Imam Ja'far as Shadiq, Penghulu Para Imam Mazhab dan Ilmuwan


Imam Ja’far as Shadiq Versus Filsuf Ateis

Tersebutlah di kota Madinah, seorang bernama Ja’d bin Dirham, seorang ekstrim ateis, pembuat bid’ah yang mendedikasikan hidupnya dalam zandaqah (gerakan atheisme) serta memdengungkan ajaran dan doktrin ateis radikal (tidak meyakini adanya Tuhan). Dia menunjukkan kedangkalan akalnya secara demonstratif, seperti memasukkan tanah dan air dalam sebuah botol, kemudian beberapa saat terdapat cacing dalam botol yang semula diisi dengan tanah dan air tersebut. Kemudian dia berkata kepada para sahabatnya “Aku telah menciptakannya, karena aku adalah sebab keberadaannya”. Imam Ja’far as Shadiq mendengar berita ini dan mengutus seorang muslim untuk membantahnya dengan bukti rasional, beliau berkata, “Katakan kepadanya (kepada Ja’d), jika dia (Ja’d) yang menciptakannya maka tanyakan kepadanya berapa jumlahnya? Berapa yang jantan dan yang betina? Berapa beratnya masing-masing? Mintalah kepadanya untuk mengubahnya menjadi bentuk yang lain!”. Mendengar perkataan Imam Ja’far as Shadiq melalui utusannya itu, sang pendiri zandaqah tersebut pun mengakui keunggulan argumen Imam Ja’far as Shadiq.


Utamakan Sanad Sebelum Kias

Suatu hari Syubrumah dan Abu Hanifah menjumpai Imam Ja’far as Shadiq. Imam Ja’far as Shadiq bertanya kepada Syubrumah “Siapakah yang bersamamu ini?” Syubrumah menjawab “seseorang yang mempunyai visi dan memberikan pengaruh dalam masalah agama” Imam Ja’far berkata “diakah yang telah mengiaskan masalah agama berdasarkan pendapat sendiri itu?” dia menjawab ”Ya” Imam menoleh ke arah Abu Hanifah kemudian bertanya “siapa namamu?” dia menjawab “Nu’man”. Imam bertanya “wahai Nu’man, apakah kamu mengiaskan kepalamu?” dia menjawab “bagaimana aku mengiaskan kepalaku?” Imam berkata “aku tidak melihatmu melakukan sesuatu yang baik. Apakah kamu mengetahui kadar garam yang terkandung di kedua mata, kadar pahit yang ada dalam kedua telinga, kadar dingin dalam lubang hidung dan kadar manis di antara dua bibir?”

Abu Hanifah menyatakan kekagumannya dan ketidaktahuannya. Imam bertanya lagi “apakah kamu tahu kalimat yang awalnya adalah kufur dan akhirnya adalah iman?”Abu Hanifah menjawab “tidak”. Kemudian Abu Hanifah memohon kepada Imam Ja’far agar menjelaskan kepadanya makna ungkapan beliau. Imam berkata “ayahku memberitahuku dari kakekku Rasulullah saw, beliau bersabda ‘sesungguhnya Allah dengan keutamaan dan kebaikannya telah menciptakan kadar garam dalam kedua mata anak-anak adam untuk membersihkan kotoran-kotoran yang terdapat di dalamnya. Menciptakannya kadar pahit pada kedua telinga sebagai tameng dari binatang. Jika binatang masuk ke dalam kepala melalui telinga dan mengarah ke otak, maka karena rasa pahit itu dia akan keluar. Allah menciptakan kadar dingin dalam kedua lubang hidung agar udara dapat dihirup oleh keduanya. Seandainya tidak demikian otak akan membusuk. Allah menciptakan kadar manis di antara dua bibir agar dapat merasakan lezatnya makanan”. Abu Hanifah memandang Imam Ja’far sambil bertanya “beritahu aku tentang kalimat yang awalnya adalah kufur dan akhirnya iman”

Imam Ja’far menjelaskan “sesungguhnya seorang hamba jika mengatakan ‘tidak ada Tuhan’ maka dia kafir. Jika dia melanjutkan dengan kalimat ‘selain Allah’ maka itu adalah iman”. Imam kemudian mendekati Abu Hanifah dan berkata “wahai Nu’man, ayahku memberitahuku dari kakekku Rasul Saw bersabda ‘pertama kali yang melakukan kias dalam masalah agama dengan pendapatnya sendiri adalah Iblis. Allah berfirman kepadanya ‘sujudlah kamu kepada Adam lalu dia berkata ‘aku lebih baik darinya, engkau ciptakan aku dari api dan engkau menciptakannya dari tanah’ 


Tidak ada komentar: