peniulaian normatif ini. Inilah jenis
pemikiran yang kita bayangkan akan dipakai oleh Socrates seandainya dia
ditantang hingga batas terjauh dalam pembenaran terhadap penilaian-penilaian
normatifnya.[4] Jadi setiap perbincangan
semacam ini harus disebut pemikiran matematika.
Dalam
kajian pemikiran mistik kita dihadapkan pada jenis pendekatan metodologis yang
sama. Sepanjang sejarah pemikiran manusia, telah ada beberapa pertanyaanm
ungkapan, dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perspektif semantik,
epistemologis, atau metafisik, di samping sejumlah perspektif lain yang secara
langsung termasuk dalam mistisisme itu sendiri. Jadi, untuk menghindari
kerancuan yang sering mencemari pendekatan nonspesies yang membedakan antara
tiga tahap mistisisme yang dalam masing-masingnya mengkategorikan satu spesies
mistisisme. Ketiga tahap itu adalah:
1.
Mistisisme yang tak bisa diceritakan yaitu pengalaman mistis yang tidak
dikonseptualisasikan dalam term-term pemahaman masyarakat umum, dan karena itu
sama sekali tidak memiliki bahasa yang lazim dipahami masyarakat umum. Ia
memiliki bahasa tersendiri yang khas, yang tidak bisa dipahami umum, dan
disebut dalam terminologi Sufi, al-syathiyyat al-sufiyyah,[5] yang berarti ungkapan para mistikus yang tak
bermakna. Bahasa ini dianggap berkaitan dengan keadaan asli mistisisme. Ia
terdiri dari pernyataan-pernyataan yang secara lahiriah nampak mungkar dan
terkadang tak bermakna dan paradoks, namun jugaindah, yang dengan tak sengaja
diucapkan oleh para Sufi ketika mereka berada dalam keadaan tak sadar sama
sekali, tenggelam dalam lautan trans dan fana’. Dalam situasi dan kondisi ini,
mereka berbicara tentang apa yang mereka alami, bukan apa yang mereka pikirkan
atapun yang ingin mereka katakan. Inilah sebabnya kita tak bisa
mengkategorikannya sebagai bahasa konvensional.
2.
Pemikiran mistik introspektif dan rekonstruktif sebagai bahasa obyek murni
mistisisme. Inilah yang kita sepakat untuk menyebutnya sebagai bahasa ‘dari’
mistisisme.
3.
Metamistisisme filosofis atau ilmiah yang berbicara ‘tentang’ mistisisme.
Di
sini kita catat bahwa seperti ditunjukkan oleh judul bab ini, kita berurusan
dengan mistisisme dan metamistisisme sepanjang menyangkut klasifikasi
linguistik umum ini. Karena itu, sementara di antara ketiga pendekatan tersebut
di atas, pendekatan kedua dan ketiga masing-masing bisa dikategorikan di bawah
judul “bahasa dari” fan “bahasa tentang” mistisisme, maka pendekatan pertama
termasuk dalam “mistisisme empiris murni”. Meskipun pendekatan pertama berbeda
dengan yang lain dalam hal bahwa ia tidak memiliki bahasa sama sekali,
pendekatan kedua dipandang sebagai bahasa obyek mistisisme murni dan pendekatan
ketiga dirancang secara metalinguistik untuk mendekati mistisisme dari berbagai
sudut: semantik, logika, epistemologi, ilmiah dan sebagainya.
Mistisisme dan
Teori Ilmu Hudhuri
Dalam
bagian ini kita akan menyuguhkan penjelasan primer tentang hubungan logis yang
menghubungkan ketiga spesies mistisisme ini (sebagaimana yang sejauh ini telah
dibahas) satu sama lain, dan juga vis-à-vis pembedaan prinsipil antara
pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi.
Bertolak
dari pengalaman mistik murni, yang secara luas dikenal sebagai mistisisme yang
bisa diucapkan, kita mesti kembali sekali lagi kepada diagram emanasi yang
digambar dengan tujuan menjelaskan makna kesadaran uniter mistisisme.[6] Dalam diagram ini kami tunjukkan bahwa
pikiran manusia, sebagai mode emanasi, dirancang untuk melakukan upaya agar
sampai pada keadaan realisasi dirinya yang mutlak. Karena realitas pikiran
manusia secara eksistensial terkait dengan prinsip-prinsip hierarkis emanasi
dan pada akhirnya tereduksi dan terserap dalam cahaya tertinggi Wujud Wajib,
maka proses realisasi diri tak lain adalah sejenis hubungan keidentikan
preposisional dengan Yang Tunggal.
Realisasi
diri ini bisa dicapai dengan operasi peniadaan ganda. Seperti halnya bentuk
logis negasi ganda menyiratkan eliminasi negasi total yang sama artinya dengan
penegasan, begitu juga peniadaan mistis ganda (fana’ al-fana’) mendorong kita
kepada kemurnian kesadaran uniter dimana tak ada yang tampak kecuali realitas
substantif Yang Esa.[7]
Kesadaran
uniter ini, seperti telah kami nyatakan, adalah pengetahuan dengan kehadiran
mistik. Tentu saja, ia bukanlah bentuk pengetahuan kehadiran dengan keidentikan
transubstansiasi atau kesatuan esensi, melainkan kesatuan dengan kehadiran
penyerapan dan peniadaan yang adalah bentuk turunan dari emanasi. Kita telah
menybut keidentikan ini “kesatuan preposisional”.
Dipandang
sebagai berada di luar jangkauan semua bahasa konvensional, pengalaman mistik
masuk dalam kategori ilmu hudhuri, dan dengan demikian identik dengan jenis
kehadiran yang bersifat preposisional dan terserap. Karena mereka terletak di
jajaran pengetahuan dengan kehadiran yang identik dengan realitas eksistensial
diri, maka pengalaman mistik menjadi landasan bagi kausasi efisien pengetahuan
representasional introspektif pengalaman ini ketika sang mistikus telah “kembali”.
Dengan hubungan pencerahan ini, pengetahuan dengan kehadiran mistik yang
mendasari ini menerangi tindak pengetahuan imanennya dengan representasu secara
introvertif. Ini berarti ketika sang mistikus kembali dari realisasi dirinya ke
dunia obyek-obyek fenomenal, kemajemukan yang tampak di tatanan horisontal
emanasi, pengalaman kesadaran uniter ini menjadi aktif secara efisien dalam
menyediakan tindak-tindak representasi.
Tindak
imanen representasi seperti itu adalah operasi relasi iluminatif yang telah
kita bicarakan sebelumnya. Dalam kenyataannya, kesadaran uniter yang dimiliki
oleh sang mistikus cukup kreatif untuk merekonstruksi, melalui pencerahan,
semua tahap mistik indah yangtelah disaksikannya dalam dimensi vertikal emanasi
selama realisasi dirinya. Tindak rekonstruktif representasi ini, yang secara
langsung dan introvertif melimpah dari kedalaman pengetahuan dengan kehadiran
mistik yang tak bisa diucapkan, adalah pengetahuan dengan representasi
introvertif (pengetahuan dengan korespondensi), yang disebut oleh para Sufi
sebagai irfan.
Jadi,
irfan adalah sejenis pengetahuan dengan representasi, yang dicerahkan dan
diperoleh dari pengetahuan dengan kehadiran mistik melalui relasi iluminatif.[8] Sejak digariskan untuk pertama kalinya dalam
sejarah tradisi Sufi oleh Mahyi Al-Din Ibn Al-’Arabi (1164-1240) dengan
kecermatan dan cara yang demikian sistematis, pengetahuan dengan representasi
yang bersifat retrospektif ini (irfan) segera menjadi populer dan terkenal
sebagai ilmu kebahasaan mistisisme.[9]
Jelas
bahwa akses yang demikian langsung kepada kebenaran mistitsisme tidak mungkin
melalui cara pikir filosofis yang hanya berkenaan dengan pembendaran logis,
semantik,dan epistemologis terhadap kebenaran dan kepalsuan
pernyataan-pernyataan dan penegasan-penegasan paradoks mistik. Yang bisa
dilakukan oleh filsafat menyangkut mistisisme hanyalah mengambil bahasa kaum
mistis –yakni irfan- sebagai obyek penyelidikannya. Dengan adanya bahasan obyek
ini, filsafat bisa berpegang pada dan melaksanakan tugasnya memikirkan dan
berbicara ‘tentang’ apa yang telah diungkapkan dan dibicarakan oleh kaum
mistikus dalam bahasa subyek irfan mereka. Seluruh pendekatan filosofis
terhadap masalah mistisisme masuk ke dalam cara pemikiran dan pembicaraan yang
sistematis ‘tentang’ bahasa mistisisme. Jadi, semua pertimbangan filosofis
pengalaman mistik harus dimasukkan ke dalam kategori metamistisisme.
Ada
sedikit contoh historis manusia-manusia yang benar-benar mistikus (urafa), yang
secara introvertif dan seksama merekonstruksi pengalaman-pengalaman mistik
mereka, dan sekaligus filosof yang dengan penuh pertimbangan mencermati bahasa
irfan yang merekaartikulasikan sendiri secara filosofis. Di antara para filosof
kuno, Parmenides dan Plotinus adalah dua guru besar mistisisme maupun
introspeksi filosofis, kedudukan yang juga diisi oleh Meister Echkhart dalam
Kristen dan Al-Ghazali dalam Islam.
Kombinasai
khusus orientasi filosofis dan mistik beragam sesuai derajat dan lamanya
realisasi diri dalampengalaman mistik, danjuga cara-cara dan sarana-saranan
pengalaman tersebut dialami. Meskipun cara-cara dan sarana-sarana ini bisa
bersifat sakral ataupunprofan, mistisisme sendiri tidak bisa ditundukkan kepada
pembagian yang sangat bisa diperdebatkan ini.
Sebagai
ilmuwan, William James suatu ketika berupaya untuk mengalami suatu ketaksadaran
mistik berderajat rendah melalui intoksikasi nitro-oksida.[10] Dia kemudian menyusun kembali apa yang telah
dialaminya dalah bahasa obyeknya sendiri, yang dalam terminologi kita disebut
‘irfan. Setelah mengartikulasikan penafsirannya dalam bahasa ini, James
melaporkannya secara tertulis. Ketika belakangan dia mencoba merenungi
penafsiran yang dilaporkan itu melalui kontemplasi filosofis atau ilmiahnya,
maka perenungan kedua seperti itu menjadi penyelidikan metafsiknya.
Kesimpulan
yang bisa diambil dari semua ini adalah bahwa penyelidikan metamistik adalah
komtemplasi dengan merenungi bahasa obyek pemgalaman mistik itu sendiri tetap
berada dalam lingkup ilmu hudhuri. irfan dan metamistisisme termasuk tatanan
pengetahuan dengan representasi, dan karena itu keduanya termasuk bentuk
pengetahuan dengan korespondensi.
Mistisisme dan
Metamistisisme
Cukup
aman untuk menegaskan bahwa sejauh ini belum ada upaya memuaskan untuk
memisahkan masalah mistisisme murni, yang dalam tradisi Islam disebut ilmu
irfan, dengan masalah metamistisisme di satu pihak, dan dengan pengalaman yang
tak bisa diceritakan, di pihak lain. Oleh karena itu, tugas yang menuntut
perhatian kita pada pembahasan ini adalah mengobati kekurangnini. Pertimbangan
ini tidak hanya wajib dilakukan agar bisa membedakan filsafat mistisisme, yaitu
irfan. Tetapi,juga sangat penting untuk memahami bagaimana satu masalah bisa
ditinjau dan ditangani dengan dua cara yang samasekali berbeda –cara yang sama
sekali berbeda –cara fisik dan cara metamistik.
Jacques
Maritain (1882-1973) memberikan pembedaan penting antara “pengetahuan yang bisa
dikomunikasikan” dan memasukkan tahap akhir pengalaman mistik, atau seperti
yang dengan dikatakannya. “penampakan keindahan mutlak” ke dalam kategori
pengetahuan yangtak bisa sebab, demikian dikatakannya, “Zat Ilahi sendiri akan
mengaktifkan akal kita secara lengsung, tanpa perantaraan suatu spesies atau
gagasan, “Akan tetapi, semua jenis pengetahuan dan pengalaman intelektual
lainnya, menurut pandangannya, mesti ditempatkan dalam kategori “pengetahuan
yang bisa dikomunikasikan”.[11]
W.
T. Stace menawarkan pandangan lain dalam membedakan pengalaman mistik yang
didakwa “tak bisa diceritakan” dari “penafsiran” atas pengalaman tersebut. Dia
mencontohkan gagasannya melalui analogi yang sama-samar ini:
Di
suatu malam yang gelap di luar rumah, sekelompok orang mungkin melihat sesuatu
yang bercahaya keputihan. Satu orang mungkin mengira itu hantu. Yang lain
mungkin menganggapnya selembar kain yang tergantung di tali jemuran. Orang
lainnya lagi mungkin mengiranya sebuah batu besar yang dicat putih. Di sini
kita memiliki satu pengalaman tunggal dengan tiga penafsiran yang bebeda.[12]
Dengan
mempertimbangkan analogi ini, penafsiran atas pengalaman mistik harus mendapat
analisis lebih jauh dengantujuan menjelaskan perbedaan antara penafsiran
langsung dan segera terhadap pengalaman mistik yang termasuk ke dalam kelompok
bahasa ‘dari’ mistisisme, atau suatu penafsiran ataupun kritik terhadap
penafsiran tersebut yang termasuk dalam bahasa ‘tentang’ mistisisme.
Dengan
menerima kebenaran dan ketepatan kedua bahasan ini, maka tak satupun dari
keduanya yang benar-benar memuaskan kebtuhan imperatif akan suatu klasifikasi
yang lengkap dan tuntas dari subyek yang ditangani, yang bisadipakai sebagai
pedoman untuk memahami berbagai pendekatan terhadap mistisisme sampai pada
derajat yang sama seperti klasifikasi yang disuguhkan terdahulu dalam kajian
ini. Ini terutama karena tak satupun dari pembedaan-pembedaan yang disarankan
ini menyangkut masalah ragam linguistik yang ada dalam hampir semua kajian
mistik. Seperti akan kita lihat, kerancuan antara metabahasa dan bahsa obyek
adalah salah satu faktor mendasar yang telah membawa kepada kesulitan-kesulitan
fundamental dan kekeliruan-kekeliruan yang fatal. Juga masalah tak bisa
diucapkannya atau dalam terminologi Maritain “tak bisa dikomunikasikannya”,
pengetahuan mistik belum dianalisis dengan seksama hingga kita bisa memahami
dalam pengertian apa hal-hal yang tak bisa diucapkan itu mesti ditafsirkan.
Dengan demikian, ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam sifat tak
terucapkan itu: (a) Alasan mengapa pengetahuan mistik tak bisa dikomunikasikan;
dan (b) arti keadaan tak bisa dikomunikasikan atau diucapkan ini.Kedua masalah
atau ambiguitas ini, menurutp endapat kami, harus ditangani berdasarkan teori
ilmu hudhuri. Namun sebelum masuk ke dalam pertimbangan tentang masalah-masalah
ini beserta solusinya, ada kebutuhan untuk menegaskan bahwa,. Berdasarkan ilmu
hudhuri, dan sesuai dengan klasifikasi yang baru saja kita buat, sebenarnya ada
suatu bahasa obyek mistisisme yang terartikulasikan. Yaitu pengetahuan
introspektif dan interpretif tentang kesadaran mistik yang merupakan
“kesadaran”tentang Tuhan, atau dalam terminologi Islam, irfan; ilmu hudhuri
tentang Tuhan. Ilmu irfan telahdirancang untuk digunakan sebagai bahasa obyek
konvensional bagi kesadaran mistik dan berbagai tahap pengalaman mistik.
Dengan
mengesampingkan tahap-tahap pengalaman mistik, yang dianggap mutlak tak
terkatakan dan yang telah kita bicarakan dalam bab-bab terdahulu, masih ada
jenis-jenis mistisisme lain yang mesti dikelompokkan, menurut klasifikasi kami,
ke dalam dua disiplin umum mistisisme. Jenis-jenis mistisisme ini semuanya
bersifat mistik, sebab semuanya dengan cara tertentu terkait dengan pokok
bahasan umum mistisisme. Jenis-jenis mistisisme ini semuanya bersifat mistik,
sebab semuanya dengan cara tertentu terkait dengan pokok bahasan umum
mistisisme, tetapi kita mesti menempatkannya dalam urutan yang logis, yang satu
berbeda dari yang lain, jika kita ingin berhasil dalam memahami mistisisme
secara tepat. Dalam pembahasan berikut kami akan menyuguhkan dengan ringkas
berbagai pendekatan yang secara khas telah disebut pendekatan mistik.
Ada
penyelidikan deskriptif empiris mengenai masalah mistisisme yang termasuk dalam
kategori bahasa ‘tentang’ mistisisme. Penyelidikan jenis ini bersifat historis,
ilmiah, antropologis, atau sosiologis. Proses penyelidikan tersebut karenanya
dilakukan oleh para sejarahwan, psikolog, antropolog, atau sosiolog. Banyak
penulis kontemporer maupun abad pertengahan yang telah melaksanakan
penyelidikan empiris seperti itu mengenai mistisisme. Akan tetapi mereka tidak
memperhitungkan persoalan-persoalan logika, metafisika, atau analitik, mereka
tidak pulamemeriksa ilmu tentang mistisisme –irfan- secara memuaskan sebagai
bahasa obyek mistisisme yang murni. William James, misalnya, adalah salah
seorang dari sedikit pemikir masyhur yang dengan menggunakan prinsip-prinsip
ilmiah ini mencoba menangkap empat ciri esensial namun empiris dari mistisisme
sedemikian rupa hingga ketika ciri-ciri tersebut terdapat dalam suatu
pengalaman, maka pengalaman tersebut bisa dibenarkan unbtuk disebut pengalaman mistik.
Keempat ciri tersebut adalah:
a)
Tak terkatakan
b)
Bersifat noetic
c)
Sementara
d)
Pasif
Jelas
terlihat bahwa James, sebagai psikolog, dalam esainya yang istimewa itu, tidak
mengajukan ataupun mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
epistemik, semantik, analitik ataupun metafisik tentang mistisisme. Di samping
itu, dia tidak memperhatikan kualitas dan kuantitas derajat keterpesonaan dan
unifikasi dengan Yang Mutlak yang jelas termasukke dalam bahasa mistik yang
asli. Karena itu bahasanya adalah jenis bahasa metamistik yang ilmiah dan
empiris, tapi bukan metafisik. Apalagi bahasa mistik yang langsung, seperti
yang kita temukan dalam irfan. Dalam kenyataannya, James mengakui bahwa dia
memandang pokok kajiannya secara eksternal.[13] Barangkali dengan kata “eksternal” dia
mencoba menegaskan bahwa bahasanya adalah bahasa metamistik, dan sama sekali
bukan bahasa obyek yang berurusan dengan mistisisme itu sendiri. Kalau
demikian, maka eksternalitas adalah ciri lain dari semua bahasa metamistik.
Sebagai
sejarahwan, R. C. Zaehner juga harus disejajarkan dengan para filosof empiris
mistisisme. Akan tetapi, penfekatan Zaehner, dibandingkan dengan pendekatan
James, tidak bersifat ilmiah. Ia berbicara secara empiris tentang sejarah
mistisisme dan terkadang tentang filsafat mistisisme empiris. Dengan mengambil
pendekatan metalinguistik jenis ini, dia melakukan suevei historis komparatif
yang terinci mengenai ragam mistisisme dari berbagai budaya, agama, dan masa,
yang berkisar dari bentuk-bentuk mistisisme Hindu, Budha, Kristen, Islam, dan
Yahudi hingga para mistikus modern. Hingga lingkup yang cukup jauh, dia
memperlihatkan masalah fenomena baru mistisisme dalam budaya Barat seperti yang
dimanifestasikan dalam ilusi-ilusi budaya hippie terhadap pengalaman mistik
serta klaim-klaim mereka terhadap keadaan-keadaan mistik seperti yang dicapai
oleh orang-orang suci yang saleh, hanya saja keadaan-keadaan mereka dicapai
melalui penggunaan obat-obat pembangkit halusinasi dan bukan melalui disiplin
dan pengabdian spiritual. Meskipun dia mencioba menyuguhkan pembahasan
filosofisnya tentang masalah ini secara obyektif, namun
kesimpulan-kesimpulannya telah membuat perbedaan yang religius antara
mistisisme yang sakral dan yang profan, tanpa menunjukkan pembenaran logis
untuk itu.[14]
Juga
ada cara-cara yang bersifat analitik, kritis, metafisik dan logis untuk
mendekati pemikiran mistik. Cara-caraini seluruhnya terdiri dari analisis
nonempiris terhadap masalah mistisisme. Landasan pendekatan terhadap filsafat
mistisisme ini adalah pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa makna mistisisme? Apa
yang membuatnya berbeda dari agama? Adakah pembenaran rasional bagi klaim-klaim
esensial dan prinsipal proposisi-proposisi mistik? Apa definisi atau makna
ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep seperti “kesatuan”, “Yang Esa”, “kesatuan
eksistensi”, gagasan tentang”cahaya” dan lain-lain?[15] Apa hakikat kesatuan mistik? Apakah ia
bersifat emosional, neotic, atau eksistensial? Jika bersifat eksistensial,
bagaimana mungkin satu eksistensi individual yang terbatas bersatu dengan
eksistensi yang tak terbatas dan mutlak? Apakah pengalaman mistik benar-benar
tak bisa diceritakan? Jika demikian, maka penegasan apapun mengenainya, baik
yang negatif maupun yang positif, termasuk sifat tak bisa diucapkan itu sendiri
adalah sebuah kontradiksi diri. Apakah solusi logis bagi semua pernyataan
paradoks yang telah muncul dalam mistisisme dari semua budaya dan agama
sepanjang sejarah filsafat?
Seperti
kita lihat, pertanyaan-pertanyaan ini bersifat logis, semantik, epistemologis,
atau metafisik. Pemikiran mistik sejenis ini tidak mencoba untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana, secara praktis kita bisa melenyapkan
diri kita yang terbatas dan bersatu dengan Yang Tunggal, meskipun
pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan khas bahasa mistik, yang
dalam terminologi Islam disebut ilmu ‘\irfan. Banyak filosof abad pertengahan
dan kontemporer yang telah meninjau pemikiran mistik melalui pendekatan ini.
Akan tetapi mereke belum berpikir ‘dari’ mistisisme dengan cara mistik;
alih-alih, mereka berpikir dan berbicara ‘tentang’ kebenaran obyektif
mistisisme. Mereka belum tertarik untuk mengetahui, misalnya, jenis meditasi
apa, atau pengalaman moral dan religius yang bagaimana, yang bisa membawa
mereka lebih dekat kepada persatuan dengan Yang Tunggal.
Akhirnya,
pemikiran ilmiah namun tidak filosofis, yang bersifat reflektif dan
introspektif dimana sang mistikus mencoba dengankemampuan inteleknya untuk
merekonstruksi dengan cara yang canggihsifat-sofat dari apa saja yang telah
dilihat atau disadarinya dalam pengalaman mistiknya. Inilah apa yang kita sebut
sebagai bahasa mistik asli, atau ilmu mistisisme, karena ia berbicara ‘dari’
mistisisme, bukan berbicara ‘tentang’ mistisisme, dan ia dirancang untuk
merekapitulasi keadaan yang dialami seorang mistikus. Dalam lingkup mistisisme
jenis ini, pertanyaan filosofis atau ilmiah apapun ‘tentang’ mistisisme tidak
koherendengan sistem tersebut, dan dipandang mutlak tak relevan dan tak bisa
diterima. Dalam soal “inkoherensi” filsafat sebagai pendekatan metalinguistik
terhadap bahasa mistik murni ini, barangkali bahasa mistik penyair Sufi Persia,
Rumi (1207-1273) bisa memberikan penalaran yang paling jelas:
Para
filosof demonstratif itu berjalan dengan kaki-kaki kayu. Wahai, alangkah
rapuhnya kaki mereka itu.[16]
Ketika
seorang mistikus merenungi apa yang baru saja disaksikannya, maka tentu saja
adalah suatu pertanyaan yang “rapuh” jika seorang filosof bertanya” Apakah
penegasan Anda benar, palsu ataukan berkontradiksi? Hal ini nampaknya bisa
dibenarkan jika kita ingat akan klasifikasi kita tentang mistisisme. Untuk
memasukkanklasifikasi ini dalam pertimbangan, orangcenderung mengakui bahwa
Rumi dan banyak mistikus besar lainnya mutlak benar ketika merekadengantajam
mengkritik filosof dengan menyebut mereka “berjalan di atas kaki kayu yang
rapuh”, atau ketika menoleknya sebagai mode yang bisa diterima untuk
mempertanyakan bahasa mistik mereka. Mereka benar karena filsafat, sebagai
bahasa ‘tentang’ mistisisme, jika ingin tetap koheren, tidak boleh diterapkan
pada, dan mengikat dirinya dengan sistem yang paling terartikulasikan ini, yang
benar-benardi pandang sebagai “bahasa mistisisme”. Menyangkut penjelasan ini,
kita nanti akan melihat bagaimana filosof Inggris paling masyhur dari masa
akhir ini, yaitu Bertrad Russell, menjadi tidak relevan ketika dia berselisih
paham dengan Rumi mengenai penegasan mistik bahwa “waktu adalah tidak nyata”[17], karena Russell memasuki perdebatan ini
sebelum dia memahami bahasa obyek mistisisme dan apa yang dimaksud oleh sang
mistikus dengan penegasan ini serta penegasan-penegasan lainnya.
Bahasa Obyek
Mistisisme
Salah
satu keuntungan klasifikasi mistisisme ini adalah bahwa ia menyelesaikan
masalah pertanyaan-pertanyaan yang tampak betul-betul layak untuk dipertanyakan
dalam kerangka satu sistem sistisisme, tapi tidak berarti apa-apa sama sekali
jika dipertanyakan dalam kerangka sistem mistisisme yang lain. Agar menjadi
bermakna,maka pertanyaan-pertanyaan metodologis tersebut harus dikaitkan dengan
sistem linguistik tertentu, entah yang mistik ataupun yang metamistik, tapi
tidak kedua-duanya. Sebagai contoh, pertanyaan mengenai apakah klaim-klaim
mistik secara logis benar atau palsu tidaklah berarti apa-apa dalam kawasan
sistem mistisisme yang tak bisa diceritakan (ineffable mysticism), tidak pula
ia punya arti dalam lingkup bahasa mistik yang dianggap sebagai penafsiran atas
apa yang telah dilihat oleh sang mistikus dalam keadaan-keadaannya yang tak
terkatakan itu. Pertanyaan ini hanya layak dipertimbangkan jika sebagai filosof
metamistik, kita meletakkan suatu pernyataan mistik di bawah pemeriksaan kritis
dan mencoba memahami apakah pernyataan seperti itu benar.
Berkaitan
denganisu ini, ada dialog antara filsafat dan mistisisme mengenai masalah
“kebenaran” dan “kepalsuan”, atau “realitas” dan “khayalan”, yang berkaitan
dengankedua bahasa –mistik dan metamistik- dalam mistisisme puitis Persia dari
Rumi. Perdebatan ini boleh jadi dipandang sebagai cerminan yang benar dari
perbedaan yang baru saja diisyaratkan. Rumi mengatakan dalam bahasa mistiknya:
Sang
filosof yang malang menyebut takut sebagai “ilusi: (wahm): dia keliru memahami
pelajaran ini.
Bagaimana
mungkin ada ilusi tanpa realitas? Bagaimana mungkin uang palsu mempunyai nilai
kalau tidak ada uang asli?
Bagaimana
dusta bisa dipercaya kalau tak ada kebenaran?
Setiap
kebohongan di dua dunia telah muncul dari satu kebenaran.
Dia
(si pendusta) melihat nilai dan harga yang dimiliki kebenaran: jadi,
diedarkannyalah kebohongan dengan harapan (menikmati) hal yang sama.
Wahai
dusta(turun temurun), yang keberuntungannya (berasal) dari kebenaran,
berterimakasihlah kepada rahmat dan jangan ingkari kebenaran.[18]
Seorang
mistikus, pada prinsipnya, dan dengan bahasanya yang layak, berusaha
melenyapkan setiap unsur kemajemukan dan mereduksi semua hal yang, dalam bahasa
metalinguistik, terbagi dua menjadi kebenaran atau kepalsuan, realitas atau
khayalan, ke dalam kebenaran bahasanya sendiri, yang adalah kebenaran Yang
Tunggal. Sebaliknya, seorang filosof, yang mengambil arahnya sendiri, dan
menggunakan prinsip-prinsip metodologi metalinguistiknya sendiri, bisa
menghadapi masalahnya dari perspektif yang sama sekali berbeda, dan dari sini
menyuguhkan kasusnya menurut peran linguistiknya sendiri,
dimanaperbedaan-perbedaan antara realitas dan khayalan, atau kebenaran dan
kepalsuan, sama sekali tidak diperlukan.
Persoalan
utama mistisisme, yaitu kesadaran uniter, adalah salah satu daru hal-hal yang
padanya seluruh ilmu mistisisme, yakni ‘irfan, didasarkan. Dalam sistem irfan
kesadaran uniter ini tidak dipertanyakan; tetapi diterima begitu saja.
Persoalan yang sama mengambil arti yang betul-betul berbeda jika dipertanyakan
dalam konteks filosofis dan metamistik. Dalam kedua konteks ini persoalannya
menjadi persoalan “kesadaran akan Yang Tak Terbatas”. Plotinus secara eksplisit
menunjukkan bagaimana persoalan ini bisa ditangani secara memuaskan menurut
satu disiplin tapi tetap tak terputuskan atau problematik menurut disiplin yang
lain:
Engkau
bertanya bagaiamana kami bisa mengetahui Yang Tak Terbatas? Kujawab:bukan
dengan akal. Fungsi akal adalah membedakan dan mendefinisikan. Karenanya, Yang
Tak Terbatas tidak bisa disejajarkan dengan obyek-obyeknya. Engkau hanya bisa
‘menyadari’ Yang Tak Terbatas dengan memasuki keadaan dimana engkau tak lagi
merupakan dirimu sendiri. Ini adalah … pembebasan pikiranmu dari kesadaran yang
terbatas. Jika engkau tak lagi bersifat terbatas, engkau akan menyatu dengan
‘Yang Tak Terbatas’ … engkau akan menyadari kesatuan ini, keidentikan ini.[19]
Dalam
wacana ini, Plotinus menarik garis demarkasi antara pertanyaan “Bagaimana kita
bisa mengetahui Yang Tak Terbatas? Dan pertanyaan “Bagaimana kita bisa
menyadari Yang Tak Terbatas?” Jawaban terhadap pertanyaan pertama menyiratkan
bahwa orang tidak bisa mengetahui Yang Tak Terbatas, dan jawaban terhadap
pertanyaan yang kedua menyiratkan bahwa orang bisa menyadari Yang Tak Terbatas.
Dengan mengesampingkan opini agnostiknya bahwa Yang Tak Terbatas tak bisa
diketahui dengan akal, kasus Plotinus menyuguhkan satu pertanyaan tunggal yang
tak bisa sitanyakan dengan dua cara berbeda. Pertama, pertanyaan tersebut bisa
diajukan sebagai pertanyaan metamistik khas mengenai kesatuan dengan Yang Tak
Terbatas. Kedua, ia bisa diajukan sebagai pertanyaan yang bersifat asli mistik.
Dalam perspektif kedua ia harus dipandang sebagai bagian inti ilmu mistisisme
yang dengannya sang mistikus mencoba menemukan keteraturan dan pengaturan yang
memberi kemungkinan bagi perjalanannya menuju persatuan dengan Yang Tak
Terbatas.
Pembedaan
yang hampir sama antara kedua metode mempertanyakan isu tersebut tercermin
dalam fisafat Ibnu Sina mengenai masalah kesatuan. Dalam makalahnya tentang
konsepsi persatuan antara yang mengetahui dengan yang diketahui, Ibnu Sina
seraya mengejek menolak gagasan Porphyrian bahwa tindak pengetahuan, pelaku
pengetahuan, serta hal yang diketahui adalah satu dan sama dalam status
ontologisnya. Dia menjelaskan betapa ketiga entitas itu tidak mungkin satu:
Sebuah Anekdot
Di
antara mereka ada seorang yang bernama Porpyryy yang menulis sebuah makalah
tentang kesatuan pengetahuan dengan hal-hal yang diketahui. Karya itu dipuji
oleh para filosof Peripatetik. Tapi karya tersebut sama sekali absurd dan tak
berarti. Mereka sendiri tahu bahwa mereka tak bisa memahaminya. Porphyry juga
sadar akan keraguan ini. Dalam kenyataannya, salah seorang yang sezaman
dengannya telah menyanggah dengan mengemukakan penolakan terhadap antitesis
ini. Tapi upayanya yang belakangan ini bahkan lebih buruk dari yang terdahulu.[20]
Mengherankan,kita
bisa menemukan pandangan yang sama, yang di sini dikatakan äbsurd”itu,
dikemukakan oleh Ibnu Sina sendiri ketika dia kemudian berusaha membahas isu
mistisisme. Dia dengankuat menyetujui gagasan kesatuan mutlak dan keidentikan
antara kesadaran dengan kebenaran yang disadari dalam pengetahuan mistik.
Dia
menggambarkan strategi keidentikan mistik ini dengan bahasa mistik írfan
berikut:
Orang
yang lebih suka mempelajari kesadaran mistik semata-mata demi kesadaran mistik
itu sendiri berarti telah menjerumuskan dieinya dalam absurditas dualisme.
Tetapi
mereka yang mengupayakan kesadaran ini (írfan) seolah-olah ia tak lain ialah
kebenaran dari yang disadari itu sendiri (al-ma’ruf bihi) dapat mencapai
kedalaman Kesatuan yang tak bisa diukur.[21]
Di
sini, seperti halnya dalam kasus Plotinus, kita lihat bahwa dengan hanya satu
substitusi sederhana saja Ibnu Sina mengambil posisi yang sama sekali berbeda
dari posisi pertimbangan filosofisnya mengenai keidentikan subyek yang
mengetahui dengan hal yang diketahui. Dia mengganti sistem metalinguistik
dengan sistem kesadaran empiris –yakni irfan- untuk bisa beranjak dari
absurditas dualisme ke kedalaman Kesatuan yang tak terukur.Menurut Plotinus,
kita tidak bisa mengetahui Yang Tak Terbatas, tetapi kita bisa menyadari-Nya.[22] Sekali lagi, dalam teori pengetahuan Ibnu
Sina, keidentikan orang yang mengetahui dengan yang diketahui, yang disarankan
dalam sistem Porphyrian, terbukti absurd sejauh menyangkut konsep filosofis
pengetahuan. Akan tetapi, keidentikan pelaku kesadaran, yakni sang mistik
(al-’arif) dengan Kesatuan yang disadari (al-ma’ruf bihi) dipandang sebagai
titik tertinggi yang mesti dicapai (dalam) perkembangan manusia.
Orang
boleh saja bertanya: Mengapa ada perbedaan yang begitu lebar? Menurut pendapat
saya, perbedaan ini disebabkan oleh beragamnya sistem-sistem ungkapan di dalam
dunia bahasa, dan oleh keragaman sifat-sifat esensial intelegensi manusia di
dalam dunia pengetahuan. Yang kami maksudkan dengan sistem yang berbeda,
seperti telah kami tunjukkan, bukanlah perbedaan dalam emosi semata, atau
perbedaan dalam motivasi mempertanyakan. Tak satupun dari kedua perbedaan ini
bisa membuat sebuah proposisi yang absurd menjadi bisa diterima atau bahkan
terpuji. Alih-alih, perbedaan mendasar dalam kedua spesies kognisi dan
komunikasi manusia dengan dunia realitas itu sendirilah yang membedakan ilmu
mistisisme dari filasafat pada umumnya, dan dari filsafat mistisisme, atau
metamistisisme khususnya. Jenis kesadaran yang padanya keseluruhan masalah
mistisisme berpusat, sebagaimana terlihat dalam kasus Plotinus dan Ibnu Sina,
berbeda dari kognisi dan kesadaran yang biasanya kita peroleh melalui tindak
mengetahui intelektual kita yang biasa. Ia adalah sejenis ilmu hudhuri, yang
seperti telah kita lihat, identik dengan kebenaran eksistensial manusia.
Tetapi, sistem logika dan ungkapan pengetahuan ini merupakan ilmu mistik
‘irfan, dan bukan logika pengetahuan dengan representasi kita yang biasa.
Ilmu Irfan
Untuk
memahami arti ilmu irfan, atau disiplin linguistik mistisisme sebagai lawan
logika biasa pemahaman kita sehari-hari, dan menghindarkan setiap jenis
pembahasan yang bersifat acak atau tak akademis, kita harus menyandarkan diri
pada wawasan mereka yang secara historis telah diterima sebagai otoritas baik
dalam filsafat maupun mistisisme. Namun, kita harus waspada agar tidak
tersesatkan oleh pengandaian yang berlebih-lebihan terhadap para otoritas
tersebut, agar tak kehilangan obyektivitas kita. Dalam kenyataannya, kita perlu
mengingat bahwa pengandaian yang berlebihan kepada satu otoritas dan secara
membuta menerima penilaian yang didesakkannya, adalah hal yang paling tak
diinginkan dalam penyelidikan filosofis apapun. Akan tetapi, yang kami sarankan
dan akan kami kemukakan dalam kajian ini adalah bahwa kita hendaknya memelihara
agar komunikasi kita dengan para mistikus sejati tetap langsung dan cukup
otentik agar kita bisa memahami arti sebenarnya ‘dari’ bahasa khusus mereka
dalam pengertian bahasa obyek. Dengan perkataan lain, sebagai syarat perlu bagi
setiap kajian filosofis atau ilmiah tentang mistisisme, terlebih dahulu harus
ada pemahaman tentang bahasa obyek pengalaman mistik, yakni ‘irfan. Dalam
batasan syarat perlu ini, kami bisa memberanikan diri untuk menyatakan bahwa
karena sebagian besar sejarahwan kontemporer dan sejumlah filosof mistisisme
telah gagal untuk secara tepat memenuhi persyaratan ini, mereka belum mampu
menghasilkan suatu analisis yang memuaskan tentang mistisisme. Dalam
kenyataannya, kajian mereka pada umumnya tak berhasil dan terkadang tak relevan
dengan kebenaran mistisisme. Tetapi usaha untuk memenuhi syaratutama ini,
kajian tentang mistisisme sama sekali tak bisa menangkap pokok-pokok pikiran
para mistikus, dan dengan demikian bisa dikesampingkan karena tak konsisten dan
subyektif.
Untuk
memahami dengan tepat arti “kesadaran” atau ‘irfan dalam bahasa obyek mistik,
kita mesti merujuk kepada penjelasan menyeluruh yang diberikan oleh Muhyi
Al-Din ibn Al-’Arabi dalam hal ini.
Ibn
Al-’Arabi (1164-1240), guru besar mistisisme Islam (sufisme) dan pendiri ilmu
irfan, memberikan wawasan-wawasan mengenai cara membedakan metode “kesadaran”
(‘irfan) dan pengetahuan intelektual kita, yakni metamistisisme.
Akan
tetapi, ada tiga klasifikasi “pengetahuan”. Pertama adalah pengetahuan
intelektual (‘ilm al-’aql). Ini adalah pengetahuan yang Anda peroleh dengan
segera, atau melalui suatu penyelidikan mengenai sebuah bukti, asalkan Anda
mengenal cara demonstrasi bukti tersebut. Semua persoalan tentang jenis
pengetahuan ini mempunyai sifat yang sama dengan pengetahuan itu sendiri;
artinya, baik pengetahuan tersebut maupun persoalan-persoalan mengenainya
termasuk ke dalam dunia pemikiran yang merupakan tempat yang layak untuk sistem
kognisi ini. Itulah sebabnya orang mengatakan: Di alam pemikiran, ada yang
benar dan ada yang salah.
Jenis
pengetahuan yang kedua adalah kesadaran akan keadaan-keadaan batin pikiran.
Tidak ada jalan untuk berkomunikasi dengan keadaan-keadaan ini selain
“merasakannya sendiri”. Sebagaimana orang berakal tak bisa mendefinisikan
keadaan-keadaan ini, akal juga tak bisa dijadikan sandaran untuk membuktikan
kebenaran keadaan-keadaan ini. Sebagai contoh, manisnya rasa madu, pahitnya
sari cendana, nikmatnya pergaulan dan cinta, perasaan gembira dan bahagia, dan
lain-lain semacamnya, adalah keadaan-keadaan yang tak mungkin dikenal oleh
siapapun kecuali dengan cara menjalani kualifikasi keadaan-keadaan tersebut dan
dengan merasakannya. Sekali lagi, masalah-masalah tentang jenis pengetahuan ini
mempunyai sifat yang sama dengan pengetahuan itu sendiri, karena keduanya
berkaitan dengan hakikat rasa. Sebagai contoh, orang-orang yang menderita sakit
pahit empedu akan mengatakan bahwa madu itu pahit, padahal sebenarnya tidak
demikian. Itu karena indera perasa mereka telah dipengaruhi oleh penyakit
kuning ini.
Jenis
pengetahuan yang ketiga adalah pengetahuan tentang yang ghaib (‘ilm al-asrar).
Ini adalah bentuk pengetahuan yang transenden; bentuk mengetahui dengan emanasi
ruh suci ke dalam pikiran. Para nabi dan orang suci dianugerahi hak istimewa
pengetahuan ini. Pengetahuan ini terdiri dari dua jenis:
Jenis
pertama adalah pengetahuan yang bisa diterima oleh akal. Ini sama dengan
pengetahuan dari klasifikasi pertama karena bersifat intelektual, kecuali bahwa
orang yang mengetahui dalam hal ini tidak memperoleh pengetahuannya melalui
akal, tetapi merupakan tingkat pengetahuan transenden, yang tersingkap baginya.
Jenis yang kedua dibagi menjadi dua bagian, yang salah satunya dikaitkan dengan
klasifikasi yang kedua, yaitu pengetahuan dengan merasakan sendiri, tapi dari
derajat yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih mulia. Sedangkan yang satunya
lagi adalah pengetahuan yang disejajarkan dengan pengetahuan deskriptif.
Pengetahuan deskriptif ini rentan terhadap kebenaran dan kepalsuan, tapi
kebenaran dan keterjagaan (‘ishmah) penuturlah, yakni penutur pengetahuan
deskkriptif itu, yang dipuji oleh ‘pendengar’. Gambaran-gambaran yang diberikan
oleh para nabi (semoga kedamaian dilimpahkan kepada mereka) tentang Tuhan,
serta penegasan mereka tentang sorga dan bagaimana kiranya hal-hal yang ada di
dalamnya, semuanya termasuk pengetahuan deskriptif.
Konsekuensinya
penegasan seseorang yang memiliki pengetahuan tentang yang ghaib bahwa sorga
itu ada, merupakan contoh pengetahuan deskriptif. Klaimnya bahwa pada Hari
Kebangkitan akan ada telaga, yang airnya lebih manis daripada madu,
mengungkapkan pengetahuannya yang bersifat “merasakan sendiri”. Dan akhirnya
pernyataan-pernyataannya bahwa Tuhan ada dan tidak ada sesuatupun yang
bersama-Nya, dan pernyataan-pernyataan lain, mencontohkan pengetahuan
intelektualnya tentang realitas alam ghaib, jenis realitas yang juga bisa
dipikirkan dengan akal.[23]
Dalam
merujuk ke wacana di atas secara umum, kita bisa melihat dengan persis bahwa
para filosof mistik atau mistikus filosof ini dalam kenyataannya memang telah
menyediakan sebuah metode linguistik ilmiah bagi komunikasi pengetahuan mistik.
Pengetahuan ini dalam bahasa Ibn Al-’Arabi[24] disebut “pengetahuan tentang yang ghaib” (‘ilm
al-asrar) yang diperlawankan denganpengetahuan representasional fenomena
lkita tentang obyek-obyek yang bisa diamati. Inilah pengetahuan tentang dunia
yang ghaib dan juga yang tak terkatakan, sepanjang ia tetap tak bisa
direfleksikan oleh kekuatan akal kita. Tetapi, akal bisa dan punya kemampuan
untuk, begitu keyakinan Ibn Al-’Arabi, mengintrospeksi dan merumuskan kembali
pengetahuan ini dan membawanya ke dalam dunia fenomena. Manakala akal telah
mengambil langkah ini dengan cermat dan menyusun kembali serta menterjemahkan
pengetahuan yang tak bisa diterangkan ke dalam kerangka bentuk pengetahuan yang
secara fenomenal representasional, maka ia akan menjadi pengetahuan intelektual
biasa yang, seperti halnya pengetahuan kita yang lain, bersifat konseptual dan
bisa dipahami, dan karenanya bisa dibicarakan dalam bahasa kita sehari-hari
dengan mudah. Karena itu, kemampuan akallah, kata Ibn Al-’Arabi yang bisa
melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang ghaib ke pangetahuan
intelektual dunia fenomena seperti itu. Dengan menterjemahkan pernyataan ini ke
dalam terminologi kita, kesepadanankesadaran intelektuallah yang memungkinkan
transeksistensiasi dari pengetahuan mistik melalui kehadiran ke pengetahuan
fenomenal melalui representasi. Inilah refleksi pandangan sekilas pertama pada
wacana ini, dengan mengingat teori ilmu hudhuri. Sedangkan mengenai klasifikasi
linguistik, orang bisa dengan mudah menerjemahkan semua mode pengetahuan Ibn
Al-’Arabi ke dalam metode linguistik dualistik kita – bahasa ‘dari’, dan bahasa
‘tentang’ mistisisme.
Metodologi
linguistik dari pengetahuanintrospektif ini adalah ilmu irfan. Ilmu linguistik
irfan harus, dalam klasifikasi kita, ditempatkan dalam kategori bahasa obyek,
karena ia ‘membicarakan’ kesadaran akan Tuhan dan cara-cara serta aturan-aturan
yang memungkinkan kesadaran yang unik seperti itu. Jadi, irfan adalah bahasa
obyek sistematik yang dirancang untuk mengungkapkan hukum-hukum dan
prinsip-prinsip sistem vertikal pengetahuan mistik yang diintrospeksikan, yang
berkenaan dengan semua persoalan problematik menyangkut pengetahuan tentang yang
ghaib atau obyek-obyek keilahian,[25] atau ‘ilm al-asrar.
Menurut
pendapat kami, diperlukan sedikit perenungan untuk memberikan analisis labih
lanjut tentang teks yang baru saja kita kutip begitu panjang, agar dapat
memungut dari sekian banyak hal mendasar dalam wacana yang sangat konstruktif
ini, hal-hal yang berkaitan dengan pokok pembicaraan kita sekarang ini. Hal-hal
tersebut adalah:
Di
dalam kerangka pikiran manusia ada jenis kesadaran lain yang menjadikan
kesadaran manusia bersifat mistik. Ini adalah kesadaran akan yang ghaib.Jika
jenis kesadaran ini mesti disebut pengetahuan, maka ia hanya bisa diperoleh
dengan kesatuan emanasi dan pencerahan, bukan melalui kontemplasi dan
abstraksi. Pandangan ini sama dengan apa yang telah kita sebut pengetahuan
kehadiran melalui kesatuan eksistensial emanas dan penyerapan.
Bentuk
pengetahuan ini, seperti halnya pengetahuan biasa, bersifat intelektual,
artinya, ia bisa direnungi dan dikonseptualisasikan serta dipahami oleh akal
manusia apabila diarahkan ke dalam diri (introverted). Jadi ia bisa dipahami
jika disusun kembali dan diintrospeksi. Ini karena, seperti dinyatakan ole
pengarang, ia “bisa diterima oleh akal”. Ia serupa dengan pengetahuan dari
klasifikasi pertama (dalam hal bahwa ia bersifat intelektual) kecuali bahwa
orang-orang mengetahui dalam hal ini tidak memperolah (pengetahuannya) melalui
penalaran, melainkan dengan perenungan atas apa yang telah hadir.
Bentuk-bentuk
pengetahuan ini, yaitu pengetahuan inderawi, intelektual, dan mistis adalah
sama dalam hal bersifat deskriptif, artinya semua pengetahuan ini analog dengan
penegasan informasi yang biasanya kita buat ketika kita menggambarkan perasaan
dan penginderaan nirmal kita kepada orang lain. Jika obyek pengetahuan tersebut
adalah Kesatuan mutlak, atau obyek ghaib lainnya, maka gambarannya mesti
menyerupai logika kita tentang pemahaman transendental murni tentang suatu
obyek intelektual dan seterusnya. Ringkasnya, sejajar dengan pengetahuan biasa
kita, baik yang empiris maupun transendental, ada jenis-jenis pengetahuan yang
berbeda berkaitan dengan obyek-obyek ghaib sehingga ia terkadang bisa
diintrospeksi oleh akal murni kita, dan terkadang oleh perasaan penginderaan
kita.
Ini
semua adalah tesis yang menjadi pokok perhatian kita dalam kajian ini.
Bagian-bagian penting darinya terlibat dalam teori kita tentang ilmu hudhuri,
kehadiran dengan swaidentitas, dan dengan emanasi serta penyerapan, yang telah
dibahas dan dipertahankan. Sekarang, falam bagian ini kami akan memasuki bagian
lain dari tesis-tesis ini yang termasuk dalam masalah bahasa mistik dan
metamistik. Karena dalam wacana ini telah dinyatakan dengan penuh penekanan
bahwa semua bentuk pengetahuan tentang yang ghaib dapat digambarkan, maka kami
merasa terpanggil untuk menunjukkan bagaimana sifat bisa digambarkan ini mesti
dipahami dengan benar. Masalah ini penting khususnya ketika kita berhadapan
dengan masalah keadaan tak terkatakannya pengalaman mistik.
Masalah Sifat
Tak Terucapkannya Pengalaman Mistis
Kita
telah sampai pada pemahaman bahwa paling tidak ada satu jenis mistisisme yang
disebut Sufisme, yang betul-betul memiliki satu bahasa obyek yang dirancang
untuk mengungkpakan pengetahuan swaobyeknya. Dari sini, pengetahuan mistik
tidak boleh disebut pengetahuan yang tidak bisa dikomunikasikan atau pengalaman
yang tak terkatakan. Lantas timbul pertanyaan, mengapa mistisisme harus disebut
oleh para mistikus sendiri dan oleh para filosof yang tertarik serta banyak
kalangan lainnya sebagai pengalaman yang pada esensinya “tak terkatakan”.
Atas
dasar teori kita tentang ilmu hudhuri, jawaban terhadap pertanyaan ini adalah
jelas dan langsung. Yaitu, karena pengetahuan dengan kehadiran pada esensinya
adalah pengetahuan swaobyek dalam semua bentuknya, maka ia identik dengan
realitas eksistensial hal yang diketahui. Di samping itu, telah ditegaskan
bahwa pengetahuan mistik adalah satu spesies pengetahuan dengan kehadiran.
Karena itu, pengetahuan mistik adalah identik dengan realitas hal yang
diketahui. Dari sini disimpulkan bahwa kesadaran mistik adalah kesatuan
simpleks kehadiran Tuhan di dalam diri, dan kehadiran diri di dalam Tuhan.
Karena termasuk dalam tatanan eksistensi dan bukannya tatanan konsepsi dan
representasi, kesatuan simpleks ini tak bisa dikomunikasikan dan karenanya tak
terkatakan. Demikianlah halnya selama pengalaman itu tak diintrospeksikan dan
tak direnungi.
Untuk
menjelaskan pengertian “tak bisa dikomunikasikan” ini, kita perlu menunjukkan
bahwa pengetahuan mistik dalam bentuknya yang asli –yang umumnya disebut
pengalaman mistik, sebagai contoh pengetahuan dengan kehadiran- terbukti
bersifat nonfenomenal. Lebih lanjut, harus ditegaskan bahwa berbeda dengan
pengetahuan representasional kita tentang obyek-obyek eksternal, pengetahuan
dengan kehaditan tak bisa berlaku sebagai bagaian dari pengetahuan umum kita.
Karenanya ia tak bisa dikomunikasikan dalam pengertian bahwaia tak bisa dibagikan
dan dikomunikasikan kepada orang lain –bahkan pada mereka yang telah terikat
dengan pengalaman mistik mereka sendiri –kecuali dengan analogi yang
samara-samar. Pengetahuan ini merupakan keadaan pribadi dari realitas
individual diri sebagai subyek yang mengetahui yang disatukan oleh kehadiran
dengan realitas obyek yang diketahui. Seperti halnya pengetahuan tentang diri
dan pengetahuan tentang keadaan-keadaan kesadaran pribadi dan penginderaan,
yang representasinya tak pernah bisa menggantikan tealitas obyektif hal yang
diketahui, begitu pula pengetahuan mistik tak bisa benar-benar
direpresentasikan melalui konseptualisasi. Karena alasan ini ia tak bisa
dibicarakan seperti halnya pengetahuan umum. Satu-satunya cara untuk
membicarakan dan membuat ungkapan mistik yang tegas adalah dengan mengalihkan
pikiran ke dalam diri sendiri dan menghasilkan pengetahuan introspektif
mengenai pengalaman-pengalaman mistik yang disaksikan oleh para mistikus
sendiri.
Sekali
lagi, sebagaimana pengetahuan introspektif tentang diri dan tentang pikiran
pribadi harus didemonstrasikan dengan representasi yang analog dari kebenaran
obyektif realitas-realitas ini, demikian pula, pengetahuan introspektif tentang
kebenaran mistik juga sekedar memberikan representasi yang analog dari pengetahuan
swaobyek mistisisme. Karenanya, pengetahuan mistik dalam bentuk aslinya mutlak
tak terkonseptualisasikan dan tak terkomunikasikan. Pengetahuan introspektif
tentang mistisismelah yang dimanipulasi dalam konsep-konsep dan diungkapkan
oleh bahasa obyek ‘irfan yang bisa diartikulasikan; bentuk primer pengetahuan
mistik tetap tak terkonseptualisasi dan tak terkatakan. Jadi, menurut teori
kami, jawaban yang jelas bagi pertanyaan mengapa mistisisme tak bisa
diterangkanadalah bahwa sebagai bentuk pengetahuan dengan kehadiran,
pengetahuan mistik termasuk dalam tatanan wujud, bukan tatanan konsep.
Dinyatakan dengan ringkas, pengetahuan mistik adalah pengetahuan swaobyek
dimana tindakmengkomunikasikannya adalah sama dengan realitas apa yang
dikomunikasikan. Ini sama dengan mengatakan bahwa dalam wilayah pengalaman
mistik, tidak ada tindak komunikasi yang berbeda dari subyek yang
mengkomunikasikan serta obyek yangdikomunikasikan. Semua ini menjelaskan
kesatuan simpleks tersebut. Kesatuan simpleks inilah satu-satunya sebab keadaan
tak terkatakannya ini. Jadi, pengetahuan mistik dalam bentuk primernya
benar-benar tak bisa diucapkan.
Dari
sini, dengan sendirinya pertanyaan mengenai arti “tak tekatakannya”
mistisismejuga bisa dijawab berdasarkan argumentasi yang sama. Baerdasarkan
pernyataan bahwa pengetahuan mistik adalah contoh pengetahuan kehadira, kita
bisa menentukan arti sebenarnya dari sifat tak terkatakan sebagaimana yang
muncul dalam kasus ini. Apakah itu logis, emosional, atau konvensional,
bergantung pada bagaimana kita mampu mencirikan sifat esensial mistisisme itu
sendiri.
Menurut
pemahaman kami tentang mistisisme –karena ia adalah satu bentuk pengetahuan
dengan kehadiran- sifat tak terkatakan itu logis, karena tak mungkin kita bisa
mengubah tatanan wujud menjadi tatanan konsepsi. Pertanyaan “Dalam pengertian
apa mistisisme bersifat pribadi dandengan demikian tak bisa diterangkan kepada
orang banyak?” adalah sama logisnya dengan pertanyaan “Dalam pengertian apa
keadaan-keadaan pikiran kita bersifat pribadi dan tak bisa diterangikan kepada
orang lain kecuali dengan sekedar analogi?” Masalah tak terkatakannya
pengetahuan mistik tampaknya tak lebih rumit daripada masalah tak terkatakannya
keadaan-keadaan pribadi.
Untuk
memastikan arti tak terkatakannya mistisisme, kita harus sekali lagi merujuk
kepada para otoritas di bidangnya. Penjelasan-penjelasan yang paling otoritatif
tentang masalah ini diberikan oleh Al-Ghazali dalam filsafat abad pertengahan
dan William James dalam filsafat modern. Kedua pemikir ini sampai pada
kesimpulan yang sama, bahwa tak terkatakannya mistisisme tak lain berarti
keadaan pribadi pikiran individu.
Al-Ghazali
menulis: Tak ada sesuatu bagi mereka
selain Tuhan. Mereka menjadi mabuk dengan kemabukan yang meruntuhkan akal mereka.
Salah seorang dari mereka berkata: “Akulah Tuhan (Kebenaran)”. Yang lain
mengatakan: “Mahasuci aku! Alangkah agungnya kebesaranku”,sementara yang lain
mengucapkan “Tidak ada sesuatupun di dalam jubahku selain Tuhan”. Tetapi,
ucapan para pecinta ketika mereka berada dalam keadaan mabuk haruslah
disembunyikan rapat-rapat dan tidak disebarluaskan.[26]
Menggunakan
analogi kemabukan adalah jawaban para Sufi terhadap pertanyaan mengenai sifat
tak terkatakannya pengalaman mereka. Pada intinya, mereka menegaskan bahwa
orang yang tak pernah mencicipi minuman keras tidak akan pernah bisa memahami
nikmatnyamabuk, karena dia tak pernah merasakan anggur. Lagi pula, sekedar definisi
leksikal bahwa anggur adalah sari minuman yang diasamkan dari buah anggur, atau
deskripsi ilmiah mengenai susunan kimiawi anggur sebagai begini dan begitu,
tidak bisa membantunya memahami kegirangan seorang pemabuk.[27]
Analogi
yang sangat mirip diberikan oleh William James dalam Varietes of Religious
Experience: Si pelaku dengan
segera mengatakan bahwa hal itu tak bisa diungkapkan, bahwa tak ada kata-kata
yang bisa menyampaikan kandungannya. Dengan sendirinya kualitasnya harus
dialami secara langsung: ia tak bisa diceritakan atau diterjemahkan kepada
orang lain. Dalam kekhasan ini keadaan mistik lebih mirip dengan keadaan
perasaan daripada keadaan intelek. Tak seorangpun yang bisa menjelaskan kepada
orang lain yang belum pernah mengalami perasaan tertentu, bagaimana sifat atau
nilai perasaan tersebut.[28]
Dalam
dua kutipan ini hal mendasar yang dikemukakan adalah bahwa arti tak
terucapkannya pengetahuan mistik tak lain adalah esensialitas logis keadaan
pengetahuan pribadi tersebut; berkaitan dengan tatanan eksistensi si pelaku,
bukan tatanan konseptualisasi dan representasi intelektualnya.
Di
sini mesti kita catat bahwa baik analogi Al-Ghozali tentang kemabukan ataupun
analogi James tentang perasaan, tak satupun yang terkait dengan pendapat mereka
tentang cirri-ciri lain pengalaman mistik yang mereka pandang sebagai bersifat
neotic, deskriptif, dan tak emosional. Sekedar analogi, tak satupun dari kedua
penuturan tersebut yang menyiratkan langkah yang lebih jauh daripada membedakan
keserupaan antara pengetahuan mistik dan pengetahuan tentang atau pengenalan
dengan perasaan dan penginderaan kita, dengan merujuk kepada keadaan pribadi.
Berdasarkan teori ilmu hudhuri kita, bahkan menjadi lebih jelas bahwa karena
pengalaman mistik adalah contoh pengetahuan dengan kehadiran, maka pasti ia
bersifat neotic dan pribadi, seperti halnya pengetahuan tentang diri dan
pengetahuan tentang perasaan. Dalam keadaan eksistensial diri semua bentuk
pengetahuan ini saling berbagi dalam kenyataan bahwa merekaadalah semacam
kesadaran akan realitas obyek, bersifat pribadi dan tak terkatakankepada orang lain.
Ciri-ciri
mistisisme ini, di antaranya, termasuk dalam pengalaman mistik faktual yang
asli, yang seperti halnya jenis-jenis pengetahuan dengan kehadiran yang lain,
tetap berada dalam keadaan swaobyektivitas dan tak bisa diungkapkan.Ini sama
sekali tidak menyiratkan bahwa pengalaman-pengalaman ini tidak bisa diingat dan
dengan cermat ditafsirkan oleh si pelaku begitu dia telah mengalami
pengalaman-pengalaman seperti itu. Jika diintrospeksikan, pengalaman-pengalaman
ini pasti akan direpresentasikan dan dikonseptualisasikan secara analogis
seperti pengetahuan diri dan pengetahuan tentang keadaan-keadaan pikiran
pribadi, dan kemudian diungkapkan dalam bahasa yang jelas, seperti dilakukan
oleh Ibn Al-’Arabi dalam ilmu kebahasaan irfan-nya.[29] Jadi, mistisisme introspektif harus
dibedakan dari pengalaman mistik itu sendiri.Sementara yang disebut belakangan ini
tetap tak bisa diceritakan, yang disebut pertama terungkap dengan sempurna
dalam suatu bahasa obyek yang berbicara ‘tentang’ mistisisme.
Oleh
karena itu, kesimpulannya adalah bahwa kita memang memiliki
mistisisme-yang-ta-bisa-diceritakan (ineffable mysticism) yang berbeda dari
mistisisme introspektif, bahwa arti sifat tak terceritakan itu adalah keadaan
pribadi dalam pengertian eksistensial pengetahuan dengan kehadiran, dan bahwa
suatu bahasa obyek mistisisme seperti irfan termasuk dalam mistisisme
introspektif, bukan pengalaman mistik itu sendiri.
Kewajiban
Filsafat Metamistik
Pokok
pembicaraan yang sekarang harus kita perhatikan adalah pertimbangan mengenai
fungsi esensial yang mesti dilaksanakan oleh suatu filsafat metamistik dalam kaitannya
dengan bahasa obyek mistisisme. Demi kejelasan, kita harus kembali kepada
analogi yang kita buat padaawal kajian linguistik kita. Di situ kita tunjukkan
bahwa “Jika saya menulis sebuah buku dalam bahasa Inggris tentang tatabahasa
Jerman, maka bahasa iNggris akan menjadi metabahasa dan bahasa Jerman menjadi
bahasa obyek yang dibicarakan dalam bahasa Inggris”. Dalam hal ini tugas dan
tanggung jawab yang harus dipikul oleh metabahasa menuntuk, tak syak lagi,
pengetahuan pendahuluan mengenai kajianyang benardan otentik tentang bahasa
obyek sebelum selanjutnya bisa membahas dan berbicara tentangnya dalam suatu
system metalinguistik.
Sementara
menem[atkan mistisisme di bawah sorotan pemeriksaan kritis, filosof
metamitikjuga berkewajiban meraih pengetahuan dalam jumlah besar mengenai
bahasa obyek mistisisme untuk memastikan apa yang dibicarakan oleh para
mistikus. Kurangnya komunikasi antara metabahasa dan bahasa obyek akan membuat
yang pertama menjadi tak berhubungan, dan dalam pengertian tertentu, tak bermakna.
Setelah menyepakati masalah bahwa mistisisme dalam kenyataannya memang memiliki
suatu bahasa introspektif sebagai bahasa obyeknya sendiri, kita harus
mengkajinya, betapapun sulit dan paradoksnya, jika kita mau membicarakannya
secara filosofis dan kritis.
Satu
dari sekian banyak sifat mistik yang diungkapkan dalam bahasa obyek yang
paradoks adalah "peniadaan waktu dan ruang". Paramistikus telah
mengatakan bahwa dalam kesadaran yang tak terdiferensiasi waktu dan ruang,
seperti halnya jenis-jenis kemajemukan lain di alam semesta, menjadi musnah.
Namun, harus dipastikan apa yang mereka maksuddengan "peniadaan",
"persatuan", dan lain-lain sebelum melakukan pemeriksaan kritis atas
proposisi ini.[30]
Meskipun
ada persyaratan ini, Bertrand Russell telah berperan serta dalaman suatu
permainan bahasa mistik yang menjerumuskan ke dalam kebingungan filosofis yang
besar, yang diungkapkannya dalam kalimat-kalimat berikut:
Ketidaknyataan
waktumerupakan doktrin utama berbagai sistem metafisika, yang seringkali secara
normal didasarkan, seperti telah dilakukan oleh Parmenides, pada
argument-argumen logis,namun sebenarnya berasal, palingtidak menurut para
pendiri system-sistem yang baru, dari kepastian yang lahir pada saat terjadinya
penglihatan mustuk.Seperti dikatakan oleh seorang Sufi Persia: Masa lampau dan
masa depanlah yang menabiri Tuhan dari penglihatan kita.Bakarlah keduanya
dengan api! Berapa lama Engkau akan dipisahkan oleh tirai-tirai ini seperti
alang-alang?[31]
Seandainya
dia memahami, pertama-tama, bahwa ada kemungkinan jenis pengetahuan yang lain,
yang menurutnya orang bisa menerangkan dengan cukup jelas, kesadaran akan
realitas Yang Ghaib tanpa rujukan apapun kepada kondisi waktu, niscaya Russell
tidak akan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana penghapusan waktu itu
dimungkinkan. Pertama-tama, Russell, seperti halnya filososf yang lain, niscaya
telah mengenali atas dasar apa, dan dengan bahasa apa, pernyataan mistik
menunjuk kepada peniadaan waktu, sebelum dia menyimpulkan untuk mengesampingkan
klaim tersebut dengan begitu cepat atas dasar perlakuan metalinguistiknya
sendiri. Hanya setelah memahami dengan benarapa arti “peniadaan” mistik waktu
dan ruang, atau unsur manapun dari kemajemukan, barulah kita hendak mengajukan
pertanyaan apakah klaim seperti itu bisa dimengerti ataukah tidak.
Suatu
penolakan yang tak mempunyai titik kontak denganbahasa mistik, seperti yang
diajukan oleh Russell, sama sekali tak menggoyahkan posisi mistisisme, bahkan
tidak pula memenuhi persyaratan yang dituntut agar bisa disebut sebagai
penolakan. Hal ini terutama karena metode argumentasi Russell sama sekali
berada di luar ajaran-ajaran ilmu mistik. Proposisi “waktu itu tak nyata”
seperti halnya proposisi “pelaku kesadaran dan hal yang didasari adalah satu
dan sama”, bersamabanyak dictum mistik lainnya, harus ditinjau daru dua
perspektif yang berbeda, perspektif mistik dan persepktif metamistik. Karena
totalitas yang disebut pertama didasarkan pada ilmu linguistic kesadaran
–’irfan- maka penuturan apapun yang mengupayakan penolakan ataupun pembenaran
dalam pengertian metamistik hanya akan layak dan memiliki arti jika, dan hanya
jika, bahasa ilmu ini diperiksa secara kritis dan dipahami dengan benar.
Menyangkut
persoalan komunikasi pada umumnya, saya tidak sepakat dengan Wittgenstein
ketika dia menyatakan bahwa “jika bahasa hendak dijadikan sarana komunikasi,
maka harus ada kesepakatan tidak hanya dalam definisi tapi juga (mungkin
kedengarannya aneh) dalam penilaian”.[32]
Saya
tidak percaya ini, karena proposisi ini menyarankan bahwa untuk melakukan
kontak dengan bahasa mistik, orang harus sepakat dengan para mistikus tentang
apapun yang mereka katakan, atau memperlakukan mistisisme sebagai sama sekali
tak berarti. Tak satupun dari kedua alternative ini yang bersifat filosofis. Di
samping itu, menurut pemahaman saya, tampaknya cukup jelas bahwa masalah
“kebenaran” berbeda secara radikal dengan masalah “arti”; atau, seperti ditulis
oleh Ibnu Sina dalam karyanya Metodologi, pertanyaan tentang “apa”
(yakni “apa arti sesuatu”) tidak boleh diidentikkan dengan pertanyaan tentang
“apakah” (atau “benarkah?”) dalamsetiap penyelidikan filosofis.[33]
Dalam
pengertian bahasa mistik, Russell atau filosof kritis manapun, pertama-tama
harus mengambiil langkah menjalinkontak, paling tidak pada tingkat definisi,
dengan bahasa mistik-’irfan- dan kemudian mencoba memunculkan
pertanyaan-pertanyaan dan mengemukakan penilaian-penilaian kritis. Inilah
satu-satunya cara untuk menghadapi masalah mistisisme. Sebaliknya, tanpa
pemahaman definisional yang baik mengenai istilah-istilah seperti “ketiadaan
waktu”, “ilusi kemajemukan”, dan lain-lain, maka setiap pembahasan atau
penilaian akan gagal untuk bermakna secara logis.
Pada
dasarnya Russell bisa jadi benar dalam penilaian ini, bahwa pernyataan waktu
adalah tak nyata dan dunia inderawi adalah ilusif mesti dipandang sebagai
pernyataan salah.[34] Akan tetapi, pertanyaan utama berkisar pada
pengertian yang dimaksudkan oleh sang mistikus. Jika sang mistikus percaya
bahwa dirinya dalam keadaan mistiknya, bisa memahami seluruh realitas dunia,
sedemikian sehingga masa lalu dan masa depan hadir dalam kesatuan realitas itu
sendiri, itu tidak berarti bahwa waktu tidaklah nyata dalam arti bahwa ia tak
ada sama sekali. Sebaliknya, pernyataan itu bahkan mungkin menyiratkan suatu
pengakuan diam-diam terhadap realitas eksistensi waktu. Namun, cara sang
mistikus menggambarkan kesadaran akan seluruh realitas ini, dan apa yang
disiratkannya dengan pengalaman ini, adalah persoalan yang wajib ditanyakan
Russell kepada seorang otoritas dalam mistisisme sehingga dia bisa mengenal
bahasa mistik, sebelum mengajukan pertanyaan metamitiknya. Akan tetapi, masalah
utama pembahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa masalah filosofis
ketidaknyataan waktu, sebagaimana banyak masalah mistisisme lainnya, adalah
persoalan susulan, dan bahkan bersifat tambahan kebetulan yang tak diharapkan,
bagi bahasa obyek mistisisme, yakni ilmu kesadaran mistik, atau ‘irfan. Dalam
kenyataannya, Russell memang mengajukan beberapa pertanyaan dasar mengenai
kebenaran atau kepalsuan mistisisme seperti:Apakah waktu itu tak nyata? Apakah
semua kemajemukan dan keberagaman itu bersifat ilusi? Jenis realitas apa yang
termasuk dalam kebaikan dan keburukan?[35] Seperti bisa kita lihat, semua pertanyaan
ini diajukan dalam pengertian bahasa obyek mistisisme. Tetapi, karena Russell
tidak mengenal tatabahasa dan teknik bahasa obyek tersebut, maka syarat wajib
bagi komunikasinya dengan sang mistik tidak terpenuhi. Mereka yang tidak
mengenal bahasa Jerman dan tatabahasanya dengan sendirinya tidak akan bisa
mengajarkan bahasa Jerman dengan menggunakan bahasa Inggris. Hanya
sejenis pengetahuan dengan kehadiran dan bahasa introspektifnya yang bisa
membenarkan kita untuk menempatkan semua pertanyaan mistik ke dalam pemeriksaan
kritis perspektif metamistik.
[1] . G. E. Hughes and D. Londey, The Elements of
Formal Logic (New York, 1965), hal. 48.
[2] . Kekeliruan-kekeliruan ini umumnya berkisar
pada penisbatan kualitas-kualitas khas pengalaman mistik kepada bahasa obyek
mistisisme, dan juga penisbatan kualitas-kualitas khas bahasa obyek kepada
metabahasa mistisisme. Sebuah contoh kerancuan mengenai yang pertama adalah
masalah “tak bisa diceritakannya” pengalaman mistik, yang oleh banyak orang
dinisbatkan kepada bahasa obyek mistisisme dengan mengandaikannya sebagai
kontradiksi-diri. Dan kerancuan mengenai yang disebut kedua ditampilkan dalam
beberapa kesalahtafsiran atas terminologi mitik seperti “peniadaan”,
“kesatuan”, “pensucian”, dan sebagainya.
[3] . William Frankena, Ethics (New York, 1963),
hal. 2.
[4] . Plato, The Dialogues, Crito, terj. B.
Jowett (Chicago, 1962), hal. 2.
[5] . Terdapat banyak literatur tentang
ucapan-ucapan paradoks mistisisme ini. Lihat Ruzbiham Baqli Syirazi, Syarh
Al-Syathiyyat Al-Sufiyyah.
[6] . Lihat diagram kami bersama penjelasan
logisnya di halaman …
[7] . Terdapat banyak penafsiran tentang makna
mistik dari Yang Esa, belum termasuk banyaknya penafsiran yang dibuat oleh
teologi, agama, filsafat, dan sebagainya. Salah satu pendekatan sufi yang
termasyhur terhadap definisi Yang Esa adalah pendekatan yang dinisbatkan kepada
“rasa teistik”, dzawqal-ta’alluh, Mulla Hadi Sabziwari, Syarh-i Manzhumah, hal.
56-58.
[8] . Untuk definisi lebih lanjut tentang ‘irfan
dan tahap-tahap peningkatannya, lihat Ibn Sina, Maqamat Al-’Arifin, Kitab
Al-Isyarat, bagian 4.
[9] . Karya-karya utama tentang ilmu ‘irfan oleh
Ibn Al-’Arabiadalah Futhuhat Al-Makkiyyah dan Fushush Al-Hikam.
[10] . William James, The Varieties of Religion
Experience (New York, 1936), hal. 378.
[11] . J. Maritain, The Degress of Knowledge (New
York, 1959) bab VII, bagian 1, hal. 331.
[12] . W. T. Stace, The Teachings of the Mystics,
hal. 10.
[13] . Op. cit., hal. 370.
[14] .Kesimpulan akhir Zaehner tampaknya dipahami
dalam cara berpikir yangsama sekali religius. Lihat bab terakhir bukunya
tersebut.
[15] .Ada daftar istilah penting yang dibuat oleh
Ibn Al-’Arabi yang disebut Kitab Al-Ishtilahat Al-Shufiyyah (Hyderabad, India,
1948)dimana bisa ditemukan semua definisi otentik istilah mistik.
[16] . Jalal Al-Din Rumi (1202-1273),
Ayinah Qishash wa Hikam, hal. 561.
[17] . B. Russell, Mysticism and Logis (London,
1963), hal. 23-26.
[18] . The Matsnawi of Jalal Al-Din Rumi, terj.
R.A. Nicholson (London, 1926-1934), buku 6, hal. 382.
[19] . Kutipan ini diambil dari sebuahsurat yang dikirimkan
Plotinus kepada Flaecus, dan dikutip dalam Bucke, hal. 123. Lihat W. T. Stace,
Mysticism and Philosophy, hal. 112.
[20] . Ibn Sina, “Tentang Wujud-wujud Abstrak”,
dalam Kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, bagian 3, bab 7, hal. 270.
[21] . Op. cit., bab 9, “Tahap-tahap Para
Mistikus”.
[22] . Kami anggap istilah “kesadaran” yang
dikutip di sini dari Plotinus, memiliki dua implikasi. Satu implikasi adalah
pengertian kesadaran mistik yang merupakan satu bentuk ilmu hudhuri. Implikasi
lainnya adalah pengetahuan representasional yang diturunkan dari jenis
pengetahuan pertama yang berfungsi sebagaii pengetahuan introspektif yang
ditafsirkan oleh kaum mistikus sendiri. Keduanya akan kita sebut kesadaran,
atau ‘irfan, yang dipertentangkan dengan pengetahuan metamistik tentang
kesadaran mistik.
[23] . Muhyi Al-Din ibn Al-’Arabi, Al-Futuhat
Al-Makiyyah, ed. O. Yahya (Kairo, 1972), vol. 1, bagian 3.
[24] . Shadr Al-Din Syirazi seringkali merujuk
kepada pembagian pengetahuan ini sebagai teori pengetahuan IbnAl-’Arabi. Lihat
“Tentang Pengetahuan”, dalam Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, bagian 10.
[25] . Ibn Al-’Arabi, “Pendahuluan” dalam Kitab
Al-Asfar, Perjalanan I, bagian 10.
[26] . R. A. Zaehner, Mysticism: Sacred and
Profane, hal. 157-158.
[27] . Op. cit., hal. 159.
[28] . William James, Varieteties of Religious
Experience, hal. 292-293.
[29] . Lihat Abul A’la ‘Afifi, Introduction to
Kitab Fushush Al-Hikam (Beirut, 1966).
[30] . Lihat Ibn Al-’Arabi, Ishtilahat
Al-Sufiyyah, hal.6-7.
[31] . B.Russell, Mysticism and Logic
(London, 1963), hal. 22.
[32] . Wittgenstein, Philosophical
Investigation, terj. Q. E. M. Anscombe (New York, 1968), bagian 1,
paragraph 242.
[33] . Ibn Sina, “Makalah tentang Penalaran”,
dalam Kitab Al-Najat, hal. 66-68.
[34] . B. Russell, Mysticism and Logcs,
hal. 23-28.
[35] . Op. cit., hal 22-23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar