Soal Metabahasa dan Theosophy Islam


Oleh Mahdi Hairi Yazdi

Dalam filsafat linguistik modern, sebuah upaya penting telah dilakukan untuk membedakan metabahasa (metalanguage) dari bahasa obyek (obyek language). Misalnya, jika saya menulis sebuah buku dalam bahasa Inggris tentang gramatika bahasa Jerman, maka bahasa Inggris menjadi metabahasa dan bahasa Jerman menjadi bahasa obyek yang dibicarakan dalam bahasa Inggris. Dalam hal ini, bahasa Inggris, yang berfungsi sebagai metabahasa, mengambil bahasa Jerman sebagai obyek. Metabahasa akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang obyeknya, dan kemudian berupaya untuk menjawabnya secara sistematis. Dalam kenyataannya, bahasa Jerman hanya akan menjadi bahasa obyek jika ada suatu metabahasa yang mengambil bahasa Jerman sebagai obyek perbincangan. Jika saya menulis sebuah buku tentang tata bahasa Inggris dengan menggunakan bahasa Inggris, maka bahasa Inggris menjadi metabahasa sekaligus bahasa obyek. Tentu saja, ini bisa hanya jika bahasa obyek tersebut memiliki sarana ungkapan yang cukup kaya untuk berbicara tentang dirinya sendiri. 

Ringkasnya, istilah bahasa obyek merujuk kepada bahasa tertentu yang berbicara ‘tentang’ subyek tertentu,[1] sementara “metabahasa” adalah sebuah bahasa tentang bahasa subyek tersebut, yang berbicara ‘dari’, tapi tidak secara langsung ‘tentang’, subyek itu sendiri, baik kedua jenis bahasa ini dalam kenyataannya adalah satu bahasa yang sama ataupun dua bahasa yang berbeda. Untuk membedakan kedua bahasa ini ketika membahas mistisime, selanjutnya kami akan menyebut metabahasa sebagai bahasa ‘tentang’ dan bahasa obyek sebagai bahasa ‘dari’.

Dalam kaitannya dengan mistisisme, patut dikemukakan satu analogi dari teori etika untuk membantu kita memahami bagaimana metamistisisme, yang berarti metabahasa dari mistisisme, mesti memebadakan dari bahasa mistik murni, yang merupakan bahasa dari mistisisme, tapi bukan bahasa tentang mistisisme. Analogi ini juga akan membantu kita memahami bagaimana kerancuan antara kedua sistem bahasa ini telah meyesatkan sebagian filosof maupun sejumlah besar sejarahwan, dan menyebabkan mereka melakukan kekeliruan-kekeliruan serius.[2]

Dalam pembukaan dialog Plato, yakni Crito, Socrates diminta oleh teman-temannya agar lari dari penjara dan hukuman mati dengan cara pergi ke tempat pembuangan bersama keluarganya. Mula-mula Socrates menggariskan beberapa poin tentang pendekatan yang bisa diambil: (1) kita tidak boleh membiarkan keputusan kita dipengaruhi oleh emosi, tetapi kita harus memeriksa masalahnya dengan cermat dan mengikuti penalaran yang terbaik; (2) kita tidak bisa menjawab persoalan-persoalan seperti itu dengan berpaling pada pemikiran orang pada umumnya; dan (3) kita tidak boleh melakukan apa yang secara moral salah.[3] Cara berpikir yang digunakan Socrates di sini, yang boleh jadi digunakan juga oleh siapapun yang bertanya “apa yang benar, salah, baik atau buruk”, adalah apa yang disebut etika normatif; dan jenis bahasa yang digunakan dalam persoalan-persoalan normatif seperti itu adalah bahasa “dari” etika, bukan bahasa “tentang” etika.

Akan tetapi ada juga pemikiran “analitais”, “kritis”, “semantik”, “epistemologis”, dan “metafisik” tentang penilaian-peniulaian normatif ini. Inilah jenis pemikiran yang kita bayangkan akan dipakai oleh Socrates seandainya dia ditantang hingga batas terjauh dalam pembenaran terhadap penilaian-penilaian normatifnya.[4] Jadi setiap perbincangan semacam ini harus disebut pemikiran matematika.

Dalam kajian pemikiran mistik kita dihadapkan pada jenis pendekatan metodologis yang sama. Sepanjang sejarah pemikiran manusia, telah ada beberapa pertanyaanm ungkapan, dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perspektif semantik, epistemologis, atau metafisik, di samping sejumlah perspektif lain yang secara langsung termasuk dalam mistisisme itu sendiri. Jadi, untuk menghindari kerancuan yang sering mencemari pendekatan nonspesies yang membedakan antara tiga tahap mistisisme yang dalam masing-masingnya mengkategorikan satu spesies mistisisme. Ketiga tahap itu adalah:

1.   Mistisisme yang tak bisa diceritakan yaitu pengalaman mistis yang tidak dikonseptualisasikan dalam term-term pemahaman masyarakat umum, dan karena itu sama sekali tidak memiliki bahasa yang lazim dipahami masyarakat umum. Ia memiliki bahasa tersendiri yang khas, yang tidak bisa dipahami umum, dan disebut dalam terminologi Sufi, al-syathiyyat al-sufiyyah,[5] yang berarti ungkapan para mistikus yang tak bermakna. Bahasa ini dianggap berkaitan dengan keadaan asli mistisisme. Ia terdiri dari pernyataan-pernyataan yang secara lahiriah nampak mungkar dan terkadang tak bermakna dan paradoks, namun jugaindah, yang dengan tak sengaja diucapkan oleh para Sufi ketika mereka berada dalam keadaan tak sadar sama sekali, tenggelam dalam lautan trans dan fana’. Dalam situasi dan kondisi ini, mereka berbicara tentang apa yang mereka alami, bukan apa yang mereka pikirkan atapun yang ingin mereka katakan. Inilah sebabnya kita tak bisa mengkategorikannya sebagai bahasa konvensional.

2.   Pemikiran mistik introspektif dan rekonstruktif sebagai bahasa obyek murni mistisisme. Inilah yang kita sepakat untuk menyebutnya sebagai bahasa ‘dari’ mistisisme.

3.   Metamistisisme filosofis atau ilmiah yang berbicara ‘tentang’ mistisisme.

Di sini kita catat bahwa seperti ditunjukkan oleh judul bab ini, kita berurusan dengan mistisisme dan metamistisisme sepanjang menyangkut klasifikasi linguistik umum ini. Karena itu, sementara di antara ketiga pendekatan tersebut di atas, pendekatan kedua dan ketiga masing-masing bisa dikategorikan di bawah judul “bahasa dari” fan “bahasa tentang” mistisisme, maka pendekatan pertama termasuk dalam “mistisisme empiris murni”. Meskipun pendekatan pertama berbeda dengan yang lain dalam hal bahwa ia tidak memiliki bahasa sama sekali, pendekatan kedua dipandang sebagai bahasa obyek mistisisme murni dan pendekatan ketiga dirancang secara metalinguistik untuk mendekati mistisisme dari berbagai sudut: semantik, logika, epistemologi, ilmiah dan sebagainya.

Mistisisme dan Teori Ilmu Hudhuri

Dalam bagian ini kita akan menyuguhkan penjelasan primer tentang hubungan logis yang menghubungkan ketiga spesies mistisisme ini (sebagaimana yang sejauh ini telah dibahas) satu sama lain, dan juga vis-à-vis pembedaan prinsipil antara pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi.

Bertolak dari pengalaman mistik murni, yang secara luas dikenal sebagai mistisisme yang bisa diucapkan, kita mesti kembali sekali lagi kepada diagram emanasi yang digambar dengan tujuan menjelaskan makna kesadaran uniter mistisisme.[6] Dalam diagram ini kami tunjukkan bahwa pikiran manusia, sebagai mode emanasi, dirancang untuk melakukan upaya agar sampai pada keadaan realisasi dirinya yang mutlak. Karena realitas pikiran manusia secara eksistensial terkait dengan prinsip-prinsip hierarkis emanasi dan pada akhirnya tereduksi dan terserap dalam cahaya tertinggi Wujud Wajib, maka proses realisasi diri tak lain adalah sejenis hubungan keidentikan preposisional dengan Yang Tunggal.

Realisasi diri ini bisa dicapai dengan operasi peniadaan ganda. Seperti halnya bentuk logis negasi ganda menyiratkan eliminasi negasi total yang sama artinya dengan penegasan, begitu juga peniadaan mistis ganda (fana’ al-fana’) mendorong kita kepada kemurnian kesadaran uniter dimana tak ada yang tampak kecuali realitas substantif Yang Esa.[7]

Kesadaran uniter ini, seperti telah kami nyatakan, adalah pengetahuan dengan kehadiran mistik. Tentu saja, ia bukanlah bentuk pengetahuan kehadiran dengan keidentikan transubstansiasi atau kesatuan esensi, melainkan kesatuan dengan kehadiran penyerapan dan peniadaan yang adalah bentuk turunan dari emanasi. Kita telah menybut keidentikan ini “kesatuan preposisional”.

Dipandang sebagai berada di luar jangkauan semua bahasa konvensional, pengalaman mistik masuk dalam kategori ilmu hudhuri, dan dengan demikian identik dengan jenis kehadiran yang bersifat preposisional dan terserap. Karena mereka terletak di jajaran pengetahuan dengan kehadiran yang identik dengan realitas eksistensial diri, maka pengalaman mistik menjadi landasan bagi kausasi efisien pengetahuan representasional introspektif pengalaman ini ketika sang mistikus telah “kembali”. Dengan hubungan pencerahan ini, pengetahuan dengan kehadiran mistik yang mendasari ini menerangi tindak pengetahuan imanennya dengan representasu secara introvertif. Ini berarti ketika sang mistikus kembali dari realisasi dirinya ke dunia obyek-obyek fenomenal, kemajemukan yang tampak di tatanan horisontal emanasi, pengalaman kesadaran uniter ini menjadi aktif secara efisien dalam menyediakan tindak-tindak representasi.

Tindak imanen representasi seperti itu adalah operasi relasi iluminatif yang telah kita bicarakan sebelumnya. Dalam kenyataannya, kesadaran uniter yang dimiliki oleh sang mistikus cukup kreatif untuk merekonstruksi, melalui pencerahan, semua tahap mistik indah yangtelah disaksikannya dalam dimensi vertikal emanasi selama realisasi dirinya. Tindak rekonstruktif representasi ini, yang secara langsung dan introvertif melimpah dari kedalaman pengetahuan dengan kehadiran mistik yang tak bisa diucapkan, adalah pengetahuan dengan representasi introvertif (pengetahuan dengan korespondensi), yang disebut oleh para Sufi sebagai irfan.

Jadi, irfan adalah sejenis pengetahuan dengan representasi, yang dicerahkan dan diperoleh dari pengetahuan dengan kehadiran mistik melalui relasi iluminatif.[8] Sejak digariskan untuk pertama kalinya dalam sejarah tradisi Sufi oleh Mahyi Al-Din Ibn Al-’Arabi (1164-1240) dengan kecermatan dan cara yang demikian sistematis, pengetahuan dengan representasi yang bersifat retrospektif ini (irfan) segera menjadi populer dan terkenal sebagai ilmu kebahasaan mistisisme.[9]

Jelas bahwa akses yang demikian langsung kepada kebenaran mistitsisme tidak mungkin melalui cara pikir filosofis yang hanya berkenaan dengan pembendaran logis, semantik,dan epistemologis terhadap kebenaran dan kepalsuan pernyataan-pernyataan dan penegasan-penegasan paradoks mistik. Yang bisa dilakukan oleh filsafat menyangkut mistisisme hanyalah mengambil bahasa kaum mistis –yakni irfan- sebagai obyek penyelidikannya. Dengan adanya bahasan obyek ini, filsafat bisa berpegang pada dan melaksanakan tugasnya memikirkan dan berbicara ‘tentang’ apa yang telah diungkapkan dan dibicarakan oleh kaum mistikus dalam bahasa subyek irfan mereka. Seluruh pendekatan filosofis terhadap masalah mistisisme masuk ke dalam cara pemikiran dan pembicaraan yang sistematis ‘tentang’ bahasa mistisisme. Jadi, semua pertimbangan filosofis pengalaman mistik harus dimasukkan ke dalam kategori metamistisisme.

Ada sedikit contoh historis manusia-manusia yang benar-benar mistikus (urafa), yang secara introvertif dan seksama merekonstruksi pengalaman-pengalaman mistik mereka, dan sekaligus filosof yang dengan penuh pertimbangan mencermati bahasa irfan yang merekaartikulasikan sendiri secara filosofis. Di antara para filosof kuno, Parmenides dan Plotinus adalah dua guru besar mistisisme maupun introspeksi filosofis, kedudukan yang juga diisi oleh Meister Echkhart dalam Kristen dan Al-Ghazali dalam Islam.

Kombinasai khusus orientasi filosofis dan mistik beragam sesuai derajat dan lamanya realisasi diri dalampengalaman mistik, danjuga cara-cara dan sarana-saranan pengalaman tersebut dialami. Meskipun cara-cara dan sarana-sarana ini bisa bersifat sakral ataupunprofan, mistisisme sendiri tidak bisa ditundukkan kepada pembagian yang sangat bisa diperdebatkan ini.

Sebagai ilmuwan, William James suatu ketika berupaya untuk mengalami suatu ketaksadaran mistik berderajat rendah melalui intoksikasi nitro-oksida.[10] Dia kemudian menyusun kembali apa yang telah dialaminya dalah bahasa obyeknya sendiri, yang dalam terminologi kita disebut ‘irfan. Setelah mengartikulasikan penafsirannya dalam bahasa ini, James melaporkannya secara tertulis. Ketika belakangan dia mencoba merenungi penafsiran yang dilaporkan itu melalui kontemplasi filosofis atau ilmiahnya, maka perenungan kedua seperti itu menjadi penyelidikan metafsiknya.

Kesimpulan yang bisa diambil dari semua ini adalah bahwa penyelidikan metamistik adalah komtemplasi dengan merenungi bahasa obyek pemgalaman mistik itu sendiri tetap berada dalam lingkup ilmu hudhuri. irfan dan metamistisisme termasuk tatanan pengetahuan dengan representasi, dan karena itu keduanya termasuk bentuk pengetahuan dengan korespondensi.

Mistisisme dan Metamistisisme

Cukup aman untuk menegaskan bahwa sejauh ini belum ada upaya memuaskan untuk memisahkan masalah mistisisme murni, yang dalam tradisi Islam disebut ilmu irfan, dengan masalah metamistisisme di satu pihak, dan dengan pengalaman yang tak bisa diceritakan, di pihak lain. Oleh karena itu, tugas yang menuntut perhatian kita pada pembahasan ini adalah mengobati kekurangnini. Pertimbangan ini tidak hanya wajib dilakukan agar bisa membedakan filsafat mistisisme, yaitu irfan. Tetapi,juga sangat penting untuk memahami bagaimana satu masalah bisa ditinjau dan ditangani dengan dua cara yang samasekali berbeda –cara yang sama sekali berbeda –cara fisik dan cara metamistik.

Jacques Maritain (1882-1973) memberikan pembedaan penting antara “pengetahuan yang bisa dikomunikasikan” dan memasukkan tahap akhir pengalaman mistik, atau seperti yang dengan dikatakannya. “penampakan keindahan mutlak” ke dalam kategori pengetahuan yangtak bisa sebab, demikian dikatakannya, “Zat Ilahi sendiri akan mengaktifkan akal kita secara lengsung, tanpa perantaraan suatu spesies atau gagasan, “Akan tetapi, semua jenis pengetahuan dan pengalaman intelektual lainnya, menurut pandangannya, mesti ditempatkan dalam kategori “pengetahuan yang bisa dikomunikasikan”.[11]

W. T. Stace menawarkan pandangan lain dalam membedakan pengalaman mistik yang didakwa “tak bisa diceritakan” dari “penafsiran” atas pengalaman tersebut. Dia mencontohkan gagasannya melalui analogi yang sama-samar ini:

Di suatu malam yang gelap di luar rumah, sekelompok orang mungkin melihat sesuatu yang bercahaya keputihan. Satu orang mungkin mengira itu hantu. Yang lain mungkin menganggapnya selembar kain yang tergantung di tali jemuran. Orang lainnya lagi mungkin mengiranya sebuah batu besar yang dicat putih. Di sini kita memiliki satu pengalaman tunggal dengan tiga penafsiran yang bebeda.[12]

Dengan mempertimbangkan analogi ini, penafsiran atas pengalaman mistik harus mendapat analisis lebih jauh dengantujuan menjelaskan perbedaan antara penafsiran langsung dan segera terhadap pengalaman mistik yang termasuk ke dalam kelompok bahasa ‘dari’ mistisisme, atau suatu penafsiran ataupun kritik terhadap penafsiran tersebut yang termasuk dalam bahasa ‘tentang’ mistisisme.

Dengan menerima kebenaran dan ketepatan kedua bahasan ini, maka tak satupun dari keduanya yang benar-benar memuaskan kebtuhan imperatif akan suatu klasifikasi yang lengkap dan tuntas dari subyek yang ditangani, yang bisadipakai sebagai pedoman untuk memahami berbagai pendekatan terhadap mistisisme sampai pada derajat yang sama seperti klasifikasi yang disuguhkan terdahulu dalam kajian ini. Ini terutama karena tak satupun dari pembedaan-pembedaan yang disarankan ini menyangkut masalah ragam linguistik yang ada dalam hampir semua kajian mistik. Seperti akan kita lihat, kerancuan antara metabahasa dan bahsa obyek adalah salah satu faktor mendasar yang telah membawa kepada kesulitan-kesulitan fundamental dan kekeliruan-kekeliruan yang fatal. Juga masalah tak bisa diucapkannya atau dalam terminologi Maritain “tak bisa dikomunikasikannya”, pengetahuan mistik belum dianalisis dengan seksama hingga kita bisa memahami dalam pengertian apa hal-hal yang tak bisa diucapkan itu mesti ditafsirkan. Dengan demikian, ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam sifat tak terucapkan itu: (a) Alasan mengapa pengetahuan mistik tak bisa dikomunikasikan; dan (b) arti keadaan tak bisa dikomunikasikan atau diucapkan ini.Kedua masalah atau ambiguitas ini, menurutp endapat kami, harus ditangani berdasarkan teori ilmu hudhuri. Namun sebelum masuk ke dalam pertimbangan tentang masalah-masalah ini beserta solusinya, ada kebutuhan untuk menegaskan bahwa,. Berdasarkan ilmu hudhuri, dan sesuai dengan klasifikasi yang baru saja kita buat, sebenarnya ada suatu bahasa obyek mistisisme yang terartikulasikan. Yaitu pengetahuan introspektif dan interpretif tentang kesadaran mistik yang merupakan “kesadaran”tentang Tuhan, atau dalam terminologi Islam, irfan; ilmu hudhuri tentang Tuhan. Ilmu irfan telahdirancang untuk digunakan sebagai bahasa obyek konvensional bagi kesadaran mistik dan berbagai tahap pengalaman mistik.

Dengan mengesampingkan tahap-tahap pengalaman mistik, yang dianggap mutlak tak terkatakan dan yang telah kita bicarakan dalam bab-bab terdahulu, masih ada jenis-jenis mistisisme lain yang mesti dikelompokkan, menurut klasifikasi kami, ke dalam dua disiplin umum mistisisme. Jenis-jenis mistisisme ini semuanya bersifat mistik, sebab semuanya dengan cara tertentu terkait dengan pokok bahasan umum mistisisme. Jenis-jenis mistisisme ini semuanya bersifat mistik, sebab semuanya dengan cara tertentu terkait dengan pokok bahasan umum mistisisme, tetapi kita mesti menempatkannya dalam urutan yang logis, yang satu berbeda dari yang lain, jika kita ingin berhasil dalam memahami mistisisme secara tepat. Dalam pembahasan berikut kami akan menyuguhkan dengan ringkas berbagai pendekatan yang secara khas telah disebut pendekatan mistik.

Ada penyelidikan deskriptif empiris mengenai masalah mistisisme yang termasuk dalam kategori bahasa ‘tentang’ mistisisme. Penyelidikan jenis ini bersifat historis, ilmiah, antropologis, atau sosiologis. Proses penyelidikan tersebut karenanya dilakukan oleh para sejarahwan, psikolog, antropolog, atau sosiolog. Banyak penulis kontemporer maupun abad pertengahan yang telah melaksanakan penyelidikan empiris seperti itu mengenai mistisisme. Akan tetapi mereka tidak memperhitungkan persoalan-persoalan logika, metafisika, atau analitik, mereka tidak pulamemeriksa ilmu tentang mistisisme –irfan- secara memuaskan sebagai bahasa obyek mistisisme yang murni. William James, misalnya, adalah salah seorang dari sedikit pemikir masyhur yang dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah ini mencoba menangkap empat ciri esensial namun empiris dari mistisisme sedemikian rupa hingga ketika ciri-ciri tersebut terdapat dalam suatu pengalaman, maka pengalaman tersebut bisa dibenarkan unbtuk disebut pengalaman mistik. Keempat ciri tersebut adalah:

a)   Tak terkatakan
b)   Bersifat noetic
c)   Sementara
d)   Pasif

Jelas terlihat bahwa James, sebagai psikolog, dalam esainya yang istimewa itu, tidak mengajukan ataupun mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistemik, semantik, analitik ataupun metafisik tentang mistisisme. Di samping itu, dia tidak memperhatikan kualitas dan kuantitas derajat keterpesonaan dan unifikasi dengan Yang Mutlak yang jelas termasukke dalam bahasa mistik yang asli. Karena itu bahasanya adalah jenis bahasa metamistik yang ilmiah dan empiris, tapi bukan metafisik. Apalagi bahasa mistik yang langsung, seperti yang kita temukan dalam irfan. Dalam kenyataannya, James mengakui bahwa dia memandang pokok kajiannya secara eksternal.[13] Barangkali dengan kata “eksternal” dia mencoba menegaskan bahwa bahasanya adalah bahasa metamistik, dan sama sekali bukan bahasa obyek yang berurusan dengan mistisisme itu sendiri. Kalau demikian, maka eksternalitas adalah ciri lain dari semua bahasa metamistik.

Sebagai sejarahwan, R. C. Zaehner juga harus disejajarkan dengan para filosof empiris mistisisme. Akan tetapi, penfekatan Zaehner, dibandingkan dengan pendekatan James, tidak bersifat ilmiah. Ia berbicara secara empiris tentang sejarah mistisisme dan terkadang tentang filsafat mistisisme empiris. Dengan mengambil pendekatan metalinguistik jenis ini, dia melakukan suevei historis komparatif yang terinci mengenai ragam mistisisme dari berbagai budaya, agama, dan masa, yang berkisar dari bentuk-bentuk mistisisme Hindu, Budha, Kristen, Islam, dan Yahudi hingga para mistikus modern. Hingga lingkup yang cukup jauh, dia memperlihatkan masalah fenomena baru mistisisme dalam budaya Barat seperti yang dimanifestasikan dalam ilusi-ilusi budaya hippie terhadap pengalaman mistik serta klaim-klaim mereka terhadap keadaan-keadaan mistik seperti yang dicapai oleh orang-orang suci yang saleh, hanya saja keadaan-keadaan mereka dicapai melalui penggunaan obat-obat pembangkit halusinasi dan bukan melalui disiplin dan pengabdian spiritual. Meskipun dia mencioba menyuguhkan pembahasan filosofisnya tentang masalah ini secara obyektif, namun kesimpulan-kesimpulannya telah membuat perbedaan yang religius antara mistisisme yang sakral dan yang profan, tanpa menunjukkan pembenaran logis untuk itu.[14]

Juga ada cara-cara yang bersifat analitik, kritis, metafisik dan logis untuk mendekati pemikiran mistik. Cara-caraini seluruhnya terdiri dari analisis nonempiris terhadap masalah mistisisme. Landasan pendekatan terhadap filsafat mistisisme ini adalah pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa makna mistisisme? Apa yang membuatnya berbeda dari agama? Adakah pembenaran rasional bagi klaim-klaim esensial dan prinsipal proposisi-proposisi mistik? Apa definisi atau makna ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep seperti “kesatuan”, “Yang Esa”, “kesatuan eksistensi”, gagasan tentang”cahaya” dan lain-lain?[15] Apa hakikat kesatuan mistik? Apakah ia bersifat emosional, neotic, atau eksistensial? Jika bersifat eksistensial, bagaimana mungkin satu eksistensi individual yang terbatas bersatu dengan eksistensi yang tak terbatas dan mutlak? Apakah pengalaman mistik benar-benar tak bisa diceritakan? Jika demikian, maka penegasan apapun mengenainya, baik yang negatif maupun yang positif, termasuk sifat tak bisa diucapkan itu sendiri adalah sebuah kontradiksi diri. Apakah solusi logis bagi semua pernyataan paradoks yang telah muncul dalam mistisisme dari semua budaya dan agama sepanjang sejarah filsafat?

Seperti kita lihat, pertanyaan-pertanyaan ini bersifat logis, semantik, epistemologis, atau metafisik. Pemikiran mistik sejenis ini tidak mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana, secara praktis kita bisa melenyapkan diri kita yang terbatas dan bersatu dengan Yang Tunggal, meskipun pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan khas bahasa mistik, yang dalam terminologi Islam disebut ilmu ‘\irfan. Banyak filosof abad pertengahan dan kontemporer yang telah meninjau pemikiran mistik melalui pendekatan ini. Akan tetapi mereke belum berpikir ‘dari’ mistisisme dengan cara mistik; alih-alih, mereka berpikir dan berbicara ‘tentang’ kebenaran obyektif mistisisme. Mereka belum tertarik untuk mengetahui, misalnya, jenis meditasi apa, atau pengalaman moral dan religius yang bagaimana, yang bisa membawa mereka lebih dekat kepada persatuan dengan Yang Tunggal.

Akhirnya, pemikiran ilmiah namun tidak filosofis, yang bersifat reflektif dan introspektif dimana sang mistikus mencoba dengankemampuan inteleknya untuk merekonstruksi dengan cara yang canggihsifat-sofat dari apa saja yang telah dilihat atau disadarinya dalam pengalaman mistiknya. Inilah apa yang kita sebut sebagai bahasa mistik asli, atau ilmu mistisisme, karena ia berbicara ‘dari’ mistisisme, bukan berbicara ‘tentang’ mistisisme, dan ia dirancang untuk merekapitulasi keadaan yang dialami seorang mistikus. Dalam lingkup mistisisme jenis ini, pertanyaan filosofis atau ilmiah apapun ‘tentang’ mistisisme tidak koherendengan sistem tersebut, dan dipandang mutlak tak relevan dan tak bisa diterima. Dalam soal “inkoherensi” filsafat sebagai pendekatan metalinguistik terhadap bahasa mistik murni ini, barangkali bahasa mistik penyair Sufi Persia, Rumi (1207-1273) bisa memberikan penalaran yang paling jelas:

Para filosof demonstratif itu berjalan dengan kaki-kaki kayu. Wahai, alangkah rapuhnya kaki mereka itu.[16]

Ketika seorang mistikus merenungi apa yang baru saja disaksikannya, maka tentu saja adalah suatu pertanyaan yang “rapuh” jika seorang filosof bertanya” Apakah penegasan Anda benar, palsu ataukan berkontradiksi? Hal ini nampaknya bisa dibenarkan jika kita ingat akan klasifikasi kita tentang mistisisme. Untuk memasukkanklasifikasi ini dalam pertimbangan, orangcenderung mengakui bahwa Rumi dan banyak mistikus besar lainnya mutlak benar ketika merekadengantajam mengkritik filosof dengan menyebut mereka “berjalan di atas kaki kayu yang rapuh”, atau ketika menoleknya sebagai mode yang bisa diterima untuk mempertanyakan bahasa mistik mereka. Mereka benar karena filsafat, sebagai bahasa ‘tentang’ mistisisme, jika ingin tetap koheren, tidak boleh diterapkan pada, dan mengikat dirinya dengan sistem yang paling terartikulasikan ini, yang benar-benardi pandang sebagai “bahasa mistisisme”. Menyangkut penjelasan ini, kita nanti akan melihat bagaimana filosof Inggris paling masyhur dari masa akhir ini, yaitu Bertrad Russell, menjadi tidak relevan ketika dia berselisih paham dengan Rumi mengenai penegasan mistik bahwa “waktu adalah tidak nyata”[17], karena Russell memasuki perdebatan ini sebelum dia memahami bahasa obyek mistisisme dan apa yang dimaksud oleh sang mistikus dengan penegasan ini serta penegasan-penegasan lainnya.

Bahasa Obyek Mistisisme

Salah satu keuntungan klasifikasi mistisisme ini adalah bahwa ia menyelesaikan masalah pertanyaan-pertanyaan yang tampak betul-betul layak untuk dipertanyakan dalam kerangka satu sistem sistisisme, tapi tidak berarti apa-apa sama sekali jika dipertanyakan dalam kerangka sistem mistisisme yang lain. Agar menjadi bermakna,maka pertanyaan-pertanyaan metodologis tersebut harus dikaitkan dengan sistem linguistik tertentu, entah yang mistik ataupun yang metamistik, tapi tidak kedua-duanya. Sebagai contoh, pertanyaan mengenai apakah klaim-klaim mistik secara logis benar atau palsu tidaklah berarti apa-apa dalam kawasan sistem mistisisme yang tak bisa diceritakan (ineffable mysticism), tidak pula ia punya arti dalam lingkup bahasa mistik yang dianggap sebagai penafsiran atas apa yang telah dilihat oleh sang mistikus dalam keadaan-keadaannya yang tak terkatakan itu. Pertanyaan ini hanya layak dipertimbangkan jika sebagai filosof metamistik, kita meletakkan suatu pernyataan mistik di bawah pemeriksaan kritis dan mencoba memahami apakah pernyataan seperti itu benar.

Berkaitan denganisu ini, ada dialog antara filsafat dan mistisisme mengenai masalah “kebenaran” dan “kepalsuan”, atau “realitas” dan “khayalan”, yang berkaitan dengankedua bahasa –mistik dan metamistik- dalam mistisisme puitis Persia dari Rumi. Perdebatan ini boleh jadi dipandang sebagai cerminan yang benar dari perbedaan yang baru saja diisyaratkan. Rumi mengatakan dalam bahasa mistiknya:

Sang filosof yang malang menyebut takut sebagai “ilusi: (wahm): dia keliru memahami pelajaran ini.

Bagaimana mungkin ada ilusi tanpa realitas? Bagaimana mungkin uang palsu mempunyai nilai kalau tidak ada uang asli?

Bagaimana dusta bisa dipercaya kalau tak ada kebenaran?

Setiap kebohongan di dua dunia telah muncul dari satu kebenaran.

Dia (si pendusta) melihat nilai dan harga yang dimiliki kebenaran: jadi, diedarkannyalah kebohongan dengan harapan (menikmati) hal yang sama.

Wahai dusta(turun temurun), yang keberuntungannya (berasal) dari kebenaran, berterimakasihlah kepada rahmat dan jangan ingkari kebenaran.[18]

Seorang mistikus, pada prinsipnya, dan dengan bahasanya yang layak, berusaha melenyapkan setiap unsur kemajemukan dan mereduksi semua hal yang, dalam bahasa metalinguistik, terbagi dua menjadi kebenaran atau kepalsuan, realitas atau khayalan, ke dalam kebenaran bahasanya sendiri, yang adalah kebenaran Yang Tunggal. Sebaliknya, seorang filosof, yang mengambil arahnya sendiri, dan menggunakan prinsip-prinsip metodologi metalinguistiknya sendiri, bisa menghadapi masalahnya dari perspektif yang sama sekali berbeda, dan dari sini menyuguhkan kasusnya menurut peran linguistiknya sendiri, dimanaperbedaan-perbedaan antara realitas dan khayalan, atau kebenaran dan kepalsuan, sama sekali tidak diperlukan.

Persoalan utama mistisisme, yaitu kesadaran uniter, adalah salah satu daru hal-hal yang padanya seluruh ilmu mistisisme, yakni ‘irfan, didasarkan. Dalam sistem irfan kesadaran uniter ini tidak dipertanyakan; tetapi diterima begitu saja. Persoalan yang sama mengambil arti yang betul-betul berbeda jika dipertanyakan dalam konteks filosofis dan metamistik. Dalam kedua konteks ini persoalannya menjadi persoalan “kesadaran akan Yang Tak Terbatas”. Plotinus secara eksplisit menunjukkan bagaimana persoalan ini bisa ditangani secara memuaskan menurut satu disiplin tapi tetap tak terputuskan atau problematik menurut disiplin yang lain:

Engkau bertanya bagaiamana kami bisa mengetahui Yang Tak Terbatas? Kujawab:bukan dengan akal. Fungsi akal adalah membedakan dan mendefinisikan. Karenanya, Yang Tak Terbatas tidak bisa disejajarkan dengan obyek-obyeknya. Engkau hanya bisa ‘menyadari’ Yang Tak Terbatas dengan memasuki keadaan dimana engkau tak lagi merupakan dirimu sendiri. Ini adalah … pembebasan pikiranmu dari kesadaran yang terbatas. Jika engkau tak lagi bersifat terbatas, engkau akan menyatu dengan ‘Yang Tak Terbatas’ … engkau akan menyadari kesatuan ini, keidentikan ini.[19]

Dalam wacana ini, Plotinus menarik garis demarkasi antara pertanyaan “Bagaimana kita bisa mengetahui Yang Tak Terbatas? Dan pertanyaan “Bagaimana kita bisa menyadari Yang Tak Terbatas?” Jawaban terhadap pertanyaan pertama menyiratkan bahwa orang tidak bisa mengetahui Yang Tak Terbatas, dan jawaban terhadap pertanyaan yang kedua menyiratkan bahwa orang bisa menyadari Yang Tak Terbatas. Dengan mengesampingkan opini agnostiknya bahwa Yang Tak Terbatas tak bisa diketahui dengan akal, kasus Plotinus menyuguhkan satu pertanyaan tunggal yang tak bisa sitanyakan dengan dua cara berbeda. Pertama, pertanyaan tersebut bisa diajukan sebagai pertanyaan metamistik khas mengenai kesatuan dengan Yang Tak Terbatas. Kedua, ia bisa diajukan sebagai pertanyaan yang bersifat asli mistik. Dalam perspektif kedua ia harus dipandang sebagai bagian inti ilmu mistisisme yang dengannya sang mistikus mencoba menemukan keteraturan dan pengaturan yang memberi kemungkinan bagi perjalanannya menuju persatuan dengan Yang Tak Terbatas.

Pembedaan yang hampir sama antara kedua metode mempertanyakan isu tersebut tercermin dalam fisafat Ibnu Sina mengenai masalah kesatuan. Dalam makalahnya tentang konsepsi persatuan antara yang mengetahui dengan yang diketahui, Ibnu Sina seraya mengejek menolak gagasan Porphyrian bahwa tindak pengetahuan, pelaku pengetahuan, serta hal yang diketahui adalah satu dan sama dalam status ontologisnya. Dia menjelaskan betapa ketiga entitas itu tidak mungkin satu:

Sebuah Anekdot


Di antara mereka ada seorang yang bernama Porpyryy yang menulis sebuah makalah tentang kesatuan pengetahuan dengan hal-hal yang diketahui. Karya itu dipuji oleh para filosof Peripatetik. Tapi karya tersebut sama sekali absurd dan tak berarti. Mereka sendiri tahu bahwa mereka tak bisa memahaminya. Porphyry juga sadar akan keraguan ini. Dalam kenyataannya, salah seorang yang sezaman dengannya telah menyanggah dengan mengemukakan penolakan terhadap antitesis ini. Tapi upayanya yang belakangan ini bahkan lebih buruk dari yang terdahulu.[20]

Mengherankan,kita bisa menemukan pandangan yang sama, yang di sini dikatakan äbsurd”itu, dikemukakan oleh Ibnu Sina sendiri ketika dia kemudian berusaha membahas isu mistisisme. Dia dengankuat menyetujui gagasan kesatuan mutlak dan keidentikan antara kesadaran dengan kebenaran yang disadari dalam pengetahuan mistik.

Dia menggambarkan strategi keidentikan mistik ini dengan bahasa mistik írfan berikut:

Orang yang lebih suka mempelajari kesadaran mistik semata-mata demi kesadaran mistik itu sendiri berarti telah menjerumuskan dieinya dalam absurditas dualisme.

Tetapi mereka yang mengupayakan kesadaran ini (írfan) seolah-olah ia tak lain ialah kebenaran dari yang disadari itu sendiri (al-ma’ruf bihi) dapat mencapai kedalaman Kesatuan yang tak bisa diukur.[21]

Di sini, seperti halnya dalam kasus Plotinus, kita lihat bahwa dengan hanya satu substitusi sederhana saja Ibnu Sina mengambil posisi yang sama sekali berbeda dari posisi pertimbangan filosofisnya mengenai keidentikan subyek yang mengetahui dengan hal yang diketahui. Dia mengganti sistem metalinguistik dengan sistem kesadaran empiris –yakni irfan- untuk bisa beranjak dari absurditas dualisme ke kedalaman Kesatuan yang tak terukur.Menurut Plotinus, kita tidak bisa mengetahui Yang Tak Terbatas, tetapi kita bisa menyadari-Nya.[22] Sekali lagi, dalam teori pengetahuan Ibnu Sina, keidentikan orang yang mengetahui dengan yang diketahui, yang disarankan dalam sistem Porphyrian, terbukti absurd sejauh menyangkut konsep filosofis pengetahuan. Akan tetapi, keidentikan pelaku kesadaran, yakni sang mistik (al-’arif) dengan Kesatuan yang disadari (al-ma’ruf bihi) dipandang sebagai titik tertinggi yang mesti dicapai (dalam) perkembangan manusia.

Orang boleh saja bertanya: Mengapa ada perbedaan yang begitu lebar? Menurut pendapat saya, perbedaan ini disebabkan oleh beragamnya sistem-sistem ungkapan di dalam dunia bahasa, dan oleh keragaman sifat-sifat esensial intelegensi manusia di dalam dunia pengetahuan. Yang kami maksudkan dengan sistem yang berbeda, seperti telah kami tunjukkan, bukanlah perbedaan dalam emosi semata, atau perbedaan dalam motivasi mempertanyakan. Tak satupun dari kedua perbedaan ini bisa membuat sebuah proposisi yang absurd menjadi bisa diterima atau bahkan terpuji. Alih-alih, perbedaan mendasar dalam kedua spesies kognisi dan komunikasi manusia dengan dunia realitas itu sendirilah yang membedakan ilmu mistisisme dari filasafat pada umumnya, dan dari filsafat mistisisme, atau metamistisisme khususnya. Jenis kesadaran yang padanya keseluruhan masalah mistisisme berpusat, sebagaimana terlihat dalam kasus Plotinus dan Ibnu Sina, berbeda dari kognisi dan kesadaran yang biasanya kita peroleh melalui tindak mengetahui intelektual kita yang biasa. Ia adalah sejenis ilmu hudhuri, yang seperti telah kita lihat, identik dengan kebenaran eksistensial manusia. Tetapi, sistem logika dan ungkapan pengetahuan ini merupakan ilmu mistik ‘irfan, dan bukan logika pengetahuan dengan representasi kita yang biasa.

Ilmu Irfan

Untuk memahami arti ilmu irfan, atau disiplin linguistik mistisisme sebagai lawan logika biasa pemahaman kita sehari-hari, dan menghindarkan setiap jenis pembahasan yang bersifat acak atau tak akademis, kita harus menyandarkan diri pada wawasan mereka yang secara historis telah diterima sebagai otoritas baik dalam filsafat maupun mistisisme. Namun, kita harus waspada agar tidak tersesatkan oleh pengandaian yang berlebih-lebihan terhadap para otoritas tersebut, agar tak kehilangan obyektivitas kita. Dalam kenyataannya, kita perlu mengingat bahwa pengandaian yang berlebihan kepada satu otoritas dan secara membuta menerima penilaian yang didesakkannya, adalah hal yang paling tak diinginkan dalam penyelidikan filosofis apapun. Akan tetapi, yang kami sarankan dan akan kami kemukakan dalam kajian ini adalah bahwa kita hendaknya memelihara agar komunikasi kita dengan para mistikus sejati tetap langsung dan cukup otentik agar kita bisa memahami arti sebenarnya ‘dari’ bahasa khusus mereka dalam pengertian bahasa obyek. Dengan perkataan lain, sebagai syarat perlu bagi setiap kajian filosofis atau ilmiah tentang mistisisme, terlebih dahulu harus ada pemahaman tentang bahasa obyek pengalaman mistik, yakni ‘irfan. Dalam batasan syarat perlu ini, kami bisa memberanikan diri untuk menyatakan bahwa karena sebagian besar sejarahwan kontemporer dan sejumlah filosof mistisisme telah gagal untuk secara tepat memenuhi persyaratan ini, mereka belum mampu menghasilkan suatu analisis yang memuaskan tentang mistisisme. Dalam kenyataannya, kajian mereka pada umumnya tak berhasil dan terkadang tak relevan dengan kebenaran mistisisme. Tetapi usaha untuk memenuhi syaratutama ini, kajian tentang mistisisme sama sekali tak bisa menangkap pokok-pokok pikiran para mistikus, dan dengan demikian bisa dikesampingkan karena tak konsisten dan subyektif.

Untuk memahami dengan tepat arti “kesadaran” atau ‘irfan dalam bahasa obyek mistik, kita mesti merujuk kepada penjelasan menyeluruh yang diberikan oleh Muhyi Al-Din ibn Al-’Arabi dalam hal ini.

Ibn Al-’Arabi (1164-1240), guru besar mistisisme Islam (sufisme) dan pendiri ilmu irfan, memberikan wawasan-wawasan mengenai cara membedakan metode “kesadaran” (‘irfan) dan pengetahuan intelektual kita, yakni metamistisisme.

Akan tetapi, ada tiga klasifikasi “pengetahuan”. Pertama adalah pengetahuan intelektual (‘ilm al-’aql). Ini adalah pengetahuan yang Anda peroleh dengan segera, atau melalui suatu penyelidikan mengenai sebuah bukti, asalkan Anda mengenal cara demonstrasi bukti tersebut. Semua persoalan tentang jenis pengetahuan ini mempunyai sifat yang sama dengan pengetahuan itu sendiri; artinya, baik pengetahuan tersebut maupun persoalan-persoalan mengenainya termasuk ke dalam dunia pemikiran yang merupakan tempat yang layak untuk sistem kognisi ini. Itulah sebabnya orang mengatakan: Di alam pemikiran, ada yang benar dan ada yang salah.

Jenis pengetahuan yang kedua adalah kesadaran akan keadaan-keadaan batin pikiran. Tidak ada jalan untuk berkomunikasi dengan keadaan-keadaan ini selain “merasakannya sendiri”. Sebagaimana orang berakal tak bisa mendefinisikan keadaan-keadaan ini, akal juga tak bisa dijadikan sandaran untuk membuktikan kebenaran keadaan-keadaan ini. Sebagai contoh, manisnya rasa madu, pahitnya sari cendana, nikmatnya pergaulan dan cinta, perasaan gembira dan bahagia, dan lain-lain semacamnya, adalah keadaan-keadaan yang tak mungkin dikenal oleh siapapun kecuali dengan cara menjalani kualifikasi keadaan-keadaan tersebut dan dengan merasakannya. Sekali lagi, masalah-masalah tentang jenis pengetahuan ini mempunyai sifat yang sama dengan pengetahuan itu sendiri, karena keduanya berkaitan dengan hakikat rasa. Sebagai contoh, orang-orang yang menderita sakit pahit empedu akan mengatakan bahwa madu itu pahit, padahal sebenarnya tidak demikian. Itu karena indera perasa mereka telah dipengaruhi oleh penyakit kuning ini.

Jenis pengetahuan yang ketiga adalah pengetahuan tentang yang ghaib (‘ilm al-asrar). Ini adalah bentuk pengetahuan yang transenden; bentuk mengetahui dengan emanasi ruh suci ke dalam pikiran. Para nabi dan orang suci dianugerahi hak istimewa pengetahuan ini. Pengetahuan ini terdiri dari dua jenis:

Jenis pertama adalah pengetahuan yang bisa diterima oleh akal. Ini sama dengan pengetahuan dari klasifikasi pertama karena bersifat intelektual, kecuali bahwa orang yang mengetahui dalam hal ini tidak memperoleh pengetahuannya melalui akal, tetapi merupakan tingkat pengetahuan transenden, yang tersingkap baginya. Jenis yang kedua dibagi menjadi dua bagian, yang salah satunya dikaitkan dengan klasifikasi yang kedua, yaitu pengetahuan dengan merasakan sendiri, tapi dari derajat yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih mulia. Sedangkan yang satunya lagi adalah pengetahuan yang disejajarkan dengan pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif ini rentan terhadap kebenaran dan kepalsuan, tapi kebenaran dan keterjagaan (‘ishmah) penuturlah, yakni penutur pengetahuan deskkriptif itu, yang dipuji oleh ‘pendengar’. Gambaran-gambaran yang diberikan oleh para nabi (semoga kedamaian dilimpahkan kepada mereka) tentang Tuhan, serta penegasan mereka tentang sorga dan bagaimana kiranya hal-hal yang ada di dalamnya, semuanya termasuk pengetahuan deskriptif.

Konsekuensinya penegasan seseorang yang memiliki pengetahuan tentang yang ghaib bahwa sorga itu ada, merupakan contoh pengetahuan deskriptif. Klaimnya bahwa pada Hari Kebangkitan akan ada telaga, yang airnya lebih manis daripada madu, mengungkapkan pengetahuannya yang bersifat “merasakan sendiri”. Dan akhirnya pernyataan-pernyataannya bahwa Tuhan ada dan tidak ada sesuatupun yang bersama-Nya, dan pernyataan-pernyataan lain, mencontohkan pengetahuan intelektualnya tentang realitas alam ghaib, jenis realitas yang juga bisa dipikirkan dengan akal.[23]

Dalam merujuk ke wacana di atas secara umum, kita bisa melihat dengan persis bahwa para filosof mistik atau mistikus filosof ini dalam kenyataannya memang telah menyediakan sebuah metode linguistik ilmiah bagi komunikasi pengetahuan mistik. Pengetahuan ini dalam bahasa Ibn Al-’Arabi[24] disebut “pengetahuan tentang yang ghaib” (‘ilm al-asrar) yang diperlawankan denganpengetahuan representasional fenomena lkita tentang obyek-obyek yang bisa diamati. Inilah pengetahuan tentang dunia yang ghaib dan juga yang tak terkatakan, sepanjang ia tetap tak bisa direfleksikan oleh kekuatan akal kita. Tetapi, akal bisa dan punya kemampuan untuk, begitu keyakinan Ibn Al-’Arabi, mengintrospeksi dan merumuskan kembali pengetahuan ini dan membawanya ke dalam dunia fenomena. Manakala akal telah mengambil langkah ini dengan cermat dan menyusun kembali serta menterjemahkan pengetahuan yang tak bisa diterangkan ke dalam kerangka bentuk pengetahuan yang secara fenomenal representasional, maka ia akan menjadi pengetahuan intelektual biasa yang, seperti halnya pengetahuan kita yang lain, bersifat konseptual dan bisa dipahami, dan karenanya bisa dibicarakan dalam bahasa kita sehari-hari dengan mudah. Karena itu, kemampuan akallah, kata Ibn Al-’Arabi yang bisa melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang ghaib ke pangetahuan intelektual dunia fenomena seperti itu. Dengan menterjemahkan pernyataan ini ke dalam terminologi kita, kesepadanankesadaran intelektuallah yang memungkinkan transeksistensiasi dari pengetahuan mistik melalui kehadiran ke pengetahuan fenomenal melalui representasi. Inilah refleksi pandangan sekilas pertama pada wacana ini, dengan mengingat teori ilmu hudhuri. Sedangkan mengenai klasifikasi linguistik, orang bisa dengan mudah menerjemahkan semua mode pengetahuan Ibn Al-’Arabi ke dalam metode linguistik dualistik kita – bahasa ‘dari’, dan bahasa ‘tentang’ mistisisme.

Metodologi linguistik dari pengetahuanintrospektif ini adalah ilmu irfan. Ilmu linguistik irfan harus, dalam klasifikasi kita, ditempatkan dalam kategori bahasa obyek, karena ia ‘membicarakan’ kesadaran akan Tuhan dan cara-cara serta aturan-aturan yang memungkinkan kesadaran yang unik seperti itu. Jadi, irfan adalah bahasa obyek sistematik yang dirancang untuk mengungkapkan hukum-hukum dan prinsip-prinsip sistem vertikal pengetahuan mistik yang diintrospeksikan, yang berkenaan dengan semua persoalan problematik menyangkut pengetahuan tentang yang ghaib atau obyek-obyek keilahian,[25] atau ‘ilm al-asrar.

Menurut pendapat kami, diperlukan sedikit perenungan untuk memberikan analisis labih lanjut tentang teks yang baru saja kita kutip begitu panjang, agar dapat memungut dari sekian banyak hal mendasar dalam wacana yang sangat konstruktif ini, hal-hal yang berkaitan dengan pokok pembicaraan kita sekarang ini. Hal-hal tersebut adalah:

Di dalam kerangka pikiran manusia ada jenis kesadaran lain yang menjadikan kesadaran manusia bersifat mistik. Ini adalah kesadaran akan yang ghaib.Jika jenis kesadaran ini mesti disebut pengetahuan, maka ia hanya bisa diperoleh dengan kesatuan emanasi dan pencerahan, bukan melalui kontemplasi dan abstraksi. Pandangan ini sama dengan apa yang telah kita sebut pengetahuan kehadiran melalui kesatuan eksistensial emanas dan penyerapan.

Bentuk pengetahuan ini, seperti halnya pengetahuan biasa, bersifat intelektual, artinya, ia bisa direnungi dan dikonseptualisasikan serta dipahami oleh akal manusia apabila diarahkan ke dalam diri (introverted). Jadi ia bisa dipahami jika disusun kembali dan diintrospeksi. Ini karena, seperti dinyatakan ole pengarang, ia “bisa diterima oleh akal”. Ia serupa dengan pengetahuan dari klasifikasi pertama (dalam hal bahwa ia bersifat intelektual) kecuali bahwa orang-orang mengetahui dalam hal ini tidak memperolah (pengetahuannya) melalui penalaran, melainkan dengan perenungan atas apa yang telah hadir.

Bentuk-bentuk pengetahuan ini, yaitu pengetahuan inderawi, intelektual, dan mistis adalah sama dalam hal bersifat deskriptif, artinya semua pengetahuan ini analog dengan penegasan informasi yang biasanya kita buat ketika kita menggambarkan perasaan dan penginderaan nirmal kita kepada orang lain. Jika obyek pengetahuan tersebut adalah Kesatuan mutlak, atau obyek ghaib lainnya, maka gambarannya mesti menyerupai logika kita tentang pemahaman transendental murni tentang suatu obyek intelektual dan seterusnya. Ringkasnya, sejajar dengan pengetahuan biasa kita, baik yang empiris maupun transendental, ada jenis-jenis pengetahuan yang berbeda berkaitan dengan obyek-obyek ghaib sehingga ia terkadang bisa diintrospeksi oleh akal murni kita, dan terkadang oleh perasaan penginderaan kita.

Ini semua adalah tesis yang menjadi pokok perhatian kita dalam kajian ini. Bagian-bagian penting darinya terlibat dalam teori kita tentang ilmu hudhuri, kehadiran dengan swaidentitas, dan dengan emanasi serta penyerapan, yang telah dibahas dan dipertahankan. Sekarang, falam bagian ini kami akan memasuki bagian lain dari tesis-tesis ini yang termasuk dalam masalah bahasa mistik dan metamistik. Karena dalam wacana ini telah dinyatakan dengan penuh penekanan bahwa semua bentuk pengetahuan tentang yang ghaib dapat digambarkan, maka kami merasa terpanggil untuk menunjukkan bagaimana sifat bisa digambarkan ini mesti dipahami dengan benar. Masalah ini penting khususnya ketika kita berhadapan dengan masalah keadaan tak terkatakannya pengalaman mistik.

Masalah Sifat Tak Terucapkannya Pengalaman Mistis

Kita telah sampai pada pemahaman bahwa paling tidak ada satu jenis mistisisme yang disebut Sufisme, yang betul-betul memiliki satu bahasa obyek yang dirancang untuk mengungkpakan pengetahuan swaobyeknya. Dari sini, pengetahuan mistik tidak boleh disebut pengetahuan yang tidak bisa dikomunikasikan atau pengalaman yang tak terkatakan. Lantas timbul pertanyaan, mengapa mistisisme harus disebut oleh para mistikus sendiri dan oleh para filosof yang tertarik serta banyak kalangan lainnya sebagai pengalaman yang pada esensinya “tak terkatakan”.

Atas dasar teori kita tentang ilmu hudhuri, jawaban terhadap pertanyaan ini adalah jelas dan langsung. Yaitu, karena pengetahuan dengan kehadiran pada esensinya adalah pengetahuan swaobyek dalam semua bentuknya, maka ia identik dengan realitas eksistensial hal yang diketahui. Di samping itu, telah ditegaskan bahwa pengetahuan mistik adalah satu spesies pengetahuan dengan kehadiran. Karena itu, pengetahuan mistik adalah identik dengan realitas hal yang diketahui. Dari sini disimpulkan bahwa kesadaran mistik adalah kesatuan simpleks kehadiran Tuhan di dalam diri, dan kehadiran diri di dalam Tuhan. Karena termasuk dalam tatanan eksistensi dan bukannya tatanan konsepsi dan representasi, kesatuan simpleks ini tak bisa dikomunikasikan dan karenanya tak terkatakan. Demikianlah halnya selama pengalaman itu tak diintrospeksikan dan tak direnungi.

Untuk menjelaskan pengertian “tak bisa dikomunikasikan” ini, kita perlu menunjukkan bahwa pengetahuan mistik dalam bentuknya yang asli –yang umumnya disebut pengalaman mistik, sebagai contoh pengetahuan dengan kehadiran- terbukti bersifat nonfenomenal. Lebih lanjut, harus ditegaskan bahwa berbeda dengan pengetahuan representasional kita tentang obyek-obyek eksternal, pengetahuan dengan kehaditan tak bisa berlaku sebagai bagaian dari pengetahuan umum kita. Karenanya ia tak bisa dikomunikasikan dalam pengertian bahwaia tak bisa dibagikan dan dikomunikasikan kepada orang lain –bahkan pada mereka yang telah terikat dengan pengalaman mistik mereka sendiri –kecuali dengan analogi yang samara-samar. Pengetahuan ini merupakan keadaan pribadi dari realitas individual diri sebagai subyek yang mengetahui yang disatukan oleh kehadiran dengan realitas obyek yang diketahui. Seperti halnya pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang keadaan-keadaan kesadaran pribadi dan penginderaan, yang representasinya tak pernah bisa menggantikan tealitas obyektif hal yang diketahui, begitu pula pengetahuan mistik tak bisa benar-benar direpresentasikan melalui konseptualisasi. Karena alasan ini ia tak bisa dibicarakan seperti halnya pengetahuan umum. Satu-satunya cara untuk membicarakan dan membuat ungkapan mistik yang tegas adalah dengan mengalihkan pikiran ke dalam diri sendiri dan menghasilkan pengetahuan introspektif mengenai pengalaman-pengalaman mistik yang disaksikan oleh para mistikus sendiri.

Sekali lagi, sebagaimana pengetahuan introspektif tentang diri dan tentang pikiran pribadi harus didemonstrasikan dengan representasi yang analog dari kebenaran obyektif realitas-realitas ini, demikian pula, pengetahuan introspektif tentang kebenaran mistik juga sekedar memberikan representasi yang analog dari pengetahuan swaobyek mistisisme. Karenanya, pengetahuan mistik dalam bentuk aslinya mutlak tak terkonseptualisasikan dan tak terkomunikasikan. Pengetahuan introspektif tentang mistisismelah yang dimanipulasi dalam konsep-konsep dan diungkapkan oleh bahasa obyek ‘irfan yang bisa diartikulasikan; bentuk primer pengetahuan mistik tetap tak terkonseptualisasi dan tak terkatakan. Jadi, menurut teori kami, jawaban yang jelas bagi pertanyaan mengapa mistisisme tak bisa diterangkanadalah bahwa sebagai bentuk pengetahuan dengan kehadiran, pengetahuan mistik termasuk dalam tatanan wujud, bukan tatanan konsep. Dinyatakan dengan ringkas, pengetahuan mistik adalah pengetahuan swaobyek dimana tindakmengkomunikasikannya adalah sama dengan realitas apa yang dikomunikasikan. Ini sama dengan mengatakan bahwa dalam wilayah pengalaman mistik, tidak ada tindak komunikasi yang berbeda dari subyek yang mengkomunikasikan serta obyek yangdikomunikasikan. Semua ini menjelaskan kesatuan simpleks tersebut. Kesatuan simpleks inilah satu-satunya sebab keadaan tak terkatakannya ini. Jadi, pengetahuan mistik dalam bentuk primernya benar-benar tak bisa diucapkan.

Dari sini, dengan sendirinya pertanyaan mengenai arti “tak tekatakannya” mistisismejuga bisa dijawab berdasarkan argumentasi yang sama. Baerdasarkan pernyataan bahwa pengetahuan mistik adalah contoh pengetahuan kehadira, kita bisa menentukan arti sebenarnya dari sifat tak terkatakan sebagaimana yang muncul dalam kasus ini. Apakah itu logis, emosional, atau konvensional, bergantung pada bagaimana kita mampu mencirikan sifat esensial mistisisme itu sendiri.

Menurut pemahaman kami tentang mistisisme –karena ia adalah satu bentuk pengetahuan dengan kehadiran- sifat tak terkatakan itu logis, karena tak mungkin kita bisa mengubah tatanan wujud menjadi tatanan konsepsi. Pertanyaan “Dalam pengertian apa mistisisme bersifat pribadi dandengan demikian tak bisa diterangkan kepada orang banyak?” adalah sama logisnya dengan pertanyaan “Dalam pengertian apa keadaan-keadaan pikiran kita bersifat pribadi dan tak bisa diterangikan kepada orang lain kecuali dengan sekedar analogi?” Masalah tak terkatakannya pengetahuan mistik tampaknya tak lebih rumit daripada masalah tak terkatakannya keadaan-keadaan pribadi.

Untuk memastikan arti tak terkatakannya mistisisme, kita harus sekali lagi merujuk kepada para otoritas di bidangnya. Penjelasan-penjelasan yang paling otoritatif tentang masalah ini diberikan oleh Al-Ghazali dalam filsafat abad pertengahan dan William James dalam filsafat modern. Kedua pemikir ini sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa tak terkatakannya mistisisme tak lain berarti keadaan pribadi pikiran individu.

Al-Ghazali menulis:  Tak ada sesuatu bagi mereka selain Tuhan. Mereka menjadi mabuk dengan kemabukan yang meruntuhkan akal mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Akulah Tuhan (Kebenaran)”. Yang lain mengatakan: “Mahasuci aku! Alangkah agungnya kebesaranku”,sementara yang lain mengucapkan “Tidak ada sesuatupun di dalam jubahku selain Tuhan”. Tetapi, ucapan para pecinta ketika mereka berada dalam keadaan mabuk haruslah disembunyikan rapat-rapat dan tidak disebarluaskan.[26]

Menggunakan analogi kemabukan adalah jawaban para Sufi terhadap pertanyaan mengenai sifat tak terkatakannya pengalaman mereka. Pada intinya, mereka menegaskan bahwa orang yang tak pernah mencicipi minuman keras tidak akan pernah bisa memahami nikmatnyamabuk, karena dia tak pernah merasakan anggur. Lagi pula, sekedar definisi leksikal bahwa anggur adalah sari minuman yang diasamkan dari buah anggur, atau deskripsi ilmiah mengenai susunan kimiawi anggur sebagai begini dan begitu, tidak bisa membantunya memahami kegirangan seorang pemabuk.[27]

Analogi yang sangat mirip diberikan oleh William James dalam Varietes of Religious Experience:  Si pelaku dengan segera mengatakan bahwa hal itu tak bisa diungkapkan, bahwa tak ada kata-kata yang bisa menyampaikan kandungannya. Dengan sendirinya kualitasnya harus dialami secara langsung: ia tak bisa diceritakan atau diterjemahkan kepada orang lain. Dalam kekhasan ini keadaan mistik lebih mirip dengan keadaan perasaan daripada keadaan intelek. Tak seorangpun yang bisa menjelaskan kepada orang lain yang belum pernah mengalami perasaan tertentu, bagaimana sifat atau nilai perasaan tersebut.[28]

Dalam dua kutipan ini hal mendasar yang dikemukakan adalah bahwa arti tak terucapkannya pengetahuan mistik tak lain adalah esensialitas logis keadaan pengetahuan pribadi tersebut; berkaitan dengan tatanan eksistensi si pelaku, bukan tatanan konseptualisasi dan representasi intelektualnya.

Di sini mesti kita catat bahwa baik analogi Al-Ghozali tentang kemabukan ataupun analogi James tentang perasaan, tak satupun yang terkait dengan pendapat mereka tentang cirri-ciri lain pengalaman mistik yang mereka pandang sebagai bersifat neotic, deskriptif, dan tak emosional. Sekedar analogi, tak satupun dari kedua penuturan tersebut yang menyiratkan langkah yang lebih jauh daripada membedakan keserupaan antara pengetahuan mistik dan pengetahuan tentang atau pengenalan dengan perasaan dan penginderaan kita, dengan merujuk kepada keadaan pribadi. Berdasarkan teori ilmu hudhuri kita, bahkan menjadi lebih jelas bahwa karena pengalaman mistik adalah contoh pengetahuan dengan kehadiran, maka pasti ia bersifat neotic dan pribadi, seperti halnya pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang perasaan. Dalam keadaan eksistensial diri semua bentuk pengetahuan ini saling berbagi dalam kenyataan bahwa merekaadalah semacam kesadaran akan realitas obyek, bersifat pribadi dan tak terkatakankepada orang lain.

Ciri-ciri mistisisme ini, di antaranya, termasuk dalam pengalaman mistik faktual yang asli, yang seperti halnya jenis-jenis pengetahuan dengan kehadiran yang lain, tetap berada dalam keadaan swaobyektivitas dan tak bisa diungkapkan.Ini sama sekali tidak menyiratkan bahwa pengalaman-pengalaman ini tidak bisa diingat dan dengan cermat ditafsirkan oleh si pelaku begitu dia telah mengalami pengalaman-pengalaman seperti itu. Jika diintrospeksikan, pengalaman-pengalaman ini pasti akan direpresentasikan dan dikonseptualisasikan secara analogis seperti pengetahuan diri dan pengetahuan tentang keadaan-keadaan pikiran pribadi, dan kemudian diungkapkan dalam bahasa yang jelas, seperti dilakukan oleh Ibn Al-’Arabi dalam ilmu kebahasaan irfan-nya.[29] Jadi, mistisisme introspektif harus dibedakan dari pengalaman mistik itu sendiri.Sementara yang disebut belakangan ini tetap tak bisa diceritakan, yang disebut pertama terungkap dengan sempurna dalam suatu bahasa obyek yang berbicara ‘tentang’ mistisisme.

Oleh karena itu, kesimpulannya adalah bahwa kita memang memiliki mistisisme-yang-ta-bisa-diceritakan (ineffable mysticism) yang berbeda dari mistisisme introspektif, bahwa arti sifat tak terceritakan itu adalah keadaan pribadi dalam pengertian eksistensial pengetahuan dengan kehadiran, dan bahwa suatu bahasa obyek mistisisme seperti irfan termasuk dalam mistisisme introspektif, bukan pengalaman mistik itu sendiri.

Kewajiban Filsafat Metamistik

Pokok pembicaraan yang sekarang harus kita perhatikan adalah pertimbangan mengenai fungsi esensial yang mesti dilaksanakan oleh suatu filsafat metamistik dalam kaitannya dengan bahasa obyek mistisisme. Demi kejelasan, kita harus kembali kepada analogi yang kita buat padaawal kajian linguistik kita. Di situ kita tunjukkan bahwa “Jika saya menulis sebuah buku dalam bahasa Inggris tentang tatabahasa Jerman, maka bahasa iNggris akan menjadi metabahasa dan bahasa Jerman menjadi bahasa obyek yang dibicarakan dalam bahasa Inggris”. Dalam hal ini tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh metabahasa menuntuk, tak syak lagi, pengetahuan pendahuluan mengenai kajianyang benardan otentik tentang bahasa obyek sebelum selanjutnya bisa membahas dan berbicara tentangnya dalam suatu system metalinguistik.

Sementara menem[atkan mistisisme di bawah sorotan pemeriksaan kritis, filosof metamitikjuga berkewajiban meraih pengetahuan dalam jumlah besar mengenai bahasa obyek mistisisme untuk memastikan apa yang dibicarakan oleh para mistikus. Kurangnya komunikasi antara metabahasa dan bahasa obyek akan membuat yang pertama menjadi tak berhubungan, dan dalam pengertian tertentu, tak bermakna. Setelah menyepakati masalah bahwa mistisisme dalam kenyataannya memang memiliki suatu bahasa introspektif sebagai bahasa obyeknya sendiri, kita harus mengkajinya, betapapun sulit dan paradoksnya, jika kita mau membicarakannya secara filosofis dan kritis.

Satu dari sekian banyak sifat mistik yang diungkapkan dalam bahasa obyek yang paradoks adalah "peniadaan waktu dan ruang". Paramistikus telah mengatakan bahwa dalam kesadaran yang tak terdiferensiasi waktu dan ruang, seperti halnya jenis-jenis kemajemukan lain di alam semesta, menjadi musnah. Namun, harus dipastikan apa yang mereka maksuddengan "peniadaan", "persatuan", dan lain-lain sebelum melakukan pemeriksaan kritis atas proposisi ini.[30]

Meskipun ada persyaratan ini, Bertrand Russell telah berperan serta dalaman suatu permainan bahasa mistik yang menjerumuskan ke dalam kebingungan filosofis yang besar, yang diungkapkannya dalam kalimat-kalimat berikut:

Ketidaknyataan waktumerupakan doktrin utama berbagai sistem metafisika, yang seringkali secara normal didasarkan, seperti telah dilakukan oleh Parmenides, pada argument-argumen logis,namun sebenarnya berasal, palingtidak menurut para pendiri system-sistem yang baru, dari kepastian yang lahir pada saat terjadinya penglihatan mustuk.Seperti dikatakan oleh seorang Sufi Persia: Masa lampau dan masa depanlah yang menabiri Tuhan dari penglihatan kita.Bakarlah keduanya dengan api! Berapa lama Engkau akan dipisahkan oleh tirai-tirai ini seperti alang-alang?[31]

Seandainya dia memahami, pertama-tama, bahwa ada kemungkinan jenis pengetahuan yang lain, yang menurutnya orang bisa menerangkan dengan cukup jelas, kesadaran akan realitas Yang Ghaib tanpa rujukan apapun kepada kondisi waktu, niscaya Russell tidak akan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana penghapusan waktu itu dimungkinkan. Pertama-tama, Russell, seperti halnya filososf yang lain, niscaya telah mengenali atas dasar apa, dan dengan bahasa apa, pernyataan mistik menunjuk kepada peniadaan waktu, sebelum dia menyimpulkan untuk mengesampingkan klaim tersebut dengan begitu cepat atas dasar perlakuan metalinguistiknya sendiri. Hanya setelah memahami dengan benarapa arti “peniadaan” mistik waktu dan ruang, atau unsur manapun dari kemajemukan, barulah kita hendak mengajukan pertanyaan apakah klaim seperti itu bisa dimengerti ataukah tidak.

Suatu penolakan yang tak mempunyai titik kontak denganbahasa mistik, seperti yang diajukan oleh Russell, sama sekali tak menggoyahkan posisi mistisisme, bahkan tidak pula memenuhi persyaratan yang dituntut agar bisa disebut sebagai penolakan. Hal ini terutama karena metode argumentasi Russell sama sekali berada di luar ajaran-ajaran ilmu mistik. Proposisi “waktu itu tak nyata” seperti halnya proposisi “pelaku kesadaran dan hal yang didasari adalah satu dan sama”, bersamabanyak dictum mistik lainnya, harus ditinjau daru dua perspektif yang berbeda, perspektif mistik dan persepktif metamistik. Karena totalitas yang disebut pertama didasarkan pada ilmu linguistic kesadaran –’irfan- maka penuturan apapun yang mengupayakan penolakan ataupun pembenaran dalam pengertian metamistik hanya akan layak dan memiliki arti jika, dan hanya jika, bahasa ilmu ini diperiksa secara kritis dan dipahami dengan benar.

Menyangkut persoalan komunikasi pada umumnya, saya tidak sepakat dengan Wittgenstein ketika dia menyatakan bahwa “jika bahasa hendak dijadikan sarana komunikasi, maka harus ada kesepakatan tidak hanya dalam definisi tapi juga (mungkin kedengarannya aneh) dalam penilaian”.[32]

Saya tidak percaya ini, karena proposisi ini menyarankan bahwa untuk melakukan kontak dengan bahasa mistik, orang harus sepakat dengan para mistikus tentang apapun yang mereka katakan, atau memperlakukan mistisisme sebagai sama sekali tak berarti. Tak satupun dari kedua alternative ini yang bersifat filosofis. Di samping itu, menurut pemahaman saya, tampaknya cukup jelas bahwa masalah “kebenaran” berbeda secara radikal dengan masalah “arti”; atau, seperti ditulis oleh Ibnu Sina dalam karyanya Metodologi, pertanyaan tentang “apa” (yakni “apa arti sesuatu”) tidak boleh diidentikkan dengan pertanyaan tentang “apakah” (atau “benarkah?”) dalamsetiap penyelidikan filosofis.[33]

Dalam pengertian bahasa mistik, Russell atau filosof kritis manapun, pertama-tama harus mengambiil langkah menjalinkontak, paling tidak pada tingkat definisi, dengan bahasa mistik-’irfan- dan kemudian mencoba memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan mengemukakan penilaian-penilaian kritis. Inilah satu-satunya cara untuk menghadapi masalah mistisisme. Sebaliknya, tanpa pemahaman definisional yang baik mengenai istilah-istilah seperti “ketiadaan waktu”, “ilusi kemajemukan”, dan lain-lain, maka setiap pembahasan atau penilaian akan gagal untuk bermakna secara logis.

Pada dasarnya Russell bisa jadi benar dalam penilaian ini, bahwa pernyataan waktu adalah tak nyata dan dunia inderawi adalah ilusif mesti dipandang sebagai pernyataan salah.[34] Akan tetapi, pertanyaan utama berkisar pada pengertian yang dimaksudkan oleh sang mistikus. Jika sang mistikus percaya bahwa dirinya dalam keadaan mistiknya, bisa memahami seluruh realitas dunia, sedemikian sehingga masa lalu dan masa depan hadir dalam kesatuan realitas itu sendiri, itu tidak berarti bahwa waktu tidaklah nyata dalam arti bahwa ia tak ada sama sekali. Sebaliknya, pernyataan itu bahkan mungkin menyiratkan suatu pengakuan diam-diam terhadap realitas eksistensi waktu. Namun, cara sang mistikus menggambarkan kesadaran akan seluruh realitas ini, dan apa yang disiratkannya dengan pengalaman ini, adalah persoalan yang wajib ditanyakan Russell kepada seorang otoritas dalam mistisisme sehingga dia bisa mengenal bahasa mistik, sebelum mengajukan pertanyaan metamitiknya. Akan tetapi, masalah utama pembahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa masalah filosofis ketidaknyataan waktu, sebagaimana banyak masalah mistisisme lainnya, adalah persoalan susulan, dan bahkan bersifat tambahan kebetulan yang tak diharapkan, bagi bahasa obyek mistisisme, yakni ilmu kesadaran mistik, atau ‘irfan. Dalam kenyataannya, Russell memang mengajukan beberapa pertanyaan dasar mengenai kebenaran atau kepalsuan mistisisme seperti:Apakah waktu itu tak nyata? Apakah semua kemajemukan dan keberagaman itu bersifat ilusi? Jenis realitas apa yang termasuk dalam kebaikan dan keburukan?[35] Seperti bisa kita lihat, semua pertanyaan ini diajukan dalam pengertian bahasa obyek mistisisme. Tetapi, karena Russell tidak mengenal tatabahasa dan teknik bahasa obyek tersebut, maka syarat wajib bagi komunikasinya dengan sang mistik tidak terpenuhi. Mereka yang tidak mengenal bahasa Jerman dan tatabahasanya dengan sendirinya tidak akan bisa mengajarkan bahasa Jerman dengan menggunakan bahasa Inggris. Hanya sejenis pengetahuan dengan kehadiran dan bahasa introspektifnya yang bisa membenarkan kita untuk menempatkan semua pertanyaan mistik ke dalam pemeriksaan kritis perspektif metamistik.


[1] . G. E. Hughes and D. Londey, The Elements of Formal Logic (New York, 1965), hal. 48.
[2] . Kekeliruan-kekeliruan ini umumnya berkisar pada penisbatan kualitas-kualitas khas pengalaman mistik kepada bahasa obyek mistisisme, dan juga penisbatan kualitas-kualitas khas bahasa obyek kepada metabahasa mistisisme. Sebuah contoh kerancuan mengenai yang pertama adalah masalah “tak bisa diceritakannya” pengalaman mistik, yang oleh banyak orang dinisbatkan kepada bahasa obyek mistisisme dengan mengandaikannya sebagai kontradiksi-diri. Dan kerancuan mengenai yang disebut kedua ditampilkan dalam beberapa kesalahtafsiran atas terminologi mitik seperti “peniadaan”, “kesatuan”, “pensucian”, dan sebagainya.
[3] . William Frankena, Ethics (New York, 1963), hal. 2.
[4] . Plato, The Dialogues, Crito, terj. B. Jowett (Chicago, 1962), hal. 2.
[5] . Terdapat banyak literatur tentang ucapan-ucapan paradoks mistisisme ini. Lihat Ruzbiham Baqli Syirazi, Syarh Al-Syathiyyat Al-Sufiyyah.
[6] . Lihat diagram kami bersama penjelasan logisnya di halaman …
[7] . Terdapat banyak penafsiran tentang makna mistik dari Yang Esa, belum termasuk banyaknya penafsiran yang dibuat oleh teologi, agama, filsafat, dan sebagainya. Salah satu pendekatan sufi yang termasyhur terhadap definisi Yang Esa adalah pendekatan yang dinisbatkan kepada “rasa teistik”, dzawqal-ta’alluh, Mulla Hadi Sabziwari, Syarh-i Manzhumah, hal. 56-58.
[8] . Untuk definisi lebih lanjut tentang ‘irfan dan tahap-tahap peningkatannya, lihat Ibn Sina, Maqamat Al-’Arifin, Kitab Al-Isyarat, bagian 4.
[9] . Karya-karya utama tentang ilmu ‘irfan oleh Ibn Al-’Arabiadalah Futhuhat Al-Makkiyyah dan Fushush Al-Hikam.
[10] . William James, The Varieties of Religion Experience (New York, 1936), hal. 378.
[11] . J. Maritain, The Degress of Knowledge (New York, 1959) bab VII, bagian 1, hal. 331.
[12] . W. T. Stace, The Teachings of the Mystics, hal. 10.
[13] . Op. cit., hal. 370.
[14] .Kesimpulan akhir Zaehner tampaknya dipahami dalam cara berpikir yangsama sekali religius. Lihat bab terakhir bukunya tersebut.
[15] .Ada daftar istilah penting yang dibuat oleh Ibn Al-’Arabi yang disebut Kitab Al-Ishtilahat Al-Shufiyyah (Hyderabad, India, 1948)dimana bisa ditemukan semua definisi otentik istilah mistik.
[16] .  Jalal Al-Din Rumi (1202-1273), Ayinah Qishash wa Hikam, hal. 561.
[17] . B. Russell, Mysticism and Logis (London, 1963), hal. 23-26.
[18] . The Matsnawi of Jalal Al-Din Rumi, terj. R.A. Nicholson (London, 1926-1934), buku 6, hal. 382.
[19] . Kutipan ini diambil dari sebuahsurat yang dikirimkan Plotinus kepada Flaecus, dan dikutip dalam Bucke, hal. 123. Lihat W. T. Stace, Mysticism and Philosophy, hal. 112.
[20] . Ibn Sina, “Tentang Wujud-wujud Abstrak”, dalam Kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, bagian 3, bab 7, hal. 270.
[21] . Op. cit., bab 9, “Tahap-tahap Para Mistikus”.
[22] . Kami anggap istilah “kesadaran” yang dikutip di sini dari Plotinus, memiliki dua implikasi. Satu implikasi adalah pengertian kesadaran mistik yang merupakan satu bentuk ilmu hudhuri. Implikasi lainnya adalah pengetahuan representasional yang diturunkan dari jenis pengetahuan pertama yang berfungsi sebagaii pengetahuan introspektif yang ditafsirkan oleh kaum mistikus sendiri. Keduanya akan kita sebut kesadaran, atau ‘irfan, yang dipertentangkan dengan pengetahuan metamistik tentang kesadaran mistik. 
[23] . Muhyi Al-Din ibn Al-’Arabi, Al-Futuhat Al-Makiyyah, ed. O. Yahya (Kairo, 1972), vol. 1, bagian 3.
[24] . Shadr Al-Din Syirazi seringkali merujuk kepada pembagian pengetahuan ini sebagai teori pengetahuan IbnAl-’Arabi. Lihat “Tentang Pengetahuan”, dalam Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, bagian 10.
[25] . Ibn Al-’Arabi, “Pendahuluan” dalam Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, bagian 10.
[26] . R. A. Zaehner, Mysticism: Sacred and Profane, hal. 157-158.
[27] . Op. cit., hal. 159.
[28] . William James, Varieteties of Religious Experience, hal. 292-293.
[29] . Lihat Abul A’la ‘Afifi, Introduction to Kitab Fushush Al-Hikam (Beirut, 1966).
[30] . Lihat Ibn Al-’Arabi, Ishtilahat Al-Sufiyyah, hal.6-7.
[31] . B.Russell, Mysticism and Logic (London, 1963), hal. 22.
[32] . Wittgenstein, Philosophical Investigation, terj. Q. E. M. Anscombe (New York, 1968), bagian 1, paragraph 242.
[33] . Ibn Sina, “Makalah tentang Penalaran”, dalam Kitab Al-Najat, hal. 66-68.
[34] . B. Russell, Mysticism and Logcs, hal. 23-28.
[35] . Op. cit., hal 22-23.

Tidak ada komentar: